You are on page 1of 24

GAGASAN PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE BAGI WHISTLE BLOWER DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH H.M. ARSYAD SANUSI

Page | 1

ABSTRAK
Korupsi layaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu pejabat dengan pejabat lain.Korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga perlu ada seseorang yang ada dalam sistem tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan korupsi dan yang bersangkutan harus menyandang predikat sebagai whistle blower.Namun menjalankan peran sebagai whistle blower bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah mekanisme pemberian protection and achievemen tterhadap whistle blower. Stagnannya upaya pemberantasan korupsi dewasa ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunyakurangnya peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.Harus ada sebuah upaya yang dilakukan agar masyarakat bersedia berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Salah satu awalan yang baik adalah dengan memberikan protection and achievement terhadap whistle blower.Dengan adanya jaminan pemberian protection and achievementtersebut maka peningkatan peran serta masyarakat, khususnya individu yang terlibat dalam tindak pidana korupsi tersebut, dalam upaya pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan. Whistle blower merupakan sebuah harapan besar dalam mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Namun peran whistle blower tersebut tidak ditunjang dengan adanya peraturan perundangundangan yang menjamin perlindungan terhadap whistle blower. Meskipun telah ada UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai regulasi yang menjadi instrumen perlindungan, tetapi undangundang tersebut tidak dapat mengakomodirpemberian protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh karena itu,diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih spesifik dan khusus terkait whistle blower karena hal tersebut belum diatur secara tegas dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Page | 2

I. PENDAHULUAN Permasalahan korupsi sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini.Seakan keberadaan Indonesia diidentikkan dengan adanya korupsi itu sendiri.Saat ini permasalahan korupsi sudah mencapai titik kulminasi yang sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan sebuah upaya serius untuk memberantasnya.Dalam kenyataannya korupsi merupakan extraordinary crime, sehingga diperlukan extraordinary treatment untuk memberantasnya. Keberadaan whistle blower merupakan instrumenpenting yang dapat memutus mata rantai dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum yang terbentuk dalam sebuah lingkaran setan yang terorganisir, sehingga menjadi sesuatu yang wajar jika whistleblower mendapatkan protection and achievement.Yang dimaksud dengan bentuk penghargaan. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengakomodir protection and achievement terhadap whistleblower. Selain itu peraturan perundang-undangan a quo berlaku untuk saksi, sedangkan saksi dan whistleblower merupakan hal yang berbeda. Saksi merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.[1]Sedangkan whistleblower merupakan seorang yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan dibawah sumpah yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya.[2] Keberadaan whistleblower menjadi sebuah hal yang nyata di Indonesia. Sebagai contoh dalam kasus penahanan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri KomjenPol.SusnoDuadji yang selanjutnya Susno Page | 3 protection and achievementbagi whistleblower dapat berupa perlindungan fisik maupun perlindungan dalam

menjadi whistle blower antara lain dalam kasus GayusTambunan dan PT Salmah Arwana Lestari sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes Polri.Oleh karena itu protection and achievement menjadi hal yang mutlak untuk diatur demi menstimulasi munculnya whistle blower yang akan membantu pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi. Torehan sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih pemikiran guna solusi atas maraknya kasus korupsi di Indonesia dengan menerapkan sebuah sistem baru yang bernama restorative justice bagi whistle blower. Selain itu, tentunya dengan diberlakukannya restorative justice ini juga diharapkan agar terbangunnya pola pikir pemerintah bahwa diperlukan suatu mekanisme atau cara-cara baru untuk memberantas korupsi di Indonesia yang akan lebih banyak memberikan manfaat bagi bangsa ini. II. KERANGKA PEMIKIRAN a. Restorative Justice Tony F.Marshall menyebutkan pihak bahwa yang dimaksud dalam dengan suatu restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu proses yang mempertemukan seluruh yang berkepentingan pelanggaran hukum untuk menyelesaikan secara bersama-sama akibat pelanggaran hukum itu dan akibatnya.[3] Dalam pengertian lain, restorative justice merupakan sebuah teori yang menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Pemulihan kerugian ini dicapai dengan adanya proses kooperatif yang mencakup semua pihak yang berkepentingan.[4] Dalam hal ini PBB mendorong pelaksanaan restorative justiceterkait penuntasan masalah-masalah pidana dengan UN Declaration on The Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, yang, antara lain berisi:[5]

Page | 4

a. Restorative Justiceadalah pelaksanaan program yang menggunakan proses restorative justiceatau dengan maksud untuk mencapai restorative justice. b. Restorative Justice Outcome adalah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil proses restorative justice, seperti restitution (restitusi), community service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan masyarakat serta mengembalikan pelaku. c. Proses Restorative Justiceadalah proses bertemunya korban, pelaku dan masyarakat secara aktif dalam penyelesaian akibat perbuatan kejahatan tersebut dengan campur tangan pihak ketiga, seperti restorative mediation, conferencing dan circle. d. Pihak terkait (parties) adalah korban, pelaku dan individu dalam masyarakat yang dilibatkan dalam proses restorative justice. e. Fasilitator, adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi keikutsertaan pihak terkait. Prinsip keadilan restoratif diantaranya adalah (a) Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; dan (b) Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.[6] b. Whistle Blower Secara historis, istilah whistle blower sering digunakan untuk seseorang yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan anggaran yang terjadi di mana ia bekerja.[7] Dalam usulan definisi whistleblower, whistle blower didefinisikan sebagai seorang yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, buktibukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap Page | 5

suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya.[8] Whistle blower juga biasa diartikan peniup peluit dan pengungkap fakta.[9] Dalam pengertian lain whistle blower adalah seorang informan (bisa dari dalam atau luar institusi/perusahaan) yang mengungkapkan kesalahan kebijakan atau pelanggaran hukum yang terjadi pada suatu institusi/perusahaan dengan harapan untuk menghentikan kesalahan tersebut agar tidak berulang.[10] Berdasarkan penelitian di Amerika, yang dilakukan Glazer dan Glazer terhadap 55 whistle blower untuk mengungkapkan motif mereka, mayoritas whistle blower mengungkapkan bahwa mereka memutuskan untuk meniup peluit berdasar keyakinan individual. Mereka berasumsi, suatu sistem yang korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan sistem itu juga korup. Secara umum bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para whistle blower bersumber pada tiga hal: nilai- nilai keagamaan (religious values), etika profesional (professional ethics), dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat (social responsibility).[11] Ada dua tipe whistle blower, yaitu internal whistle blower dan external whistle blower. Internal whistle blower yaitu seorang pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan tersebut. Sedangkan tipe e xternal whistle blower adalah pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak di luar institusi, organisasi atau perusahaan tersebut.[12] c. Tindak Pidana Korupsi Het rechthinkachter de feitenaan, sebuah ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berarti hukum itu selalu ketinggalan dari jamannya. Makna dari ungkapan tersebut secara implisit juga disebutkan dalam substansi Pasal 103 Page | 6

KUHP dan Pasal 284 KUHAP yang pada pokoknya memberi peluang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi. Maksudnya adalah dalam mengantisipasi perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-undang. Demikian juga dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkapkan suatu kejahatan.[13] Kesempatan yang diberikan oleh Pasal 103 KUHP dan Pasal 284 KUHAP, merupakan dasar hukum munculnya suatu Undang-Undang baru di luar KUHP terhadap pelanggaran atau kejahatan yang sebelumnya belum pernah diatur dalam KUHP tersebut. Salah satu contohnya adalah tindak pidana korupsi. Karena tindak pidana korupsi bersumber dari peraturan perundang-undangan di luar KUHP, maka tindak pidana korupsi masuk ke dalam tindak pidana khusus.[14] Selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida, dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Dikatakan extraordinary atau luar biasa karena hal-hal sebagai berikut:[15] 1. 2. 3. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Korupsi merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional. Page | 7

4.

Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis. Sesuai dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, penulis

berpendapat korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya. Berdasarkan Pasal 3 UUNomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan keuangan negara.[16] Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[17] Faktor penyebab atau variabel pendukung adanya korupsi seperti dinyatakan dalam Teori Korupsi yang dikemukakan oleh Klitgaard antara lain adalah sebagai berikut:[18] C=M+DA C = Korupsi M= Monopoly of Power D= Discretion of official A= Accountability Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan ( monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat Page | 8

pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi.Perubahan pola pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah.Hal ini selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasaan. III. GAGASAN a. Restorative Justice, Whistle-blower dan Upaya Pemberantasan Korupsi Berdasarkan teori korupsi yang telah dikutip dalam kerangka teori tersebut di atas, yang disampaikan oleh Klitgaard bahwa dengan adanya monopoli kekuatan oleh pimpinan ( monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang ( discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas ( minus accountability), maka akan terjadi korupsi dan hal itulah yang banyak terjadi di Indonesia sekarang. Korupsi selayaknya lingkaran setan yang saling menghubungkan satu pejabat dengan pejabat lain, korupsi merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga perlu ada seorang yang ada dalam sistem atau lingkaran setan tersebut yang memutus rantai korupsi yaitu dengan membongkar tindakan korupsi tersebut dan mau tidak mau harus menyandang predikat sebagai whistle blower.[19] Namun menjalankan peran sebagai whistle blower bukanlah hal yang mudah sehingga harus ada sebuah protection and achievement yang diberikan kepada whistle blower. Dengan adanya protection and achievement, whistle blower diharapkan tidak ragu dan takut untuk membantu mengungkap semua fakta tindak pidana korupsi yang terjadi. Peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat diberlakukan Page | 9

pada whistle blower karena UU Nomor 13 Tahun 2006 berlaku terhadap saksi sedangkan whistle blower bukan saksi. Menurut usulan pengertian whistle blower yang diajukan oleh Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Unit Kegiatan Presiden Republik Indonesia, seperti yang telah dikutip dalam penulisan ini, whistle blower adalah seorang yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya, sedangkan saksi dalam pengertian menurut UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 point (1) saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri, sehingga apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak berlaku terhadap whistle blower. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 ayat (2) juga menyatakan bahwa Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidanayang akan dijatuhkan.[20] Namun hal ini pun tidak cukup menjamin adanya protection and achievement terhadap whistle blower. Protection and achievement tersebut dapat direalisasikan dengan penerapan restorative justice terhadap whistle blower. Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan di awal penulisan ini, konteks restorative justice yang berlaku di Indonesia saat ini, adalah proses yang mempertemukan seluruh pihak yang berkepentingan dalam suatu pelanggaran hukum untuk Page | 10

menyelesaikan secara bersama-sama akibat pelanggaran hukum itu dan akibatnya. Restorative Justicediberlakukan untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan anak namun ada beberapa prinsip yang dapat diterapkan terhadap whistle blower dalam upaya pemberantasan korupsi. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a. b. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif. Penerapan dua prinsip di atas terhadap whistle blower dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dengan memberikan kesempatan pada whistle blower untuk memberikan informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya, sehingga dengan demikian whistle blower dapat memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan kapasitas/kualitasnya dalam hal berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain hal tersebut di atas menurut restorative justice outcome, atau biasa disebut kesepakatan yang dicapai sebagai hasil proses restorative justice yang dinyatakan dalam UN Declaration on The Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters, hasil proses restorative justice tersebut adalah berupa restitusi ( restitution), community service, dan program yang bertujuan untuk memperbaiki korban dan masyarakat serta mengembalikan pelaku juga dapat diterapkan terhadap whistle blower.

Page | 11

Dalam

hal

restitusi

(restitution)

adalah

dengan

memberikan

achievement jika informasi/keterangan yang diberikan oleh whistle blower terbukti, sedangkan terkait community service dalam upaya pemberantasan korupsi whistle blower mempunyai tanggung jawab untuk membantu upaya pemberantasan korupsi. Restorative justice yang dimaksud dalam upaya pemberantasan korupsi adalah proses dimana whistle blower memberikan informasi/keterangan untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi sebagai bentuk pemberian kesempatan pada whistle blower untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya dan membuktikan kapasitas/kualitasnya untuk membongkar suatu tindak pidana korupsi yang belum terungkap. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dengan adanya pemberlakuan restorative justice terhadap whistle blower dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan semakin banyak tindak pidana korupsi yang akan terungkap dan terselesaikan sehingga upaya pemberantasan korupsi semakin progresif. b. Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hadir sebagai instrumen perlindungan Saksi dan Korban, namun undangundang tersebut tidak dapat mengakomodir perlindungan terhadap whistle blower. Kekurangan dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 adalah definisi saksi kurang memadai sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower.Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 13 Tahun 2006, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.[21] Berdasarkan pengertian ini maka UU secara tegas Page | 12

menyatakan bahwa aturan dalam undang-undang ini hanya berlaku bagi saksi dalam lingkup perkara pidana. Selain itu tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap kedudukan saksi yang jugatersangka, yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga hal tersebut menimbulkan multi tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir inkonstitusional dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta bertentangan dengan HAM dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.[22] Berdasarkan hal tersebut maka kedudukan whistle blower tidak diakui secara tegas dalam undang-undang a quo. Selanjutnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi maupun dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juga tidak dijamin tentang perlindungan (protection) dan penghargaan (achievement) terhadap whistle blower sehingga terkait perlindungan terhadap whistle blower belum dijamin kepastian hukumnya dalam peraturan perundang-undangan manapun. c. Implementasi Konsep Restorative Justicedan Whistle Blower Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Berdasarkan beberapa pokok bahasan sebelumnya telah menjadi sebuah fakta jika peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengakomodir perlindungan (protection) dan penghargaan (achievement) terhadap whistle blower. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak memberikan kepastian hukum terhadap kedudukan dan protection and achievement terhadap whistle blower. Oleh karena hal tersebut protection and achievement perlu dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan. Berangkat dari korupsi masuk dalam tindak pidana khusus dan berdasarkan Pasal 103 dan Pasal 284 KUHAP dimungkinkan adanya Page | 13

peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut. Peraturan perundang-undangan di luar KUHP tersebut adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi masuk dalam klasifikasi extraordinary crime dibutuhkan extraordinary treatment dalam upaya pemberantasan korupsi sehingga berdasarkan hal tersebut dimungkinkan adanya sebuah peraturan yang mengatur kekhususan-kekhususan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu memasukkan restorative justice dalam peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang korupsi, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Bentuk protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle blower untuk dimasukkan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, antara lain: [23] a. b. Perlindungan Fisik (protection) Perlindungan dalam bentuk penghargaan (achievement) kepada whistle blower. Perlindungan dalam bentuk (achievement) secara umum dapat terbagi menjadi dua kategori, yang pertama yaitu yang menghapuskan kewenangan penuntutan dan yang tidak menghapuskan kewenangan penuntutan. 1. Penghapusan Penuntutan Apabila mengacu pada UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi khususnya Pasal 10 ayat (2) memang terkesan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Namun, apabila mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan secara filosofis penghapusan penuntutan masih Page | 14

dapat

dilakukan,

yaitu

dengan

menggunakan asas oportunitas pengaturan

kewenangan ini dapat

Pengesampingan Perkara atau yang lebih dikenal dengan seponeering. [24]Kewenangan dimanfaatkan seponeeringatau dijadikan untuk dasar penghapusan

penuntutan terhadap whistle blower yang berjasa dalam membongkar suatu kejahatan khususnya kejahatan yang terorganisir. Terlebih dengan telah diratifikasinya UNTOC melalui UU Nomor 5 Tahun 2009 dimana di Pasal 26 ayat (3) memang dianjurkan agar setiap negara anggota UNTOC memungkinkan agar pengampunan terhadap whistle blower dapat diberikan. 2. Tanpa Penghapusan Penuntutan Pemberian sanksi yang lebih ringan tersebut tidak harus dalam bentuk pengurangan hukuman atau ancaman hukuman, namun dapat juga dalam bentuk-bentuk lainnya yang pada pokoknya masih bersifat penghukuman seperti penjatuhan hukuman percobaan maupun penjatuhan bentuk hukuman yang lebih ringan. a. Penjatuhan hukuman percobaan Hukuman percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14huruf a sampai dengan 14huruf f KUHP dapat juga dijadikan pilihan dalam memberikan achievement kepada whistle blower. Dengan hukuman percobaan ini maka whistle blower yang juga pelaku tindak pidana dapat tidak menjalani hukuman kecuali jika dalam masa percobaan yang ditetapkan hakim whistle blower tersebut melakukan suatu tindak pidana. Untuk itu maka apabila pemberian hukuman percobaan ini ingin diterapkan sebagai bentuk achievement kepada whistle blower maka diperlukan pengaturan khusus mengenai hal ini

Page | 15

dalam revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. b. Perubahan/pengalihan bentuk hukuman Yang dimaksud dengan pengalihan jenis hukuman di sini yaitu pengalihan dari bentuk hukuman ke bentuk hukuman lainnya yang lebih ringan.Misalnya perubahan dari bentuk hukuman penjara menjadi kurungan atau denda. c. Pengurangan hukuman Selain penghapusan penuntutan achievement yang dapat diberikan pada whistle bloweryaitu pengurangan hukuman yang akan dijatuhkan. Dasar hukum yang dapat digunakan sebagai dasar dari pemberian protection and achievement yang dapat diberikan pada whistle blower antara lain adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang samadi hadapan hukum.[25] b. UNCAC Pasal 32 Perlindungan para Saksi, Ahli dan Korban Setiap Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang tepat sesuai dengan sistem hukum nasionalnya yang dan efektif dalam dari kewenangannyauntuk memberikan perlindungan

kemungkinan pembalasan atau intimidasi bagi para saksi dan ahli yang memberikan kesaksian mengenai kejahatan-kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan konvensi ini dan, sebagaimana layaknya, bagi keluarga mereka dan orang-orang lain yang dekat dengan mereka.[26] Page | 16

c.

United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC) Resolusi PBB No. 55/25 15 Nopember 2000 melalui UU No. 5 Tahun 2009 Dalam Pasal 26 khususnya ayat 2 dan 3 disebutkan bahwa setiap negara anggota UNTOC harus mempertimbangkan untuk dapat memberikan kemungkinan pengurangan hukuman hingga impunitas kepada pelaku yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar suatu kejahatan yang terorganisir.[27]

d. Undang-undang No.13 Tahun 2006 Pasal 10 Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan nya.[28] Dalam hal mekanisme pemberian perlindungan (protection) dapat dilaksanakan oleh lembaga perlindungan khusus whistle blower dalam kasus tindak pidana korupsi yang dapat dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pemberian protection and achievement dapat sekaligus dilaksanakan oleh KPK yaitu dalam hal KPK dapat memberikan perlindungan secara fisik maupun perlindungan dalam bentuk penghargaan.Terkait yang achievement yang berupa hukuman penghapusan percobaan, penuntutan dapat dilaksanakan oleh KPK dan Kejaksaan. Sedangkan achievement berupa penjatuhan perubahan/pengalihan bentuk hukuman, dan pengurangan hukuman dapat diberikan oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada saat penjatuhan putusan. Namun dalam hal pemberian achievement harus menunggu bahwa informasi/keterangan whistle blower terkait tindak pidana korupsi yang diungkap oleh whistle blower terbukti di pengadilan.

Page | 17

IV. PENUTUP a. Kesimpulan Berdasarkan keterangan, uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tindak pidana korupsi adalah extraordinary crime yang membutuhkan extraordinary treatment. Korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan melibatkan para penguasa serta kalangan elit politik. Korupsi telah menjadi sebuah sistem yang sulit untuk ditembus dari luar. Sehingga perlu kehadiran whistle bloweryang ada dalam sistem tersebutuntuk mempermudah upaya pemberantasan korupsi. 2. Bahwa whistle blower mempunyai peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun perlu ada sebuah jaminan kepastian hukum terkait kedudukannya sebagai whistle blower selayaknya kepastian hukum yang diberikan kepada saksi dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga dengan adanya kepastian kedudukan hukum yang diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan dapat menjadi dasar pemberlakuan restorative justice dan pemberian protection and achievement terhadap whistle blower. 3. Pemberian protection and achievement terhadap whistle blower merupakan upaya untuk meningkatkan progresivitas pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga semakin banyak tindak pidana korupsi yang terungkap. Selain itu diharapkan partisipasi berbagai pihak semakin meningkat dalam hal upaya pemberantasan korupsi, khususnya pihak-pihak yang terlibat atau menjadi bagian dari suatu sistem yang korup, dalam hal ini whistle blower.

Page | 18

b. Rekomendasi 1. Perlu diberikan kepastian kedudukan bagi whistle blower terkait kedudukannya selayaknya kepastian hukum yang diberikan kepada saksi dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kepastian hukum terkait kedudukan whistle blower ini adalah sebuah pengakuan yang dapat diberikan dengan merevisi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam hal memasukkan restorative justice serta pemberian protection and achievement terhadap whistle blower. Dimana peraturan perundangundangan tersebut memberikan pengakuan tentang keberadaan whistle blowerserta memberikan perlindungan (protection) dan penghargaan (achievement) terhadap whistle blower karena dua hal tersebut tidak terakomodir dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Perlu memperluas fungsi LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar memungkinkan untuk memberikan perlindungan kepada whistle blower atau dengan membentuk lembaga perlindungan khusus untuk whistle blower terkait whistle blower rawan terhadap intimidasi, ancaman, serta risiko lain yang lebih berbahaya dibandingkan dengan saksi karena whistle blower lebih mengetahui semua sistem dalam tindak pidana korupsi. Selain itu juga rekomendasi untuk memberikan kewenangan kepada KPK, Kejaksaan, serta Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk dapat melaksanakan pemberian penghargaan (achievement).

Page | 19

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Chazawi, Adami, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi , Alumni, Bandung. Dempster, Quentin, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta , Impresum, Jakarta. Krisnawati, Dani, et.al., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus , Pena Pundi Aksara, Jakarta. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. B. MAKALAH Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Focus Group Discussion Divisi Kajian dan Riset, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011. C. ARTIKEL INTERNET Masguh, Teori-Teori Korupsi, http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html , diakses 11 Pebruari 2013. Portal UII, Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan Perlindungan Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensiwhistle-blower.html, diakses 11 Pebruari 2013

Page | 20

Sinaga, Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf , diakses 11 Pebruari 2012 D. PERATURAN PERUNDANGAN/DOKUMEN LAIN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC). United Nations Convention against Corruption (UNCAC).

Page | 21

END NOTES [1] [2] Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Focus Group Perlindungan Saksi dan Korban. Discussion Divisi Kajian dan Riset, Makalah, Divisi Kajian dan Riset Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, UKP4, Jakarta, 2011. [3] ZahruArqom, 2011, Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Delikuen Anak dalam Perkara Anak Nakal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di Kota Yogyakarta dan Pengembangan Konsep Keadilan Restoratif dengan Cara Diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Pidana Anak di Indonesia , Tesis, Magister Litigasi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 39. [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Badan Zahru Arqom, Op.cit., hlm. 39-40. Unicef, 2010, Analisis Situasi Sistem Pidana Anak di Indonesia , Achmad ZainalArifin, Fenomena Whistleblower dan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 125.

Unicef Indonesia, Jakarta, hlm. 7. Pemberantasan Korupsi, Kompas, 6 Februari 2008. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Focus Group Quentin Dempster, 2006, Whistle Blower Para Pengungkap Fakta , Portal UII, Talk Show tentang Eksistensi Whistle Blower dan Hukumnya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Discussion Divisi Kajian dan Riset, Loc.cit. Impresum, Jakarta, hlm.1. Perlindungan

Page | 22

http://seminar.uii.ac.id/news/politik-dan-hukum/talk-show-tentang-eksistensiwhistle-blower.html, diakses 2 Maret 2011. [11] Sinaga, Konsep Perlindungan Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistle blower) menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16655/3/Chapter%20II.pdf, diakses 2 Maret 2011. [12] [13] AchmadZainalArifin, Loc.cit. DaniKrisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus PriyoGunarto,

SigidRiyanto, Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, hlm. 1-3. [14] [15] AdamiChazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Jenti Okatavia S., 2009, Kewenangan Mengeluarkan Surat Korupsi, Alumni, Bandung, hlm. 1 Penghentian Penyidikan (Sp3) oleh Penyidik pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan terhadap Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) , Skripsi, Fakultas Hukum UI, Depok, hlm. 18-19. [16] Korupsi. [17] Korupsi. [18] Masguh, Teori-Teori Korupsi, http://kuliahhurahura.blogspot.com/2010/03/teori-teori-korupsi.html , diakses 2 Maret 2011. [19] Ramelan, Penerapan Hukum dan Studi Kasus Korupsi,Makalah, disampaikan Penyuluhan Hukum di lingkungan PT. PLN(Persero), Distribusi Unit Bisnis Sulawesi Selatan, Makassar, 27 Juni 2002. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Page | 23

[20] [21] [22] Korban. [23] [24]

Pasal 10 ayat (2)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Eddy O.S.Hiariej, Legal Opinion Pengujian Pasal 10 ayat (2)

Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Focus Group Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Discussion Divisi Kajian dan Riset, Loc.cit. Kejaksaan Republik Indonesia. [25] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [26] United Nations Convention against Corruption (UNCAC). [27] [28] United Nation Transnational Organized Crimes (UNTOC). Pasal 10Undang-Undang Nomor 13 Tahun2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

Page | 24

You might also like