You are on page 1of 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.M DENGAN SUBDURAL HEMATOM DI RUANG GERIATRI RSUP DR.

KARIADI SEMARANG

Disusun Oleh : Dinny Atin Amanah Maharany Asmara D. G2B 007 017 G2B 007 042

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPOEGORO

2010
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka tembak pada kepala merupakan penyebab kematian nomor 2 pada usia dibawah 35 tahun. Hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan/pembengkakan hebat (hematom) pada intrakranial. Hematoma (pengumpalan darah) yang terjadi dalam tubuh kranial dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, antara lain hematoma epidural (hematoma ekstradural), hematoma subdural, dan hematoma intraserebral dan. Hematom subdural atau perdarahan subdural adalah salah satu bentuk cedera kepala dimana darah berkumpul antara duramater (lapisan pelindung terluar dari otak) dan arachnoid (lapisan tengah menings), ruang subdural. Hematom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut, subakut, dan kronik. Waktu antara timbulnya gejala bervariasi antara kurang dari 48 jam sampai beberapa minggu atau lebih. Hematom subdural akut bila gejala pada hari pertama sampai dengan hari ke tiga, subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga.

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002). Di negara-negara barat dan negara yang sedang berkembang kematian klien dengan cedera kepala, 5%-25%nya mengalami hematoma subdural. Kejadian dari subdural hematom kronik yang dilaporkan adalah 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk pertahun, sekarang ini angka tersebut cenderung meningkat, dikarenakan tehnik pemeriksaan yang lebih baik. B. 1. TUJUAN Tujuan Umum Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan subdural hematom. 2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan pengertian subdural hematom b. Menjelaskan patofisiologi subdural hematom c. Mengenali tanda dan gejala klien dengan subdural hematom d. Menjelaskan penatalaksanaan pada klien dengan subdural hematom e. Melakukan pengkajian pada klien dengan subdural hematom f. Menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan subdural hematom. Mahasiswa mampu:

C. 1.

MANFAAT Bagi Mahasiswa Dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru tentang cedera kepala, terutama cedera kepala yang mengakibatkan perdarahan subdural (subdural hematom) 2. Dapat melakukan dan menyusun asuhan keperawatan pada klien Bagi Rumah Sakit Dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dan jaminan keselamatan pasien karena angka kematian perdarahan subdural yang relatif tinggi dengan dibuktikan dengan penyusunan asuhan keperawatan yang baik dan tindakan yang tepat. 3. Bagi Masyarakat Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang cedera kepala, Kepada pengendara motor atau mobil yang rentan mengalami yang meliputi penyebab, tanda dan gejala, dan penanganannya. kecelakaan lalu lintas untuk dapat berhati-hati, waspada dan lebih meningkatkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan dengan subdural hematom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. (1) Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi antara membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak. Hematoma subdural disebabkan karena robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Hematoma subdural dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah (2). Jadi menurut kelompok subdural hematom adalah perdarahan diantara lapisan durameter dan lapisan araknoid yang diakibatkan oleh trauma dimana terjadi robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena B. ETIOLOGI Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: (3) 1. Trauma kapitis 2. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

3. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak. 4. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura. 5. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. 6. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati C. PATOFISIOLOGI Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi serebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. (3) Perdarahan subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 1. Perdarahan Akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda-tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. 2. Perdarahan Subakut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3. Perdarahan Kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu bermingguminggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati-hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan-lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma

subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.(4) D. GEJALA KLINIS 1. Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 2. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 3. Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang

mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:(3) a. sakit kepala yang menetap b. rasa mengantuk yang hilang-timbul c. linglung d. perubahan ingatan e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. E. PENATALAKSANAAN Konservatif: 1. 2. 3. Bedrest total Pemberian obat-obatan Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan: (2) 1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak 2. Mencegah komplikasi 3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal 4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga 5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

10

Tujuan: 1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap 2. Komplikasi tidak terjadi 3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain 4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan 5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi. F. PEMERIKSAAN PENUNJANG(3) 1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. 2. 3. 4. patologis. 5. 6. 7. 8. 9. 10. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang kontras radioaktif. seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

perdarahan subarachnoid. pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

11

11.

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran.

G.

PROSES KEPERAWATAN PENGKAJIAN 1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab. 2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. 3. Pemeriksaan fisik a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik) b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK c. Sistem saraf : Kesadaran GCS. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,

otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial. kejang. Skala Koma Glasgow No 1 RESPON Membuka Mata : -Spontan -Terhadap rangsangan suara -Terhadap nyeri -Tidak ada NILAI gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat

4 3 2 1

12

Verbal : -Orientasi baik -Orientasi terganggu -Kata-kata tidak jelas -Suara tidak jelas 5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 3-15

-Tidak ada respon Motorik : - Mampu bergerak -Melokalisasi nyeri -Fleksi menarik -Fleksi abnormal -Ekstensi -Tidak ada respon

Total d. Sistem pencernaan

Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,

kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar tanyakan pola makan? Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot. f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. g. Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

13

DIAGNOSA Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah: 1. otak. 2. sputum. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. kepala. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. napas di otak. Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator. Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal. Rencana tindakan : a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di

(soporos - coma). tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

menurunnya kesadaran.

meningkatnya tekanan intrakranial.

14

lambat meningkatkan tekanan Pa CO 2 respiratorik. b. c.

dan menyebabkan asidosis

Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya

dalam pemberian tidal volume. 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas. d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi. e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat. f. 2. penumpukan Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada. Rencana tindakan : a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube. b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum. c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan sputum. membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

15

d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum. 3. Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial. Rencana tindakan : a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran. Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata. b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan. c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial. d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial. e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania. f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.

16

Dapat menurunkan hipoksia otak. g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak 4. (soporos - coma) Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat. Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat. Rencana Tindakan : a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun. b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan. c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu. d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran

17

Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan. e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan. Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan. 5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer. Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi Rencana tindakan : a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit. b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan. c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol. d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit. f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali. g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang. h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam. i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2 6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi: a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin. b. c. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri. Kurangi rangsangan.

18

d. e. f. 7. pasien.

Pemberian obat analgetik sesuai dengan program. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada

Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang Kriteri evaluasi : Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat. Rencana tindakan : a. Bina hubungan saling percaya. Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga. b. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan. c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan. d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga. e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis. 8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu. Intervensi: a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan. b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.

19

c. d. e. 9. muntah.

Perawatan kateter bila terpasang. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan

untuk memudahkan BAB. sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a. b. c. 10. Kaji intake dan out put. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan Berikan cairan intra vena sesuai program. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau

ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.

meningkatnya tekanan intrakranial. Tujuan: Anak terbebas dari injuri. Intervensi: a. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang. b. c. protokol. d. e. 11. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan. Berikan analgetik sesuai program. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan

Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.

20

Intervensi: a. Kaji adanya drainage pada area luka. b. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh. c. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati. d. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

Fraktur depresi tulang tengkorak Arteri meningeal tengah robek

Vena robek

Perdarahan dlm substansi otak

Perdarahan

Perdarahan Hematoma intrakranial

Hematoma epidural

Hematoma subdural

H.

PATHWAYS

Hematoma meluas

Trauma TIK
Perpindahan jaringan otak & herniasi

Cedera kepala

Aliran darah otak menurun Ggn perfusi jaringan Fraktur

intertulang

Suplai O2 &pd otak menurun memar area otak Hipoksia Kesadaran menurun Metabolisme anaerob As. Laktat & retensi CO2 Asidosis respiratorik

Kerusakan jar. otak

Hilang control volunteer otot pernapasan

Reflex menelan/batuk menurun Perubahan frekuensi, irama, & kedalaman pernapasan Pola nafas tidak efektif Bersihan jl nafas tdk efektif Akumulasi sekret

Hiperkapnea Hiperventilasi Pola nafas tdk efektif

21

22

You might also like