You are on page 1of 5

Restless Leg Syndrome (Sindroma Kaki Gelisah)

Nama lain: Anxietas tibiarum Leg jitters Asthenia crurum paraesthetica Focal akathisia of the legs Ekbom syndrome

Definisi RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya dorongan yang sangat untuk menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan parestesia, yang terjadi pada sebagian atau seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat istirahat atau pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur.

Epidemiologi Terjadi pada 1-10 dari populasi Lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki Banyak terjadi pada ibu hamil, dan pasien dengan gagal ginjal akut

Etiologi Defisiensi besi (anemia defisiensi besi) Gagal ginjal

DD Gangguan dari sistem saraf perifer seperti neuropati perifer Sindroma yang disebabkan karena iritasi dari nerve root atau kompresi dari nervus perifer. Gangguan dari sistem vaskuler seperti arterial peripheral disease. Antipsychotic-induced akathisia, anxietas disorders, attention deficit hyperactivity disorder. Anti-depressants and antipsychotic induced RLS.

Manifestasi klinis

Keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki karena adanya sensasi yang tidak nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan dan biasanya terjadi pasa saat istirahat atau malam hari. Kebanyakan orang dengan RLS dapat menjelaskan gejala-gejala ini dengan sangat terperinci. Keluhan tipikal yang umum dan dan membuat pasien dengan RLS datang mecari pengobaan adalah adanya gangguan tidur Keluhan dapat membaik jika diberikan terapi dengan levodopa. Meningkatnya sensitifitas terhadap rasa nyeri

Laboratorium Serum ferritin, elektrolit, fungsi renal

Pemeriksaan Penunjang Nerve conduction velocities dan electromyogram Dilakukan jika terdapat manifestasi klinis yang tidak khas dan menyerupai neuropati perifer Polysomnography Biasanya dilakukan pada pasien pada pasien yang memiliki gangguan tidur lainnya seperti Sleep Breathing Related Disorder (SBRD) atau jika ingin mengukur derajat gangguan tidur yang terjadi pada pasien.

Diagnosis Kriteria Diagnostik RLS (2003) A. Kriteria Diagnostik Esensial RLS (dewasa) o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan kaki, bisanya diikuti atau disebabkan oleh sensasi yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan pada kaki. o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak menyenangkan yang dimulai atau menjadi lebih parah pada waktu istirahat atau tidak beraktivitas seperti berbaring atau duduk. o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak menyenangkan yang terjadi sebagian atau seluruhnya yang dapat membaik dengan pergerakakan, seperti berjalan atau melakukan perenggangan tubuh, sekurang-kurangnya selama aktivitas dilakukan. o Keinginan yang sangat untuk menggerakkan atau sensasi yang tidak menyenangkan yang memburuk pada waktu malam hari daripada waktu siang hari atau hanya terjadi pada waktu malam hari. B. Manifestasi Klinis yang berhubungan dengan RLS o Riwayat Keluarga

Prevalensi dari RLS diantara keluarga tingkat pertama dari orang yang memiliki RLS adalah 3-5 kali lebih bedsar daripada orang tanpa RLS o Berespon dengan terapi dopaminergik Hampir semua irang dengan RLS memperlihatkan sekurang-kurang respon positif pada terapi awal dengan menggunakan L-dopa atau dopamine-receptor agonist yang dosisnya jauh lebih rendah daripada dosis biasa yang digunakan pada pasien dengan parkinson. o Periodic limb movement (PLM) Periodic Limb Movement in Sleep (PLMS) terjadi [ada 85% orang dengan RLS. Akan tetapi, PLMS juga umumnya terjadi pada kelainan lainnya dan pada orang-orang tua. PLMS lebih tidak umum terjadi dikalangan anak-anak daripada orang dewasa. C. Karateristik Lain yang berhubungan dengan RLS o Perjalanan Penyakit Perjalanan penyakitnya bervariasi. Akan tetapi, ada pola tertentu yang dapat diidentifikasi yang dapat membantu untuk mendiagnosis. Ketika onset terjadi pada usia kurang dari 50 tahun, gejala awalnya sering tersembunyi. Ketika onset pada usia lebih dari 50 tahun, maka gejala awalnya muncul secara mendadak dan lebih parah. Pada beberapa pasien, RLS dapat terjadi secara intermiten dan dapat menghilang sendiri selama bertahun-tahun. o Gangguan tidur Gangguan tidur merupakan alasan utama pasien datang mencari pengobatan. Oleh karena itu, ini harus dipertimbangan pada rencana terapi yang akan dilakukan. o Terapi medis dan pemeriksaan fisik Umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan umum dan tidak berhubungan dengan diagnosis kecuali kondisi-kondisi komorbid atau secara sekunder menyebabkan RLS. Kadar besi harus diperiksa karena menurunnya cadangan besi merupakan faktor risiko potensial yang signifikan yang dapat diobati. Adanya neuropati perifer dan radikulopati seharusnya juga dipertimbangkan karena kondisi-kondisi ini mungkin dapat berhubungan dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.

Untuk mendiagnosis RLS pada anak, harus ada 4 kriteria esensial dari orang dewasa yang dipenuhi yang didapatkan secara autoanamnesis atau setidaknya terdapat 2 kriteria berikut ini: Gangguan tidur Saudara atau orang tua yang secara biologis memiliki RLS Terdapat lebih dari 5 periodik bergeraknya PLM per jam pada waktu tidur Dideteksi oleh polysomnography

Patofisiologi Patogenesis dari RLS sampai saat ini masih belum diketahui. Kebanyakan hipotesa berpusat pada dopamin dan besi. Beberapa bukti lainnaya juga menghubungkan dengan sistem opiod, mekanisme spinal cord, hormon seks steroid, neuropati perifer, atau kelainan vaskular.

Ada bukti yang menyatakan berperanan besi dalam RLS, kebanyakan karena terdapatnya defisit besi pada kasus RLS sekunder (contohnya end stage renal disease, kehamilan, dan defisiensi besi) Defisiensi besi dan dopamin Sebagai tambahan, penelelitian yang menggunakan pengukuran cairan serebrospinal, MRI, dan materi otopsi untuk menentukan status besi pada orang dengan RLS menyimpulkan adanya kekurangan zat besi pada otak orang dengan RLS. Lebih menariknya lagi, besi adalah kofaktor dari tyrosine hydroxylase, yang merupakan enzim yang digunakan untuk sintesis dopamin. Oleh karena itu, besi diperlukan untuk sintesis dopamin dan defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan dari produksi dopamin. Respon positif dari pengobatan dengan mengunakan dopamin dosis rendah dan memburuknya gejala dengan dopamine release blocker menegaskan adanya peran penting dopamin dalam patofisiologi dari RLS. Akan tetapi peran dari dopamin ini juga meragukan karena: Pemeriksaan functional neuroimaging of nigrostriatal dopaminergic dysfunction pada pasien dengan RLS idiopatik menimbulkan hasil yang menimbulkan konflik karena jika dilihat secara keseluruhan, tidak ditemukan adanya defisit dopamin pada pasien dengan RLS. Fakta ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan patologi yang menyatakan bahwa tidak ada sel dopaminergic yang ditemukan hilang.

Respon dari neuroendocrine untuk menghadapi dopaminergic-agent (menginhibisi prolaktin, meningkatkan human growth hormone) atau dopamine-blocking substance menemukan adanya respon normal in the afternoon terhadap dopamine-antagonist. Namun, respon neuroendrocrine orang dengan RLS terhadap pemberian levodopa lebih bermakna jika diberikan pada malam hari dibandingan pada pagi hari. Ini mungkin menyimpulkan adanya hipersensitivitas pada reseptor dopamin pada malam hari, pada saat gejala RLS terjadi paling maksimal. Sistem dari dopamin merupakan cicardian expression dari RLS. Kesimpulannya, respon dari dopaminergic agent mungkin merupakan salah satu karakteristik yang berhubungan dengan RLS. Opiate-system Terlibatnya sistem opiate dalam RLS dikemukan berdasarkan bukti yang adanya efektifitas pada pengobatan dengan opiate pada orang dengan RLS. Pemberian naloxone kepada pasien yang diterapi dengan opiate akan mengakibatkan reaktifitas dari gejala RLS. Akan tetapi efek ini tidak konsisten terdapat pada pasien yang diobati dengan menggunakan dopaminergic-agent. Pemberian naloxone pada pasien yang tidak diterapi dengan opiate juga tidak menunjukkan adanya pemburukan pada gejala RLS. Pasien RLS yan belum diobat juga memperlihatkan adanya respon hormonal yang normal (meningkatnya hGH, cortisol, adrenocorticotropic hormone (ACTH) dengan pemberian naloxone. Definisi pada saat ini tidak mengikutsertakan adanya komponen nyeri pada gejala sensoris dari RLS. Akan tetapi, sensasi nyeri dapat merupakan bagian dari RLS. Dan ada penelitian yang mengemukakan bahwa terdapat 56-85% pasien dengan RLS yang mendeskripsikan simptom yang

mereka alami sebagai rasa nyeri. Pasien dengan RLS juga diduga mengalami peningkatan sensitivitas dari nyeri, sebagai contohnya static mechanical hyperalgesia. Menariknya, rasa nyeri ini berkurang dengan pengobatan levodopa jangka panjang (1 tahun) namun tidak dengan jangka pendek. Akan tetapi, sensitivitas terhadap rasa nyeri juga berhubungan dengan kualitas tidur yang jelek dan depresi, slow wave sleep deprivation. Terdapat suatu penelitian yang juga mengemukakan bahwa pada pemeriksaan dengan diprenorphine PET tidak ditemukan adanya perbedaan ikatan opioid antara orang dengan RLS dan kontrol. Akan tetapi, pada grup orang degnan RLS, opioid receptor binding berkaitan dengan keparanhan dari RLS dan skor rasa nyeri yang dirasakannya. Secara keseluruhan, RLS memberikan respon terhadap agen opiodergic-agent dan ini memengaruhi rasa nyeri yang dirasakannya. Spinal cord involvement Keterlibatan spinal cord pada patofisiologi dari RLS didasarkan dari adanya fakta bahwa gejala sensoris dan motoris terjadi secara bilateral dan terlokalisasi secara segmental pada kebanyakan kasus. Ada kemungkinan bahwa impuls sensorik dari perifer ke korteks sensorik dipengaruhi oleh ketinggian dari spinal cord yang terkena atau keabnormalan input itu yang terjadi ppada tingkat spinal cord yang bersangkutan Ada beberapa laporan kasus yang mnejelaskan adanya onset baru dari RLS yang berhubungan dengan bagian temporal dengan adanya kelainan spinal seperti lumbosacral radiculopathy, borrelia induced myelitis, transverse myelitis, vascular injury of the spinal cord, traumatic lesion or cervical spondylotic myelopathy. Dan menariknya kebanyak memberikan respon yang positif terhadap terapi dopamin. Setelah dilakukan anestesi spinal, 9% dari 161 pasien Terdapat defisit koginif pada orang dengan RLS pada area yang berhubungan dengan attention dan executive functioning. Tatalaksana Opioid dapat memperparah kondisi ada pasien yang memiliki Sleep Related Breathing Disorder (SRBD).

You might also like