You are on page 1of 17

Laporan Tutorial Skenario 1 -Hipersensitivitas Tipe 1(Sebuah Studi Kepustakaan)

Oleh: Kelompok 3: Valentine Wijaya (611.11.002) Ismail Aripin (611.11.004) Tri Fuji Anggoro (611.11.010) Rizka Ramadani (611.11.012) Diikuti Muda Putri (611.11.018) Nur Rahmah Kurnianti (611.11.020) Elfath Rahmahweny (611.11022) Juliana Askim (611.11.025) Winarisyah (611.11.031) Freddy Septiono (611.11.047) Aulia Fitrinani Nasution (611.11.044) Thariq Muslim (611.11.039) Eva Yunita (611.11.067)

Universitas Batam Jl. Kampus Abulyatama no. 05 Batam Center Batam 2012

Daftar Isi

Hipersensitivitas Tipe I

A. Seven Jumps B. Pembahasan 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Definisi Hipersensitivitas Tipe I............................. Etiologi Hipersensitivitas Tipe I............................. Manefestasi Klinis Hipersensitivitas Tipe I............ Patofisiologi Hipersensitivitas Tipe I...................... Pemeriksaan Hipersensitivitas Tipe I................... Penatalaksanaan Hipersensitivitas Tipe I............ Kegawatdaruratan Hipersensitivitas Tipe I........

Daftar

Pustaka................................................................

Skenario 1

Abdullah,anak laki-laki berusia 8 tahun,dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan luka pada lututnya karena jatuh dari sepeda. setelah merawat luka tersebut,dokter memberikan suntikan antibiotik.namun 1 jam kemudian Abdullah merasa daun telinganya menebal,mata bengkak,dan bibir juga tebal dan merasa gatal-gatal di seluruh tubuhnya.di tubuhnya muncul biduran di wajah dan badannya. Abdullah segera dilarikan kembali ke puskesmas karena Abdullah juga mengalami sesak nafas.dari hasil pemeriksaan dokter juga didapatkan edema dan hiperemis pada kedua aurikula,palpebral,dan mukosa labium oris dan pada wajah dan badan. dokter juga menduga ini merupakan suatu reaksi anafilaksis sehingga Abdullah mendapatkan penanganan segera untuk mengatasi kondisi penyakitnya. bagaimana anda menjelaskan kondisi yang dialami oleh Abdullah,penegakan diagnosisnya dan penatalaksanaanya? Menurut anda apa yang terjadi pada Ibu Fatimah?

I.

Kata Sulit (Terminologi) 1. Hiperemis 2. Reaksi Anafilaksis

II.

Kata Kunci a) Abdullah (lk) 8th dibawa ke puskesmas dengan luka pada lututnya. b) setelah lukanya dirawat dan diberikan antibiotik,namun 1 jam kemudian Abdullah merasa daun telinganya menebal,mata bengkak,dan bibir juga tebal dan merasa gatal-gatal di seluruh tubuhnya.di tubuhnya muncul biduran di wajah dan badannya. c) Dia dilarikan kembali ke puskesmas karena mengalami sesak nafas. d) Hasil pemeriksaan dokter juga didapatkan edema dan hiperemis pada kedua aurikula,palpebral,dan mukosa labium oris dan pada wajah dan badan dan diduga merupakan suatu reaksi anafilaksis.

III.

Kunci Permasalahan Abdullah (lk) 8th setelah 1 jam diberikan suntikan antibiotik diduga mengalami reaksi anafilaksis.

IV.

Analisis Masalah 1. Mengapa Abdullah diduga mengalami reaksi anafilaksis setelah 1 jam diberikan suntikan antibiotik ? Jelaskan ! 2. Bagaimana penanganan segera untuk mengatasi kondisi penyakit Abdullah ?

V.

Tujuan Pembelelajaran

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang hipersensitivitas tipe I VI. Sasaran Pembelajaran 1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi hipersensitivitas tipe I. 2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi hipersensitivitas tipe I. 3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang manefestasi hipersensitivitas tipe I. 4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi hipersensitivitas tipe I. 5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang pemeriksaan hipersensitivitas tipe I. 6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaannya hipersensitivitas tipe I 7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang kegawatdarutan dari hipersensitivitas tipe I

VII.

Mind Map

Pembahasan

I. Definisi hipersensitivitas tipe I Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. II. Etiologi hipersensitivitas tipe I Terjadi pada reaksi anafilaktik yang disebkan oleh pembebasan berbagai mediator dari sel mast yang kemudian mempengaruhi otot polos vascular dan jalan nafas. a. Factor genetic Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau keluarga penderita. Kecendrungan alergi ditentukan oleh gen (DNA) b. Imaturasi usus Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltic merupakan pelindung masuknya allergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi alergi. Secara imunologis, IgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propria dapat menangkal alergi ke dalam tubuh. c. Pajanan alergi Pajanan alergi merangsang produk IgE spesifik dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan III. Manifestasi hipersensitivitas tipe I Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Emberian antigen protein atau obat (misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa menit stelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Salian itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit. Reaksi local biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum

dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

IV. Patofisiologi hipersensitivitas tipe I Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis). Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basophil 2. Fase aktivasi Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. Fase efektor Yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologi Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas:

Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit. Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator Primer Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya), C3a). Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.

Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat dan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mucus. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.

V. Pemeriksaan hipersensitivitas tipe I 1. Skin prick test Tes untuk memeriksa alergi terhadap allergen hirup dan makanan, misalnya debu, serpihan kulit binatang, udang,kepiting dan lain-lain. Tes ini dilakukan di kulit dengan menggunakan jarum khusus, jadi tidak menimbulkan luka, berdarah di kulit. Misalnya dapat segera diketahui dalam waktu 30 menit, bila positif alergi terhadap allergen tertentu akan timbul bentol merah dan gatal. 2. Pacth test Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada penyakit dermatitis/eksim. Tipe ini dilakukan di kulit, punggung. Hasil tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia tertentu akan timbul bercak kemerahan dan melintang pada kulit. 3. RAST (Radio Allergo Serbent Test) Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap allergen hirup dan makanan. Tes memerlukan sampel serum darah sebanyak 2cc, lalu serum darah tersebut diproses

dengan mesin komputensasi khusus. Hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini, dapat dilakukan pada usia berapapun tidak dipengaruhi untuk obat-obatan. 4. Skin test (tes kulit) Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang disuntikan. Dilakukan dikulit bawahdengan cara menyuntikkan obat yang akan ditest dilapisan bawah kulit, hasil test baru dapat dibaca setelah 15 menit. Bila positif akan timbul bentol, merah dan gatal. 5. Test provokasi Tes ini digunakan untuk alergi terhadap obat yang diminum, makanan, dapat juga oleh allergen hidup, contohnya debu. Tes provokasi untuk alergi hirup dinamakn tes provokasi bronchial dan makanan yang sudah jarang dipakai karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko tinggi terjadinya serangan asma dan syok tes provokasi bronchial dan tes provokasi makanan sudah deigantikan oleh skin prick tes dan IgE spesifik metode RAST. Untuk tes provokasi obat, menggunakan metoda DBPC/uji samar ganda, caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap lalu tunggu reaksinya dengan interval 15-30 menit. Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang ditest untuk tes terhadap bahan atau zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi tipe lambat. VI. Penatalaksanaan hipersensitivitas tipe I Posisi: segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman dengan Posisi kaki ditinggikan, dengan ventilasi udara yang baik dan jangan lupa melonggarkan pakain. Airways : jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal, dan jika penderita tak bernafas disiapkan untuk intobasi. Intravena acces: pasang IV line dengan cairan NaCL 0.9% atau dextrose 5% 0.5-1 liter/30 menit. Drug : epinefrin atau adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan segera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis. Kegawatdarutan dari hipersensitivitas tipe I

VII.

BATASAN Sampai saat ini belum ada definisi klinis anafilaksis yang diterima di seluruh dunia. Definisi anafilaksis terbaru dibuat oleh World Allergy Organization (WAO) yang pada tahun 2004 mendefinisikan anafilaksis sebagai suatu reaksi hipersensitifitas yang berat dan mengancam jiwa. Terminologi anafilaksis alergi digunakan apabila reaksi tersebut diperantarai oleh mekanisme imunologis, yaitu IgE, IgG dan kompleks imun-komplemen. Reaksi anafilaksis yang diperantarai oleh antibodi IgE, disebut anafilaksis alergi IgE-mediated. Reaksi anafilaksis non alergi, sebelumnya disebut reaksi anafilaktoid atau reaksi pseudo alergi, adalah jika anafilaksis disebabkan oleh penyebab non imunologis. Definisi ini cukup membantu para klinisi, tenaga medis emergensi dan tenaga kesehatan lainnya yang

sering menghadapi pasien yang menunjukkan salah satu gejala dari pola tanda dan gejala anafilaksis, mendiagnosanya, dan kemudian memberikan terapi. EPIDEMIOLOGI Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per tahun diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus per tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis. Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih sering terjadi pada komunitas daripada di pusat kesehatan. Angka kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik. Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun, predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun, predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh, anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut. ETIOLOGI Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan, sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks, sedangkan anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan oleh alergi makanan. Anafilaktik (IgE dependent) Ekstrak alergen: Rumput-rumputan atau jamur Serum (ATS, ADS, Anti bisa ular) Penisilin dan derivatnya Darah Basitrasin Lengkap Neomisin Produk Tetrasiklin Gamaglobulin Streptomisin, dll Kriopresipitat Bahan yang sering dipergunakan untuk Serum prosedur diagnosis: Imunoglobulin i.v. Zat radioopak Makanan Bromsulfalein Susu sapi Benzilpenisiloil-polilisin Kerang Bisa (racun): Kacang-kacangan Ular Ikan Semut api Telur Lebah Udang Kumbang Lateks Anafilaktoid (IgE Independent) Antibiotik:

Aktivasi komplemen multimediator Faktor fisik aktivasi sistem kontak Olahraga Media radiokontras Suhu (dingin atau panas) Angiotensin-converting enzyme Immune aggregates inhibitor yang diberikan selam dialisis Imunoglobulin intravena ginjal Dekstran Etilen oksida Sitotoksik Protamin Reaksi transfusi terhadap elemen seluler Degranulasi sel mast dan basofil (IgG, IgM) nonspesifik Psikogenik Opioid Zat artifisial Pelemas otot Anafilaksis idiopatik Idiopatik Mayoritas kasus reaksi anafilaksis tidak bersifat fatal. Diperkirakan 1-2% kejadian yang disebabkan penisilin diperberat dengan reaksi sistemik namun hanya 10% yang bersifat fatal. Di Amerika Serikat sekitar 400-800 orang meninggal per tahunnya karena anafilaksis akibat penisilin dengan gambaran yang serupa dengan media kontras. Tujuh puluh persen kematian disebabkan oleh komplikasi pernafasan yaitu edema laring dan atau bronkospasme dan 25% oleh karena disfungsi kardiovaskular. PATOGENESIS Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom. Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan mempengaruhi terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya (otot polos). Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat ditembus, dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel mast) atau darah (basofil). Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif () yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli angat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat oleh pembentukan cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari konsentrasi cAMP dan cGMP. Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N. Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP. Sedangkan efek perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya yaitu atropin. Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda. Perangsangan melalui reseptor -adrenergik

akan menghasilkan penurunan cAMP dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui -adrenergik akan meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP. Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan keduanya cAMP dan cGMP. Reseptor untuk adrenergik dan dapat dirangsang oleh molekul yang sama dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan reseptor akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor . Sebaliknya epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar apabila merangsang reseptor . Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor adrenergik 1 dan 2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata. Misalnya reseptor 2 lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang merupakan agonis untuk reseptor 2. Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat mengrangi gejala alergi. Mekanisme kerja obat yang sering digunakan dalam mengatasi renjatan anafilaktik diantaranya: Adrenalin. Adrenalin termasuk golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP dalam mastosit sehingga terjadi hambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai khasiat terhadap sel sasaran, yaitu: 1) Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan terhadap kelenjar liur. 2) Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka. 3) Perangsanga jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksinya dan tekanan darah. 4) Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan. Kesemuanya ini kalau disimpulkan akan mengurangi gejala-gejala renjatan anafilaktik. Antihistamin. Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja menghambat histamin yang dihasilkan oleh mastosit. - Teofilin Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat mengatasi renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan sel sasarannya seperti halnya adrenalin. Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot bronkhus, lebih-lebih otototot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Kesemuanya akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik. - Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Koretokosteroid mempunyai efek menghambat radang, disamping menghambat respons imun dan menstabilkan dinding mastosit. Dengan menghambat respons imun mungkin dapat menghambat sintesis IgE. MANIFESTASI KLINIS Pelepasan mediator seluler kemudian menimbulkan respon pada organ seperti kulit, saluran nafas, sistem kardiovaskular, dan susunan saraf Tanda dan gejala klinis anafilaksis Kutan / subkutan / jaringan mukosa

Flushing, pruritus, urtikaria, angioedema, ruam morbiliform, pruritus pada bibir, lidah, palatum; edema pada bibir, lidah dan uvula, pruritus periorbita, eritema dan edema, eritema konjungtiva Saluran pernafasan

Laring: pruritus dan nyeri tenggorokan, disfagia, disfoni, suara serak, pruritus di kanalis aurikularis eksterna Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi / bronkospasme (penurunan PEF) Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin Kardiovaskular Hipotensi Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran Nyeri dada, disritmia Gastrointestinal Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare Lain-lain Kontraksi uterus pada wanita Gambaran klinis dari anafilaksis dapat bervariasi, namun kompensasi dari sistem pernafasan dan kolapsnya kardiovaskular menjadi hal yang penting karena kelainan yang mengenai kedua sistem organ ini paling sering berakibat fatal. Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan angioedema, serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut, edema dan perdarahan intraalveolar, kongesti visera dan edema laring. Hipotensi akut diakibatkan oleh dilatasi vasomotor dan atau disritmia jantung. Onset dari gejalanya bergantung dari penyebab reaksi, yaitu reaksi dari alergen yang ditelan (makanan, obat-obatan) mengalami onset yang lambat (bermenit-menit

sampai 2 jam) dibandingkan dengan alergen yang disuntikkan (sengatan serangga, obatobatan) dan cenderung lebih banyak mengalami gejala gastrointestinal. Waktu rata-rata sampai terjadinya henti nafas atau henti jantung pada alergi makanan sekitar 30 menit, pada sengatan serangga sekitar 15 menit, dan pada obat-obatan seperti media kontras mencapai 5 menit. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah: - Uji Coomb untuk penderita anemia - Antibodi IgE total serum - Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test) - Antibodi IgM dan IgG spesifik - Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-obatan Uji kulit: - Uji tusuk (Prick test/Scratch test) - Uji tempel (Patch test) - Uji provokasi Dilakukan setelah keadaan gawat darurat teratasi: - Pemeriksaan darah lengkap - Ht - hemokonsentrasi - Kerusakan miokardium - SGOT - CPK (fosfokinase kreatin) - LDH (dehidrogenase laktat) - Foto toraks - Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru - EKG Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium): - Depresi gelombang S-T - Bundle branch block - Fibrilasi atrium - Berbagai aritmia ventrikular DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya. Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah, mual, muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan reaksi anafilaksis yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan, dan pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi vasodepres, sementara pada anafilaksis lebih sering terjadi takikardia. Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat ACE, alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat menyebabkan terjadinya flushing.

KRITERIA DIAGNOSIS Riwayat penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau transfuse. Diagnosis anafilaksis bergantung dari anamnesis yang tepat dan hati-hati. Untuk dapat menggali anamnesa yang tepat, penting untuk mengetahui manifestasi dari anafilaksis. Manifestasi tersering dari anafilaksis adalah mengenai kulit, kolaps kardiovaskular, dan syok. Tidak adanya manifestasi pada kulit tidak menyingkirkan diagnosis anafilaksis. Alergi yang berbeda dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda, meskipun imunobiologis dan patofisiologi anafilaksis yang terjadi pada dasarnya sama. Pada anamnesis perlu diketahui kapan serangan terjadi, aktivitas yang sedang dilakukan sebelum serangan terjadi, terapi yang diberikan selama serangan, respon terhadap terapi tersebut, dan lamanya serangan. Bila serangan bukan pertama kalinya maka hal-hal tersebut perlu ditanyakan dari masing-masing serangan. Anamnesis harus dapat menggali kemungkinan penyebab dari serangan. Perlu ditanyakan riwayat konsumsi makanan dan obat-obatan sebelum timbul serangan, kemungkinan tersengat serangga, aktivitas saat serangan terjadi, lokasi kejadian apakah di rumah atau tempat kerja, atau apakah serangan berkaitan dengan panas, dingin, juga aktivitas seksual. Status atopi pada penderita juga perlu ditanyakan karena anafilaksis yang dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis idiopatik lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan dengan yang tidak. Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga perlu diperhatikan karena hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga diperlukan masa observasi yang lebih lama. Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan anamnesis yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval sampai terjadi reaksi, obat-obatan yang sebelumnya pernah didapatkan oleh pasien (untuk memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon pasien terhadap terapi. Data rekam medis dari unit gawat darurat atau catatan dokter sebelumnya dapat membantu untuk mendiagnosis dengan tepat. Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu dicatat dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria, angioedema, flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala gastrointestinal, sinkop, hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan pusing. TERAPI Tindakan harus segera: - Resusitasi kardiopulmonal - Trakeostomi sesuai indikasi - Adrenalin (epinefrin) 0,01 ml/kgBB s.k./i.m. (larutan 1:1000), bila perlu ulangi dengan interval 15-30 menit. Bila syok/kolaps vaskular 0,01-0,05 ml/kgBB, i.v. (larutan 1:10.000), suntikan perlahan-lahan (1-2 menit).Bila penyebabnya suntikan adrenalin 0,10,2 ml (larutan 1:1000) s.k. pada daerah suntikan, untuk mengurangi absorpsi antigen.Tourniquet (proksimal dari tempat gigitan). Bila penyebabnya sengatan/gigitan hewan berbisa atau obat yang disuntikkan pada ekstremitas. Longgarkan tourniquet tiap 10 menit selama 1-2 menit O2 : Bila sianosis, dispnea atau mengi. Dosis 5-10 L/menit, melalui masker/kateter hidung. Difenhidramin 1-2 mg/kgBB (maks. 50 mg) i.v./i.m. perlahan-lahan selama 510 menit, dilanjutkan p.o. setiap 6 jam setelah keadaan gawat teratasi. Bila penderita masih hipotensi, dispnea, gawat rawat di PICU.

Cairan intravena Untuk mengatasi syok berikan larutan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1:4, 30 ml/kgBB sampai syok teratasi paling lama 2 jam Setelah syok teratasi, infus diteruskan sesuai berat badan dan umur anak - Aminofilin Pada bronkospasme berikan aminofilin 4-7 mg/kgBB, larutkan dalam dekstrosa 5% paling sedikit sama banyak, suntikan i.v. secara lambat (15-20 menit) Bila belum teratasi dilanjutkan perinfus, kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB/jam atau 4-5 mg/kgBB i.v. selama 20-30 menit setiap 6 jam. Kalau memungkinkan, monitor kadar aminofilin darah Vasopresor Bila tekanan darah belum terkontrol, berikan salah satu obat dibawah ini Metaraminol bitartrat (Aramine) : 0,01 mg/kgBB (maks. 5 mg) dosis tunggal, i.v. secara perlahan sambil memonitor bunyi jantung, bila terjadi aritmia jantung, hentikan segera Dosis dapat diulang Levaterenol bitartrat (Levophed) : 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan i.v., kecepatan 0,5 ml/menit Dopamin Berikan bersama infus, kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam -

Kortikosteroid Diberikan setelah fase akut teratasi, memperpendek lama sakit dan mencegah rekurensi Hidrokortison 7-10 mg/kgBB i.v., dilanjutkan 5 mg/kgBB setiap 6 jam. Hentikan setelah 2-3 hari Suportif

Setelah stabil: PENCEGAHAN - Merupakan aspek yang terpenting dalam penatalaksanaan - Anamnesis teliti mengenai alergi obat - Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat - Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi, kalau mungkin berikanlah p.o. daripada suntikan - Bacalah label obat dengan teliti - Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum manumur - Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva - Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai macam/jenis obat tersebut.

Daftar Pustaka

Kumar. Cotran. Robbins. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC. 2007 Baratawidjaja KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004

You might also like