You are on page 1of 29

TRAUMA KAPITIS

I.

KONSEP DASAR A. Definisi & Etiologi


Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

B. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan aliran darah keotak tidak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral. Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau

kerusakan otak akan terjadi penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolic asidiosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah jantung (CO). C. Mekanisme Cedera Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tibatiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. D. Manifestasi Klinis Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak

meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera multisistem. 1. Cedera Kepala Ringan a. cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak pingsan, tidak muntah, tidak ada tanda-tanda neurology. b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri kepala, tidak ada tanda-tanda neurology. 2. Cedera Kepala Sedang Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda neurology. 3. Cedera Kepala Berat a. laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, kelumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii. b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi, tekanan darah dan suhu meningkat. c. Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK meningkat, lumpuh. E. Klasifikasi Cedera Kepala 1. Klasifikasi Patologi Cedera Kepala a. Cedera kepala primer Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik. 1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis. 2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,

dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. 3) Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa. b. Kerusakan otak sekunder Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguangangguan metabolisme serebral. Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas. Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral. c. Edema serebral Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya. Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera, dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau

perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah swelling hipodens difus. d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial akan

(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya

menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada. 2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu : Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan

kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada deficit neurologist. Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintahperintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal. Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara , namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi. Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.

Pemeriksaan GCS Pemeriksaaan GCS Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon

verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi. Respon membuka mata (eye) (4). Spontan dengan adanya kedipan (3). Dengan suara (2). Dengan nyeri (1). Tidak ada reaksi Respon bicara (verbal) (5). Orientasi baik (4). Disorientasi (mengacau/bingung) (3). Keluar kata-kata yang tidak teratur (2). Suara yang tidak berbentuk kata (1). Tidak ada suara Respon bicara (verbal) untuk anak-anak (5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek (4). Menangis, tapi bisa diredakan (3). Teriritasi secara menetap (2). Gelisah, teragitasi (1). Diam saja Respon motorik (motor) (6). Mengikuti perintah (5). Melokalisir nyeri (4). Menarik ekstremitas yang dirangsang (3). Fleksi abnormal (dekortikasi) (2). Ekstensi abnormal (decerebrasi) (1). Tidak ada gerakan Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma Scale(GCS). Penentuan keparahan Minor Berat GCS 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral, hematoma Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness Pemerikasaan Neuorologi normal GCS 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak Muntah Seizure Intoksikasi obat atau alcohol Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas GCS 3 8 Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial. 21 % 24 %

Deskripsi

Frekuensi

55 %

Sedang

F. Pemeriksaan Penunjang 1. Rontgen tengkorak Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak. 2. Ct scan kepala Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak, adanya Sol, hemoragik, pergeseran jaringan otak. 3. Angiografi serebral Untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi serebral. 4. EEG Untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak 5. Laboratorium Pemeriksaan darah, Hb dan leukosit. G. Penatalaksanaan Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap 6 B, yakni : 1. Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri. 2. Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan memerlukan tindakan transfusi. 3. Brain

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi

perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata. 4. Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat. 5. Bowel

Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan TIK. 6. Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi. H. Komplikasi Jangka pendek : 1. o o o Hematom Epidural Letak : antara tulang tengkorak dan duramater Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri

kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial. o o o o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam) Interval lucid Peningkatan TIK Gejala lateralisasi hemiparese

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati

hematoma subkutan o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.

Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif. o o o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks LCS : jernih Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan

pengikatan pembuluh darah. 2. o o Hematom subdural Letak : di bawah duramater Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan

laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent. Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak) Isodens terlihat dari midline yang bergeser o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak

(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi. 3. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan

perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi

dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.

Keadaan ini bisa menimbulkan

manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena. 4. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. berat. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih Gejala-gejala

Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat.

kerusakan jaringan otak juga tidak ada. tekanannya dapat meninggi. TIK meningkat Cephalgia memberat Kesadaran menurun

Cairan otak pun normal, hanya

Jangka Panjang : 1. Gangguan neurologis Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese 2. Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan

tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E, MF, Geissler, Ac. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta. Harnawati, 21 Februari (2008). Trauma kapitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010, <http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/trauma-kapitis/>.

Kadri, A. 23 Desember (2008). Peranan marker koagulasi sebagai predictor outcome pada penderita trauma kapitis. Universitas Sumatera Utara : Medan.
Majid, Y. 22 Desember (2008). Trauma capitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010, <http://patoflowaskep.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html>. Smeltzer, SC. & Bare, BG. (2002). Keperawatan medikal bedah. EGC : Jakarta.

Laporan Pendahuluan

TRAUMA KAPITIS

Oleh : Dian Ayu Ismarani B. C 121 06 022


C. I. Lahan C.I. Institusi

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KAPITIS


DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital. Aktivitas/Istirahat Gejala : Tanda : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan. .Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak

tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik. Sirkulasi Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Integritas Ego Gejala : Tanda : Eliminasi Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis). Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.

Makanan/Cairan Gejala : Tanda : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Muntah (mungkin proyektil). Gangguan menelan (batuk, air liur keluar disfagia) Neurosensori Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia. Gangguan pengecapan dan juga penciuman. Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetri. Genggaman lemah, tidak seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah. Apraksia, hemiparise, quedreplegia. Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang. Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh. Nyeri/Kenyamanan Gejala : Tanda : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama. Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih. Pernapasan Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak. Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi). Keamanan Gejala : Tanda : Trauma baru/trauma karena kecelakaan. Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS). Gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

Interaksi Sosial Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria, anomia. Pemenuhan Pembelajaran Gejala : Penggunaan alkohol/obat lain.

Pertimbangan Rencana Pemulangan : Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan penempatan fasilitas lainnya di rumah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Scan CT (tanpa/dengan kontras): mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 72 jam pascatrauma. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras. Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis, Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentuk fungsi korteks dan batang otak. PET (Positron Emission Tomografi) : menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam otak. Pungsi Lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod . GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.. Kimia/Elektrolit Darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental. Pemeriksaan Toksikologi penurunan kesadaran. : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam

Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

PRIORITAS KEPERAWATAN 1. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral. 2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi. 3. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma. 4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga. 5. Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan sumber daya yang ada .

TUJUAN PEMULANGAN 1. Fungsi serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan (tidak berkembang lagi) 2. Komplikasi tidak terjadi. 3. AKS (Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan orang lain. 4. Keluarga memahami keadaan yang sebenarnya dan dapat terlibat dalam proses pemulihan. 5. Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakannya) dapat dipahami dan mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan TD/hipoksia ditandai dengan : Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik, sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sesnsorik. Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Intervensi : a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK. R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK dan atau pembedahan b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya Skala Coms Glascow) R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam perkembangan kerusakan SSP. Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh), menentukan lokasi, perluasan dan

membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma). R/ : Menentukan tingkat kesadaran. Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang, waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase yang tidak sesuai R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan kesadaran. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara terpisah . R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam untuk berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat pasien trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan tangan sesuai dengan tingkat

perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau gerakan menarik atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh yang menandakan kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang berlawanan (kontralateral). c. Pantau TD Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga nadi yang semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami trauma multiple. R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar.

Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga

mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral. Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia lainnya. R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia dapat timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya. Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode apnue setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes. R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan napas buatan. d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya. R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh

keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan okulomotorius. e. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda, lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi. R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi pilihan intervensi. f. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi pada satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks DOLLS EYE. R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam kegagalan dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial V.Hilangnya DOLLS EYE mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek. g. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan Babinski dan sebagainya. R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada otak h. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala. R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan

menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan meningkatkan TIK. i. Kolaborasi : Tinggikan kepala pasien 15 45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi. R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK. Berikan obat sesuai indikasi. Diuretik (manitol, furosemid) R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK. Steroid (dexametason, metilprednisolon). R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan (Fenitoin). R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang. Analgetik (Kodein). R/ : Untuk menghilangkan nyeri. Sedatif (Difenhidramin). R/ : untuk mengendalikan kegelisahan. Antipiretik ( asetaminofen). R/ : Mengendalikan demam.

2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeobronchial. Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien. Intervensi : a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan pernapasan. R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi. R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar. R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.

d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapapan pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi serebral. e. Kolaborasi : Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi. Lakukan ronsen toraks ulang R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia). Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi. R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada pada akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan memberikan jalan napas dan menurunkan risiko

atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan : Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap rangsang; inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk memberitahu posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan visual; konsentrasi buruk, perubahan proses berpikir/berpikir ngacau. Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi. Kriteria : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan residu. Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.

Intervensi : a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses piker R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus menerus pada derajat tertentu. b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain. R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons

secara sesuai pada suatu stimuli. c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan. d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan. R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensorik). e. Gunakan penerangan siang atau malam hari. R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun. f. Kolaborasi : Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi kognitif. R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara

individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan ketrampilan perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol otot. Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan

oleh tidak adanya kontraktur, footdrop. Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus. Intervensi : a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi. R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan. b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4). R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 4 mempunyai risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan imobilisasi. c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak. R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan (jaga tetap tegang). R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya ekskoriasi kulit. e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung kemih jika memungkinkan. R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya);kateter eksternal, interval diatas pispot memberikan duk inkontinen. f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi neurologis dan jantung). R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki faktor kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.

5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi (penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS). Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada. Intervensi : a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik. R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial. b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakterisitik dari drainase dan adanya inflamasi.

R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya. c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis, dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera. d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus, observasi karakterisitk sputum. R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus digunakan dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK. e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem drainase urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat. R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang merambah naik. f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak). R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang memerlukan tindakan dengan segera. g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas. R/ : Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman penyebab infeksi h. Kolaborasi : Berikan antibiotik sesuai indikasi.

R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.

R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk memastikan adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat pilihan yang sesuai.

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik. Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas normal. Intervensi : a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi. R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari aspirasi b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif. R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus. c. Timbang berat badan sesuai indikasi. R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi. d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT. R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi. e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur. R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan. f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien. R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan. g. Kolaborasi : Konsultasi dengan ahli gizi. R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaan penyakit sekarang. Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,

ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.

R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi nutrisi tersebut. Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan makanan lunak dan cairan yang agak kental. R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang

mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan salah konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi. Tujuan : Berpartisipasi dalam proses belajar. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial komplikasi. Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.

Intervensi : a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya. R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan secara kebutuhan. b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya. R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman pada keadaan saat ini. c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang bersifat individual. d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan dan faktor-faktor penting lainnya. R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh. e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran

melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang merusak. R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.

You might also like