You are on page 1of 15

Imunitas Selular

Imunitas selular didefinisikan sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut. Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar, respons imun terdiri atas respons imun selular dan humoral. Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut. Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih berperan. Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel merupakan fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas terhadap peptida tertentu yang ditunjukkan dengan major histocompatibility complex (MHC). Hal ini membuat sel T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.

SEL LIMFOSIT T

Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi dengan perkembangan di bidang teknologi kedokteran, terutama sejak ditemukannya antibodi monoklonal, maka kita mengetahui bahwa ada 2 macam limfosit, yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya berasal dari sel asal (stem cell) yang bersifat multipotensial, artinya dapat berkembang menjadi berbagai macam sel induk seperti sel induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid, dan lain-lain. Sel induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T dan sel pro-limfosit B. Sel prolimfosit T dalam perkembangannya dipengaruhi timus yang disebut juga organ limfoid primer, oleh karena itu dinamakan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B dalam perkembangannya dipengaruhi oleh organ yang pada burung dinamakan bursa fabricius atau gut-associated lymphoid tissue, karena itu dinamakan limfosit B.

Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel asal limfoid terusmenerus yang pada fetus berasal dari yolk sac, hati, serta sumsum tulang; dan sesudah lahir dari sumsum tulang. Sel yang berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat multipotensial itu dalam lingkungan mikro timus akan berkembang menjadi sel limfosit T yang matur, toleran diri (self tolerant) dan terbatas MHC diri (major histocompatibllity complex restricted). Di dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya penataan kembali gen yang produk molekulnya merupakan reseptor antigen pada permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekulmolekul pada permukaan limfosit T yang dinamakan petanda permukaan (surface marker) limfosit T. Dinamakan petanda permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat membedakan limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus, sebagian besar sel limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan apoptosis. Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga kematian sel accidental adalah kematian sel karena kerusakan berat (patologis), misalnya akibat infeksi mikroorganisme, trauma fisis, zat kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain. TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri atas rantai , atau , . Sebagian besar TCR matur merupakan dimer , sedangkan dimer , merupakan TCR limfosit T awal (early). Hanya 0,5-10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang tidak memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang dinamakan sel limfosit T negatif ganda (double negative = DN). Sel DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I, mungkin juga aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum jelas pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing. Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (,) dan kromosom 7 (,). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen imunoglobulin, karena itu molekul TCR mempunyai struktur dasar yang sama dengan struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen ini ada yang akan membentuk daerah variabel M dari TCR, daerah diversitas (D), daerah joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen gen ini terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan kembali gen VDJC atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan produk berupa TCR. Penataan kembali segmen DNA ini akan memungkinkan keragaman (diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T hanya mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang membedakan klon yang satu dari klon lainnya (lihat Gambar 10-1). Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (self antigen) akan mengalami apoptosis karena ia telah terpajan secara dini pada antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme yang belum jelas. Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang hanya bereaksi dengan antigen non self dan dinamakan toleran diri. Di dalam timus, limfosit T juga mengalami pengenalan antigen diri hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC diri, melalui proses yang juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas MHC diri. Molekul TCR III diekspresikan pada membran sel T bersama molekul CD3, yaitu salah satu molekul petanda permukaan sel T.

Reseptor antigen sel limfosit T (TCR)

Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini

berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3. Molekul CD3 mempunyai segmen intrasitoplasmik yang agak panjang sesuai dengan perannya untuk sinyal intraselular. Demikian pula molekul TCR mempunyai segmen intrasitoplasmik yang akan mentransduksi sinyal ke dalam sel. Bagian distal ekstraselular TCR merupakan bagian variabel yang dapat mengenal antigen, yang membedakan satu klon sel T dari klon lainnya (lihat Gambar 10-3).

AKTIVASI SEL T

Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T baru bereaksi terhadap antigen yang sudah diproses menjadi peptida kecil yang kemudian berikatan dengan molekul MHC di dalam fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel. Sel limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul MHC diri. Molekul CD4 dan CD8 merupakan molekul yang menentukan terjadinya interaksi antara CD3/TCR dengan kompleks MHC/antigen. Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas I. Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi antara sel T dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini, selain melalui kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya. Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul asosiasi fungsi limfosit 1 = lymphocyte function associated 1, molekul adhesi interselular l = inter cellular adhesion molecule 1), CD2-LFA3, CD5-CD72 Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan primer. Aktivasi sel T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin, seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan oleh sel APC yang dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen akan ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam sitoplasma (lihat Gambar 10-3). Sinyal ini akan mengaktifkan enzim dan mengakibatkan naiknya Ca++ bebas intraselular, naiknya konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk transformasi menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan biokimia. Tahapan ini dinamakan tahapan sekunder. Kemudian terjadilah diferensiasi menjadi sel efektor/sel regulator dan sel memori. Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen limfokin dan terbentuklah berbagai macam limfokin. Melalui pembentukan limfokin, sel regulator akan meregulasi dan mengaktifkan sel yang berperan dalam eliminasi antigen, sedangkan sel efektor akan melisis antigen/sel sasaran atau menimbulkan peradangan pada tempat antigen berada, agar antigen tereliminasi. Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat dipakai untuk menilai fungsi sel T.

Fase-fase respons sel T

Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase yang menyebabkan peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T naif menjadi sel efektor. Limfosit T naif terus bersirkulasi melalui organ limfoid perifer untuk mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai reseptor antigen dan molekul lain yang dibutuhkan dalam pengenalan antigen. Di dalam organ limfoid, antigen diproses dan ditunjukkan dengan molekul MHC pada antigen-presenting cell (APC), kemudian sel T bertemu dengan antigen tersebut untuk pertama kalinya. Pada saat itu, sel T juga menerima sinyal tambahan dari mikroba itu sendiri atau dari respons imun alamiah terhadap mikroba. Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi sitokin. Beberapa sitokin bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua dari mikroba untuk menstimulasi proliferasi sel T yang spesifik untuk antigen. Hasil dari proliferasi ini adalah penambahan jumlah limfosit spesifik antigen dengan cepat yang disebut clonal expansion. Fraksi dari limfosit ini menjalani proses diferensiasi dimana sel T naif (berfungsi untuk mengenal antigen mikroba) berubah menjadi sel T efektor (berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian sel T efektor tetap di dalam kelenjar getah bening dan berfungsi untuk memusnahkan sel terinfeksi atau memberikan sinyal kepada sel B untuk menghasilkan antibodi. Sebagian sel T berkembang menjadi sel T memori yang dapat bertahan lama. Sel ini tidak aktif dan bersirkulasi selama beberapa bulan atau tahun, serta dapat merespons dengan cepat apabila terjadi paparan berulang dengan mikroba. Setelah sel T efektor berhasil mengatasi infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan diferensiasi sel T juga berhenti. Klon sel T yang sudah terbentuk akan mati dan kembali ke keadaan basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4+ dan CD8+, namun terdapat perbedaan pada fungsi efektornya. Peran ko-stimulasi dalam aktivasi sel T Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-stimulator merupakan sinyal kedua untuk aktivasi sel T. Istilah ko-stimulator menunjukkan bahwa molekul tersebut memberikan stimuli kepada sel T bersama-sama dengan stimulasi oleh antigen. Contoh ko-stimulator adalah B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86). Keduanya terdapat pada APC dan jumlahnya meningkat bila APC bertemu dengan mikroba. Jadi, mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada APC. Protein B7 dikenali oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T. Sinyal dari CD28 bekerja bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan TCR dan ko-reseptor kompleks peptida-MHC pada APC yang sama. Mekanisme ini penting untuk memulai respons pada sel T naif. Apabila tidak terjadi interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak mampu untuk mengaktivasi sel T sehingga sel T menjadi tidak responsif. Antigen presenting cell (APC) juga mempunyai molekul lain yang struktur dan fungsinya serupa dengan B7-1 dan B7-2. Molekul B7-like ini penting pada aktivasi sel T efektor. Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada APC dan ligan CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan langsung dalam aktivasi sel T. Interaksi CD40 dengan ligannya menyebabkan APC membentuk lebih banyak kostimulator B7 dan sitokin seperti IL-12. Interaksi ini secara tidak langsung akan meningkatkan aktivasi sel T. Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan mengapa antigen protein yang digunakan dalam vaksin tidak dapat menimbulkan respons imun sel T, kecuali jika antigen tersebut diberikan bersama dengan bahan lain untuk mengaktivasi makrofag dan APC. Bahan ini disebut adjuvant dan berfungsi untuk merangsang

pembentukan ko-stimulator pada APC, serta untuk menstimulasi produksi sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan produk mikroba atau bahan yang menyerupai mikroba. Adjuvant akan mengubah protein antigen inert agar menyerupai mikroba patogen. Aktivasi sel T CD8+ distimulasi oleh pengenalan peptida yang berhubungan dengan MHC kelas I, serta membutuhkan kostimulasi dan/atau sel T helper. Perkembangan sel T sitotoksik CD8+ pada infeksi virus membutuhkan sel T helper CD4+. Pada infeksi virus, sel yang terinfeksi dicerna oleh APC khususnya sel dendrit, kemudian antigen virus akan dipresentasikan silang (cross-presented) oleh APC. Antigen presenting cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari sitosol sebagai kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen dari vesikel sebagai kompleks dengan MHC kelas II. Oleh sebab itu, sel CD4+ dan sel CD8+ yang spesifik untuk antigen virus tersebut akan bekerja secara berdekatan. Sel T CD4+ memproduksi sitokin atau molekul membran untuk mengaktivasi sel T CD8+, sehingga ekspansi klonal dan diferensiasi sel T CD8+ menjadi sel T sitotoksik (TC) efektor dan memori tergantung dari bantuan sel T CD4+. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek respons sel TC terhadap virus pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Selain respons yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel TC terhadap beberapa virus yang tidak bergantung kepada bantuan sel T CD4+.

FUNGSI IMUNITAS SELULAR

Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen. Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun.

RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit tipe lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur) serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft versus host, penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.

Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi tipe IV dapat kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya) kemudian dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat pada respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada reaksi

penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada tempat transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor. Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada infeksi bakteri misalnya terlihat berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer lainnya. Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3. Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi virus sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe IV dan lisis oleh sel Tc. Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi jamur seperti kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut sel-sel radang ke tempat jamur berada. Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa Peradangan yang terlihat pada penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi. Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam ontogeni sel T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun. Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon antara lain karena gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat terjadi penyakit autoimun. Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada reaksi graft versus host, kerusakan yang terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh imunitas selular. Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi jaringan dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien. Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft dengan merekrut sel radang.

Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada penolakan tumor sama dengan imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer) untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.

DAFTAR PUSTAKA 1. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WE Saunders Company, 1991

Antigen sel dalam timus yang negatif dapat memilih MHC kelas IIPembatasan Sebuah sel T mengenali Zal T antigen dan yang beredar Stockinger diri B

Volkmann,

Divisi Imunologi Molekuler, Institut Nasional untuk Penelitian Medis, London, Inggris. Kami menyelidiki Ag presentasi dari diri Ag ekstraseluler (C5), yang hanya mencapai timus melalui sirkulasi darah, untuk seleksi negatif MHC kelas II-sel T terbatas, C5spesifik. APC Thymic diperkenalkan ke dalam budaya reaggregation janin thymic dengan thymocytes dari tikus TCR C5-spesifik transgenik untuk mengikuti perkembangan sel T C5-spesifik di hadapan atau tidak adanya diri Ag disajikan oleh berbagai APC. Untuk meniru distribusi fisiologis dari peptida C5 / MHC kelas II kompleks pada APC thymic sedekat mungkin, mereka terisolasi dari thymi mencit C5 +, sehingga jumlah C5 peptida terikat untuk MHC kelas II pada permukaan mereka akan mencerminkan jumlah Ag diri mereka memiliki akses dan proses normal in vivo. Dielakkan ini masalah yang terkait dengan dosis yang terlalu tinggi, Ag atau peptida in vivo atau in vitro, yang mungkin tidak jelas perbedaan fisiologis seperti kapasitas untuk menginternalisasi dan proses Ag. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak

hanya sel-sel dendritik thymic, tetapi juga sel-sel epitel korteks dan medula mampu menginduksi seleksi negatif thymocytes C5-spesifik dengan efisiensi yang sama. Sebaliknya, makrofag thymic tidak dapat mempengaruhi perkembangan sel T C5spesifik. kegagalan mereka untuk mempresentasikan diri Ag eksogen untuk seleksi negatif menunjukkan bahwa makrofag berkonsentrasi pada fungsi utama mereka di timus, pembuangan thymocytes sekarat.

Ini akan dijelaskan di bawah ini bahwa ketiga jenis APC set ini berbeda dari antigen dan juga dapat berfungsi untuk mengaktifkan sel T pada titik yang berbeda selama respon imun. Sifat yang paling relevan dari APC adalah bahwa, di samping presentasi antigen, mereka memberikan sinyal co-stimulasi melalui B7.1 dan B7.2. Penting untuk dicatat bahwa APC tidak menyatakan konstitutif molekul-molekul costimulasi. (Kecuali sel dendritik, lihat di bawah). Karena sel-sel ini berpotensi phagocytose baik diri dan menular bahan, harus ada beberapa mekanisme untuk pengakuan terhadap infeksi (non-self). Setelah pengakuan ini, APC's up akan mengatur molekul mereka co-stimulasi (yaitu B7), dan baru kemudian mereka akan mengaktifkan sel T, oleh interactiong dengan disebut B7 reseptor CD28.

Makrofag

* Sel-sel merupakan bagian dari respon bawaan. Tidak seperti T dan sel B, mereka tidak mengandung reseptor tertentu. Makrofag terus phagocytose diri protein dan sel-sel di sekitar mereka, selama perbaikan jaringan normal dan penuaan (misalnya sel darah merah tua). Semua protein ini terdegradasi dan disajikan pada MHC-II. Protein diri ini Namun, tidak mengaktifkan sel T, karena

tanpa adanya infeksi, makrofag mengungkapkan rendahnya tingkat MHC-II, dan hampir tidak ada co-stimulator (B7). Selanjutnya, sel T dengan reseptor afinitas tinggi untuk diri-peptida telah dihapus pada pengembangan sel T di timus. Dalam kasus infeksi, bagaimanapun, makrofag memiliki beberapa jenis reseptor yang mengenali perbedaan pola karbohidrat pada sel asing. Mereka juga memiliki reseptor untuk produk-produk bakteri tertentu seperti lipopolisakarida (LPS) (endotoksin). Ketika molekul-molekul ligan mengikat bakteri, mereka merangsang makrofag untuk up mengatur MHC-II dan B7, menyediakan sel-sel dengan sifat presentasi antigen yang kuat. Mereka juga mulai mengeluarkan Sitokin yang membantu dalam fungsi-fungsi mereka. (Catatan: IL-1, 6, 8, 12 dan TNF-a). Adalah pada saat itu presentasi antigen oleh MHC II akan mengaktifkan sel-sel Th. * Lihat PPD (tuberkulin) tes untuk eksposur Mycobacterium Tuberculosis. * Karena protein virus secara internal disintesis oleh sel inang, mereka memiliki pola yang sama karbohidrat sebagai tuan rumah. Jadi makrofag menelan mereka lakukan sebagai bagian dari puing-puing jaringan umum, menyajikan antigen sebagai peptida, tetapi tidak menjadi aktif. 2) sel dendritik

* Sel-sel ini banyak ditemukan di kulit dan epitel mukosa, di mana mereka disebut sebagai sel Langerhan's. Sel-sel ini terus mengungkapkan tingkat tinggi B7 costimulasi. Selama konsumsi protein diri itu, mereka tetap dalam epitel, tidak dapat diakses untuk "naif" sel T. Sel T naif beredar melalui darah dan sistem limfatik. Hanya diaktifkan dan / atau memori T sel dapat bermigrasi ke jaringan.

Setelah pengakuan partikel menular, sel-sel ini bermigrasi melalui limfatik ke kelenjar getah bening terdekat (sel dendritik juga memiliki reseptor non-spesifik yang dapat mengenali partikel menular). Dalam folikel dari kelenjar getah bening mereka datang ke kontak dekat dengan sel T naif. Namun tidak seperti makrofag, sel dendritik juga dapat mengenali partikel virus sebagai non-self. Selain itu, mereka dapat hadir baik melalui antigen MHC MHC I dan II. Dengan demikian, mereka dapat mengaktifkan kedua CD8 dan CD4 sel T, langsung. Setelah sel T diaktivasi, mereka akan meninggalkan kelenjar getah bening dan perjalanan ke situs peradangan. Perhatikan bahwa sejak sel Dendiritic partikel virus ini, mereka juga harus mengaktifkan sel-sel CD8, sel efektor utama untuk melawan infeksi virus (intraselular). Sel dendritik juga sangat banyak di timus, di mana mereka bertindak dalam pemilihan positif dan negatif selama T pengembangan sel. 3) SEL B sel B adalah paling efisien presentasi antigen sel. Berbeda dengan dua lainnya APC, mereka memiliki reseptor antigen tertentu, imunoglobulin permukaan. sel B menelan protein larut oleh pinocytosis. Mereka juga memiliki reseptor serapan Imunoglobulin tertentu di
permukaan. antigen sel B ini melalui MHC-II. Tapi sel-sel ini tidak mengekspresikan molekul costimulasi. Untuk melakukannya, mereka harus diaktifkan oleh sel Th (lihat aktivasi sel B). Peran sel B sebagai APC's in vivo sangat tidak dipahami dengan baik.

8. Referensi (en) Humoral Immunity. Farlex free dictionary. Diakses pada 7 Maret 2010 (en) Adaptive immune system. Gary E. Kaiser. Diakses pada 8 Maret 2010 (en)Janeway, Charles A.; Travers, Paul; Walport, Mark; Shlomchik, Mark (2001).

Immunobiology, Subchapter:The front line of host defense. Garland Science.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A161. Retrieved 2010-03-09. (en)Janeway, Charles A.; Travers, Paul; Walport, Mark; Shlomchik, Mark (2001).

Immunobiology, Chapter 2:Innate immunity. Garland Science.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A161. Retrieved 2010-03-09. Section 2-1 (en)Janeway, Charles A.; Travers, Paul; Walport, Mark; Shlomchik, Mark (2001).

Immunobiology, Chapter 2:Innate immunity. Garland Science.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=imm&part=A161. Retrieved 2010-03-09. Section 2-2 juncto section 2-1 (en)Alberts, Bruce; Johnson, Alexander; Lewis, Julian; Raff, Martin; Roberts, Keith; Walter, Peter (2002). Molecular Biology of the Cell. Garland Science. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi?book=mboc4&part=A2302#A2385. Retrieved 2010-03-12. Specialized Phagocytic Cells Can Ingest Large Particles. (en) Immunobiology, Figure 2.38:Spectrum of biological activities. Garland Science,

Janeway, Charles A.; Travers, Paul; Walport, Mark; Shlomchik, Mark. Diakses pada
2010-03-011 (en) Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1): an overview. Department of

Neuroscience, Temple University School of Medicine, Deshmane SL, Kremlev S, Amini S, Sawaya BE.. Diakses pada 11 Maret 2010
(en) Platelet-Activating Factor Synthesized by IL-12-Stimulated Polymorphonuclear Neutrophils and NK Cells Mediates Chemotaxis. Oncologia Umana Universit di

Torino; and Cattedra di Nefrologia, Universit di Parma, Dipartimento di Scienze

Cliniche e Biologiche II Facolt di Medicina, Universit di Pavia, Benedetta Bussolati, Filippo Mariano, Alessandro Cignetti, et al.. Diakses pada 14 Maret 2010
(en) Galectin-3 interacts with nave and primed neutrophils, inducing innate immune responses. (pdf) Glycobiology Laboratory, Research Centre for Infectious

Diseases, Laval University Medical Centre, Faculty of Medicine, Laval University.


Diakses pada 11 Maret 2010 (en) Endogenous cannabinoids and neutrophil chemotaxis. Department of

Psychological and Brain Sciences, Indiana University, McHugh D, Ross RA.. Diakses
pada 11 Maret 2010 (en) Neutrophils, central cells in acute inflammation. Faculty of Medicine, Comenius

University, Viera Stvrtinov, Jn Jakubovsk, Ivan Huln.. Diakses pada 13 Maret


2010 (en) Interleukin-8, a chemotactic and inflammatory cytokine. Theodor-Kocher

Institute, University of Bern, Baggiolini M, Clark-Lewis I. Diakses pada 12 Maret 2010


(en) A novel role for neutrophils as a source of T cell-recruiting chemokines IP-10 and Mig during the DTH response to HSV-1 antigen. S. J. Molesworth-Kenyon, J. E.

Oakes, and R. N. Lausch. Diakses pada 11 Maret 2010


(en) Innate Immunity. (pdf) W. H. Freeman. Diakses pada 12 Maret 2010 (en) Activating receptors and co-receptros involved in human killer cell-mediated cytolysis. Dipartimento di Medicina Sperimentale, Universit degli Studi di Genova,

Istituto Nazionale per la Ricerca sul Cancro, et al, Alessandro Moretta, Cristina Bottino, Massimo Vitale, et al.. Diakses pada 14 Maret 2010
(en) Cytotoxic T Lymphocytes. John W. Kimball Biology pages. Diakses pada 14 Maret 2010 (en) NATURAL KILLER (NK) CELLS. Gary E. Kaiser. Diakses pada 14 Maret 2010 (en) Dendritic cell distribution. Queen's Medical Center, University of Nottingham, S.

SATTHAPORN and O. EREMIN. Diakses pada 13 Maret 2010


Alberts, Bruce; Alexander Johnson, Julian Lewis, Martin Raff, Keith Roberts, and Peter Walters (2002). Molecular Biology of the Cell; Fourth Edition. New York and London: Garland Science.

Stvrtinov, Viera; Jn Jakubovsk and Ivan Huln (1995). Inflammation and Fever

from Pathophysiology: Principles of Disease. Computing Centre, Slovak Academy of


Sciences: Academic Electronic Press. Schneider, David (2005) Plant immune responses. Stanford University Department of Microbiology and Immunology.

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi antigen yang signifikan penyajian sel (APC) yang mendorong toleransi perifer untuk antigen diri, dengan fokus pada subset sel lemah autoreactive B. B cells are particularly efficient APC for antigens bound to their antigen receptors, so self-reactive B cells may present self-antigens more efficiently than conventional tolerizing APC in the thymus and periphery. APC sel B sangat efisien untuk antigen terikat pada reseptor antigen mereka, jadi diri reaktif sel B dapat hadir antigen diri lebih efisien APC tolerizing dibandingkan konvensional dalam timus dan pinggiran. To avoid positive feedback in a vicious cycle of mutual activation by pathogenic T and B cells, it may be necessary for autoreactive B cells to induce helper T cell tolerance to those selfantigens that they recognize and present efficiently, before those T cells are activated by infections. Untuk menghindari umpan balik positif dalam sebuah lingkaran setan saling aktivasi oleh T patogen dan sel B, mungkin diperlukan untuk sel B autoreactive untuk menginduksi toleransi sel T penolong bagi mereka-antigen diri bahwa mereka mengakui dan menyajikan efisien, sebelum sel-sel T yang diaktifkan oleh infeksi. It is known that B cell subsets differ substantially from one another in their ability to recruit T cell help and their propensity to secrete autoantibodies, but they have not been compared with regard to their ability to induce tolerance in naive CD4 T cells. Hal ini diketahui bahwa subset sel B berbeda secara substansial dari satu sama lain dalam kemampuan mereka untuk membantu sel T merekrut dan kecenderungan mereka untuk autoantibodies mengeluarkan, tetapi mereka belum dibandingkan dengan mengenai kemampuan mereka untuk menginduksi toleransi sel T CD4 naif. Three subsets of self-reactive B cells may be particularly important as tolerogenic APC for CD4 T cells. Tiga himpunan bagian dari diri-sel B dapat reaktif sangat penting karena APC tolerogenic untuk sel T CD4. One

subset is the short-lived, anergic, immature transitional B cells that are retained in T cell areas and fail to enter the longlived B cell compartments because their antigen receptors are engaged by self-antigens. Salah satu adalah subset sel berumur pendek, anergic, dewasa B transisi yang ditahan di daerah sel T dan gagal untuk masuk ke kompartemen sel longlived reseptor antigen B karena mereka bergerak sendiri-antigen. Another is the self-renewing marginal zone B cells that are selected into this special B cell subset by self antigens, and are poised for a rapid antibody response to blood-borne pathogens. Lainnya adalah sel-sel diri memperbarui B marjinal zona yang dipilih ke dalam sel khusus subset B oleh antigen diri, dan siap untuk antibodi respon cepat terhadap patogen melalui darah. The third is the selfrenewing B-1 B cells that are seeded to the periphery in early development, are selected and sustained by self-antigen reactivity, and produce germline-encoded, natural and T-independent antibodies that protect against bacterial infections. Yang ketiga adalah memperbaharui diri B-1 B sel yang diunggulkan untuk pinggiran dalam pembangunan awal, dipilih dan didukung oleh reaktivitas antigen diri, dan menghasilkan germline-encoded, antibodi alami dan T-independen yang melindungi terhadap infeksi bakteri. The objective of this project is to determine for the first time the intrinsic efficiency of antigen presentation and tolerance induction by B cell subsets in their natural locations in the steady state in healthy lymphoid organs, using a unique transgenic animal model in which antigen presentation can be limited to B cells of certain subsets. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menentukan untuk pertama kalinya efisiensi intrinsik presentasi antigen dan induksi toleransi oleh subset sel B di lokasi alam mereka dalam kondisi mapan di organ limfoid sehat, menggunakan model hewan transgenik unik yang dapat presentasi antigen terbatas pada sel B himpunan bagian tertentu. The proposed experiments will also test whether animals deficient in particular B cell subsets are deficient in CD4 T cell tolerance to self-antigens presented by those B cells. Relevance: The failure of selftolerance underlies autoimmune disease. Percobaan yang diusulkan juga akan menguji apakah hewan kekurangan khususnya subset sel B kekurangan sel T CD4 toleransi untuk diri-antigen dipresentasikan oleh sel-sel B:. Relevansi Kegagalan selftoleransi mendasari penyakit autoimun. This application investigates the mechanisms that maintain self-tolerance while allowing a vigorous response to infections. Aplikasi

ini menyelidiki mekanisme yang mempertahankan diri-toleransi sementara memungkinkan sebuah respon yang kuat terhadap infeksi. Understanding mechanisms of immunological tolerance may lead to new interventions for prevention or cure of autoimmune diseases, such as lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, and diabetes. Memahami mekanisme toleransi imunologi dapat menyebabkan intervensi baru untuk pencegahan atau mengobati penyakit autoimun, seperti lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, dan diabetes. New methods to induce immunological tolerance will also have important applications in organ and tissue transplantation, gene therapy, and treatment of chronic infections. metode baru untuk mendorong toleransi imunologi juga akan memiliki aplikasi penting dalam transplantasi organ dan jaringan, terapi gen, dan perawatan infeksi kronis.

You might also like