You are on page 1of 16

1. Mengetahui tentang MKEK, MKDKI, dan fungsinya Dalam Bab VII UU RI No.

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di bentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI). Majelis ini merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

MKDKI bertugas: 1. Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan. 2. Menyusun pedoman dan tatacara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI atau secara lisan jika tak mampu secara tertulis. Isi pengaduan sekurang-kurangnya berisi: Identitas pengadu Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi Dan waktu tindakan dilakukan serta alasan pengaduan.

Apabila pada pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran etik, MKDKI meneruskan pengaduan kepada organisasi profesi (IDI,MKEK). Apabila terdapat bukti-bukti awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang. MKDKI dapat memberikan sanksi disiplin berupa: Peringatan tertulis Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) Surat Izin Praktik (SIP) Atau wajib mengikuti pendidikan/pelatihan kembali di Instansi Pendidikan Kedokteran.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia (MKEK) dari pusat hingga ke wilayah-wilayah dan mungkin cabang-cabangnya.

MKEK belum dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter dan masyarakat. MKEK tidak mungkin melakukan pengawasan sampai keruang praktik dokter-dokter. Masyarakat yang menilai perilaku dokter bertentangan dengan etik profesi kedokteran, seharusnya mengambil prakasa mengajukan kasus-kasus dugaan pelanggaran etik itu kepada IDI setempat, yang nantinya akan meneruskan kasus tersebut pada MKEK. Mengingat belum lancarnya penatalaksanaan pelanggaran etik, Departemen Kesehatan (Depkes) dengan Permenkes Nomer 554/menkes/Per/XII/1982 membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK). Jumlah anggotanya antara 7-9 orang. Pada tahun 1985 rapat kerja antara P3EK, MKEK, dan MKEKG telah menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter, antara lain sebagai berikut: 1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diterukan lebih dahulu kepada MKEK 2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK 3. Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK Provinsi. 4. Dalam siding MKEK atau P3EK untuk mengambil keputusan, badan pembela anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika di kehendaki oleh yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan) 5. Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan di tangani bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum di teruskan ke P3EK apabila diperlukan. 6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etika kedokteran serta penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK provinsi. Dalam menilai kasus pelanggaran etik kedokteran, MKEK berpedoman pada: 1. Pancasila 2. Prinsip-prinsip moral dasar umumnya 3. Cirri dan hakikat pekerjaan profesi 4. LSDI 5. Tradisi luhur kedokteran 6. KODEKI

7. Hukum kesehatan terkait 8. Hak dan kewajiban dokter 9. Hak dan kewajiban pasien 10. Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran 11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior. Selanjutnya MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut: 1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai 2. Manfaatnya bagi kesembuhan pasien 3. Manfaatnya bagi kesejaheraan umum 4. Penerimaan pasien terhadap tindakan itu 5. Preseden tentang tindakan semacam itu 6. Standar pelayanan medic yang berlaku Jika semua pertimbangan telah menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik pelanggaran itu di kategorikan kelas ringan, sedang atau berat berdasarkan pada: 1. Akibat terhadap kesehatan pasien 2. Akibat bagi masyarakat umum 3. Akibat bagi kehormatan profesi 4. Peran pasien yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran 5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka Dengan adanya pedoman penilaian tersebut diatas diharapkan factor subjektivitas MKEK dapat dibatasi sekecil mungkin. Namun, sanksi professional yang diberikan harus benarbenar memegang peranan sentral dan tidak hanya merupakan semboyan yang muluk-muluk atau merupakan lips service saja pada acara-acara akademik atau acara-acara perhimpunan profesi. Bentuk-bentuk sanksi: Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal MKEK memberikan usul ke kanwil Depkes Provinsi atau Depkes untuk memberikan tindakan administratif, sebagai

langkah pencegahan terhadap kemungkinan pelanggaran-pelanggaran yang sama di kemudian hari atau terhadap makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etika kedokteran bergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik tentulah upaya pencegahan pelanggaran etik, yaitu dengan cara terus menerus memberikan penyuluhan kepada anggota IDI, tentang etika kedokteran dan hokum kesehatan. Namun, jika terjadi pelanggaran, sanksi yang di berikan hendaknya bersifat mendidik sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa: 1. Teguran atau tuntunan secara lisan atau tulisan 2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat 3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah 4. Dicabut izin praktik dokter untuk sementara atau selama-lamanya 5. Pada kasus pelanggaran etikolegal diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.

2. Mengetahui definisi malpraktek dan investigasinya Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar. Atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik. (hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. 1999. Jakarta: EGC) Secara material suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut: Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang konkrit. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran. Telah mendapatkan persetujuan pasien.

Kalau kita merinci aspek hukum dari malpraktek, maka pedoman yang harus diperhatikan adalah adanya: Penyimpangan dari standar Profesi Medis Dapat terjadi karena indikasi medis yang tidak jelas dan/atau prosedur tindakan medis yang tidak sesuai standar. Kesemuanya harus ditelusuri, apakah tindakan dokter sudah teliti dan hati-hati; metode; kemampuan; kondisi tertentu dimana tindakan tersebut harus dilakukan; apakah ia menerapkan asas keseimbangan antara upaya-sarana yang dilakukannya dengan tujuan konkrit yang ikgin dicapai. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan, ataupun kelalaian. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik materiil/non materiil, atu fisik(luka atau kematian)/mental. (Wiradharma, Danny. Penuntun kuliah Hukum kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara)

pengaduan

MKDKI (majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia)

INVESTIGASI
Malpraktik etik Disiplin kedokteran Malpraktik medik (pidana)

MKEK

bebas

Hukuman disiplin: Teguran tertulis Penegakan hokum penyidik

bebas

Tuntunan lisan, tertulis

Tindakan administratif

Pencabutan STR Pencabutan SIP

pengadilan

Wajib Gaji/pangkat (tunda kenaikan, pendidikan atau penurunan) Cabut SIP sementara/selamalamanya

bebas

Pidana (penjara + denda)

Hukuman kepegawaian

3. Mengetahui tentang rekam medis Ada beberapa pengertian rekam medis yang dipakai di Indonesia sebagai berikut: 1. Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan. 2. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989: Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap. 3. Menurut Gemala Hatta Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. 4. Waters dan Murphy :

Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan 5. IDI : Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien. 6. BAB II butir 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN MEDIK No.78/Yan.Med/RS.UM.DIK/YMU/1/91: Rekam medis di Rumah sakit adalah berkas yang berisikan catatan dan dokuman tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien selama dirawat di rumah sakit yang dilakukan di unit2unit rawat jalan termasuk unit gawat darurat dan unit rawat inap.

Adapun isi Rekam Medis ialah catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data tentang identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dibagi dalam dua kelompok data yaitu: 1. Data medis atau data klinis Yang termasuk data medis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta basilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat rahasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut. 2. Data sosiologis atau data non-medis Yang termasuk data ini adalah segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dsb. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial). Manfaat dari rekam medis itu sendiri tertuang dalam Permenkes no. 749a tahun 1989 sebagai berikut: Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum

Bahan untuk kepentingan penelitian Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan, Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Pihak yang berhak membuat rekam medis tertuang dalam BAB III butir 2 JUKLAK PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS, yaitu : Dokter Umum, Dokter spesialis, Dokter gigi dan Dokter gigi spesialis yang berkerja di RS tsb. Dokter tamu yang berada di RS tsb. Residen yang sedang melaksanakan kepaniteraan medik. Tenaga paramedis perawatan dan paramedis non perawatan yang langsung terlibat di dalam pelayanan2 kepada pasien di RS meliputi: perawat, perawat gigi, bidan, tenaga lab klinik, gizi, anestesia, penata rontgen, rehabilitasi medik, dsb. Dalam hal dokter luar negeri melakukan alih teknologi kedokteran yang berupa tindakan/konsultasi kpd pasien, yg membuat rekam medis adalah dokter yg ditunjuk oleh direktur rumah sakit.

Kepemilikan Rekam medis di Indonesia diatur dalam Pasal 10 PERMENKES tentang rekam medis yang menyebutkan: (1) Berkas rekam medis milik sarana kesehatan (2) Isi rekam medis milik pasien Salah satu alasan mengapa Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Tentang Rekam Medis adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran. Pada penjelasan disebutkan bahwa : Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran dengan perasaan aman dan bebas. Ia harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala keluhan yang mengganggunya, baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hak itu

berguna untuk menyembukan dirinya. Ia tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu mengenai keadaannya akan disampaikan kepada orang lain, baik oleh dokter maupun oleh petugas kedokteran yang bekerja sama dengan dokter tersebut. SANKSI PIDANA UNTUK PEMBOCORAN RAHASIA REKAM MEDIS BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN. Pasal 35 huruf d. Tentang Ketentuan Pidana yang diatur dalam PP Nomor 32 tahun 1966 Tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan : Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 10 dipidana denda paling banyak Rp.10.000.000.00,- (sepuluh juta Sedangkan bunyi pasal 22 ayat (1) yang dimaksud adalah : Bagi setiap tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk: a. b. c. d. e. Sanksi administratif : Sanksi administratif untuk tenaga kesehatan sehubungan dengan peraturan tentang rekam medis diatur dalam pasal 20 PERMENKES Tentang Rekam Medis yang berbunyi : Pelanggaran terhadap ketentuan ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran sampai pencabutan ijin. Pengungkapan Rahasia Medis Untuk Kepentingan Pendidikan Pengungkapan informasi atau gambar atau pembicaraan mengenai pasien tanpa ijin, meskipun dengan penyamaran identitas, jika si pasien dapat diidentifikasi melalui nama, Menghormati hak pasien; Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; Membuat dan memelihara rekam medis. rupiah). ayat

deskripsi, atau penampilannya, maka dapat menimbulkan perkara hukum karena pelanggaran privacy. Sekalipun gambar atau informasinya dimuat dalam jurnal kedokteran untuk tujuan pendidikan atau penelitian, jika si pasien dapat dikenali maka dokter tersebut mudah kena ancaman perkara hukum karena pelanggaran rahasia jabatan. Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan. (http://www.freewebs.com/scolty46/disclosureaboutpatient.htm) 4. Mengetahui tentang inform consent Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien. Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien. Elemen-elemen Informed consent Suatu informed consent harus meliputi : 1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya

2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya 3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati 4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN 1. Hasil Pemeriksaan Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.

Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.

5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. (http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm) Informed consent Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah: 1. Diagnosa yang telah ditegakkan. 2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan. 3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut. 4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut. 5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain. 6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut. Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran : a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut. b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan

melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan ( Ayat 2 ). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah: 1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. 2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008. Tujuan Informed Consent: a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ) Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ). (Sumber: Buku Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia)

Bentuk informed consent Ada dua bentuk inform consent, yaitu : 1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent) - Keadaaan normal - Keadaan darurat 2. Dinyatakan (expressed consent) - Lisan - Tulisan Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Misalnya penngambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan melakukan penjahitan. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, baik

yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sudah mencukupi. Namun,bila tindakan yang akan dilakukan mengandunf resiko sepertitindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive, sebaiknya didapatkan informed consent secara tertulis.

Persetujuan Inti dari persetujuan adalah harus didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah : pasien yang sudah dewasa(>21th atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Untuk pasien < 21 tahun dan pasien gangguan jiwa yang menandatangani adalah orang tua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam keadaan tidak sadar, pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medic berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medic segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun(pasal 11 bab IV permenkes no.585)

Penolakan Disebut sebagai informed refusal. Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun doikter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada psien. Bila dokter gagal dalam meyakinkan pasien dalam alternative tindakan yang diperlukan, untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhada anjuran tindakan medis yang diperlukan. (Buku etika kedokteran indonesia)

5. Mengetahui tentang undang-undang yang berhubungan dengan kesehatan dan kedokteran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Definisi Kesehatan, sumber daya, perbekalan, sediaan farmasi, alat kesehatan, tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, obat, obat tradisional, dan teknologi keseahatan, upaya kesehatan, pelayanan keseahtan promotif, pelayanan kesehatan preventif, Pelayanan kesehatan kuratif, Pelayanan kesehatan rehabilitative, Pelayanan kesehatan tradisional, Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Menteri. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Asas Pembangunan kesehatan. Pasal 3 Tujuan Pembangunan kesehatan. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 4, 5,6,7,8 Hak setiap warganegara untuk mendapatkan kesehatan dan fasilitas kesehatan menurut uu.. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 9, 10,11,12,13 Kewajiban setiap warganegara mewujudkan dan berpartisipasi dalam peningkatan keseahtan yang diatur oleh uu. BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH Pasal 14,15,16,17,18,19,20 Tanggung jawab dan upaya pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Definisi Praktik kedokteran, Dokter dan dokter gigi, Konsil Kedokteran Indonesia, Sertifikat kompetensi, Registrasi, Registrasi ulang, Surat izin praktik, Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi, Sarana pelayanan kesehatan, Pasien, Profesi kedokteran atau kedokteran gigi, Organisasi profesi, Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien. Pasal 3 Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk : a. memberikan perlindungan kepada pasien; b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

You might also like