AGRESI MILITER BELANDA

Perundingan Linggarjati (10 November 1946) yang ditandatangani oleh Kabinet Syahrir III ditolak oleh kaum pergerakan. Dalam perjanjian itu diputuskan bahwa akan dibentuk sebuah negara federasi yang dinamakan Negara Indonesia Serikat. Selain itu dibentuk juga Uni Indonesia-Belanda. Isi perjanjian itu dianggap semakin memperlemah kedudukan Indonesia dalam menghadapi Belanda.

Agresi Militer Balanda I (21 Juli 1947)

Indonesia akan dijadikan negara jajahan dan akan dibentuk

gendarmerei (Pasukan Indonesia-Belanda). Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda megirimkan nota Ultimatum dan harus dijawab oleh Indonesia dalam waktu 14 hari. Lalu tanggal 15 Juli 1947 Belanda mengirim lagi nota Ultimatum yang isinya : membentuk gendarmerei bersama dan meminta agar RI menghentikan permusuhan terhadap Belanda. Dalam waktu 34 jam Indonesia harus menjawabnya. RI menjawab tanggal 17 Juli 1947 melalui RRI, tapi ditolak Belanda. Pada tanggal 20 Juli 1947, Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan militer ke wilayah RI di Jawa dan Sumatra. Serangan itu mengawali Agresi Militer Belanda I. Dalam serangannya ini Belanda berhasil menguasai Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta daerah sekitar Medan dan Palembang. Tujuan AMB I ada 3 yaitu : 1. Tujuan Politik : RI 2. Tujuan Ekonomi : merebut pusat-pusat penghasilan makanan dan bahan ekspor. 3. Tujuan Militer : menghancurkan TNI -1mengepung ibu kota RI dan menghapus kedaulatan

TNI mengalami pukulan besar saat AMB I, sehingga perjuangan diplomasi. Keberhasilan perjuangan diplomasi terbukti dari munculnya reaksi dari India dan Australia yang mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang pada tinggal 31 Juli 1947 dan hasilnya diterima tanggal 1 Agustus 1947. Pada tanggal 3 Agustus, Belanda menerima resolusi dari Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan tembak-menembak. Pada tanggal 4 Agustus terjadi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB

membentuk Komosi Tiga Negara (KTN) untuk menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda. Tiga Negara itu terdiri dari: a. Australia diwakili oleh Richard Kirby mewakili kepentingan Indonesia. b. Belgia diakili Paul van Zeland mewakili kepantingan Belanda. c. Amerika-Serikat (dipilih Australia-Belgia) diwakili Dr. Frank Graham sebagai pihak netral.

-2-

 Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948)

Perundingan Renville mengalami kemacetan. Indonesia dan Belanda tidak menemui kesepakatan lagi. Indonesia melalui Hatta (WaPres sekaligus Perdana Menteri) tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda terus berupaya mencari cara menjatuhkan wibawa Indonesia. Saat ketegangan memuncak, Indonesia dan Belanda mengirim nota kepada KTN yang berisi tuduhan pihak lawan. Akhirnya menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, wali tinggi Mahkota Belanda, Dr Beel mengumumkan Belanda tidak terikat lagi dengan perundingan Renville. Dini hari tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 Belanda melancarkan Agresi Militernya yang Kedua terhadap Indonesia. Serangan darat dan udara langsung ditujukan kepada ibu kota negara RI yaitu Yogyakarta. Lapangan terbang (Bandara) Maguwo (sekarang Adisucipto) dengan tempo singkat dapat dikuasai Belanda, dan kemudian seluruh wilayah di Yogyakarta dikuasai. Selain itu Presiden Ir. Soekarno, Sutan Sjahrir, dan H. Agus Salim diasingkan ke Berastagi, Sumatra Utara. Kemudian mereka dipindahkan ke Prapat, dan akhirnya pada bulan Februari 1949 mereka dipindahkan kembali ke Bangka. Sedangka Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Ali Sastroamidjoyo, dan para pemimpin lainnya diasingkan ke Pulau Bangka. Sebelum ditangkap para pemimpin melakukan sidang kabinet, lalu Presiden Soekarno mengirimkan mandat melalui radiogram kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jika tidak mungkin -3-

kepada

Mr.

Maramis

dan

Soedarsono

diberi

wewenang

untuk

membentuk PDRI di luar negeri. Ketika itu Mr. Maramis dan Soedarsono menjadi diploma yang sedang berada di India. Pada tanggal 20 Desember 1948 Sjafrudin berhasil membentuk PDRI di Bukittinggi. Beliau kemudian dipilih sebagai ketua PDRI. Dengan dibentuknya PDRI, maka pemerintahan RI dapat berjalan normal kembali. Panglima Besar Jenderal Soedirman diperintahkan untuk melakukan perang gerilya walaupun keadaan pada waktu itu sedang sakit keras. Agresi Militer Belanda II mendapat reaksi keras dari dalam dan luar negeri. Reaksi dari dalam negeri datang dari negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara ciptaan Belanda itu,memprotes tindakan Belanda. Akhirnya, mereka membubarkan diri dan bergabung dengan RI. Reaksi dari luar negeri berupa : 1. India, Pakistan dan Srilanka melarang pesawat Belanda melewati negara mereka. 2. Konferensi Asia di New Delhi (20-23 January 1949) menghasilkan resolusi New Delhi dan disampaikan ke Dewan Keamanan PBB. Melalui berbagai perundingan, PBB berusaha semaksimal mungkin untuk ikut serta menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dan Belanda. Dalam persetujuan Roem Royen disetujui penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar untuk pembentukan Negara Indonesia Serikat serta penyerahan kedaulatan kepada negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesudah KMB, konflik Indonesia-Belanda seolah dapat diselesaikan. Namun, nyatanya tidak demikian. Belanda masih mendalangi

berbagai kekacauan yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Seperti -4-

pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Kapten Wisterling di Jawa Barat, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, Pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, RMS dipimpin Dr. Soumokil di Maluku dan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan. Semua itu adalah boneka Belanda yang ingin menjatuhkan

pemerintahan dan negara Indonesia. Namun, kesatuan dan persatuan antara rakyat dan TNI telah menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka dan berdaulat tetap tegak berdiri.

-5-