You are on page 1of 126

MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU DALAM SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO DI KEL. LEATUNG KEC.

SANGALLA UTARA KAB. TANA TORAJA

SKRIPSI

MAIKE YULITA DATUAN E41107062

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

HALAMAN PENGESAHAN JUDUL : MAKNA SISTEM SIMBOLIK TAU-TAU SOSIAL DALAM PADA

STRATIFIKASI

PELAKSANAAN UPACARA RAMBU SOLO DI KEL. LEATUNG KEC.SANGALLA UTARA KAB. TANA TORAJA NAMA NOMOR POKOK : : MAIKE YULITA DATUAN E411 07 062

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II untuk diajukan pada tim evaluasi skripsi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Makassar, Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II 18 Juli 2011

Drs. Hasbi M.Si Nip: 1963 0827 1991 0310

Drs.SuparmanAbdulla,M.Si Nip: 1969 1231 200801 1

Mengetahui/Menyetujui Pimpinan Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS

Drs. Hasbi, M.Si Nip:1963 0827 1991 0310

LEMBAR PENERIMAAN TIM EVALUASI

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Evaluasi Skripsi pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Oleh :
NAMA NIM JUDUL : MAIKE YULITA DATUAN : E 411 07 062 : MAKNA SIMBOLIK TAU-TAU PADA DALAM SISTEM

STRATIFIKASI

SOSIAL

PELAKSANAAN

UPACARA RAMBU SOLO DI KEL. LEATUNG KEC. SANGALLA UTARA KAB. TANA TORAJA

Pada : Hari / Tanggal : Selasa, 12 Juli 2011 Tempat : Ruang Ujian Jurusan Sosiologi FISIP UNHAS

TIM EVALUASI SKRIPSI

Ketua

: Prof. Dr. Maria E, Pandu, MA

( .................................)

Sekretaris

: Sultan, S.Sos, M.Si

( .................................)

Anggota

: Drs. Hasbi, M.Si

( ................................ )

Drs. Suparman Abdullah, M.Si ( ................................ )

Buchari Mengge, S.Sos, MA

( ................................ )

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, pertolongan dan pimpinannya, sehingga penulis dapat

merampungkan skripsi ini yang berjudul Makna Simbolik Tau-tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo di Kelurahan Leatung Kecamata Sanggala Utara Kabupaten Tana Toraja. Setelah beberapa tahun bergelut dalam masa studi,di sela-sela berbagai tirai penghalang yang setia menyertai. Penulis dihadapkan pada keputusan penting pada apa yang harus ditulis dan dari mana memulainya. Tetapi dengan kerja keras dari penulis akhirnya skripsi ini dapat selesai juga. Penulis sangat menyadari bahwa berkat dukungan, motivasi, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat dirampungkan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Petrus Bokko Ibunda Rasma Runtung Datuan, BA, atas doa restu, kasih sayang dan pengorbananya selama ini. Penulis sadar semua itu tidak akan pernah bisa terbalaskan. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan ini

penulis dengan segala kerendahan hati

menyampaikan terimah kasih dan penghargaan kepada: 1. Bapak Prof. Dr, Idrus A. Paturusi, Sp.B.Sp.Bo selaku Rektor Universitas Hasanuddin 2. Bapak Prof Dr.Hj. Hamka Naping,MA. selaku Dekan Fisip Universitas Hasannudin. 3. Bapak Drs. Hasbi M,Si selaku ketua jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar dan sekaligus sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Drs.Suparman Abdulla,MA selaku Penasehat Akademik dan Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Para dosen dan staf Akademik jurusan sosiologi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Hasanuddin. (terima kasih atas ilmunya) 6. Yohanis Panggalo selaku Lurah Leatung yang telah memberikan keterangan serta memberikan ijin kepada sipenulis untuk mengadakan penelitian Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan di Kelurahan Leatung. 7. Seluruh responden yang telah bersedia meluangkan banyak waktunya kepada penulis, untuk memberikan informasi dan data-data sampai pada penyelesaiaan skripsi ini

8. Rasa hormat penulis haturkan terima kasih terkhusus kepada kedua orang tuaku yang paling aku cintai dan sayangi karena telah melahirkan dan membesarkan ananda, dengan tulus dan kasih sayang, mendidik dan membiayai dan memotivasi ananda sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai di perguruan tinggi. 9. Buat kakakku yang sangat aku sayangi Ronal Datuan, Roni Runtung Datuan, Very Datuan dan Nely Datuan makasih atas segala nasehatnya, perhatiannya, motivasinya, kerjasamanya serta dukungannya selama adinda di bangku kuliah. 10. Semua keluargaku tak terkecuali makasih atas segala batuaannya, suportnya, dan dukungan doanya selama penulis dalam bangku kuliah. 11. Semua teman-teman ku di jurusan sosiologi angkatan 07 yang telah banyak membantuku. 12. Teman seperjuanganku Norma, Lina, Icha, dan Marni yang paling setia menemaniku, membantuku dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kerja samanya. 13. Teman-teman ku warga PMKO FISIP UNHAS, terima kasih dukungan dan doanya, selama penyusunan Skripsi ini. 14. Terima kasih juga kepada kakak Febri yang tidak perna bosan mendengarkan keluh kesahku selama dalam penyelesaian skipsi ini, tanks atas waktunya serta pengertiannya, saya tidak akan perna melupakan nasehat-nasehat kakak .

15. Untuk semua yang telah berarti dalam hidupku yang tak sempat disebut oleh penulis, makasih atas segala dukungan dan kerjasamanya.

Makassar,

2011

Maike Yulita Datuan

ABSTRAK Maike Yulita Datuan, E411 07 062, Judul Skripsi Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla Utara Kabupaten Tana Toraja Di Bimbing oleh Hasbi dan Suparman Abdulla. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau dalam Sistem Stratifikasi Sosial sebagai salah satu komponen utama dalam Upacara Rambu Solo di Kel. Leatung Kec. Sangalla Utara Kab. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna tau-tau secara alamiah di Tana Toraja, mengetahui makna simbolik tau-tau sebagai salah satu komponen utama dalam upacara rambu solo dan memahami sistim norma yang berkaitan dengan tau-tau di Tana Toraja serta mengapa makna simbolik tau-tau tersebut masih dipertahankan. Pada dasarnya tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai objek yang diteliti atau satu tipe penelitian yang bertujuan membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta yang ada. Dasar penelitian ini adalah studi kasus yaitu satu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi. Penentuan informan ditentukan secara sengaja, secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti. Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli berdasarkan atas kriteria, adapun kriteria yang dimaksud adalah penduduk yang berada di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla Utara Kabpupaten Tana Toraja Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan pedoman wawancara. Hasil wawancara dan observasi tersebut kemudian digambarkan dalam bab pembahasan seta kajian literature yang berkenaan dengan penelitian ini. Maka dengan demikiaan diperoleh kesimpulan bahwa simbol tau-tau yang dipergunakan dalam upacara rambu solo menurut peraturan adat orang toraja yang dibuatkan Tau-tau adalah orang yang berasal dari kalangan bangsawan tinggi yang telah berjasa besar bagi masyarakat, kaya kuat, sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat, merupakan pemuka/pemimpin masyarakat dan bagi golongan yang hidupnya berarti bagi masyarakat. Status sosial sangat mempengaruhi keberadaan tau-tau dalam upacara rambu solo di Tana Toraja.

DAFTAR ISI HALAMAM SAMPUL HALAMAN JUDUL. HALAMAN PEGESAHAN KATA PENGANTAR........... ABSTRAK DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Kerangkah konseptual . Metode penelitian . 1. Dasar dan Tipe Penelitian . 2. Teknik Lokasi Penelitian . 3. Teknik Pemilihan Informan . 4. Teknik Pengumpulan Data .. 5. Teknik Analisis Data 1 6 7 8 17 17 17 17 18 19 i ii iii iv viii ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. B. C. D. E. F. G. H. I. Pengertian Matau-tau . Upacara Keagamaan Pengertian Tentang Makna dan Simbol .. Teori Interaksionisme Simbolik .. Pengertian Kepercayaan dan Kebudayaan Pengertian Stratifikasi Sosial. Kepercayaan Aluk Todolo .. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan Sistem Sosial 21 22 26 28 37 39 44 49 50

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI A. B. C. D. Gambaran Umum Kelurahan Leatung. Mata pencaharian . Sistem Pendidikan Sarana dan Prasarana ... 59 62 63 64

E. Sistem Kepercayaan F. Sistem Kekerabatan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

66 66

A. Karakteristik Responden .. 70 B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen Dalam Upacara Rambu Solo 72 C. Makna Stratifikasi dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya 82 D. Makna Simbolik Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Budaya 85 E. Norma/Aturan yang Berkaitan dengan Tau-tau 88 F. Makna Religi dari Upacara Tau-tau Masa Kini 95 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... B. Saran . DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 103 104

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan tidak akan mampu untuk hidup sendiri. Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa hidup berkawan dimanapun mereka berada. Oleh karena itu manusia yang hidup berkelompok diwujudkan dalam suatu masyarakat senantiasa berusaha mengejar suatu hidup yang teratur dan aman. Namun harapan itu tidak akan perna terwujud jika kelompok masyarakat itu tidak perna saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Dan agar individu-individu harus dapat memainkan perananya masing-masing dalam kelompok masyarakat itu sebagai suatu sistem. Memahami sistem kepercayaan suatu kelompok masyarakat merupakan hal penting baik itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengembangan secara menyeluruh, khususnya pada bidang kebudayaan. Urgensinya dapat dilihat pada peranan sistem kepercayaan dalam bentuk sikap individu dalam berperilaku. Dimana orientasi kepercayaan yang bertujuan sebagai pedoman tingkah laku bagi seluruh masyarakat yang memahami serta menyakini kepercayaan tersebut dalam suatu wilayah. Pada umumnya kepercayaan menjadi suatu pegangan dalam menyakini sesuatu yang gaib atau yang sifatnya supernatural yang berada diluar batas pemikiran manusia. Diwilayah toraja terdapat satu sistem kepercayaan yang dikenal sebagai aluk todolo, pada suku toraja, menempatkan kepercayaan terhadap dunia gaib yang hakiki. Dalam pandangan hidup Aluk Todolo. Hidup di dunia ini

hanya sementara, terdapat suatu dunia dimana kehidupan tersebut menjadi kekal, yakni di alam puya. Tandilintin(1981:64). Abu hamid dalam honesto (1996:2) mengemukakan bahwa penganut Aluk Todolo memandang hidup ini sebagai suatu proses untuk mencapai yang lebih tinggi dan suci. Kehidupan di dunia harus tetap melalui proses agar nantinya mendapat kehidupan yang baik di alam puya. Sesuai definisi Alam Puya adalah suatu perhimpunan para arwah-arwah sebelum menjelma menjadi dewa atau to membali puang setelah diadakanya rangkaian upacara tertentu yakni dalam upacara Aluk Rambu Solo. Upacara kematian dan pemakaman yang disebut Aluk Rambu Solo bagi masyarakat toraja yang dilandasi oleh aturan dan kepercayaan serta bahkan boleh dikatakan bahwa hal tersebut dikatergorikan sebagai keyakinan yang mereka anut secara turun - temurun. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Natsir (2007:52) bahwa keyakinan Aluk Todolo adalah kepercayaan dan pemujaan kepada arwah leluhur yang lahir dari suatu kepercayaan yang bersumber dari Aluk Pitussabu Pitu RatuPitungpulo Pitu. Sebagian besar masyarakat Toraja menggangap bahwa aturan tersebut sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam yaitu (1) hubungannya dengan pemujaan kepada arwah leluhur. Karena pada prinsipnya selain sebagai aturan yang telah menjadi (2)aspek-aspek tentang kehidupan manusia juga sebagai aturan pemujaan kepada Puang Matua (sang pencipta) (3) serta aturan tentang bagaimana menyembah atau pemujaan kepada leluhur sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada keturunannya dalam ajaran aluk todolo.

Dalam kehidupan keseharian orang Toraja dalam mengaktualisasikan kepercayaan AlukTodolo. Dengan melakukan upacara keselamatan dan kehidupan manusia yang disebut Rambu Tuka. Upacara ini juga dapat bermakna sebagai upacara syukuran. Dengan demikian, masyarakat Toraja dalam menjalankan sitem kepercayaan aluk todolo dapat dibagi 2 macam yaitu upacara Rambu Tuka untuk keselamatan dan syukuran dan untuk kematian dan pemakaman disebut upacara Rambu Solo. Masyarakat Tana Toraja sangatlah terkenal dengan upacara kematiannya jika dibandingkan dengan upacara pernikahan, karena bagi masyarakat Tana

Toraja mereka hidup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan berikutnya. Pada prosesi pemakaman ada beberapa ritual yang harus dilakukan sampai keritual puncaknya. Dalam upacara kematian masyarakat Toraja mempunyai beberapa tingkat tingkatan upacara yang diatur atau ditentukan oleh adanya kasta-kasta yang dinamakan Tana dalam masyarakat Toraja, serta selain dari hal tersebut juga karena adanya dasar perbedaan kasta dan kemampuan seseorang dalam pelaksanaan upacara pemakaman. Kemampuan seseorang serta kasta yang ada hanya dibatasi oleh persyaratan yang sifatnya normal saja, karena yang tidak berkemampuan tidak diatur lagi oleh kedudukan tana, sementara yang diatur adalah hanya orang yang memiliki kemampuan dalam meyediakan kurban-kurban upacara pemakaman yang dalam hal ini utamanya kerbau. Jadi perbedaan tingkatan upacara yang disebutkan diatas hanya ditentukan oleh kemampuan menurut adat.

Dalam upacara kematian tersebut ada berbagai kegiatan atau tindakan religius yang dilaksanakan, yang disertai dengan sifat sakral. Tindakan religius seluruhnya bersifat simbolis, sehingga dalam upacara itu dipenuhi dengan simbolsimbol. Maka sistem upacara kematian orang toraja pun sangat spesifik sifatnya dan sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat dimana simbol simbol yang mendukungnya mempunyai fungsi dan peranan tersendiri baik bagi individu sendiri (pemakai gelar), maupun masyarakat secara umum yang mendukung kebudayaan tersebut. Simbol-simbol tersebut biasanya diambil dari tumbuhan-tumbuhan, binatang,ataupun benda-benda pusaka yang dimilikinya, dan ada juga yang dilambangkan dalam gambar, wujud atau rupa. Manusia misalnya dapat disimbolkan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. Orang yang terpandang dalam masyarakat penguasa atau bangsawan disimbolkan dengan barana (pohon beringin) : Tabe lako baranana tondok, lamba layukna padang. Syair ini biasanya diungkapkan sebagai kalimat permohonan izin kepada yang dituakan dalam suatu upacara Rambu Solo maupun Rambu Tuka. Selain it u juga disimbolkan dengan binatang kerbau saleko : kenna tedong tu saleko (seandainya kerbau, ia adalah saleko). Penyimbolan semacam ini dilatarbelakangi oleh mitos penciptaan, bahwah manusia dan segala isi bumi adalah sangserkan (sama-sama berasal dari golongan yang sama, secarik atau bersaudara). Tau-tau (patung) yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah salah satu dari lambang atau simbol yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan orang Toraja. Tautau ini adalah karya seni yang terbuat dari kayu pahatan, yang wujud atau

modelnya serupa (mirip) dengan leluhur yang bersangkutan. Pada umumnya tautau ini dapat kita jumpai pada saat upacara itu dilaksanakan dan dipekuburanpekuburan. Tau-tau sebagai simbol lahir dari suatu pengetahuan, kesadaran dan pemahaman orang Toraja, pada hakekatnya ia mengandung nilai-nilai atau makna-makna dan fungsi dalam penempatannya. Oleh karena itu, tau-tau tidak dapat dipakai begitu saja, tetapi harus disesuaikan dengan kedudukan dan exsistensi sipemiliknya. Akan tetapi dewasa ini, pemahaman orang Toraja sendiri terhadap nilai-nilai atau makna-makna yang terdapat pada tau-tau umumnya sudah mulai kabur atau berkurang sehingga pembuatan tau-tau ada yang tidak lagi berdasarkan makna-makna simbolik melainkan dilihat hanya sebagai foto belaka atau hanya sebagai gambar yang bernilai estetis. Sosiologi mempelajari dalam teori interaksionisme simbolik bahwa kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol memungkinkan manusia bisa melihat dirinya melalui prespektif orang lain. Proses-prose berfikir, bereaksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu. Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomuikasikan arti-arti kepada orang-orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang-orang lain menginterprestasikan simbol-simbol itu dan mengarahkan tingkah-laku mereka berdasarkan interprestasi mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh George Herbert Meed dalam teori sosiologi modern(2007: 95)

Upacara pemakaman dalam kepercayaan Aluk Todolo, diwarnai oleh berbagai tindakan religius, salah satu unsur tindakan religius dalam upacara pemakaman adalah Tau-tau. Rob (www.toraja-treasure.com) mengatakan bahwah Tau-tau berasal dari kata Tau yang berarti manusia. Pengulangan kata Tau mengandung makna menyerupai, jadi Tau-tau secara harafiah berarti orangorangan. Dalam konteks upacara pemakaman budaya Tana Toraja, Tau-tau bukanlah sebuh patung yang digunakan untuk mempresentasikan raga si orang yang telah meninggal tersebut tidak ikut mati. Ini merupakan warisan kepercayaan asli suku toraja, dimana para komunitas Aluk Todolo yang mempercayai adanya dunia lain setelah dunia ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pentingnya penelitian ini dilakukan, maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai acuan pengumpulan data dalam penelitian nanti. Adapun pokok masalah yang dimaksud adalah Makna Simbolik Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Rambu Solo di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla Utara Kabupaten Tana Toraja hal tersebut diatas dapat dilihat dari dua jenis pertayaan yang antara lain yaitu: 1. Bagaimana makna simbolik Tau-Tau sebagai salah satu komponen utama dalam upacara Rambu Solo di Kel. Leatung Kec. Sangalla Utara Kab. Tana Toraja? 2. Bagaimana makna startifikasi sosial yang berkaitan dengan tau-tau? 3. Mengapa makna simbolik tau-tau masih di pertahankan?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitian Setiap masalah yang diangkat dalam suatu penelitian tentunya mempunyai tujuan, begitupun dengan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Makna Simbolik Tau-Tau sebagai salah satu komponen utama dalam Upacara Rambu Solo di Kel. Leatung Kec. Sangalla Utara Kab. Tana Toraja. 2. Untuk mengetahui makna staratifikasi sosial yang berkaitan dengan tau-tau. 3. Untuk mengetahui makna simbolik tau-tau ini masih dipertahankan. b. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis a. Bagi mahasiswa adalah sebagai bahan masukan untuk menambah khasanah pengetahuan sekaligus kontribusi pemikiran tentang Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Upacara Kematian Orang Toraja. b. Bagi penelitian selanjutnya agar dijadikan sebagai informasi dan referensi bagi penelitian yang mengkaji hal yang serupa. 2. Manfaat praktis a. Bagi pemerintah setempat untuk bahan informasi bagi

pembangunan sektor parawisata di Toraja.

b. Bagi pribadi penulis dalam memahami bidang sosiologi dan sebagai bahan perbandingan bagi pihak yang ingin

meneliti/memahami topik yang sama. D. Kerangkah Konseptual a. Kepercayaan Oleh geertz (1992:5) melihat kepercayaan adalah suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasi yang kuat dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan kosepkonsep tentang suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepkonsep itu dengan aura faktualitas, sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak nyata. Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tradisi seperti yang tercermin pada upacara pemakaman yang merupakan tradisi dan pola budaya pada sistem kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem religi sebagai inti dari setiap kebudayaan. Religi sebagai salah satu unsur kebudayaan, memiliki beberapa komponen yang mempuyai peranan-peranan sendiri-sendiri namun berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Adapun komponen itu antara lain emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat agama

(Kontjaraningrat,(1987:80). Dimana sistem kepercayaan itu tidak terlepas dari dukungan atau partisipasi masyarakat yang menjadi pelanjut dan pewaris tradisi tersebut. Dimana sistem kebudayaan berkaitan erat dengan kegiatan upacara.

Upacara pemakaman merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat khususnya kehidupan masyarakat Tana Toraja. Upacara ini tidak diperuntukan pada kegiatan keseharianya, tetapi dikaitan dengan

kepercayaan Aluk Todolo. Sebab keyakinan Aluk Todolo merupakan salah satu keyakinan yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan yang dianut oleh orang toraja sejak dari nenek moyang mereka yang hingga saat ini masih tetap berakar hidup di masyarakat Toraja (Tangdilintin,(1975:1). Kematian dalam Aluk Todolo merupakan proses yang membentuk seseorang kepada kemuliaanya yaitu menjadi Dewa. Setiap ada orang mati Sisarak Angin Dipudukna (menghembuskan nafas terakhir belum disebut mati melainkan pergi atau Male Memboko dalam artian orang yang

dimaksud tersebut telah pergi dan apabila mayat masih ada diatas rumah, orang mati tersebut masih dianggap tidur sekalipun sudah tidak bernafas. Dikatakan demikian karena motivasi religius dari upacara kematian bagi orang Toraja adalah bahwa arwah orang mati itu akan menempati kedudukannya yang baru yakni di alam puya. Oleh Subaga(1987) dikemukakan bahwa motivasi upacara pemakaman itu dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa dibalik kematian masih ada lanjutan hari hidup di dunia lain. Dan kelanjutan dari hidup itu ada sangkut pautnya dengan upacara kematian, yang merupakan suatu penunjang untuk hidup di alam lain. Oleh sebab itu upacara pemakaman bagi orang Toraja sangatlah penting karena untuk menunjang arwah orang mati memasuki tempatnya yang tetap.

Pelaksanaan upacara pemakaman tersebut ditunjang pula dengan realitas kehidupan yang digambarkan sebagai suatu kehidupan yang kekal. Clifford geertz(dalam Achmad, 2005:288) mengemukakan suatu defenisi kebudayaan sebagai:(1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefenisikan dunia mereka. Mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka, (2) suatu pola makna-makna yang ditranmisikan secara historis yang terkadang dalam bentuk-bentuk simbol, yang melalui bentuk-bentuk simbol tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai sikap terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi, dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemakan, dan diinterpretasi. b. Simbol Dengan digunakannya simbol dalam setiap upacara akan menumbuhkan rangsangan pemikiran, sementara dari simbol tersebut saling terkait dengan sismbol-simbol lainya yang turut menumbuhkan rangsangan pemikiran, sehingga akan mengakibatkan proses pengantian simbol yang di interprestasikan. Karena kita ketahui bersama bahwa simbol merupakan akumulasi dari pada makna yang digambarkan oleh interprestasi pemikiran tadi kemudian mengakibatkan timbulnya interaksi manusia dan lingkungan alam

dan sosial budayanya yang dipergunakan untuk melihat kehidupan menurut latar belakang sosial budaya masyarakat berdasarkan pengalaman, dan juga nilai intelektualisasi yang dimiliki masyarakat Toraja. Dalam upacara pemakaman diungkapkan dalam bentuk simbolsimbol, seperti benda-benda upacara, doa-doa dan tari-tari. Selanjutnya Geerts (1992:6) mengatakan bahwa dalam simbol-simbol tersebut, akan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam hidup ini. Mengetahui budaya suatu komunitas dapat dilakukan dengan mengkaji ciptaan karyanya. Mengingat kognitifitas seseorang sangat mempengaruhi setiap ciptaan manusia utamanya karya seni. Karya seni dibuat dengan simbol dan ikon dan melalui inilah maka makna-makna yang diletakkan pada sesuatu dapat diketahui. Makna-makna tersebut adalah kontruksi sosial yang menjadi keyakinan seniman yang dituangkan dalam gerak, warna maupun kata dalam tulisan. Tau-tau yang juga merupakan suatu simbol yang dipergunakan untuk mengungkapakan keyakinan terhadap suatu kenyataan dari hidup total dialam lain. Oleh sebab itu Tau-tau menjadi salah satu unsur dari kesatuan rangkaian dari unsur-unsur dalam sistem upacara pemakaman sehingga

menjadi bahagian dalam benda upacara pemakaman tersebut. c. Status sosial Konsep status sosial pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 oleh Rapl Lington, dalam karyanya yang cukup terkenal The Study Of

Man dan sejauh itu konsep tersebut dapat digunakan dalam mengkaji konsep dalam kehidupan masyarakat. Tiap diri kita adalah pemegang status yang memegang masingmasing. Individu adalah sebagai orang yang menempati status atau posisi dan sebagai pelaksana peran yang digariskan oleh status atau posisi tersebut. (Margaret M. polama, sosiologi kontemporer, 1987:53). Kedudukan atau status seseorang atau masyarakat tertentu akan berbeda-beda, demikian pula halnya seseorang dalam proses memperoleh kedudukanya dalam masyarakat luas akan berbeda pula. Kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestisenya, hak-hak, dan kewajibannya. Soedjono Dirdjosisworo memberikan pengertian status sosial sebagai berikut: Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam satu kelompok pergaulan hidupnya . (Soedjono Dirdjosisworo, 1981:96). Menurut Horton dan Hunt 1993, Status sosial suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi kelompok dalam hubunganya dengan kelompok lainnya. Untuk mengukur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara rinci dapat dilihat dari, jabatan, pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan, kekayaan, politis, keturunan,dan agama. Seseorang dalam masyarakat dapat memiliki beberapa kedudukan sekaligus, akan tetapi biasanya salah satu

kedudukan yang menonjol itulah yang merupakan kedudukan utama. Dengan melihat kedudukan yang menonjol tersebut, yang bersangkutan dapat digolongkan ke dalam strata atau lapisan sosial tertentu dalam masyarakat. Status sosial seseorang dalam masyarakat sebenarnya dapat dilihat melalui kehidupan sehari-harinya yang merupakan ciri-ciri tertentu. Dalam sosiologi hal ini disebut status simbol. Simbol status tersebut tampak dalam cara berpakaian, pergaulan,memilih tempat tinggal, dan sebagainya. Demikian halnya dalam masyarakat toraja status sosial sangat penting.Tinggi Rendahnya status sosial seseorang dapat dilihat pula dari proses upacara Rambu solo dan symbol-simbol yang digunakan dalam upacara tersebut. Di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla yang terkenal sebagai Tondok Kapuangan (tempat Raja-raja/keturunan Bangsawan) juga berlaku hal tersebut, di mana semakin banyak simbo-simbol yang di pakai dalam Upacara Rambu Solo maka semakin tinggi pula status sosial keluarga yang melaksanakan upacara tersebut. Dalam melaksanakan Upacara Rambu Solo masyarakat sangalla memilih simbol yang akan digunakan dalam upacara tersebut, tapi sebelum itu ada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan status sosial masyarakat, karena dalam aturan adat yang berlaku disana bahwa tidak boleh sembarangan memilih simbol yang akan dipergunakan seperti TAU-TAU, mereka yang menggunakan simbol ini dalam upacara mereka adalah dari keturunan BANGSAWAN saja, sebab itu akan melanggar peraturan adat bila ada masyarakat toraja yang bukan merupakan keturunan bangsawan

menggunakan simbol ini dalam upacara mereka. Karena harus berdasarkan strata sosialnya dan harus memperhatikan komposisinya Kedudukan (status ) seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial. Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan status sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, hak-hak dan kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpula kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tapi kedudukan atau status sosial tersebut memepengaruhi status orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Untuk mengukur status sosial seseorang menurut Pitirin A. Sorokin (dalam Narwoko dan Bagong, 2006) secara rinci dapat dilihat dari: 1. Jabatan atau pekerja 2. Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan 3. Kekayaan 4. Keturunan 5. Agama Salah satu cara untuk mengukur status sosial yang dikemukakan diatas adalah keturunan didalam masyarakat tradisional, keturunan menjadi konsep utama untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam stratifikasi sosial

masyarakat yang lain sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang sama sekali bukan keturunan bangsawan. Anggota masyarakat yang masih memilki garis keturunan dengan kaum bangsawan (raja), maka anggota masyarakat yang dimaksud secara langsung mendapatkan bangsawan serta bentuk perlakuan dari masyarakat yang lain sangat berbeda dibangdingkan dengan masyarakat yang sama sekali bukan keturunan bangsawan. Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni yang bersifat objektif dan subjektif. Jabatan sebagai direktur merupakan posisi status yang bersifat objektif dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu. Sementara itu, yang dimaksud status yang menunjukkan dari penelitian orang lain, dimana sumber status yang berhubungan dengan penelitian orang lain selamanya konsisten untuk seseorang. Dalam masyarakat seringkali kedudukan atau status dibedakan menjadi dua macam, antara lain: 1. Ascribed-status, ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat didapat sejak lahir. 2. Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usahausaha yang disengaja dilakukan, bukan diperoleh sejak lahir. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuan.

Disamping kedua status tersebut diatas, achieved-status, juga berarti suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat. Satu hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membahas kedudukan atau status sosial dalam masyarakat yakni peran (role). Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Artinya, seseorang dalam masyrakat telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibanya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut tela melaksanakan sesuatu peran. Suatu peran mencakup dua hal yaitu : 1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, 2. Peran dapat dikatakan sebagi perilaku individu yang penting bagi struktur dan perilaku sosial Peran dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran sendiri adalah sebagai berikut: 1. Memberi arah pada proses sosialisasi, 2. Pewarisan pengetahuan, 3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat, dan 4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol. Sehingga dapat tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan

melestarikan kehidupan masyarakat.

E. Metode Penelitian 1. Dasar dan Tipe Penelitian a. Dasar Penelitian Dasar penelitian adalah studi kasus, yaitu suatu pendekatan yang melihat objek penelitian sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. b. Tipe Penelitian Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif kualitatif yaitu pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek penelitian yang mencakup Makna Tau-Tau Dalam Sistem Stratifikasi Sosial Pada Pelaksanaan Upacara Kematian Orang Toraja. 2. Teknik Lokasi penelitian penelitian ini berlangsung selama tiga bulan yaitu dari awal bulan January sampai maret tahun 2011. Lokasi penelitian yaitu di Kelurahan Leatung Kecamatan Sangalla Utara Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. 3. Teknik Pemilihan informan pemilihan informan dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja, secara khusus mereka yang dianggap memahami betul dan dapat memberikan informan yang benar berkaitan dengan masalah peneliti. Agar peneliti memiliki hasil yang maksimal, maka informan dibedakan atas dua bagian yaitu informan kunci dan informan ahli. Informan kunci

adalah mereka yang dapat memberi informan mengenai masalah yang sedang diteliti, dalam hal ini mengenai Makna Tau-tau, sedangkan informan ahli, adalah mereka yang memiliki wawasan luas serta pengetahuan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, seperti orang yang dituakan, terdiri dari 8 informan. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dari informan dalam rangka menjawab permasalahan penelitian, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah: 1. Data Primer Data ini dikumpulkan dengan menggunakan: a. Observasi Digunakan untuk mengadakan pengamatan secara langsung dengan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek yang akan di teliti. b. Wawancara Mendalam Digunakan dianggap dapat untuk mewawancarai informasi orang-orang yang yang

memberikan

dibutuhkan

berkenaan dengan judul yang diangkat untuk diteliti dan dapat dipercaya kebenarannya. Wawancara di maksudkan untuk

mendapat informasi tentang makna simbolik tau-tau dalam sistem stratifikasi pada upacara rambu solo di toraja.

Wawacara yang dilakukan nantinya adalah wawacara terbuka (opened / Instruktural). Wawancara terbuka adalah bagian dari wawancara tak terstruktur dimana model wawacara luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-katanya dalam setiap pertanyaan dapat diubah saat wawancara. Dimana tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan informasi yang dianggap bagian dari keseluruhan, agar datanya bersifat kualitatif dan represetatif. 2. Data Sekunder Data ini dikumpulkan melalui penelusuran atau studi pustaka dari berbagai arsi-arsip penelitian, artikel-artikel, dokumen-dokumen dan buku tes yang berkaitan dengan kajian penelitian ini. 5. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis kemudian disajikan dan secara deskriptif kualitatif, sesuai yaitu dengan

menjelaskan,

menguraikan,

menggambarkan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisis deskriptif secara kualitatif dalam arti bahwa penarikan persyataan yang dilakukan dengan menghubungkan antara makna dari berbagai bahan keterangan yang relevan. Dalam menganalisa data digunakan 2 tahap: pertama, untuk mengetahui lebih jauh budaya lokal masyarakat dalam mengetahui tentang

Tau-tau dalam upacara kematian, kedua untuk mengetahui sejauh mana fungsi Tau-tau bagi masyarakat Toraja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Ma tau-tau Ma tau-tau adalah kata kerja yang artinya membuat tau-tau (tau:orang, tau-tau:patung, orang-orangan) yang diperuntukkan bagi orang tua atau leluhur. Menurut kamus bahasa Toraja, tau-tau yang disingkat menjadi kata: tatau artinya:orang-orangan (patung). Jadi matau-tau adalah pembuatan atau

pengadaan orang-orangan atau patung bagi orang tua atau leluhur yang sudah meninggal dunia. Dalam bukunya Marrang (1979:21) memberikan pengertian tentang tautau yaitu tau-tau adalah personifikasi dari si mati. Adapun fungsi tau-tau ialah perantara si mati dengan keluarga yang masih hidup. Selain pendapat tersebut, ada juga menurut Nooy Plam (1979:263) tau-tau bukan sekedar hasil karya si pemahat (to pande), tapi mengandung nilai religius dan nilai sosial budaya yang tinggi. Beberapa pengertian mengenai tau-tau, yaitu: 1) Tau-tau adalah indentifikasi personifikasi leluhur yang dibuat untuk penyembahan kepada roh leluhur. Menurut ne Mariak ( 75 tahun). 2) Tau-tau adalah patung atau boneka sebagai personifikasi dari seseorang yang meninggal dunia. Menurut Y.S Parante (63 tahun) 3) Tau-tau adalah wakil dari arwah leluhur yang sudah mati sebagai pengganti diri yang melambangkan perjalanan manusia yang sedang menuju kelangit sesuatu perjalan manusia yang sedang dalam peralihan dan ia ada dalam sikap yang mendua, yaitu : antara manusia dan Tuhan . menurut Sipa Datuan( 56 tahun) 4) Tau-tau yaitu patung dari orang yang sedang diupacarakan pemakamannya, yang pada waktu mayat diarak kelapangan dari rumah, tau-tau itu turut pula diarak dengan perlengkapan pakaian kebesaran (pakaian adat). Menurut Yohanis Panggalo (53 tahun).

5) Patung atau tau-tau adalah salah satu karya seni yang berupa tiruan manusia atau binatang, yang terbuat dari pahatan atau relief kayu. Menurut Rumengan (69 tahun). Dalam agama suku Toraja ( Aluk Todolo) diyakini bahwa manusia terdiri atas tubuh dan jiwa. Jiwa sifatnya kekal, abadi sedangkan tubuh mati dan menjadi busuk. . setelah manusia mati, tubuhnya menjadi busuk tetapi jiwanya tidak. Jiwanya inilah yang menjadi dewa atau arwah leluhur setelah melalui upacara penyembahan. Agar dapat menghadirkan roh leluhur pada upacara penyembahan dibuatkanlah sesuatu yang dapat mengganti diri leluhur tersebut. Dibuatlah patung atau tau-taunya sebagai pendeskripsian dari roh leluhur. Aluk todolo percaya bahwa dalam diri tau-tau tersebut terdapat roh leluhur. Jadi menurut suku Toraja dalam keyakinan Aluk Todolo, Tau- tau adalah indentifikasi personifikasi dari roh leluhur yang dibuat dan dihadirkan pada upacara rambu solo( upacara pemakaman orang toraja) sebagai ganti diri atau pribadi dari leluhur yang sedang di upacarakan pemakamannya. Tau-tau merupakan lambang kehadiran leluhur pada saat upacara tersebut. Oleh karena tau-tau dianggap sebagai simbol dari leluhur, maka ia harus diperlakukan seperti manusia yang masih hidup seperti diberi pakaian, disuguhi makan, minuman dan sirih. B. Upacara Keagamaan Upacara adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperingati tanda-tanda kebesaran, peralatan menurut adat istiadat. Upacara juga dapat bermakna sebagai rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat dengan aturan adat. Selain itu, upacara dapat diasumsikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan

peristiwa penting. Koetjaraningrat (1981), menjabarkan upacara-upacara tersebut dalam beberapa unsur, yakni (a) bersaji; (b) berkorban; (c) berdoa; (d) makan bersama, makanan yang telah disucikan dengan doa; (e) menari tarian suci; (f) berprosesi atau berpawai; (g) memainkan seni drama suci; (h) berpuasa; (i) intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan memakan obat bius untuk mencapai kesadaran mabuk; (j) bertapa; (k) bersemedi. Dalam upacara keagamaan atau upacara yang dilakukan oleh pemangku adat, profesi yang dianggap suci menjadi keharusan dan ini memiliki kekuatan hukum yang sangat keras yang diberlakukan untuk menjaga kelangsungan adat istiadat yang diyakini oleh masyarakat. Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar terhadap anggota masyarakatnya sehingga anggota masyarakat yang melanggarnya akan menerima sanksi yang keras. Konjaranigrat (dalam basrowi, 2005) mengemukakan tujuh aspek

kebudayaan dengan susunan sebagai berikut: 1. Sistem religi dan upacara 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencaharian hidup 7. Sistem teknologi dan peralata

Upacara adat merupakan salah satu dari wujud kebudayaan, Kontjaranigrat (dalam Bosrowi, 2005) mengatakan bahwa suatu yang kompleks dan aktivitas serta tindakan berpola pada manusia dalam masyarakat atau biasa disebut sistem sosial. Upacara adat termasuk dalam unsur-unsur normative yang merupakan bagian dari kebudayaan. Bosrowi (2005), mengemukakan bahwa salah satu unsur normatif yang merupakan bagian dari kebudayaan adalah unsur-unsur yang menyangkut kepercayaan seperti harus mengadakan upacara adat pada kelahiran, pertunangan, perkawianan dan lain-lain. Dalam konsep perkawinan, upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan prasyarat sebelum menikah menjadi pedoman sendiri bagi mereka yang memulai hidup berumah tangga. Hal ini dilakukan agar mendapat restu dari seseorang yang sudah mati dan dianggap keramat. Upacara adat juga termasuk lembaga sosial karena didalamnya terdapat peraturan-peraturan dan kebiasaan masyarakat seperti yang dipaparkan oleh Polak (Bosrowi, 2005) bahwa lembaga sosial adalah suatu yang kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang memepertahankan nilai-nilai yang penting. Lanjut Leopold von wiese dan Howard Becker ( dalam soekanto, 2002) melihat lembaga sosial ini dari segi fungsinya, yaitu sebagai suatu jaringan proses-proses antara manusia ada antara kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan- hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.

Upacara adat merupakan tata kelakuan atau kebiasaan yang merupakan prilaku dan juga sekaligus diterima sebagai norma pengatur yang mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar atau tidak sadar, yang dilakukan masyarakat terhadap anggotanya. Tata kelakuan tersebut diatas mempunyai ciri-ciri tersendiri, antara lain sebagai berikut: 1. Memberi batas-batas pada perilaku individu, hal ini karena tata kelakuan yang dimaksud merupakan suatu alat untuk memaksakan suatu perbuatan dan sekaligus larangan terhadap suatu perbuatan tertentu. 2. Mengidentifikasi individu dengan kelompok lainnya. 3. Menjaga solidaritas antar anggota masyarakat. Upacara adat atau upacara keagaaman dianggap perlu diperhatikan karena dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan suatu unsur kebudayaan yang tampak paling lahir. Sehingga itu, bahan etnografi mengenai upacara keagamaan atau upacara adat diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi. Sistem religi dalam susatu kebudayaan selalu memiliki ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam suatu religi keagaaman bersama denga tiga unsur lainnya yaitu: 1. Sistem keyakinan; konsep tentang dewa-dewa, roh-roh baik jahat, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain.

2. Sistem upacara keagamaan, sistem ini mengandung empat aspek yakni (a) tempat upacara keagamaan dilakukan seperti candi, pura, kuil, langgar, gereja, mesjid dan sebagainya; (b) saat-saat upacara keagamaan dijalankan; (c) benda-benda dan alat upacara seperti Patung-patung yang melambangkan dewa-dewa. C. Pengertian Tentang Makna dan Simbol Secara etimologi kata simbol berasal dari kata yunani simbolon yang berarti tanda pengenal, lencana atau semboyan. Konsep simbol merupakan sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan manusia dan tingkah laku manusia. Dalam prespektif ini dikenal sosiolog George Herbet Meed inti pandangan simbol adalah individu, bahwa individu merupakan hal yang paling dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lain. Dalam kaitan dengan penelitian ini, konsep simbolik merujuk pada symbol tau-tau dalam upacara kematian dan teori interaksionesme simbolik. Konsep ini dapat dijelaskan sebagai berikut. George Herbert Meed memusatkan perhatiaanya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut

berinteraksi dan dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Meed mengemukakan bahwa teori

interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Disini cooley menyebutnya sebagai looking glass self. ( Teori Sosiologi Modern 2007:98,113).

Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap,

menginterprestasi, bertidak dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seseorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak perna selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis diluar sana yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan interaksi tersebut bersifat simbolik , di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Sedangkan makna menurut Ferdinan de saussere mengatakan bahwa tanda memiliki dua etnis yaitu signifier dan signified atau tanda dan makna atau penanda dan tanda. keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi

keduanya saling berkaitan satu sama lain. Kombinasi keduanya dalam semiotika disebut tanda. Istilah tanda dapat pula diidentikkan dengan bentuk yang mempunyai makna. Makna merupakan hubungan antara penanda-penanda dan objeknya. Makna sangat berperan dalam suatu tanda mengandung makna dan informasi. Seperti halnya dalam upacara rambu solo berbagai tanda yang digunakan dalam upacara tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda tetapi saling berhubungan.

D. Teori Interaksionisme Simbolik Makna-makna itu bagi kita bersama yang lain, defenisi kita mengenai dunia sosial dan presepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi. Jadi , interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interprestasi, atau interprestasi oleh penetapan makna dari tindakan orang lain . mediasi ini ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pedekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian kearah denan bahasa: namun Meed mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari petunjuk mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterprestasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaiman hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Parah ahli prespektif Interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut

berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamya berisi tandatanda, isyarat dan kata-kata. simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang disepakati bersama menurut Meet (dalam sosiologi modern 2007:101). Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada karakter interaksi khusus yang sedang berlangsung antara manusia. Aktor tidak sematamata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon actor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berfikir, mengelompokkan, dan mentrasformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi dimana dan kearah mana tindakannya. Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya proses mentalatau proses berfikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulusproses berfikir-respon. Jadi terdapat variable antara atau variable yang menjebatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau berfikir, yang tidak lain adalah interprestasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti

dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Teori interaksinisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial manusia. Bagi prespektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada diluar dirinya. Interaksilah yang dianggap variable penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Prespektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek sekeliling mereka. Dalam pandangan prespektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritis prespektif ini, kehidupan sosial adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, penganut interksionisme simbolik

berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interprestasi mereka atas

dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural. Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melaui proses belajar. Tindakan sesorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus. Jadi jelas ini merupakan hasil proses belajar, dalam artian memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a minding process that intervenes between stimulus and response. It is thismental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react ( Ritzer dalam sutaryo, 2005) Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli dibelakang prespektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisi melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Dalam prepektif ini dikenal nama sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Dalam prespektif ini seorang sosiolog George Herbet Meet (1863-1931), Charles Horton Cooley (1984-1929), yang memusatkan perhatianya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka mengemukakan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sosiological

Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah prespektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis, teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interasionisme simbolik menfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisi, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan prespektifprespektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterprestasi, bertindak dan mencipta. Individu bukanlah

sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tidak perna selesai terbentuk. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis diluar sana yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memilki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, dimana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interprestasi, atau oleh penetapan makna dan tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan perlibatan proses interprestasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interkasionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatanpendekatan teoritis lainya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian kearah dengan bahasa; namun Meed mengembangkan hai itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga yang utama dalam teori interaksionisme simbolis ini yakni, manusia bertindak berdasarkan makna-makna,makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut

berlangsung. Menurut Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memilki beberapa gagasan. Diantaranya adalah mengenai konsep diri. Disini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dari dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan konsep perbuatan dimana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan mahluk manusia. Kemudian konsep objek dimana manusia diniscayakan hidup ditengah-tengah objek yang ada, yakni manusia manusia lainnya. Selanjutnya konsep interaksi sosial dimana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah konsep Joint Action dimana disini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain. Arti (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan tidak dianggap penting. Arti dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggung jawab pada tingkah laku manusia, sedangkan tingkah laku adalah hasil dari beberapa faktor. Posisi teori interaksionisme simbolik adalah sebaliknya bahwa arti yang dimilki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori-teori lainya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti muncul dari proses interaksi sosial yang telah

dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolik memandang arti sebagai sebagai produk sosial; sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefenisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolik pada posisi yang sangat jelas dengan implikasiyang cukup dalam. Penjelasan Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Disini Cooley berusaha mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat. kehidupan kita adalah salah satu kehidupan manusia secara keseluruhan, menurut Cooley , dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal. Evolusi organic adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling

bekerja sama. Diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang anda pikirkan, terutama mengenai apa yang anda pikirkan tentang apa yang

saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang anda pikirkan. Menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui presepsipresepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyaraka. Masyarakat adalah sebuah relasi diantara ide-ide yang bersifat personal. Dalam konsep Looking-Glass Self ( diri yang seperti cermin pantul), Cooley mengemukakan bahwa institusi sosial membentuk fakta-fakta dari masyarakat yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentiment-sentimen perasaan yang tahan lama. Oleh karena itu, institusi-intitusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari indivudu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiartity). Seperti yang ditegaskan Cooley, ketika intitusiinstitusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata efek dari struktur sosial, namun juga merupakan seseorang creator dan pemelihara struktur sosial tersebut.

E. Pengertian Kepercayaan dan kebudayaan Manusia sebagai mahkluk budaya, mengandung pengertian bahwa manusia menciptakan budaya dan kemudian kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakat. Seperangkat nilai yang menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya bahkan untuk mendasari langkah-langkah kegiatan yang hendak dan harus dilakukan sehubungan dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatan. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan,kesenian, moral ,hukum, adat- istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya kebudayaan berpengaruh terhadap lingkungan tertentu sehingga makin lama makin menjauhkan manusia dari kondisi asli lingkungan alam, hal yang selanjutnya mempengaruhi pola-pola berpikirnya dan juga cara bergaul, dan cara bertindak. Sedangkan kepercayaan mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka, surga, dan lain-lain. Tetapi juga sebagai berbagai bentuk upacara, maupun benda-benda suci. (Koetjaraningrat 2003:81). Dengan penekanan kepada suatu sistem keyakinan, menyebabkan kepercayaan itu menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk

tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Clifford Gertz (1992:5) mendefisikan kepercayaan itu sebagai berikut: suatu sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati dan motivasimotivasi itu tanpak nyata. Dengan konsep ini C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian yang utuh tak terpisahkan dari kebudayaan. Nilai agamalah yang mempengaruhi semua nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem nilai dari kebudayaan terwujud sebagai sistem-sistem simbol suci dimana maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangkah acuannya. Dalam keadaan demikian maka, secara langsung atau tidak langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang diselimuti oleh sistemsistem simbol. Dapat juga dikatakan bahwa penyelengara upacara mengungkapakan emosi keagamaan yang telah dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini juga merupakan pernyataan cara berpikir dan cara merasa kelompok masyarakat,

berfungsi untuk mengukuhkan tata susila yang sedang berlaku, disamping member peringatan dan menanggulangi sosialisasi bagi kehidupan masyarakat. Konsep atau ide dari pelaksana upacara dalam kehidupan religius manusia adalah sesuatu yang universal yakni memohon kepada yang kuasa tertinggi bagi keperluan hidup manusia.

F. Pengertian Stratifikasi Sosial Sistem berlapis-lapis di masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan istilah Social Stratification. Kata Stratification berasal dari stratum (jamak : strata yang berarti lapisan). Pitrium A. Sorokin mengatakan bahwa Social Stratification adalah pembeda penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajibankewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertical (bertingkat), yang di wujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Stratifikasi sosial (Pelapisan sosial) sudah mulai dikenal sejak manusia menjalin kehidupan bersama. Terbentuknya pelapisan sosial merupakan hasil dari kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya masih sederhana, maka pelapisan yang terbentuk masih sedikit dan terbatas, sedangkan masyarakat modern memiliki pelapisan sosial yang kompleks dan tajam perbedaannya. Stratifikasi sosial akan membedakan warga masyarakat menurut kekuasaan dan pemilikan materi. Kriteria ekonomi selalu berkaitan dengan aktivitas pekerjaan, kepemilikan kekayaan, atau kedua-duanya. Dengan begitu,

pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan akan membagi anggota masyarakat ke dalam beberapa stratifikasi atau kelas ekonomi.

Dalam stratifikasi sosial terdapat tiga kelas sosial, yaitu :

1. Masyarakat yang terdiri dari kelas atas (upper class), 2. Masyarakat yang terdiri kelas menengah (middle class) 3. Masyarakat kelas bawah (lower class). Orang-orang yang berada pada kelas bawah (lower) biasanya lebih banyak (mayoritas) daripada di kelas menengah (middle) apalagi pada kelas atas (upper). Semakin ke atas semakin sedikit jumlah orang yang berada pada posisi kelas atas (upper class). Dalam kehidupan masyarakat terdapat kriteria yang dipakai untuk

menggolongkan orang dalam pelapisan sosial adalah sebagai berikut : 1. Ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak, ia akan menempati pelapisan di atas. Kekayaan tersebut misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, mobil pribadinya, cara berpakaian serta jenis bahan yang dipakai, kebiasaan atau cara berbelanja dan seterusnya. 2. Ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar akan menempati pelapisan yang tinggi dalam pelapisan social masyarakat yang bersangkutan. 3. Ukuran kehormatan, orang yang disegani dan dihormati akan mendapat tempat atas dalam sistem pelapisan sosial. Ukuran semacam ini biasanya

dijumpai pada masyarakat yang masih tradisional. Misalnya, orangtua atau orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat atau kelompoknya. Ukuran kehormatan biasanya lepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. 4. Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan digunakan sebagai salah satu faktor atau dasar pembentukan pelapisan sosial di dalam masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pelapisan sosial dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti adanya perbedaan gaya hidup dan perlakuan dari masyarakat terhadap orang-orang yang menduduki pelapisan tertentu. Stratifikasi sosial juga menyebabkan adanya perbedaan sikap dari orang-orang yang berada dalam strata sosial tertentu berdasarkan kekuasaan, privilese dan prestise. Dalam lingkungan masyarakat dapat terlihat perbedaan antara individu, atau satu keluarga lain, yang dapat didasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Yang kaya ditempatkan pada lapisan atas, dan miskin pada lapisan bawah. Atau mereka yang berpendidikan tinggi berada di lapisan atas sedangkan yang tidak sekolah pada lapisan bawah. Dari perbedaan lapisan sosial ini terlihat adanya kesenjangan sosial. Hal ini tentu merupakan masalah sosial dalam masyarakat.Perbedaan sikap tersebut tercermin dari gaya hidup seseorang sesuai dengan strata sosialnya. Pola gaya hidup tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, tempat tinggal, cara berbicara, pemilihan tempat pendidikan, hobi dan tempat rekreasi.

Cara Berpakaian. Seseorang yang tergolong dalam strata sosial atas dapat dilihat dari gaya busananya. Biasanya orang-orang kelas atas

menggunakan busana dan aksesoris lain, seperti sepatu, tas, jam tangan yang bermerek dan dari luar negeri. Sedangkan mereka yang termasuk strata sosial menengah ke bawah, lebih memilih menggunakan barangbarang produksi dalam negeri.

Tempat Tinggal. Pada umumya masyarakat kelas atas akan membangun rumah yang besar dan mewah dengan gaya arsitektur yang indah. Masyarakat kelas atas lebih menyukai tinggal di kawasan elite dan apartemen mewah yang dilengkapi dengan fasilitas modern. Sedangkan masyarakat yang tergolong strata menengah lebih memilih bentuk dan tipe rumah yang sederhana bahkan ada juga yang tinggal di rumah susun.

Cara Berbicara. Cara berbicara orang-orang yang tergolong strata atas akan berbeda dengan orang-orang yang berada dalam strata bawah. Mereka yang termasuk dalam golongan strata atas memiliki gaya berbicara yang beradaptasi dengan istilah-istilah asing serta penuh dengan kesopanan. Sedangkan orang-orang yang berada dalam strata bawah terkadang suka berbicara yang tidak terlalu memperhatikan etika.

Pendidikan. Pendidikan menjadi faktor yang paling penting bagi setiap masyarakat. Umumnya masyarakat strata atas memilih memasukkan anakanak mereka pada sekolah-sekolah ataupun universitas-universitas yang berkualitas tinggi termasuk sekolah di luar negeri. Sedangkan bagi masyarakat yang menduduki pelapisan bawah lebih memilih

menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dalam negeri.

Hobi dan rekreasi. Menyalurkan hobi serta berekreasi merupakan hal-hal yang diperhatikan oleh masyarakat yang berada dalam pelapisan atas. Biasanya orang-orang yang berada dalam strata atas memilih olahraga yang ekslusif seperti golf, balap mobil, serta menyalurkan hobi, seperti main piano,main biola, menonton orkestra, mengoleksi lukisan-lukisan mahal dan sebagainya. Begitu pula berekreasi, mereka lebih memilih berekreasi ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Sedangkan, bagi masyarakat yang tergolong strata bawah, lebih memilih hobi dan berekreasi yang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya, seperti bermain sepak bola, dan berekreasi ke tempat yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Adanya sistem berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu jutuan bersama. Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian. Sistem stratifikasi sosial yang dengan sengaja disusun biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasiorganisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, partai politik, perusahaan, angkatan bersenjata atau perkumpulan. Akan tetapi apabila masyarakat hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada padanya harus dibagibagi pula, sehingga jelas bagi setiap orang ditempat-tempat mana letaknya kekuasaan dan wewenang dalam organisasi, secara vertikal dan horizontal.

Apabila kekuasaan dan wewenang itu tidak dibagi-bagi secara teratur, maka kemungkinan membahayakan besar akan terjadi pertentangan-pertentangan keutuhan yang dapat

masyarakat.

Suatu masyarakat yang memiliki kekayaan cukup banyak dapat dikategorikan termasuk orang yang cukup terpandang oleh sekitarnya. Ukuran kekayaan itu dapat dilihat dari kekuasaan, kepemilikan tanah, mobil pribadi serta terpadang dalam masyarakat dan sebagainya. G. Kepercayaan Aluk Todolo Orang toraja memiliki suatu kepercayaan asli, yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang disebut Aluk Todolo. Aluk Todolo (aluk berarti agama, pegangan hidup, to berarti orang, dolo berarti dulu) yang artinya agama leluhur adalah agama atau kepercayaan yang dianut oleh orang Toraja. Menurut Abdul (2004:43) tau-tau fungsinya semula bersifat religius dan berkaitan langsung dengan upacara kematian dari kaum bangsawan Toraja, sesuai dengan kepercayaan Aluk Todolo. Dalam kehidupan upacara dan tradisi budaya Toraja Tau-tau tidak hanya sekedar salah satu perlengkapan pada upacara pemakaman, tetapi menurut kepercayaan Aluk Todolo, dianggap penjelmaan roh dari orang yang meninggal atau menjadi tempat tinggal bagi roh arwah leluhur yang tela mati. Natsir (2005:47) Tau-tau menurut keyakinan Aluk Todolo, adalah bayangan dari orang mati dengan dasar itu, menurut keyakinan Aluk Todolo, semua orang harus dibuatkan tau-tau. Namun demikian, karena proses pembuatan itu sendiri harus diikuti oleh upacara kurban dan sesajen maka tidak semua

penganut Aluk Todolo dapat mengikutinya. Karena itu, si mati yang dibuatkan patung-patung di Tana Toraja hanyalah orang-orang yang berasal dari keturunan bangsawan murni ( Tana Bulaan). Secara garis besar, Aluk Todolo terdiri atas dua elemen, yaitu : aluk tallu otona ( tiga falsafah kepercayaan) dan aluk apa otona (empat falsafah adat). Aluk tallu otona meliputi pemujaan terhadap Puang Matua sebagai sang pencipta yang konon memberikan Sukaran Aluk (sukaran:aturan, susunan) kepada manusia yang pertama, Datu Laukku, yang berisi ketentuan bahwa manusia dan isi bumi harus menyembah Puang Matua. Penganut Aluk Todolo juga menyembah Deata yang menerima kuasa dari Puang Matua untuk memelihara dan menguasai segala isi bumi sehingga mereka menyembah sang pencipta. Selain deata, Puang Matua juga memberikan kuasa kepada to membali puang untuk memperhatikan perilaku manusia dan keturunannya menurut AMA( 2006:24-26). Aluk apa otona terdiri atas: aluk ma lolo tau (aturan tentang manusia), aluk patuan (aturan tentang hewan seperti ayam,babi, kerbau dan lain-lain), aluk tananan (aturan tentang ladang, sawah, dan tanaman), serta aluk bangunan banua (aturan tentang mendirikan rumah). Aluk malolo tau secara khusus menekankan tentang aluk dadinna malolo tau (aturan tentang kelahiran), aluk tuona malolo tau ( aturan tentang bagaimana manusia terhadap Puang Matua, Deata, dan To Membali Puang), serta aluk matena malolo tau (aturan tentang orang yang meninggal) yang mengatur pelaksanaan upacara pemakamaan, yang biasa disebut upacara rambu solo.

Para penganut Aluk Todolo juga percaya adanya kehidupan setelah kematian. Mereka percaya bahwa puya merupakan tempat sementara bagi arwah orang-orang yang telah meninggal. Selanjutya, arwa dapat keluar dari puya menuju asal nenek moyang manusia, yaitu langit. Penganut Aluk Todolo meyakini bahwa langit merupakan tempat kediaman Puang Matua dan Deata . Latar belakang pemujaan kepada roh leluhur yang dideskripsikan dalam rupa tau wujud tau-tau di Toraja ini dapat dibangdingkan dengan latar belakang terjadinya pemujaan arwah nenek moyang di tanah Batak, seperti yang diungkapkan oleh Situmorang (1980:22) dalam edisi berita oikumene terbitan bulan Oktober yang berdasar pada: a. Ketakutan kepada roh orang mati. Titik sentral kepercayaan agama purba di tanah Batak adalah pengutusan orang mati. Roh orang mati dianggap mempunyai kuasa, dapat melindungi, tetapi juga dapat berbahaya. Oleh sebab itu, roh leluhur harus senantiasa dibujuk. Orang dapat sakit jika roh orang itu keluar dari dalam tubuhnya. Untuk mengembalikannya, maka roh tersebut perlu dibujuk melalui pemujaan. b. Adanya kesinambungan generasi. Hal ini tidak boleh putus. Putusnya suatu generasi bukan saja sebab tidak mempunyai keturunan (anak) tetapi juga sebab tidak dengan nenek moyang. c. Mengharapkan berkat dan menolak kutuk. Yang menonjol dalam pemujaan nenek moyang adalah pengharapan akan berkat. Roh nenek moyang yang dianggap sakit, kaya dan berani dipuja dan memelihara hubungan

dihormati supaya ia memberikann berkat, keberhasilan dalam hidup dan dalam pencarian nafkah. Aluk todolo sebagai suatu agama atau kepercayaan berdasar kelima pokok atau dasar-dasar seperti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi (1981:52) yakni: 1. Suatu keseluruhan yang sampai derajat tertentu mewujudkan yang sampai derajat tertentu mewujudkan kesatuan yang integratif terdiri dari kepercayaankepercayaan yang mengenai kesatuan-kesatuan yang dipisahkan dari bendabenda biasa atau kejadian-kejadian biasa yang mempunyai kegunaan praktis, diberi sifat suci dan supernatural dan hidup manusia tergantung pada satuansatuan yang bersifat supernatural, 2. Suatu sistem dari lambang-lambang, benda-benda, perbuatan-perbuatan orang yang bersifat empiris bukan empiris yang mempunyai unsur kesucian, dan dalam hubungan dengan hal-hal ini manusia mewujudkan keadaan emosional yang bersifat relevan untuk suasana religi, 3. Seperangkat aktivitas-aktivitas yang sedikit banyak bersifat keharusan, yang dalam rangka religi itu dianggap sebagai kegiatan yang penting dan bersifat mutlak. Kegiatan-kegiatan itu pada umumnya diharuskan untuk peristiwa peristiwa tertentu, dilarang untuk waktu-waktu yang lain, dan mungkin juga hanya dimaksudkan berlaku untuk lapisa-lapisan sosial tertentu, 4. Adanya komunitas orang kepercayaan, suatu konektivitas yang meliputi mereka yang memilki bersama ciri-ciri religi di atas, 5. Suatu perasaan bahwa hubungan manusia dengan dunia supernatural, dalam acara yang tertentu terikat erat dengan nilai-nilai moral yang dia junjung

tinggi, dengan sifat dari tujuan hidupnya yang dia percayai yang dituntut dari padanya, dengan aturan-aturan mengenai kelakuannya, yang diharapkan akan diindahkan. Kebudayaan Toraja mengenai Aluk Todolo, yang dulunya dikenal dengan ajaran hidup dan kehidupan Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna sebagai ajaran yang berasaskan 7 (tujuh) asas hidup dan kehidupan. Asas ini terdiri dari tujuh asas atau prinsip, yaitu : asas menyembah dan memuja serta percaya kepada tiga oknum dan tata kehidupan empat asas. Menurut Tangdilintin (1975:4) Aluk Tallu O tona, yaitu agama atau keyakinan yang berdasarkan 3 oknum yang dipuja dan disembah dan dikatakan sebagai kesatuan oknum yaitu: 1. Percaya dan menyembah kepada Puang Matua sebagai oknum sang pencipta semesta alam. 2. Percaya dan menyembah kepada deata-deata sang pemelihara ciptaan Puang Matua. 3. Percaya dan menuja kepada Tomembali Puang atau Todolo sebagai oknum sang pemelihara turunannya. Menurut ajaran Aluk Todolo ketiga oknum tersebut diatas merupakan satu kesatuan tiga oknum tetapi tidak sama kedudukannya serta tidak sama tingkatannya, makanya manusia dalam menyembah tingkat yang berbeda-beda, demikian pula kurban dan sesajian persembahan ada perbedaan serta tempat mengadakan upacara persembahan dan kurban persembahan, tetapi dalam dan pengawas serta pemberi berkat kepada manusia

keyakinan Aluk Todolo dan asas Aluk Tallu Otona, adalah merupakan kesatuan dalam hubungan yang saling berkaitan dan saling mengisi setelah melalui proses dan cara yang sudah tertentu dalam upacara pemujaan dari persembahan menurut kedudukan masing-masing aknum tersebut. Menurut Tangdilinting (1975:6) Aluk Apa Otona, asas tata kehidupan yang berdasarkan atas adanya proses dalam kehidupan manusia dengan empat proses dalam asas Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu karena

manusia dalam menempati alam ini melalui 4 proses dan tingkat dalam hubunganya dengan sang pencipta dan ketiaga oknum yaitu: 1. Ada Dadinna Malolo Tau yaitu adat lahir dari manusia. 2. Ada Tuona Malolo Tau, yaitu adat kehidupan dari pada manusia. 3. Ada Manombana Malolo Tau yaitu adat memujanya dan percaya dari pada manusia kepada Tuhannya. 4. Ada Matena Malolo Tau yaitu adat mati dari pada manusia. Keempat asas dalam proses kehidupan manusia menurut ajaran Aluk Todolo dikenal dengan falsafah kehidupan dalam Aluk Pitung Sabu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu dengan nama asas Ada Appa 0tona atau Ada Patang Sullapa. H. Tindakan Sosial dan Proses Pemaknaan. Max weber berpendapat bahwa tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya sendiri dan diarahkan kepada tindakan orang lain George Ritzer (1985:44). Tindakan sosial yang akan dimaksud disini adalah Tau-tau. Apabila kita menaruh

perhatian yang lebih pada Tau-tau, kita menemukan beberapa individu, bahkan kelompok yang berperan didalamnya. Berkaitan dengan tindakan sosial ini, kutipan Sunyono Usman dari Ann Swider dalam Ikma (2007:16) tentang kebudayaan sebagai meaning-making (proses pemaknaan) menyatakan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat proses pemaknaan sehingga memproduksi tindakan sosial, yaitu codes, contexts dan institutions. Codes (kode) terkait dengan pesan dibalik tindakan yang mengandung atau berkaitan dengan simbol ,nilai, keyakinan, norma, yang dapat dihayati melalui interprestasi. Pesan itu berupa bagian dari upaya memupuk solidaritas sosial, dapat pula berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan politik, seperti meraih, memperluas dan melestarikan kekuasaan. Sejalan dengan pemikiran Malinowski, reinterpertasi sosial budaya dan terhadap upacara melahirkan perubahan sosial yang ditujukan untuk memenuhi atau merumuskan kebutuhan-kebutuahan baru. Contexts (suasana) adalah keadaan yang menciptakan derajat pengaruh kebudayaan terhadap tindakan sosial. Simbol, nilai, keyakinan, norma, dan kebiasaan dalam periode dan tempat yang berbeda tidak mampu menggerakkan tindakan sosial. Telah dikemukakan bahwa simbol tau-tau dalam upacara rambu solo ini tidak lagi dimaknai yang telah dirintis aluk todolo. I. Sistem Sosial Memahami sistem sosial ialah proses belajar mengenali, menganalisis dan mempertimbangkan eksistensi dan perilaku organisasi dan institusi sosial kemasyarakatan dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Peran manusia di sini

lebih dilihat sebagai makhluk sosial dan bagian dari kelompok kepentingan, bukan sebagai individu. Ketika kita mengamati suatu fenomena sosial, maka sebenarnya kita sedang mencerna realitas kehidupan yang membawakan kondisi sistem masyarakat tertentu yang sedang bekerja, berusaha tetap langgeng, dan seringkali berbenturan dengan sistem-sistem lainnya. Sistem ini mencirikan karakteristik sifat, tata nilai, ukuran, kualitas dan kedudukan relasional di dalam dan antar sistem. Oleh karenanya, fenomena sosial pada hakikatnya adalah proses dialog, transaksi dan negosiasi sejumlah sistem sosial pada konteks waktu dan tempat tertentu. Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai berikut: sistem sosial terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, actor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam sistem simbol bersama yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)kunci masalah yang dibahas pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan cultural.Hal yang paling penting pada system social yang dibahasnya Parsons mengajukan persyaratan fungsional dari system social diantaranya: 1. sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sisten lain.

2. untuk menjaga kelangsungan hidupnya sistem sosial harus mendapatkan dukungan dari system lain. 3. sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang signifikan. 4. sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya. 5. sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi menggangu. 6. bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan. 7. sistem sosial memerlukan bahasa.

Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat skema penting mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan, skema tersebut dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan sistem. Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut: Adaptation : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.

Goal attainment ; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integrastion : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL). Latency :laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural . Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh system kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memolbilisasi sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh sistem social, dan laten difungsikan sistem cultural. Bagaimana sistem kultural bekerja? Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi actor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat yang paling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas. Sredangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya. Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;

1. sistem mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. 2. sistem cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. 3. sistem bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang teratur. 4. sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya. 5. sistem akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya. 6. alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan sistem. 7. sistem cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagianbaguan dengan keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecendrungan untuk merubah system dari dalam. Unsur-unsur sosial itu sendiri adalah: 1. Kepercayaan/keyakinan (penegetahuan) Setiap sistem sosial mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakiankeyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh warganya. Mungkin juga

terdapat anekaragam keyakinan umum yang dipeluk didalam suatu sistem sosial. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting

kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup didalam sistem sosial yang bersangkutan. Kepercayaan adalah faktor yang

mendasar yang mempengaruhi kesatuan sistim sosial. Kepercayaan merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan antara lain: a. Penampilan atau penampakan atau keaktraktifan b. Kompetensi atau kewenangan c. Penguasaan terhadap materi d. Popularitas e. Kepribadian 2. Perasaan (sentimen) Faktor dasar yang lain dari sistem sosial adalah perasaan. Perasaan adalah suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamia maupun sosial. Perasaan sangat membantu menjelaskan polapola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Proses elemental yang secara langsung membentuk perasaan adalah interaksi perasaan. Hasil interaksi itu lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus diakui. 3. Tujuan atau Sasaran Tujuan atau sasaran dari suatu sistem sosial, paling jelas dapat dilihat dari fungsi-fungsi itu sendiri. Misalnya, kebudayaan mempunyai fungsi sendiri dan tujuan. Pada dasarnya kebudayaan dilakukan melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu.

Tujuan mempunyai beberapa fungsi antara lain: a. Sebagai pedoman Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang ingin dicapai oleh suatu sistem sosial. Sebagai pedoman, suatu tujuan harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu. b. Sebagai motivasi Tujuan organisasi masyarakat harus dapat memotisi selurh anggota yang terlibat dalam suatu sistem sosial untuk ikut berperan serta atau berpartisipasi dalam seluruh kegiatan masyarakat. c. Sebagai alat evaluasi Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi sosial. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu sistem sosial. Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi. 4. Norma Norma-norma sosial dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain, norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan didalam menilai tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku pantas didalam sistem sosial.

5. Kedudukan peranan Status dapat didefenisikan sebagai kedudukan didalam sistem sosial yang tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma sosial.Semua sistem sosial, di dalamnya mesti terdapat berbagai macam kedudukan atau status. 6. Kekuasaan Kekuasaan dalam suatu sistem sosial seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif selalu bersandar pada posisi status, sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status. 7. Tingkatan atau Pangkat Tingkatan atau pangkat sebagai unsur dari sistem sosial dpat dipandang sebagai kepangkatan sosial(sosial standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang yang mempunyai pangkat kemiripan. Akan tetapi tidak ada satu sistem sosial manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya. 8. Sanksi Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau tindakan (rewards) dan hukumm (punishment) yang berlaku pada suatu sistem sosial. Ganjaran dan hukum tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 9. Sarana

Secara halus, sarana itu dapat dikatann semua cara atau jalan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri. Bukan sifat dari sarana itu yang penting didalam sistem sosial, tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatianya pada masalah penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat hubungannya dengan sistem sosial. 10. Tekanan tegangan Dalam sistem sosial akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu mengakibatkan perpecahan. Dengan kata lain, tidak ada satupun sistem sosial yang secara seratus persenn teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI A. Gambaran Umum Kelurahan Leatung Kelurahan Leatung merupakan salah satu kelurahan dari dua dusun yaitu dusun Leatung dengan dusun Lebani. a. Batas-batas Kelurahan Kelurahan Leatung adalah salah satu dari 6 Kelurahan di kecamatan Sangalla Utara, terletak disebelah pusat Kecamatan, dengan batas-batas sebagai berikut: b. Penduduk Penduduk juga merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan suatu wilayah sebab adanya pembangunan tidak terlepas dari keterlibatan serta partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari kedua dusun diatas sesuai dengan data jumlah penduduk tahun 2010 yang kami kumpulkan berjumlah sebanyak 1235 jiwa. Terdiri atas laki-laki 634 jiwa dan perempuan sebanyak 601 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 296. Untuk lebih jelasx dapat dilihat pada table 4.2 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Buntao Sebelah Timur berbatasan dengan Leatung Matallo Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa rantelabi Sebelah Barat berbatasan dengan Lembang Salu Allo

Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan pemeritah di Kelurahan Leatung maka Kelurahan ini dibagi kedalam 2 dusun yaitu dusun Leatung dengan Lebani. Tabel III. Jumlah penduduk Kelurahan Leatung tahun 2010

Nama Dusun L Leatung Lebani Jumlah 442 192 634

Jenis Kelamin P 425 176 176

Jumlah Jiwa

867 368 1235

Sumber : data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa warga dusun Leatung lebih banyak dari dusun Lebani yaitu leatung 867 sedangkan lebani hanya 368. c. Luas wilayah Kelurahan Leatung Luas wilayah Kelurahan Leatung secara keseluruhan adalah 16.6728 km2 luas tersebut meliputi persawahan, perkebunan masayarakat, pekarangan , dan lain-lain yang dapat diperinci pada table 1.2 sebagai berikut:

Tabel III.2 Luas wilayah Kelurahan Leatung (diperinci berdasarkan tanah) tahun 2010 Komposisi Tanah Sawah Perkebunan Pekarangan Rumah Lain-lain Jumlah Luas (ha) 24.420 63.019 55.645 23.644 166.728

Sumber: data statistic Kantor Kelurahan Leatung tahun 2011 d. Jumlah penduduk menurut usia Jumlah penduduk produktif di Kelurahan Leatung adalah sebanyak 854 jiwa yaitu 17 sampai 56 Tahun sedangkan jumlah non produktif adalah sebesar 381 jiwa.

Tabel III.3 Jumlah penduduk Kelurahan Leatung (diperinci menurut Usia) No Umur L P Jumlah

1 2 3 4 5 6

0 - 12 Bulan 1 - 5 Tahun 6 - 7 Tahun 8 - 17 Tahun 18 56 Tahun >56 Tahun Jumlah

10 40 38 144 298 104 634

4 35 33 134 278 117 601

14 75 71 278 576 221 1.235 Jiwa

Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung 2011 B. Mata Pencaharian Mata pencaharian merupakan sumber ekonomi atau sumber pendapatan penduduk yang dapat menentukan tingkat kemakmuran dan taraf hidup mereka. Semakin bagus mata pencaharian seseorang maka semakin tinggi pula statusnya dalam masyarakat. Mata pencaharian Penduduk Kelurahan leatung sangat bervariasi, mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat adalah petani, disamping itu sebagian bekerja sebagai pedangan ,pegawai, tukang,sopir dan sebagainya seperti tampak pada table III.4

Tabel III.4 Jumlah penduduk kelurahan leatung menurut mata pencaharian

No 1 2 3 4 5

Mata pencaharian Petani Pegawai/ABRI Pedangang Tukang Sopir Jumlah 200 68 11 15 13 298

Jumlah KK

Sumber:data statistik Kantor Kelurahan Leatung tahun2011 Tabel III.4 diatas menggambarkan bahwa mayoritas Penduduk di Kelurahan Leatung adalah Petani, sebanyak 200 orang dari jumlah penduduk, 68 pegawai, pedangang 11, tukang 15, sopir 13. Dalam bidang pertanian dan perkebunan Kelurahan Leatung terdapat lahan sawah dan kebun yang cukup luas. Umumnya Padi, Kopi, Cacao dan sebagian kecil sayur mayur. C. Sistem Pendidikan Penduduk merupakan salah satu variable yang sangat menetukan tingkat kemajuan suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilaya, begitu pula sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan renda maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang

tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan datang. Untuk melihat tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel III.5. Tabel III.5: Potensi Kelurahan Leatung dalam sektor pendidikan NO. 1 2 3 4 5 6 7 Tingkat Pendidikan Buta Aksara Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D2 Tamat S1 Tamat S2 Jumlah 181 279 235 200 37 109 11

Sumber: data statistik Kelurahan Leatung Tahun 2011 Berdasarkan tabel diatas adalah terlihat bahwa tingkat pendidkan yang dominan di Kelurahan Leatung adalah Tamat SD dan tingkat pendidikan yang paling kecil adalah S2. Dengan mengacu pada program pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun maka dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Leatung memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. D. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah salah satu factor yang sangat penting bagi suatu Kelurahan di suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang

berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Leatung adalah sebagai berikut: 1. Sarana Pemerintah Kelurahan Leatung memiliki sebuah kantor Kelurahan sebagai tempat untuk menjalankan pemerintahan. Kantor Kelurahan tersebut memiliki 1 buah komputer , 2 buah mesin ketik, 8 buah meja, 23 kursi. 2. Sarana kesehatan Terdapat 1 buah puskesmas, 2 buah posyandu. 3. Sarana ibadah Terdapat 2 buah gereja Kristen Protestan dan 1 buah gereja Katolik. 4. Sarana keamanan Terdapat 4 buah pos ronda dan pada setiap RT memilki 2 orang Hansip. 5. Sarana Transportasi Sarana perhubungan Kelurahan Leatung cukup memadai, dimana semua pemukiman dijangkau jalan yang terdiri atas: aspal,pengerasan dan rintisan. Kondisi tersebut mendukung kelancaran aktivitas masyarakat Kelurahan Leatung. 6. Sarana Air Bersih Kelurahan Leatung merupakan daerah yang kaya akan mata air yang berjumlah 18 unit sehinggah sebagian besar masyarakat Kelurahan Leatung mengkomsumsi air dari mata air yang jernih dan ada pula yang menggunakan sumur gali dan sumur pompa.

7. Sarana Olaraga Memilki 1buah lapangan sepak bola, 1 buah lapangan volly, dan 4 buah meja pimpong. 8. Sarana penerangam Dari segi penerangan semua wilayah Kelurahan Leatung telah terjangkau penerangan PLN, sehingga dapat dikatakan bahwa aspek penerangan tidak menjadi kendala bagi masyarakat leatung. E. Sistem Kepercayaan Dari segi realigi masyarakat Kelurahan Leatung terdiri atas 1.110 orang beragama Kristen , 112 orang beragama Katolik , 12 orang beragama islam dan 1 orang beragama hindu. Masyarakat Kelurahan Leatung tergolong majemuk dengan 22 orang suku bugis, 3 orang suku luwu, 10 orang suku flores, 4 orang suku Makassar, 21 orang suku belau, dan suku Toraja sebanyak 1.750 orang.

F. Sistem Kekerabatan Ada beberapa hal yang penting mendasar yang mencakup dalam aspekaspek sosial setiap masyarakat. Untuk itu, dalam penulisan ini, aspek aspek yang dieksperikan ialah sistem kekerabatan dan sistem pelapisan sosial masyarakat (stratifikasi sosial). Kekerabatan merupakan kesatuan sosial yang terbentuk atas pertalian darah atau perkawianan. Kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya sentiment dan keakraban atara satu dengan yang lainnya.

Dalam perkawinan di Tana Toraja tidak akan terlihat adanya kurban persembahan atau sajian persembahan seperti pada upacara rambu solo.hal ini disebabkan karena perkawinan di Tana Toraja merupakan adat dengan adaya persetujuan dari kedua bela pihak yaitu pihak laki-laki dan pihak perempuan. Kesepakatan tersebut kemudian disahkan oleh pemerintah serta hukum-hukum yang berlaku apabila dalam perkawinan tersebut terjadi perceraian. Perkawinan adat Toraja atau dalam bahasa Toraja disebut Rampanan Kapa sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum-hukum adat dimana ketentuan-ketentuan tersebut berpangkal pada susunan Tana atau Kasta yang dianut oleh masyarakat Toraja. Secara umum istilah kekerabatan biasanya diartikan sebagai kinsip group atau suatu kesatuan sosial yang berbentuk dengan didasari oleh pertalian darah dan perkawinan. Kelompok-kelompok kekerabatan ditandai dengan adanya kekerabatan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga perkawinan bagi kebanyakan orang Toraja adalah perkawinan antara rumpun keluarga yang sama sehingga membina dan mempererat hubungan kekeluargaan. Dalam masyarakat Toraja dikenal dengan istilah kasiuluran atau parapuan atau keluarga. Dalam keluarga masyarakat Toraja istilah kekerabatan disebut dengan siulu keluarga batih yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah,Ibu, dan Anakanak yang belum kawin. Dalam garis keturunan yang dinyatakan tutu diperhitungkan untuk menentukan kedudukan sepupu tiga kali dalam bahasa Toraja disebut sampu pentallun dan angkatan sebelumnya atau atasnya dinyatakan dengan istilah tomatuangku atau orang tua ego diperhitungkan untuk menentukan kedudukan

sampu pennapa atau sepupu empat kali dan seterusnya. Selain itu dalam garis keturunan nene atau nenek dikenal pola pelapisan kekerabatan adalah sebagai berikut tomadadi untuk angkatan yang sederajat dengan Ibu dan Bapak, sileto ntuk angakatan yang sederajad dengan ego atau bila ditempatkan pada urutan ketiga nenek, anadadian untuk angkatan yang sederajat ego, ampo untuk angkatan yang sederajat dengan anak dari ego. Dalam masyarakat Toraja ada juga kata sapaan seperti Puang, untuk kalangan bangsawan dan ambe, atau indo, dan sebagainya yang dipergunakan apabila menyapa terhadap yang tua, baik lebih tua maupun kepada yang lebih muda dalam usia perorangan disapa dengan ana. Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Toraja adalah system bilateral yaitu masuk menjadi anggota kerabat yakni dari garis keturunan Ayah maupun Ibu. Di dalam kehidupan masyarakat individu menjadi kepala keluarga adalah Ayah. Ayah mempunyai tanggung jawab secara langsung untuk melidungi keluarga dan serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk kebutuhan rumah tangga. Adapun peran ibu dalam rumah tangga dapat membantu peran ayah untuk mendukung segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga. Jika dikaitkan rumah tangga dengan anaka-anak, peran kaum ibu dalam rumah tangga merupakan aspek yang sangat penting dalam keluarga. Masyarakat memandang kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Namun terdapat hal yang membedakan antara peran dan tanggung jawab suami dan istri yang berkaitan dengan rumah tangga. Seorang suami memiliki tanggung jawab terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kesejateraan , keamnan,

kebahagiaan, serta nafkah yang cukup untuk menjamin rukunnya suatu rumah tangga. Peran dan tanggung jawab seorang istri memperhatikan dan menjaga anak serta bertanggung jawab atas segala keperluan suami seperti memasak, mencuci dan sebagainya. Dalam hal yang berhubungan dengan garis keturunan, masyarakat Toraja melihat garis keturuna dari kedua bela pihak , baik Ayah maupun pihak, baik ayah maupun pihak ibu dengan prinsip bilateral. Dalam permasalahan pembagian warisan bahwa bila seorang anak yang banyak menyumbang korban persembahan bila seseorang dari orang tua mereka talah tiada, maka dialah yang paling banyak mendapatkan warisan, baik laki-laki maupun perempuan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Pada bagian ini, semua yang didapatkan selama dua bulan penelitian akan dibahas.Responden yang dijadikan sampel adalah masyarakat Kelurahan Leatung yang terdiri dari dua dusun Leatung dan Lebani. 1. Indentitas Informan Indentitas informan merupakan faktor yang sangat penting untuk diketahui dalam suatu penelitian, dari data informan ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran awal yang akan membantu masalah selanjutnya yang akan diuraikan untuk lebih mengenal informan dalam penelitian ini . 2. Usia Informan Untuk membahas masalah-masalah yang dikemukakan pada bab pendahuluan, perlu mengklasifikasi identitas responden sebagai pendukung dalam memberikan analisa terhadap masalah yang diteliti. Salah satu hal yang sangat penting dalam memberikan gambaran mengenai suatu pemaknaan tau-tau dalam upacara rambu solo. Dan dalam penelitian ini tidak menentukan batas usia Dalam penelitian ini jenis kelamin informan adalah laki-laki dengan memilih 8 orang masyarakat setempat sebagi informan. Adapun umur dari masing-masing responden yaitu ne Mariak 75 tahun, ne Etos 65 tahun, Yohanis panggalo 53 Tahun, Y.S Parante 63 tahun, Pak Arma 69 tahun, Sifa datuan 56 tahun, S.S Datuan 56 tahun, Simon 48 Tahun.

3.

Pekerjaan Pekerjaan merupakan suatu faktor yang sangat menentukan bagi seseorang

untuk kelangsungan hidupnya, apabila bagi mereka yang telah berkeluarga atau berumah tangga. Demikian pula dengan masyarakat Kelurahan leatung, yang berusaha memperoleh pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Tentunya setiap orang menginginkan pekerjaan yang baik, dalam artian bahwa pekerjaan tersebut tidak berat dan mempunyai penghasilan yang memuaskan, hal ini dapat dicapai bila potensi dan latar belakang individu mendukungnya. Sebagaimana pendidikan, pekerjaan secara sosiologis bisa menandakan status sosial seseorang. Jika seseorang mempunyai pendapatan yang rendah, maka orang tersebut cenderung mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, seperti mencari lokasi atau tempat yang menguntungkan. 4. Pendidikan Tingkat pendidikan informan juga merupakan faktor yang sangat penting untuk diketahui dalam penelitian, karena pendidikan cukup besar pengaruhnya pada proses pembauran baik terhadap lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan tempat kerja. Hal ini sangat penting untuk menunjang perbaikan nasib seseorang. Dalam penelitian ini pendidikan masing-masing responden berlainan.

B. Makna Simbolik Tau-Tau Sebagai Salah Satu Komponen Dalam Upacara Rambu Solo 1. Makna Simbolik dari Tau-Tau Masa Dulu Menurut Aluk Todolo Penelitian ini mencoba mengungkapkan makna yang lebih mendalam tentang makna simbolik Tau-tau , peneliti melengkapi keterangan dari informan dengan beberapa acuan sejarah dan hasil penelitian. Sebelum agama Kristen masuk wilayah Tanah Toraja, orang toraja pada umumnya menganut kepercayaan yang disebut Aluk Todolo. Para penganutnya harus mematuhi aturan-aturan kehidupan berdasarkan Aluk Todolo untuk menghindari hukuman dari ketiga pribadi yang dipuja, yaitu Puang Matua (sang pencipta segala isi bumi), Deata ( sang pemelihara semua ciptaan Puang Matua), dan Tomembali Puang atau Todolo ( sang pengawas yang memperhatikan perilaku manusia dan pemberi berkat kepada keturunannya di bumi)

Tangdilintin(1981:79). Salah satu aturan yang harus dipatuhi manusia (penganut Aluk Todolo) adalah kewajiban untuk membuat Tau-tau bagi orang Tua mereka yang diupacarakan dalam konteks ini adalah kalangan bangsawan. Namun demikian tidak semua lapisan bangsawan yang membuat symbol tau-tau dapat membuat tau-tau yang sama(berdasarkan jenis kayu). Bedasarakan jenis kayu, Tau-tau dibedakan atas dua jenis, yaitu Tau-tau nangka ( tau-tau permanen, dari kayu nangka) dan Tau-tau lampa ( bambu). Patung permanen diperuntukkan bagi golongan bangsawan (puang) yang dirapai (upacara kematian yang besar, biasanya mengorbankan 24 ekor kerbau sebagai syarat upacara tetapi biasanya lebih dari itu sesuai dari kemampuan) pada

upacara penguburannya, bagi golongan bangsawan yang telah berjasa besar bagi masyarakat kaya, kuat sehingga dapat menjadi pelindung dan pembela rakyat, merupakan pemuka/ pemimpin masyarakat, dan bagi golongan yang hidupnya berarti bagi masyarakat. Hal ini dapat dibangdingkan dengan yang terjadi ditanah Batak, yaitu bahwa yang pantas atau layak dibuatkan patungnya adalah bapa-bapa leluhur yang dianggap mempunyai kuasa atau pengaruh yang istimewa, bedasarkan kemulian mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan mereka dan kedudukan mereka dalam silsilah marga Lothar(1996:168). Adapun lapisan bangsawan yang tidak mampu atau tidak mampu atau tidak dapat memenuhi ketentuan-ketentuan Aluk Todolo seperti yang telah disebutkan di atas, bagi mereka hanya dapat dibuatkan tau-tau lampa. Untuk membuat Tau-tau dibutuhkan seseorang pemahat yang khusus yang disebut topande dan harus melakukan berbagai prosesi ritual. Mulai dari proses penebang kayu dipahat menjadi tau-tau ,ritual ma pesung (pengorbanan hewan dan pemberian sajian kepada leluhur yang didewakan) sudah mulai dilakukan. Hal ini terus berlangsung sampai tau-tau itu selesai dibuat. Sebelum dibuatkan tau-tau salah satu sanak keluarga yang mau dibuatkan tau-tau menceritakan karakter simati kepada Topande misalnya pada masa hidupnya orangnya keras maka muka tau-taunya kakuh dan sebaliknya jika masa hidupnya orang sabar, baik, lembut maka muka tau-tanya kelihatan senyum. Karena dulunya tau-tau tidak terlalu mirip dengan mukanya tapi sesuai dengan karakternya. Adapun posisi atau gaya tau-tau yaitu berdiri tegak, telapak tangan kanan berdiri, seperti meminta sesuatu. Posisi ini disebut dirinding pala dikulambu taruno yang

mempunyai makna bahwa roh leluhur akan senantiasa menjaga keselamatan seluruh anak cucu dan masyarakat dengan memberikan persembahan berupa kurban pada saat upacara berlangsung. Menurut ne mariak (75 tahun) selama dalam proses pembuatan tau-tau, Topande harus tidur didekat atau dibawah kolong rumah tempat jenazah disemayamkan. Hal itu dimaksudkan agar ia kemasukan roh dari jelasah dan mendapat ilham dari jenazah tersebut dan dengan demikian rupa atau roman muka dari tau-tau yang dibuatnya itu mirip atau menyerupai roman muka dari orang yang meninggal itu (wawancara 20 februari 2011). Menurut Topande dari buntao bahwa sebuah tau-tau dapat dibuat maksimal 23 hari untuk tau-tau Todolo. Pada saat tau-tau itu selesai dibuat, tautau itu dilantik lebih dulu dengan satu upacara disebut, massabu tau-tau yang dilengkapi dengan sajian kurban babi, kemudian dipakaikan dengan pakaian adat dan dihiasi dengan pershiasan pusaka seperti manusia, dengan maksud untuk memberikan simbol tersebut menggambarkan diri simati bahwa dia dari strata sosial yang tinggi (bangsawan). Tau-tau yang telah dilantik tersebut diletakkan didekat jenazah. Ia diperlakukan sebagaimana orang yang masih hidup seperti: diberi nasi (makanan). Minuman, sirih, dan dikenakan pakaian adat dan berbagai perhiasan pusaka. Para penganut Aluk Todolo mempunyai kepercayaan bahwa tau-tau yang sudah dilantik tersebut, roh simati sudah masuk dalam tau-tau tersebut sehingga diperlakukan demikian. Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan tau-tau ini, kita dapat mengetahui status sosial dari sipunya tau-tau. Tau-tau yang memilki simbol yakni penggunaan seppa tallu buku ( celana yang hanya sampai dibagian lutut) dan dodo ( sarung yang diselempangkan pada tau-tau yang umumya

berwarna putih) adalah seorang bangsawan. Pakaian yang dikenakan tau-tau menyerupai pakaian masyarakat Toraja pada upacara rambu solo berlangsung, tau-tau laki-laki memakai baju dari pasangan seppa tallu buku, ikat kepala( patali), dan salempang dari sarung. Sedangkan tau-tau wanita mengenakan baju pokko ( baju yang pada lenganya hanya sampai pada siku dan sempit), sedangkan bagian bawahnya memakai sarung, memakai tutup kepala dari sarong ( terbuat dari bambu menyerupai paying, tetapi tidak mempunyai batang), dan membawa semacam tas tempat sirih yang disebut sepu. Setelah tiba saatnya pelaksanaan upacara pemakaman, jenazah bersama ta-taunya diturunkan kelumbung padi (mengkalao alang). Setelah mengkalao alang tau-tau diletakkan didepan lumbung. Sesuai dengan adat pada upacara rambu solo yang akan dilaksanakan, maka tau-tau ini dibuatkan usungan, lalu tau-tau tersebut didirikan atau didudukkan diatas usungan tersebut. Usungan ini berguna untuk mengangkat tau-tau tersebut pada saat acara mapasonglo. Menurut ne etos (65 tahun): Mapasonglo merupakan acara mengarak tau-tau tersebut bersama dengan orang yang meninggal yang dibuatkan tau-tau mengelilingi kampung dengan diikuti keluarga yang berjalan dibelakang orang yang mengusung peti mati serta tau-tau (wawancara 28 februari 2011). Mereka berjalan dibawah bentangan kain merah yang diikat pada usungan petih jenazah yang dibentangkan diatas kepala mengikuti arakan-arakan para pembawa usungan peti yang disebut saringan ( terbuat dari bambu yang menyerupai rumah adat toraja tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih ringan sehingga bisa untuk diangkat), kurban yang akan dipersembahkan dalam upacara rambu solo tersebut seperti kerbau turut juga diara-arak yang sudah pula dihiasi

berbagai hiasan (benda Pusaka Aluk Todolo). Setelah acara arak-rakan selesai, maka orang mati tersebut kembali ketempat semula atau tongkonan tempat dimana upacara tersebut akan dilaksanakan atau dimulai. Setelah pesta ini berlangsung selama beberapa hari sesuai adat yang berlaku dan berbagai prosesi upacara yang dilaksanakan didalamnya, maka orang yang meninggal tersebut akan diusung ramai-ramai menuju tempat penguburan( diliang-liang batu) bersama dengan tau-tau yang juga diusung ketempat penguburan. Setelah orang yang meninggal tersebut diletakkan ditempat yang telah disediakan seperti liang segi empat yang dipahat pada didnding batu, kemudian tau-tau tersebut juga diletakkan pada dinding-dinding batu yang dipahat memanjang membentuk pesegi panjang. Dan yang menarik dari pekuburan batu adalah semakin tinggi pekuburan batu (liang si mati) menunjukkan kedudukan atau status seseorang yang dikuburkan dalam liang tersebut sangat tinggi pula ( bangsawan) dalam masyarakat dan juga ada makna lain dari itu bahwa penempatan tau-tau pada tebing yang tinggi mempunyai makna simbolik yakni sebagai tanda atau wujud bahwa roh leluhur selalu menjaga dan mengawasi masyarakat dari segala malapetaka. Dan pada saat jenazah dimasukkan atau dikuburkan kedalam kuburan batu (liang), tau-tau diletakkan berdiri didepan atau disamping liang agar mudah dilihat dari luar. Setiap beberapa tahun pakaian diganti oleh kaum keluarganya dengan disertai upacara persembahan. Penggatian pakaian tau-tau ini dilakukan sebelum ada jenasah baru dari rumpun keluarga yang dikuburkan.

Tau-tau merupakan perlengkapan yang sangat penting pada upacara pemakaman, sesungguhnya diltarbelakangi oleh faktor, kepercayaan, prestise, dan ekonomi. Fungsi dan makna tau-tau dalam upacara rambu solo menurut

kepercayaan aluk todolo bahwa dewa yang mereka sembah dan diratapi oleh keluarga dan masyarakat. Menurut Yohanis panggalo (53 tahun): dewa dapat tinggal dalam tau-tau itu sehingga tau-tau tersebut menjadi pusat kekuatan, kesaktian dan daya gaib dan tau-tau itu seolaholah menjadi manifestasi (penjelmaan) dari dewa itu sendiri. Serta mempermudah proses penyembahan bagi leluhur( wawancara 21 februari 2011). Karena kepercayaan Aluk Todolo yang menyakini bahwa: mati adalah suatu proses perubahan status dari manusia yang hidup kepada manusia roh dialam gaib yang disebut To Membali Puang setelah melalui upacara peresmian atau pelantikan roh (massabu) menjadi dewa dalam upacara pemakaman. Pembuatan tau-tau ini dilatarbelakangi oleh kehidupan sosial budaya yang erat hubungannya dengan penonjolan status sosial atau strata kebangsawanan dari orang yang terpandang. Selain itu juga karena adanya kepercayaan bahwa Tau-tau dianggap perwujud bagian dari orang yang sudah meninggal, dengan demikian orang yang sudah meninggal tersebut tetap ada dan menjaga kita dari atas sana (alam baka). Adapun tujuan pembuatan tau-tau yaitu untuk digunakan sebagai tanda atau simbol dalam upacara rambu solo bagi orang lain bahwa yang meninggal tersebut adalah kalangan bangsawan dan sebagai simbol penting dalam upacara Rambu Solo tinggkat rapasan atau dirapaii.

2. Makna religius Makna yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna yang berhubungan dengan agama ;penyembahan atau pemujaan atau keprcayaan. Menurut ajaran Aluk Todolo yang sesuai dengan sukaran aluk (sukaran = ketentuan, susunan,ukuran; aluk = aturan ), manusia harus percaya dan memuja serta menyembah kepada tiga oknum Tandilintin (1981:79), yaitu: a. Puang Matua sebagai sang pencipta segala isi bumi ini. b. Deata-deata yang banyak jumlahnya itu sebagai sang pemelihara seluruh ciptaan Puang Matua. c. Tomembali puang/Todolo sebagai sang pengawas memperhatikan garakgerik serta member berkat kepada manusia (keturunanya). Salah satu dari tiga oknum yang dipuja dan disembah dalam Aluk Todolo ini ialah oknum ketiga yaitu, Tomembali Puang/ Todolo.Latar belakang dari penyembahan tersebut adalah berdasar pada keyakinan dalam Aluk Todolo, bahwa antara yang hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan yang erat. Roh/jiwa dari orang yang meninggal akan berubah menjadi dewa (Tomembali Puang) setelah melalui upacara penyembahan/pemujaan.

Berdasarkan Aluk Todolo ini, seseorang yang mati harus dirawat atu diperlakukan betul-betul seperti dan memelihara orang yang masih hidup, yaitu dengan melengkapkan segala keperluan yang akan digunakan oleh roh di alam gaib yang disebut Puya (tempat bersemayam roh menurut keyakinan Aluk Todolo).

Adapun tujuan dari pegadaan kurban harta benda (kerbau,babi, kuda, rusa dan lain-lain) pada pemakaman orang mati menurut Aluk Todolo di Tana Toraja, tangdilintingg (1981:121): a. Akan menjadi bekal atau harta benda roh orang mati di alam baka/alam gaib. b. Akan menentukan kedudukan arwah yang dinamakan to membali puang (arwah yang telah menjadi dewa) dia alam baka/gaib, karena menurut keyakinan aluk todolo bahwa arwah yang datang ke puya dengan tidak membawa bekal dari dunia tidak dapat diterima secara wajar di puya. c. Sebagai suatu hal yang menentukan martabat dari keturunanya didalam masyarakat seterusnya, dan dalam pembagian warisan. Disamping sebagai bekal kealam baka/gaib serta menjadi korba sosial;adanya kurban harta benda pada upacara pemakaman adalah untuk memenuhi tuntutan adat hidup dan pergaulan hidup dari orang mati selama hidupnya. Karena itu, kurban yang ada disesuaikann dengan kedudukan kastanya serta peranan dalam masyarakat Tangdilintin (1981:122). Tau-tau sebagai simbol kehadiran dewa/arwah leluhur dalam suatu upacara raambu solo di toraja menurut Aluk Todolo harus mendapat perlakuan seperti manusia, dan harus dipuja serta disembah. Aluk todolo mengajarkan bahwa arwa nenek moyang selalu menyertai dan menjaga anak cucunya dan dapat memberi berkat bagi mereka. Hal ini dideskripsikan melalui posisi kedua tangan tau-tau yang agak lain jika dibandingkan dengan posisi tangan orang yang masih hidup. Tangan dari tau-tau berada pada posisi mangrande pala (menopang

telapak tangan), ma rinding taruno (melindungi jari). Menurut S.S Datuan (43 tahun): artinya dari bentuk atau posisi tangan tau-tau ini adalah bahwa leluhur atau nenek moyang mengharapkan atu meminta kurban persembaha berupa harta benda (kerbau atau babi) dari anak cucunya sesuai dengan banyaknya harta atau kemampuan mereka, dan sebagai imbalannya, nenek moyang akan member berkat bagi anak cucunya (wawacara tanggal 4 maret 2011). Akan tetapi roh leluhur ini dapat pula memberi kutukan bagi keturunanya jika tidak memenuhi persyaratan dari pemujaan. Nenek moyang yang sudah menjadi dewa berarti sudah berdiri secara otonom menguasai keluarganya sendiri, dalam arti bisa mengutuk atau memberkati (informasi dari J.A Sarira budayawan Toraja). Berkat dan kutuk sangat tergantung pada sikap keluarga terhadap nenek moyang yang sudah meninggal. Dengan demikian hubungan atara leluhur dengan keturunannya harus senantiasa terpelihara dengan baik. Jadi jelas bahwa pemujaan nenek moyang disebabkan oleh rasa takut, rasa hormat dan cinta kasih, tetapi juga mengandung unsur paksaan, yaitu memaksa leluhur memberi berkat bagi keturunannya. 3. Makna Estetika Dari Tau-tau Makna estetika adalah makna yang mengandung keindahan, sedap dipandang mata karena bentuknya yang indah, mempunyai nilai seni yang tinggi atau artistik. Nilai seperti ini dapat juga kita jumpai pada pembuatan tau-tau di toraja. Patung yang adalah hasil karya pemahat yang bernilai seni yang tinggi dalam kebudayaan toraja, bersifat sosial budaya dan memaikan peranan penting pada upacara rambu solo. Menurut ne Mariak (75 tahun):

membuat tau-tau ini adalah salah satu bentuk dan cara mengungkapakan nilai seni pada upacara rambu solo disamping bentuk dan cara lain, seperti mengukir peti mati dan peralatanperalatan upacara rambu solo lain, penggunaan pakaian adat Toraja, hiasan-hiasan, dan lain-lain (wawancara 11 maret 2011). Patung yang dipahat topande akan menghasilakan bentuk dan rupa patung yang indah, yang sangat mirip dengan rupa orang yang dibuatkan patungnya. Hal ini akan menimbulkan kekaguman bagi orang yang

melihatnya.Nilai seni yang terdapat atau dikandung oleh tau-tau ini jika dikembangkang dengan baik akan dapat menunjang pengembangan sector parawisata. Khusunya dengan terbukanya dan ditetapkannya Tana Toraja sebagai daerah parawisata menyebabkan penggalian kebudayaan yang lama, termasuk pengadaan tau-tau. Dengan gencaranya program diversifikasi seni tradisi Toraja dan menguatnya posisi agama Kristen, maka tau-tau dianggap sebagai bagian dari nilai seni toraja yang harus dikembangkan tanpa tekukuh oleh material, gaya, bentuk dan upacara untuk mengkukuhkan tau-tau bernilai sakral. Karna itu

replika tau-tau dengan berbagai gaya dan ukuran bermunculan yang dibuat oleh para perajin Toraja yang selama ini pada umumnya membuat cendramata ukir dan replica tongkonan dan berbagai ukiran motif toraja dalam aneka wadah. 4. Makna Ekonomi Tau-tau Sebuah tau-tau dapat dinilai dengan 1 ekor kerbau tedong pudu dengan harga sekitar 47 juta menurut Simon (48 tahun) . mungkin kita berfikir bahwa sebagian orang toraja mungkin tidak menggunakan perhitungan rasio dalam menilai suatu tau-tau. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pendekatan

ekonomi masa kini untuk memberi harga yang relative pantas untuk tau-tau yang sebelumnya telah dikontruksikan sedemikian rupa dalam falsafah toraja. Namum menurut salah seorang informan ne Mariak (75 tahun) tau-tau Aluk Todolo ada yang bernilai ratusan juta rupiah kerena dianggap mempunyai kekuatan gaib.Falsafah orang toraja yang mengkonstruksikan value (nilai) dan price (harga) nampaknya masih berlaku hingga saat ini. Kondisi seperti ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat toraja, seperti keterangan dari informan Simon (48 tahun): pelaksanaan upacar rambu solo yang menggunakan tau-tau dalam upacara mereka memperkuat sistem ekonomi masyarakat. Mereka dapat membuka dan menegmbangkan lapangan kerja melaui pengrajin pahat (wawancara 23 februari). Dari aspek ekonomi, tau-tau merupakan sumber pendapatan bagi sebaian warga di tana toraja. Sejumlah orang toraja bahkan menjadi pengrajin pahat untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selain berfungsi sebagai salah satu pendapatan bagi warga, tau-tau cenderung dihargai lebih tinggi menjelang banyaknya pelaksanaan (musim) beberapa upacara rambu solo di Tana Toraja. Dalam hal ini pengrajin pahat akan kebanjiran pesanan dan akan memperoleh keuntungan yang relative besar. C.Makna Stratifikasi Sosial dari Tau-tau dalam Kehidupan Sosial Struktur dan stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat Toraja biasanya berdasarkan garis keturunan, kekayaan, usia, dan pekerjaan. Sebelumnya, khususnya pada masa pra-kolonial, ada tiga strata sosial pada masyarakat Toraja yakni, aristokrat (puang atau parengnge), orang biasa/awam (to buda, to sama), dan budak (kaunan). Status yang ditentukan oleh kelahiran, meski sebenarnya seseorang itu sukses secara finansial atau bahkan gagal beberapa orang

diperbolehkan menerobos rintangan sosial ini Ini tentu saja berbeda dengan sistem dan struktur sosial pada masyarakat modern saat ini. Tetapi ada umumnya dalam masyarakat suku toraja dikenal ada empat strata sosial yang disebut Tana, strata yang dimaksud antara lain : a. Tana Bulawsan ; lapisan sosial golongan bangsawan tinggi. b. Tana Bassi ; lapisan sosial golongan bangsawan menengah. c. Tana Karurung ; lapisan sosial golongan rakyat biasa/rakyat merdeka. d. Tana Kua-kua, lapisan sosial golongan hamba/budak. Sementara secara fungsional, klasifikasi kepemimpinan dalam masyarakat Toraja adalah sebagai berikut: Toparengnge. Kelompok ini berfungsi sebagai penasehat dan pemelihara keyakinan Aluk Todolo. Di setiap desa memiliki 4 sampai 8 orang toparengnge Tobara. Kelompok ini adalah asisten Toparengnge. Fungsi mereka adalah memelihara kebiasaan (adat) dan tradisi lama keyakinan Aluk Todolo. Biasanya mereka terdiri dari 2 orang atau bahkan lebih di setiap desa. Tominaa. Kelompok ini adalah pemimpin adat dan agama. Mereka pemimpin setiap upacara-upacara adat dan acara kematian, dan pesta syukuran. Mereka tidak menerima bayaran atas kewajiban mereka. Mereka juga termasuk orang yang rendah hati (modest) dan jujur (honest) (periksa juga Veen, 1965). Ambe tondok. Kelas ini adalah pemimpin kampung. Seorang Ambe Tondok bisa juga dipilih sebagai kepala kampung. Ambe Tondok dipilih oleh para pemimpin sosial informal. Mereka terdiri dari beberapa orang di suatu kampung.

Tobulodiapa. Kelas ini merupakan kelas terendah dalam masyarakat Toraja secara fungsional. Mereka tidak memiliki hak atau kekuasaan, tetapi pada saat bersamaan mereka diwajibkan melaksanakan praktek ajaran Aluk Todolo dan menaati perintah keempat kelas di atas. Hingga kini sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja masih berlaku. Misalnya, dalam masyarakat Toraja khususnya, sistem perbudakan muncul sebagai konsekuensi dari pembagian kelas-kelas sosial. Sistem perbudakan ini seringkali berakar dari, jika bukan dilegalisasi oleh, adat (Customary Law) yang berlaku dalam masyarakat (Wertheim, 1976:194, Wertheim, 1956:132-52). Meski sistem perbudakan telah lama dihapuskan, jika bukan dilarang, di negeri ini, beberapa kaum aristokrat masih menerapkan sistem seperti ini, meski dalam tingkat yang wajar dan tidak seketat dahulu. Riset Eric Crystal (1970, 1994), Volkman (1990), dan Nooy-Palm (1986) menyimpulkan bahwa sistem sosial yang berkembang di Tana Toraja turut mempengaruhi tipe kepemimpinan dan otoritas tradisional di daerah ini. Bahkan sampai kini otoritas tradisonal ini coba dipertahankan dengan berbagai cara. Misalnya dengan berafiliasi kepada organisasi sosial tertentu, mempertegas kembali fungsi-fungsi adat, dan bahkan pengembalian fungsi lembang seperti sebelumnya. Adanya lapisan atau golongan yang terdapat dalam masyarakat suku toraja ini sangat berpengaruh pada pengadaan Tau-tau. Lapisan yang paling rendah (golongan hamba) sama sekali tidak boleh membuat tau-tau atau sama sekali tidak boleh dibuatkan tau-taunya bila kelak meninggal nanti. Hal ini

disebabkan adanya pemahaman bahwa tidak semua leluhur yang dapat dipuja atau disembah. Leluhur yang dapat diangkat menjadi leluhur yang dapat dipuja dan disembah adalah bapa-bapa leluhur yang telah melindungi rakyat (urrinding tondok) dan membela rakyat, mereka dianggap memiliki suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Jadi tidak semua orang mati dapat diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja/disembah. Itulah sebabnya dari empat strata sosial masyarakat yang ada dalam masyarakat suku toraja tersebut yang layak dibuatkan tau-tau adalah golongan bangsawan.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna tau-tau berdasarkan makna stratifikasi sosial ini tujuannya adalah untuk menunjukkan identitas keluarga yang dibuatkan simbol tau-tau sebagai keluarga yang berada atau kaya dan memilki kuasa, pengaruh serta kedudukan dalam masyarakat. Menurut Simon (48 tahun): makna ini ingin menunjukkan identitas kebangsawanan si pemilik patung beserta kaum keluarganya (wawancara tanggal 23 februai 2011) D. Makna Simbolik Tau-tau Dalam Kehidupan Sosial budaya Masyarakat Toraja adalah masyarakat yang senantiasa mempertahankan tradisi budaya secara turun temurun. Adanya peninggalan-peninggalan budaya, perilaku dan alamnya sangat mencerminkan sebuah masyarakat tradisional dengan kesungguhan menjaga dan melestarikan tradisi yang masih terpelihara sampai sekarang yakni tradisi penggunaan Tau-tau dalam upacara Rambu Solo untuk orang yang sudah meninggal dan merupakan bangsawan.

Dalam pembuatan tau-tau tidak terlepas dari makna yang mendasari serta kedudukan dalam sistem sosial budaya Toraja. Menurut wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa tokoh masyarakat bahwa pembuatan tau-tau berdasarkan bahannya menjadi dua yaitu tau-tau nangka dan tau-tau lampa.Tautau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi (tana bulaan)

sedangkan tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menengah (tana bassi) nama upacaranyapun dibedakan yakni upacara pemakaman yang menggunakan tau-tau nangka disebut upacara pemakaman tingkat Rapasan sedangkan upacara yang menggunakan tau-tau lampa disebut Doya tedong atau tingkat dibatang. Seperti masyarakat lainnya setiap tingkahlaku dan material budaya masyarakat Toraja selalu sarat akan pemakaman. Demikian pula dengan menggunakan kayu nangka Sebagai bahan utama pembuatann tau-tau karena mempunyai getah berwarna putih yang diartikan sebagai darah dewa. Masyrakat toraja mempunyai kepercayaan bahwa darah dewa berwarna putih, karena kaum bangsawan tinggi adalah titisan dewa maka tau-tau perwujudannya harus dibuat dari bahan kayu nangka. Sesuai observasi ciri-ciri fisik seperti tau-tau yang ada di tana toraja khususnya disanggala tepatnya di pekuburan saudara salah satu informan peneliti yaitu ne Mariak dan juga ditempat salah satu objek parawisata di Suaya. Salah satu pekuburan yang di tempati almarhum Puang Sangalla disemayamkam, yaitu ada posisinya berdiri dan ada posisinya duduk. Tau-tau laki-laki memilki ciri-ciri

seperti : a. dagu yang agak lebar, b. pakaian tau-tau menyerupai pakaian masyarakat toraja pada umunnya (saat upacara rambu solo), c. memakai baju menyerupai jas, d. ikat kepala yang disebut pa tali, e. celana yang hanya sampai bagian lutut disebut seppa tallu buku, f. selempang berupa sarung dan umunya berwarna putih (simbol darah dewa). Untuk tau-tau wanita memiliki ciri-ciri seperti : a. dagu yang agak lonjong, b. tutup kepala dari sarong atau passarong yang terbuat dari ayaman bambu, berbentuk seperti payung, c. pakaian yang diapakai adalah baju pokko yang pada umumnya hanya lenganya hanya sampai pada siku dan sempit, d. bagian bawah atau celana memakai sarung khusus yang hanya dijumpai ditoraja tenunan asli toraja (seppa tallu buku, baju pokko dan dodo), dan biasanya bagi Tau- tau perempuan dilengkapi asesoris yang disebut Kandaure yang terbuat dari ayaman manik-manik berwarna- warni yang hanya ad ditoraja tetapi juga di suku dayak (Kalimantan) dapat kita jumpai anyaman manik-manik yang bahannya sama tetapi tidak disebut Kandaure dan tidak berbentuk seperti Kandaure. Selain perbedaan ciri-ciri tersebut terdapat persamaan atara Tau-tau laki-laki dengan Tau-tau wanita. Persamaan tersebut berupa mata yang terbuat dari tulang dan berwarna putih, alis mata diberi warna hitam, sama-sama membawa Sepu (semacam tas tempat sirih) sikap tangan yang sama yaitu tangan jiri terbuka dan tangan kanan terjulur seakan-akan memberi salam atau sebaliknya, sikap badan tegak berdiri, bentuk muka yang kaku dan mata yang melotot. Menurut S.S Datuan ( 43 tahun): Bahwa mata yang melotot pada Tau-tau mempunyai makna bahwa orang yang dibuatkan tau-tau tersebut semasa hidupnya selalu siap dan tegar

menghadapi segala permasalahan hidup Tau-tau dengan posisi berdiri dan memengang tongkat mempunyai makna bahwa beliau merupakan pemengang kekuasaan dalam memimpin masyarakat dalam segi adat istiadat. Adapun tau-tau dengan posisi duduk yang kebanyakan adalah kaum wanita yang mempunyai makna bahwa kaum wanita bertanggung jawab dalam mengatur urusan rumah tangga (wawancara 2 maret 2011). Tau-tau merupakan salah satu simbol dari upacara Rambu Solo di Tana Toraja tentunya mengandung nilai-nilai atau makna tersendiri, menurut ne Mariak ( 75 tahun ) : pemaknaan dalam penempatan dan sikap Tau-tau mempunyai suatu nilai atau makna (wawancara 11 maret 2011). Penempatan Tau-tau pada tebing yang terpahat dan menghadap ketimur yang dibawahnya terhampar area persawahan yang dimaksudkan sebagai permintaan akan kesejateraan hidup masyarakat. Dengan begitu sawah-sawah akan menghasilakan padi yang melimpah dan arwah leluhur akan memberikan kesuburan. E. Norma / Aturan-aturan Yang Berkaitan Dengan Tau-tau Masyarakat tana toraja didalam melaksanakan kegiataan yang

berhubungan Ma tau-tau senantiasa didasarkan pada aluk-ada. Aluk adalah norma-norma yang mengatur kehidupan masyarakat dan merupakan peraturan yang tidak tertulis yang diwariskan dari generasi kegenerasi secara turun temurun tanpa ada perubahan berati. Aluk adalah keseluruhan aturan-aturan keagamaan dan kemasyarakatan. Karena seluruh kehidupan itu selalu dikaitan dengan aluk, maka aluk dilaksanakan dalam seluruh kehidupan itu dan alam sekitarnya menurut Kobong dkk (1992:6), misalnya:

a. Alukna mello tau b. Aluk parpe c. Aluk bagunan banua d. Aluk padang e. Aluk rambu tuka f. Aluk rambu solo g. Aluk Tanana pasa h. Aluk bua Orang toraja percaya bahwa Aluk sama dengan agama bahakan mengandung arti yang sangat dalam dan luas, jadi Aluk Todolo bagi orang Toraja merupakan keyakinan agama, kepercayaan, upacara agama, upacara adat, yang mengandung larangan (pemali) dan pedoman berinteraksi dan bertingkah laku dalam

kehidupan bermasyarakat. Yang melanggar tuntutan dan pemali aluk akann akan mendapat pembalasan dari dewa (nenek moyang) semacam karma. Itulah sebabnya aluk aluk tersebut terkadang disebut aluk nenek karena ada kesan pelaksanaanya berhubungan lansung dan pemeliharaan oleh leluhur nenek moyang. Menurut Sipa Datuan ( 56 tahun) : bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai inti , normanorma aturan yang berlaku dalam aluk siapapun yang mengubah aluk (lale-lale aluk) akan mendapat teguran dari dewa (deata) leluhurnya ( wawancara 25 februari 2011). Masyarakat Toraja percaya bahwa Aluk yang sudah turun temurun dari leluhur tidak boleh di ubah secara semena-mena oleh orang yang tidak mengerti tentang Aluk, jika aluk di ubah atau dipermaikan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang terdapat dalam aluk akan mendatangkan mala petaka bagi yang mengubah

aluk dan akan terus kegenerasi mereka ke generasi ketiga, ketuju dan akan terus kegenerasi berikutnya jika dia tidak meminta maaf kepada dewa melalui ritual yang ditentukan dalam aluk (osso ma pentallun mapempitu sae lako ketae na pemaseroi male mapesung lako deata). Menurut Y.S Parante (63 tahun): Bahwa dalam aluk orang toraja didukung oleh nilai-nilai dan normanorma dalam masyarakat, antara lain nilai inti yang terkandung dalam adalah siri rapu, siri siluang siri tongkonan dan siri tondok wawancara 15 maret 2011). Kebanyakan pola kehidupan orang toraja diatur dengan aluk sola pemali didalam hidup seseorang justru menyebabkan pala hidup orang itu cukup teratur. Oleh sebab itu, pola kehidupan yang diatur dengan aluk sola pemali melahirkan kebiasaan-kebiasaan yang diusung menjadi adat-istiadat dalam masyarakat. Setiap masyarakat pada dasarnya memilki aturan atau norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakatnya serta adat istidat yang harus ditaati oleh setiap warganya. Hal ini berlaku dalam lingkungan masyarakat toraja, khususnya dalam melaksanakan matau-tau terlebih dulu memahami akan adanya aluk yang berlaku dan berkaitan dengan simbol tersebut. Aluk dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui Aluk Tallu Lolona ( tiga pucuk) yaitu: a. Aluk Mello Tau, yang diperuntukkan bagi dunia mahluk manusia b. Aluk Patuoan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan c. Aluk Tananan, yang diperuntukkan bagi dunia hewan Hubungan sosial dikalangan warga masyarakat toraja dengan sendirinya diatur oleh norma yang telah disepakati dalam masyarakat. Secara individu manusia itu pada dasarnya ingin menang sendiri serta ingin mengutamakan kepentingan pribadinya dengan mengabaikan kepentingan orang lain, untuk

menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal tersebut, maka dibuatlah norma atau aturan yang dapat mengatur hubungan-hubungan tersebut dalam masyarakat. Menurut Rumengan (69 tahun): segala pekerjaan yang ada dibumi ini, kesemuanya itu didasari dengan norma atu aturan, adat serta larangan. Demikian halnya dalam kehidupan masyarakat toraja, segala sesuatu yang dilakukan, baik itu upacara rambu solo maupun rambu tuka akan selalu didasari dengan aturan adat serta larangan yang ad dalam masyarakat. Meskipun demikian masih ada masyakat yang melanggar peraturan yang ada misalnya pada pembuatan tau-tau ada orang yang membuatkan tau-tau dalam keluarganya yang tidak sesuai dengan norma yang ada yaitu membuatan patung tau-tau nangka buat leluhurnya karena mereka mau dinggap sebagai bangsawan tinggi dan mereka juga tidak mematuhi aturan dan makna yang terkandung didalamnya, tidak sesuai dengan Aluk yang ada. Menurut peraturan adat orang Toraja yang boleh dibuatkan Tau-tau nangka adalah bangsawan tinggi yang telah berjasa besar bagi masyarakat, kaya, kuat sehingga menjadi pelindung dan pembela bagi rakyat,merupakan pemuka/pemimpin masyarakat, tetapi banyak masyarakat tidak paham dengan aturan yang berlaku. Karena mereka menggangap dirinya adalah bangsawan dan berjasa bagi masyarakat tetapi kenyataan yang ada bila kita telusuri mereka hanya boleh dibuatkan tau-tau lampa. Dan ada pula masyarakat yang bukan dari kalangan bangsawan tetapi membuatkan tau-tau buat orang tua mereka karena mereka menggangap dirinya sudah mampu menurut ekonomi. Menurut Y.S Parante (63 tahun): orang yang tidak mentaati aluk akan mendapat sanksi sesuai aturan yang beralaku dalam masyarakat serta orang yang membuat tau-tau yang bukan dari kalangan bangsawan akan cemohkan dan dipermalukan di masyarakat(wawancara 27 februari).

Dalam pembuatan tau-tau pada saat masyarakat Tana toraja masih menganut kepercayaan Aluk todolo sebelum masyarakat tana toraja mengenal Agama Kristen dan didalam pembuatan tau-tau terdapat norma yang harus ditaati yaitu sebagai berikut: a. Pegolahan bahan Pada tahap pengolahan bahan ini, didahului dengan penebangan pohon yangdalam bahasa toraja disebut Manglelleng. Pohon yang akan ditebang ini adalah pohon nangka yang tela tua umurnya. Menurut Y.S Parante (63 tahun): sebelum penebangan itu berlangsung, terlebih dahulu diadakan upacara ritual dibawah pohon nangka tersebut. Pada acara ini diadakan pemotongan seekor ayam jantan yang disebut manuk sella (ayam jantan yang berwarna merah sedangkan kakinya berwarna putih) (wawancara 27 februari 2011). Selain itu, pada acara manglelleng diadakan juga acara Mapiong dibawah pohon yang akan ditebang (ma piong yaitu memasak nasi dalam bambu atau biasa disebut lemang), beras yang dimasak bukan sembarang beras pada acara Mapiong ini adalah beras Batan yakni semacam beras yang ukurannya kecilkecil, kemudian beras kedua ialah beras Kasalle yaitu beras yang sekamnya mempunyai bulu pada ujungnya. Apabila semua upacara (memohon kepada Dewa agar pohon yang

ditebang bagus hasilnya nanti bila dipakai) tersebut telah dilaksanakan, maka kayu nangka tesebut dapat ditebang, baik menggunakan kapak maupun menggunakan gergaji tau mesin dan dipotong sesuai kebutuhan. dengan

b.

Proses pembuatan Pada tahap ini bahan yang sudah ada diolah kemudian dibentuk dengan

cara dikurangi sedikit demi sedikit memakai parang atau menggunakan pahat. Seperti pada upacara menglelleng, dalam proses pembuatan ini diadakan upacara ritual terlebih dahulu. Dalam upacara ritual ini dikorbankan seekor babi. Kemudian beras masih tetap dimasak seperti upacara Manglelleng namun pada upacara ini beras tersebut tidak lagi dipiong tetapi dimasa yang disebut Sokko. Tahap-tahap pembuatan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut: Manglassak adalah merupakan pembuatan badan tau-tau beserta kakinya. Pada bagian ini dikorbankan satu ekor babi sebelum pembuatan tersebut dilaksanakan kemudian beras di sokko (beras ketan di masak dengan santai sampai kering). Pada tahap ini telahdisiapkan untuk dipahat. Manglassak ini bahwa bahan yang telah disiapkan dipahat demi sedikit dengan mengikuti bentuk dasar yang telah dibuat sebelumnya. Pada umumnya bagian ini tidak terlalu mendapat perhatian yang serius dalam penggarapannya karena pematung beranggapan bahwa ini akan ditutup oleh baju sehingga tidak mendapatkan penggarapan yang final. Makollong merupakan pembuatan bagian pundak tau-tau atau penyatuan antara bagian pundak tau-tau dengan kepala dan leher tau-tau menjadi satu kesatuan. Pada bagian Makollong ini bagian pundak belakang dari tau-tau itu dibuatkan lobang sebagai tempat untuk menanamkan kepala atau Tau-tau. Pada tahap ini juga dapat dibuatkan bagian-bagian badan yang lain seperti tangan, jari tangan dan bagian lengan dari tau-tau tersebut. Pada pembuatan ini bagian lengan, terlalu

tangan dan jari tangan dibuat menyambung. Seperti pada acara

sebelumnya

bahwa pada acara makollong ini juga dikurbankan seekor babi sebagai korban. Massabu merupakan kegiatan yang paling akhir dilaksanakan pada

kegiatan membuat tau-tau. Pada bagian ini tidak lagi dikorbankan baik ayam jantan maupun babi. Menurut Ne Mariak (75 tahun): massabu merupakan acara mendirikan atau membangunkan tau-tau tersebut dari posisi tidur ke posisi berdiri, setelah pemahatan selesai maka tidak berarti bahwa tau-tau yang dibuat telah selesai, karena tau-tau ini masih harus diberi asesoris sesuai dengan jenis kelaminnya (wawancara tanggal 20 februari). Pada saat tau-tau tersebut sudah didirikan dimana semua bagian badannya telah disatukan secara utuh , maka pada saat itu pula tau-tau tersebut diberi pakaian dan aksesoris sebagai pelengkap untuk tau-tau wanita biasanya dilengkapi dengan aksesoris berupa sarong (tebuat dari bambu seperti topi petani tetapi dengan ukuran yang berbeda agak melebar seperti payung), ponto lokki (gelang erbuat dari emas), serta pemberian rambut yang biasanya diambil dari serat ponda daa (daunnya sejenis nanas tapi berbuah), lalu rambut disanggul tegak (dilokkon tedek). Untuk tau-tau laki-laki biasanya diberi aksesoris berupa Pa tali (ikat kepala dari kain tenun), sarung yang disalempangkan kebadannya yang umumnya berwarna putih (kembali meningatkan bahwa warna putih adalah warna darah deata menurut kepercayaan aluk todolo) bahwa tidak semua orang dapat memakai sarung putih hanya dari kalangan strata sosial tinggi (bangsawan), celana orang dulu (seppa tallu buku)semacam celana puntung, memakai jas, kadang juga menngunakan manik (kalung) tanda kebangsawanan, serta memakai tongkat. Namun tongkat hanya dipengang oleh Tau-tau apabila yang dibuatkan tau-tau

tersebut telah berumur tua. Apabila tau-tau tersebut diberi pakaian maka biasanya dikorbankan lagi satu ekor babi yang diberi nama bai ballong (seekor babi yang sempurna tanpa cacat). Kesemua tata upacara pembuatan tau-tau yang telah disebut diatas dilaksanakan apabila orang meninggal tersebut dari strata sosial yang tinggi yang masih menganut agama nenek moyang (aluk todolo). Akan tetapi apabila yang meninggal tersebut memeluk agama Kristen tidak lagi melakukan upacara tersebut. F. Makna Religi Dari Upacara Tau-Tau Masa Kini a. Tau-Tau Kristen Menurut Ajaran Kristen Protestan (Gereja Toraja) Munculnya berbagai bentuk dan rupa Tau-tau masa kini bentuk sinkretisme yang merupakan penyesuaian , perpaduan antara nilai-nilai tradisi lama (aluk todolo) dengan tradisi baru, tidak terlepas dari adanya upaya pengukuhan dan penguatan status sosial yang ingin ditunjukkan oleh kaum bangsawan tinggi Toraja masa kini. Hal ini terutama dilakukan oleh kaum bangsawan tinggi yang tidak ingin kehilangan identitas stratifikasi sosial sebagai simbol paling terhormat/bermartabat dalam masyarakat Toraja hingga saat ini. Karena itu simbol-simbol yang mengarah pada kebangsawanan seperti kepemilkikan harta benda, misalnya banua sura tongkonan berukir, alang sura lumbung berukir dan Tau-tau tetap mereka pertahankan sebagai milik kelompoknya yang secara kasat mata membedakannya dengan kelompok masyarakat biasa lainnya.

Demikian

pula

dengan

pelaksanaan

upcara

pemakaman

masih

dipertahankan sebagai bagian dari identitas kebangsawanan, meskipun hal ini bertentangan dengan keyakinan yang mayoritas kaum bangsawan anut saat sekarang ini yaitu agama Kristen, sebab ada tertulis dalam kitab suci agama Kristen KELUARAN 20: kesepuluh hukum taurat, hukum ke 2 Jangan

membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di atas langit, atau ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya, sebab aku, TUHAN, ALLAHmu, adalah ALLAH yang cemburu, yang membalaskan kesalahan Bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci AKU. Bahwa masyarakat Toraja mengetahui bahwa pembuatan tau-tau itu bertentangan dengan keyakinan yang mereka anut karena tau-tau berasal dari kepercayaan Aluk Todolo, tetapi disini peneliti mencoba melihat bahwa budaya mempengaruhi kepercayaan yang dianut masyarakat toraja sekarang ini meskipun C.Gertz melihat agama dan kepercayaan itu bagian yang utuh tak terpisahkan dari kebudayaan, nilai agamalah yang mempengaruhi semua nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan. Hal ini berarti bahwa suatu sistem nilai dari kebudayaan terwujud sebagai sistem-sistem simbol suci dimana maknanya bersumber pada ajaranajaran agama yang menjadi kerangkah acuannya. Dalam keadaan demikian maka, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya dan

terwujud dalam kegiatan-kegiatan masyarakatnya sebagai tindakan yang diselimuti oleh sistem-sistem simbol. Tetapi itu pada keyakinan yang lama. Meskipun demikian peneliti juga melihat bahwa sudah banyak perubahan yang terjadi pada pembuatan Tau-tau tidak lagi melakukan penyembahan, dan tidak bernilai pada Aluk todolo yang melakukan pemujaan dan sesajen, sekarang ini masyrakat Kristen memaknai tau-tau sebagai patung atau gambaran dari orang yang dibuatkan patung dan akan selalu dikenang. b. Tau-tau masa kini Beragamnya bentuk tau-tau yang ada saat ini di Tana Toraja tidak terlepas dari bebasnya kaum bangsawan memaknai Tau-tau sebagai patung yang menggambarkan seseorang,. Karena itu pihak keluarga memesan Tau-tau sebagai potret diri anggota keluarganya dari seniman patung, baik, seniman lokal maupun seniman luar Tana Toraja. Dalam memaknai tau-tau sebagai patung yang tidak bermakna Aluk todolo, terdapat berbagai tingkatan tentang tau-tau dan patung potret dianut oleh kaum bangsawan Toraja. Menurut ne Mariak (75 tahun): Pedapat yang masih sederhana bahwa bila pembuatan tau-tau tersebut tidak lagi dibuat oleh Pande tau-tau dengan berbagai ritualnya, maka hal ini sudah dapat diterima dan tidak bertentangan dengan iman Kristen (wawancara tanggal 11 maret 2011). Pendapat yang lebih tingkat pemahamannya menurut S.S Datuan (43 tahun): Bahwa mengenai simbol Tau-tau yang dipakai dalam suatu upacara Rambu solo bagi lapisan masyarakat yang menyadang gelar sebagai bangsawan tinggi (Tana bulaan). Mengenai rupa dan bentuk Tau-tau adalah selain tidak dibuat oleh pande dengan berbagai upacara pemujaan, juga patung yang dibuat harus menyerupai wajah dan proposisi dari orang yang dibuatkan Tau-tau dan tetap bahannya dari Kayu nangka( wawancara 2 maret 2011).

Dalam banyak peristiwa (kasus) terjadi penolakan terhadap Tau-tau yang dibuat pengrajin dipesan oleh seorang keluarga buat orang tuanya, dengan alasan ketidak miripan patung dengan wajah dari orang yang dibuatkan patung serta bahannya bukan dari kayu nangka dalam artian masyarakat tidak memaknai bahwa nangka yaitu deata dan getahnya adalah darah deata namun masyarakat sekarang ini memaknai kayu nangka sangat kuat dan tahan lama. Jika Tau-tau dibuat dari kayu yang tidak sekuat nangka maka akan mungkin tidak kuat dan tahan lama mungkin cuma tahan beberapa tahun dan akan lapuk sehingga keluarga yang akan bersiarah ke kuburan tidak menemukant Tau-tau dari keluarga mereka yang akan mereka kenang seumur hidup. Salah satu contohnya Tau-tau yang sangat realis (menyerupai orang yang dipatungkan), bahkan sangat proposional dengan perbandingan ukuran 1:1 dengan orang yang dipatungkan (sebagai syarat utama diterimahya Tau-tau ini oleh keluarganya) adalah patung kakak ne Mariak salah satu informan peneliti. Hadirnya bentuk tau-tau dengan corak yang realis yang meskipun sudah tidak dibuat berdasarkan kepercayaan tahap-tahap Aluk Todolo ternyata tidak membuat masyarakat toraja khususnya warga sanggala utara menganggap bahwa patung ini bukan benda Aluk Todolo. Hal ini karena disebabkan karena Tau-tau masih dikaitan dengan bahan bakunya terbuat dari kayu nangka meskipun mereka sudah memakna berbeda denga Aluk Todolo dan dipajang ditempat pemakaman meskipun gaya tangan mereka tidak seperti pada Tau-tau Aluk todolo, tetapi yang sangat menarik bahwa mimik muka dari Patung harus masih sesuai dengan

karakter yang dibuatkan patung dan masyrakat Sanggala utara meyakini bahwa

benda aluk todolo ini sangat berarti bagi mereka bahwa sipapun (Tana bulaan) yang membuatkan patung bagi lehurnya akan mendapt berkat, jika mereka yang tidak membuatkan patung bagi leluhurnya akan mendapa kutuk dari leluhurnya serta juga mereka masih mengganggap bahwa Tau-tau itu mempunyai sejarah dari nenek moayang mereka dan akan tetap dijaga kelestariannya. Meskipun demikian Tau-tau tidak dinilai lagi secara Gaib dan tidak diperlakukan seperti pada Aluk Todolo (melakukan pemujaan) ini adalah salah satu aspresiasi dalam memaknai tau-tau masyarakat tana toraja sekarang ini, meskipun tidak lagi melakukan pemujaan tetapi masih banyak nilai-nilai yang diadopsi dari Aluk Todolo dan itu tidak akan perna hilang dari masyarakat Toraja kerena sudah mendara daging dalam kehidupan mereka seperti Makna simbol Tau-tau dalam upacara rambu solosangatlah penting untuk tetap terjaga secara turun temurun dan tidak akan perna pudar dan itu adalah benda pusaka (warisan) dari leluhur mereka, meskipun Penganut Aluk Todolo tidak ada lagi. Tidak dapat disangkal bahwa, bahwa upaya kaum bangsawan Toraja untuk memberikan pemahaman kepada orang Toraja mengenai perbedaan nama tau-tau (benda Aluk To dolo-Sakral) dan bahan dari patung yang dipesan dari luar toraja, menurut informan R.M seperti yang terjadi di salah satu wilayah Tana toraja ada seseorang bangsawan yang membuatkan Tau-tau bagi Ayahnya yang bernama T.S, yang berbahan dari semen sedikit lebih ekstrim dan mengurangi pemakaian simbol-simbol Tau-tau bila dibangdingkan dengan Tau-tau milik kakak ne Mariak ( Puang kapala neDampang) pada patung ayah T.S tidak menggunakan

pakaian, (baju, celana, ikat kepala sebagaimana Tau-tau puang kapala ne Dampang dan semua Tau-tau pada umumnya). Tetapi wujud dari pakaian yang dikenakan patung ayah T.S adalah gelar yang didapat sejak bekerja sebagai anggota Polisi. Patung itupun disimpan ditempat pemakaman buatan yang dibangun menyerupai rumah yang dibuat menyerupai rumah yang disebut patane. Namun mengingatkan kita pada tradisi tau-tau aluk tododlo adalah pemakaian benda-benda asli kegemaran dari orang yang meninggal ( patung ayah T.S) seperti pakaian polisi, kacamata, pin dan tanda pangkat turut dikenakan pada patung semen tersebut. Menurut R.M (67 tahun): ayah dari T.S bukan bangsawan tinggi ( tana bulaan) tetapi dari bangsawan menengah (tana bassi) jadi saya setuju saja jika mereka memaknai Tau-tau ayah mereka dengan demikian, tetapi masyarakat punya pendapat lain dari pembuatan Tau-tau dari semen tersebut bahwa keluarga T.S membuat tradisi baru yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku, setelah upacara pemakaman selesai , Tau-tau dari semen itu menjadi buah bibir bagi masyarkat setempat bahwa keluarga T.S melanggar adat, serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarkat Toraja, dan mereka percaya Keluarga T.S lambat laun akan menerima teguran dari nenek moyang (kutuk) wawancara ( 8 maret 2011). Didalam lingkungan masyarakat toraja telah berlaku norma atau aturan yang telah dibuat masyarakat. Dalam hal ini, hasil dari putusan musyawarah yang merupakan suatu keputusan yang tertinggi dan dinggap sakral. Apa yang telah disepakati dalam hasi musyawarah tidak dapat lagi dirubah dan diakhiri dengan pemotongan kurban. Hasil keputusan bersama itu tersebut dalam istilah masyarakat setempat kada misa (kata sepakat). Kada misa ini menjadi prinsip yang teguh dan dipengang setiap melaksanakan aktifitas dalam masyarakat. Jika terjadi pelanggaran akan berakibat besar. Disebutkan dalam pepatah atau semboyan orang toraja. misa kada di potuo pantan kada dipomate. Artinya:

satu kata akan membawa kehidupan tetapi masing-masing kata dapat membawa kematian atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ini menandakan bahwa interaksi di antara masyarakat toraja menuju satu kesepakatan yang mutlak sangat dijunjung tinggi. Didalam kesatuan adat seluruh wilayah tana toraja diikat oleh satu atauran yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo yang secara harafiahnya berarti negri yang bulat seperti matahari.Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakana, persekutuan negri sebagi satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak perna diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat ditoraja. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama peserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikata seluruh daerah dan kelompok adat. Ketika Kristen/Protestan makin banyak dianut sebahagian besar penduduk sejak tahun 1930-an melaui pendeta-pendeta dari Belanda, muncul dua garis besar sikap: menolak seluruh unsurelama atau melestarikan apa yang tak bertentangan dengan norma atau aturan baru. Pada kenyataanya banyak pemeluk Kristen Toraja beranggapan bahwa tidak semua Aluk bertentangan dengan pemahaman terhadap ajaran agama baru yang mereka anut, tetapi ada yang bersikap radikal dan

menolak seluruh Aluk meski dalam relasi sosial mereka tidak dapat terhindarkan dari Aluk, misalnya Upacara Rambu Solo. Namun ada juga yang bersikap liberal

Yang masi menjalankan Aluk tetapi mengurangi Aluk yang bertentangan dengan agama. Demikianlah maka saat ini, hampir semua Tau-tau dibuat tidak berdasarkan aluk dalam artian tidak lagi ada pemujaan dan ritual-ritual, dan tidak lagi diannggap penjelmaan roh siwafat jadi tidak lagi diberi sesajen. Masyarakat sangallamasih mempertahankan adat istidat yang secara turun temurun kerena mereka menganggap itu warisan dari nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya serta merupakan penghormatan bagi para leluhurnya juga mereka masih memahami bahwa tau-tau tersebut perwujudan dari si mati yang mempunyai existensi tersendiri dalam masyarakat.

BAB V PENUTUP Sebagai bab penutup dan saran skripsi ini, maka penulis mencoba membuat beberapa kesimpulan berdasarkan deskripsi yang disajikan dimuka. A. Kesimpulan Bertolak dari pembahasan terhadap masalah penelitian, maka ditetapkan kesimpulan sebagai berikut: a. Makna simbolik tau-tau yakni sebagai simbol penyembahan atau pemujaan pada Aluk Todolo, bahwa simbol tau-tau ini tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan Aluk Todolo meskipun sudah ada kepercayaan yang mutlak. Serta antara hidup dan yang mati masih terdapat hubungan persekutuan yang erat serta seluruh yang melindungi rakyat dan membela rakyat, mereka ,dianggap memiliki suatu kuasa pengaruh yang istimewa, berdasarkan kemuliaan mereka dibumi, berdasarkan harta kekayaan dan kedudukan mereka dalam masyarakat atau sebagai simbol patung yang melambangkan sebgai golongan bangsawan. b. Makna Simbolik tau-tau dalam kehidupan sosial budaya pada umumnya pembuatan Tau-tau berdasarkan status sosial dan bahanya dapat dibagi dua yaitu tau-tau nangka dibuat khusus untuk kaum bangsawan tinggi sedangkan tau-tau lampa diperuntukkan bagi kalangan bangsawan menegah. Namun makna sekarang ini berbeda dengan terdahulu semua yang menganggap dirinya bangsawan, bangsawan tinggi maupun menengah semuanya memakai Tau-tau nangka.

c. Simbol Tau-tau mengadung sistem norma yakni di mana setiap orang menggunakan simbol dalam upacara rambu solo atau membuatkan patung bagi leluhurnya haruslah dari golongan bangsawan serta berjasa besar bagi masarakat, dan pemimpin masyarakat jika terjadi pelanggaran maka akan

dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan norma (aturan) adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. d. Simbol tau-tau ditentukan oleh stratifikasi sosial atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat toraja, kekuasaan dan kekayaan identik dengan kelas sosial yang ada di masyarakat toraja yang mempengaruhi pengadaan simbol tau-tau dalam upacara rambu solo. B. Saran Bertolak dari pembahasan penelitian di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: a. Agar pemerintah daerah Tana Toraja meningkatkan usaha-usaha untuk melestarikan budaya daerah serta menjaga peninggalan-peninggalan budaya toraja seperti Tau-tau. Dan perlu dibuat suatu konsep pelestarian budaya toraja secara total dan terpadu dengan implementasi yang tidak hanya berupa bentuk visual saja, namun ditekankan pula pada konsepsi tatanan kehidupan kelompok masyarakat yang dapat mendukung keberadaan budaya asli tersebut. Hal ini dimungkinkan dapat terlaksana dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang terkait, terutama bidang ilmu-ilmu sosial.

b. Pengetahuan dan pengertian mengenal budaya tersebut haruslah disertai dengan informasi yang luas dan akurat tentang kepercayaaan nenek moyang yang pada dasarnya memujah roh,dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pertentangan dengan agama yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Dengan demikian diharapkan dapat bermanfaat ganda bagi masyarakat setempat, yaitu tidak kehilangan eksistensi dan kebanggan terhadap budayanya, selain itu tetap dapat memajukan parawista daerah dan pelestarian budaya local, sehingga nantinya diharapkanterjadi asimilasi yang positif pada budaya asli toraja secara bertahap namun tetap dapat dikenal budaya tersebut secara utuh meskipun kelak tidak lagi didukung oleh Aluk Todolo.

DAFTAR PUSTAKA Aliansi Masyarakat Ada (AMA) Toraja. 2006. Sejarah Tana Toraja Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo (belum dipublikasikan). Laporan AMA Toraja. Bogor Bonar H. Situmorang. 1980. Pemujaan Arwah Nenek Moyang. Majallah Berita Oikumene. BPS, 2010, Kelurahan Leatung Dalam Angka 2010, BPS Kel, Leatung. Basrowi, (2005), Pengantar Sosiologi, Ghallia Indonesia Anggota IKAPI, Bogor. C. Salambe. 1972. Orang Toraja Dengan Ritusnya: in memorial Laso Rinding Puang Sangalla. Ujung Pandang. Dwi Narwoko,J, (2006) Sosiologi Teks Pengantar dan Teerapan, Kencana Media Group, Jakarta. Geertz, Cilfforg. 1992. Kebudayaan Dan Agama. Kanisius: Yogyakarta _____________ 1992. Tafsir Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta. Koentjaningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1. Universitas Indonesia. Jakarta. Koejaranigrat, (1999). Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, Djambatan, Jakarta. Marrang. Paranoan. 1979. Upacara Kematian Orang Toraja. Lembaga Penelitian UNHAS. Ujung Pandang. Maleong, Lexi, L. 1998 Metode Penelitian Kualitatif IV. Remaja Karya. Bandung. Mohammad, Natsir, Sitonda. 2007. Toraja Warisan Dunia. Pustaka. Refleksi. Makassar. Narwoko , Baggo, (2006), Struktur Sosial Masyarakat, Prenata Media Group,

Jakarta. Raho, Bernart, SVD (2007). Teori Sosiologi Moderen. Prestasi Pustakaraya. Jakarta Indonesia. Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta. Said, Abdul Azis.2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Perubahan Aplikasinya Pada Desain Moderen. Ombak. Soekanto,Soejono.1982.Sosiologi Suatu pengantar.PT Raja Grafindo Persada,: Jakarta. Sunarto, Kamanto.2004. pengantar sosiologi, edisi revisi, Jakarta: LP.Fevi Subagya, R. 1997. Agama Asli Indonesia. Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Cakara: Jakarta. Schreiner Lothar. 1996. Adat dan Injil (perjumpaan Adat Dengan Iman Kristen Di Tana Batak. BPK-GM. Jakarta . Suparlan,Parsudi, (2010), Manusia Kebudayaan Dan Lingkungan Prespektif Antropologi Budaya, Erlangga, Jakarta. Tangdilintin, L.T. 1975. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Yayasan Lepongan Bulan: Tana Toraja. Dan

1981. Toraja dan Kebudayaanya, Yayasan Lepongan Bulan. Tana Toraja Wiranata, I Gede.A.B.SH.M.H. 2002. Antropologi Budaya. PT. Citra Aditya

Bakti. Bandung. .Rob. 2008. Tau-Tau, Ritual Toraja dalam Suvenir. WWW.toraja-treasures.com

Lampiran 1. Gambar Tau-tau Tau-tau Kuno, teknologi zaman dulu, asal

bermata, berhidung dan punya mulut.

Lampiran 2. Gambar Tau-tau Di pekuburan di Gua Batu Suaya Sangalla

Tau-tau puang sangalla

Lampiran 3. Gambar Tau-tau Di pekuburan Marante

You might also like