You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2 Dengan sifatnya yang nonspesifik dari gejala hidung, telinga, kerongkongan sampai mata dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa KNF dari awal. Kebanyakan didapatkan dalam keadaan sudah lanjut. Dalam suatu penelitian dari 4768 pasien, didapatkan bahwa gejala-gejala yang membawa pasien ke dokter antara lain massa leher pada 76% pasien, gejala hidung pada 73% pasien, gejala di telinga pada 62% pasien dan kelumpuhan saraf cranialis dan mata pada 20% pasien.2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk. Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI


II. 1 ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas- batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.3 Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.2 Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh laminafaringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia
2

ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intracranial

Gambar 1 Anatomi nasofaring Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.1,3 Struktur penting yang ada di Nasopharing 1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva 2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini. 4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius 5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.

6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring. 7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. 8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus. 9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei Fungsi nasofaring : 1. Sebagai jalan udara pada respirasi 2. Jalan udara ke tuba eustachii 3. Resonator 4. Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung II. 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI VISUAL PATHWAY

Gambar 2. Visual Pathway Lintasan visual merupakan lintasan yang dilalui impuls saraf sejak dari terbentuknya bayangan di retina sampai terbentuknya kesadaran mengenai adanya obyek yang dilihat. Lintasan visual mencakup retina, saraf optic, khiasma optikum, traktus melihat.4 Retina sebagai Film negative Agar suatu obyek dapat dilihat maka harus terjadi bayangan di retina dan bayangan ini harus dapat dihantarkan ke otak, yaitu ke korteks visual di fissure kalkarina untuk selanjutnya disadari. Dengan demikian kita melihat obyek dengan mata dan dengan otak. Mekanisme melihat ini sangat rumit dan meliputi melihat bentuk, ruang dan warna. Bola mata merupakan suatu sistem kamera yang mempunyai sistem lensa, diafragma, dan film. Sebagai sistem lensanya adalah kornea,
5

optikus,

korpus

genikulatum

laterale,

radiasio

optika

(traktus

genikulokalkarina), korteks visual (area striata/area 17), dan tingkat kesadaran

cairan akuos, lensa mata dan vitreum. Sebagai diafragma adalah palpebra dan pupil. Sebagai filmnya ialah retina. Suatu obyek dapat terlihat paling jelas kalau cahaya dari obyek tepat jatuh pada retina, tepatnya di makula lutea. Dapat tidaknya cahaya dari jauh tak terhingga terfokus pada retina saat mata istirahat tergantung pada kekuatan refraksi mata dan panjang aksis bola mata. Apabila fokus tepat di retina, maka mata tersebut dikatakan emetrop. Apabila fokus jatuh di depan retina maka dikatakan miop, dan apabila fokus jatuh di belakang retina maka dikatakan hipermetrop. Jadi agar bayangan jelas, maka dibutuhkan media refrakta yang jernih dengan kekuatan refraksi yang cocok dengan panjang sumbu bola mata, serta retina sebagai penangkap bayangan yang baik. Suatu obyek dapat dilihat jika obyek tersebut mengeluarkan cahaya atau memantulkan cahaya. Terjadinya bayangan di retina serta timbulnya impuls saraf untuk dikirim ke fissura kalkarina menyangkut perubahan kimia fotoreseptor di sel sel konus dan basilus. Bayangan yang terjadi di retina dibandingkan dengan obyeknya adalah lebih kecil, terbalik, hitam dan dua dimensi ( panjang dan lebar, atau datar) Nervus optikus Bayangan dari retina akan dibawa mula mula oleh saraf optik untuk menuju fissura kalkarina. Satu nervus optikus tersusun kira kira oleh 1,2 juta axon yang berasal dari sel sel ganglion di retina. Yang disebut nervus optikus adalah serabut saraf yang terletak antara papil nervus optikus sampai khiasma optikum, sedangkan yang dari khiasma optikum sampai korpus genikulatum lateral disebut traktus optikus. Sebenarnya serabut saraf tadi sejak dari sel ganglioner sampai korpus genikulatum laterale adalah traktus dan bukan saraf tepi, dan memiliki sifat fisiologis maupun patologis sebagai traktus. Namun demikian nama nervus optikus tetap dipakai untuk menamai bagian saraf yang terletak antara papil N II dan khiasma optikum, walaupun sebenarnya ini salah. Yang merupakan nervus optikus yang sebenarnya hanyalah serabut saraf yang sangat pendek yang berupa sel bipolar yang terletak pada retina yang menghubungkan fotoreseptor dengan sel ganglioner. Nervus optikus memiliki panjang kira kira 50 mm dari bola mata hingga khiasma optikum dan dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian intraokular ( disebut sebagai papil nervus optikus), bagian intraorbita, bagian intraosea, dan bagian intrakranial. Papil N II ( diskus optikus, optic disc, optic nerve head, atau bintik buta) merupakan tempat berkumpulnya serabut serabut saraf yang berasal dari sel sel
6

ganglioner dari seluruh permukaan retina. Panjang papil saraf optik adalah 1 mm, dengan diameter 1,5 mm. Bentuk papil tergantung pada besarnya foramen skleralis posterior. Pada orang miopik, kanalis tadi besar sehingga papil tadi besar dan datar, dan terdapat cekungan yang lebih dalam. Pada mata hiperopik kanalis tadi lebih kecil sehingga papil tampak lebih menonjol. Hal ini disebabkan karena jumlah serabut saraf tiap orang relatif sama, sehingga pada mata miopik lubang yang dilewati adalah longgar dan pada mata hiperopik lubang yang dilewati lebih sempit sehingga pada mata hiperopik serabut sarafnya lebih berdesakan dan tampak seperti tergencet oleh kanalis skleralis dan tampak menonjol. Nervus optikus intraorbita panjangnya kira kira 20-30 mm, memanjang antara bola mata sampai foramen optikum, berbentuk huruf S dengan diameter 3-4 mm. Karena bentuknya seperti huruf S dan panjang, maka bola mata bisa bergerak bebas tanpa menyebabkan ketegangan nervus optikus. Nervus optikus intraosea adalah nervus optikus yang berjalan pada kanalis optikus, dan panjangnya kira kira 5 mm. Nervus optikus intrakranial merupakan bagian nervus optikus setelah keluar dari kanalis optikus ke kavum kranii sampai khiasma optikum, dan panjangnya kira kira 10 mm. Perlu ditekankan bahwa pada perjalanannya serabut saraf dalam nervus optikus sampai di korpus genikulatum laterale terjadi perubahan perubahan letak atau penataan yang rumit. Kiasma optikum Ukuran anteroposterior khiasma kira kira 8 mm, dan ukuran kanan kirinya kira kira 12 mm, serta tingginya 4 mm. Khiasma optikum merupakan setengah silang (hemidekuassio) nervus optikus kanan dan kiri. Pada khiasma ini serabut saraf dari retina temporal tidak menyilang, sedangkan yang dari nasal mengadakan persilangan. Pada khiasma tidak terjadi pergantian neuron. Traktus optikus Kedua traktus optikus mulai dari tepi posterior khiasma, kemudian berjalan divergen, melingkupi pedunkuli serebri untuk berakhir pada korpus genikulatum laterale. Korpus genikulatum lateral

Korpus genikulatum lateral merupakan akhir serabut aferen lintasan visual anterior. Di sini serabut yang menyilang maupun tidak tersusun sebagai lapisan berselang seling. Dari korpus genikulatum lateral akan terdapat neuron visual akhir yang akan membentuk radiasio optika (traktus genikulokalkarina) untuk menuju korteks visual primer di fissura kalkarina Radiasio optika Radiasio oprika berjalang meyebar dari korpus genikulatum laterale inferior, melingkupi bagian depan kornu ventrikel lateral, kemudian ke belakang dan berakhir pada korteks kalkarina atau area striata di lobus oksipital.4 Korteks visual Pada fissura kalkarina lobus oksipital terdapat korteks visual atau area 17. Di sinilah berakhir impuls dari retina. Funssi korteks visual primer adalah untuk deteksi organisasi ruang atau pemandangan visual, yaitu deteksi bentuk obyek, kecerahan bagian bagian obyek, bayangan dan sebagainya. Pada korteks visual terdapat penataan retinotopik, artinya bahwa titik titik tertentu pada retina mempunyai hubungan yang pasti dengan titik titik tertentu pada korteks visual primer. Separuh kanan kedua retina berhubungan dengan korteks visual kanan, dan separuh kiri kedua retina berhubungan dengan korteks visual kiri. Selanjutnya makula sesuai dengan polus oksipital dan retina perifer sesuai dengan daerah konsentris di depan polus oksipital. Bagian atas retina sesuai dengan bagian atas korteks visual dan bagian bawah sesuai dengan bagian bawah korteks visual. Fossa yang kecil itu, karena fungsinya amat penting, yaijtu untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan detil, maka menempati daerah seluas 35% korteks visual primer. Pada korteks visual primer terdapat sel sel untuk deteksi cahaya bulat, deteksi garis, orientasi garis, perubahan orientasi, deteksi panjang garis, dsb. Disamping itu, juga terdapat deteksi warna. Rangsang dari kedua mata juga disatukan di sini. Di luar area 17 terdapat area 18 dan area 19. kedua area ini disebut sebagai korteks visual sekunder. Area area ini berfungsi untuk pemrosesan visual lebih lanjut.4 Tingkat kesadaran penglihatan

Tingkat kesadaran penglihatan belum jelas benar, mungkin di korteks serebri tertentu, atau mungkin juga secara difus atau juga ada asosiasinya dengan korteks temporal. Mungkin juga proses psikologis ikut berperan dalam kesadaran penglihatan. Memang dalam proses melihat ini masih tersangkut pula bagian bagian dari otak yang lain yang ikut berperan. Ini terbukti dari adanya kerusakan bagian bagian tersebut akan disertai gangguan dalam kesadaran penglihatan. Bagian bagian tadi disebut sebagai pusat visual sekunder, yang meliputi kolikulus superior, thalamus, lobus parietal, lobus frontal, lobus temporal, dan korpus kalosum. Setelah seluruh proses melihat ini berlangsung maka akan timbul kesadaran akan adanya obyek yang dilihat dan obyek tadi akan bersifat lebih besar, tegak lurus, tiga dimensi dan berwarna warni. Disamping itu juga dikenal namanya, kegunaannya.

II. 3

ANATOMI DAN FISIOLOGI OTOT BOLA MATA Anatomi dan Fisiologi otot penggerak bola mata. Pergerakan bola mata dilakukan oleh 6 pasang otot bola mata luar yaitu:5
a. otot

rektus medius,

kontraksinya

akan menghasilkan

aduksi atau

menggulirnya mata kearah nasal dan otot ini di persyarafi oleh syaraf ke III (syaraf okulomotor)
b. otot rektus lateral, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya

bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf abdusen)
c. otot rektur superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi dan

intorsi dari pada bola mata dan otot ini persyarafi saraf ke III (saraf okulomotor)
d. otot rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan

depresi, adduksi dan

intorsi, yang di persyarafi oleh syaraf ke III


e. otot oblik superior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, intorsi, dan

abduksi yang d persyarafi syaraf ke IV (syaraf troklear)


f. otot oblik inferior, kontraksinya akan mengakibatkan elevasi, ekstorsi dan

abduksi yang dipersyarafi oleh syaraf ke III.

II. 4

DIPLOPIA
9

Diplopia adalah gejala dimana pasien melihat dua tampilan dari satu objek. Hal ini dapat terjadi ketika satu mata ditutup (diplopia monokuler), atau hanya ketika kedua mata terbuka (diplopia binokuler).4,6 Pada diplopia monokuler, kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan refraksi tidak terkoreksi, gangguan kornea, katarak dan gangguan retina. Diplopia binokuler terjadi karena ketidaksejajaran mata, yang mungkin disebabkan oleh gangguan pada: 1. saraf 2. otot 3. persimpangan otot saraf 4. tulang sekitar mata.

Gambar 3. Penglihatan diplopia

II. 5

STRABISMUS Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak searah. Pada strabismus sumbu penglihatan tidak berpotongan pada satu titik benda yang dilihat. Yang dimaksud dengan sumbu penglihatan adalah garis yang menghubungkan titik nodal dan fovea sentral atau garis yang menghubungkan titik fiksasi, sentral pupil dan fovea sentral. Pasien dengan pengelihatan juling atau akan mengeluh mata lelah atau astenopia, penglihatan kurang pada satu mata, lihat ganda atau diplopia, dan sering menutup sebelah mata.7,8 Strabismus dikenal dalam beberapa bentuk yang disebut sebagai : A. Heterotropia : dimana kedudukan mata tidak normal dan tetap :

10

esotropia yaitu juling kedalam, hal ini dapat terjadi pada bayi belum berusia kurang satu tahun, atau terjadi kemudian pada masa kanak-kanak. Pada keadaan tertentu esotropia terjadi akibat rabun dekat atau hipermetroia.

Eksotropia, yaitu juling kluar. Hal ini kadang-kadang dapat terjadi pada anak dalam keadaan lelah. Pada keadaan yang lebih berat maka akan terlihat juga pada waktu melihat dekat dan jauh. Bila tropia tidak diobati pada anak maka mengakibatkan ambliopia

Hipertropia, kedudukannya satu mata letaknya lebih tinggi dibandingkan lain nya

Gambar 4. Jenis Strabismus B. Hererofia, merupakan mata yang berbakat untuk menjadi juling, dimana pada keadaan normal, kedudukan mata sejajar. Bila fusi mata diganggu maka akan terlihat pengguliran bola mata. Fusi pasien dapat terganggu akibat pasien letih atau satu mata ditutup misalnya pada uji tutup mata dan uji mata bergantian. Pada uji ini dapat dilihat bentuk foria seseorang seperti :7,9 esoforia, mata berbakat jiling kedalam espforia mata berbakar juling keluar hiperforia mata berbakat juling keatas

11

C. Strabismus konkomitan, yaitu juling akibat terjadinya gangguan fussi. Kelainan

ini dapat terjadi pada kekeruhan kornea pada satu mata, katarak mata ini dapat divergen ataupun konvergen, sedangkan gerakan mata masi dapat bekerja dengan baik. Pada keadaan ini sudut juling tetap pada kedudukan kedua mata berubah.7

D. Srabismus inkomitan atau paralitik terjadi akibat paralisis otot penggerak

bolamata, dimana juling akan bertambah nyata bila mata digerakkan kearah otot yang lumpuh. Dalam keadaan ini besar sudut deviasi akan berubah-ubah tergantung kepada arah penglihatan penderita.7

BAB III

12

MANIFESTASI KLINIS KARSINOMA NASOFARING PADA MATA

III. 1 Definisi Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. 1 Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi diCina bagian selatan. 1 III. 2 Epidemiologi Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang cukup jarang di negaranegara dengan angka kejadian kurang dari 1 per 100.000. Setiap tahun didapatkan kira-kira 11.000 kasus baru karsinoma nasofaring. Terdapat predominasi pada lakilaki, dengan perbandingan 2,5:1 dan terutama pada individu yang tinggal di China bagian selatan. Kanker Nasofaring termasuk lima besar tumor ganas di Indonesia. Survei departemen kesehatan menunjukkan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk per tahun. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia 50-59 tahun, hanya 30% dari penderita karsinoma nasofaring yang berusia di bawah 50 tahun. Sejauh yang ditemukan, penderita paling muda delapan tahun, yang tertua 83 tahun. Walau insidennya tinggi, kanker ini kurang populer karena tumbuh di tempat tersembunyi dan pada stadium dini tak menimbulkan gejala yang khas, sehingga pasien ataupun dokter tak menyadari. Ras kulit putih sangat jarang terkena penyakit ini. Di Asia yang terbanyak adalah bangsa Cina, baik di negara asal maupun di negara perantauan, dimana tingkat insidensi di Cina Selatan kejadiannya 40 per 100.000 orang. Ras Melayu-Indonesia dan Malaysia-termasuk yang agak banyak terkena. Perbandingan penderita kanker nasofaring antara lelaki : perempuan = 2,4:1.1,2 100 pasien dilakukan penelitian dengan NPC, terdapat 70 laki-laki (70%) dan perempuan 30 (30%) dengan laki-laki dengan rasio 2.33:1 perempuan. Usia pasien berkisar 10-59 dengan rata-rata usia 36,8 tahun. Gejala yang didapat dari kanker nasofaring berada di urutan paling besar yaitu: massa pada leher dan tidak nyeri
13

(60%), unilateral (44%) dan bilateral (16%). Sumbatan hidung (50%). Sakit kepala (34%). Gangguan pendengaran (32%), epistaksis (10%). Trismus (4%). Kehilangan penglihatan (2%). Penurunan penglihatan (2%), diplopia (2%), juling (2%). Tabel 1. Gejala pada Carcinoma Nasopharyngeal

Symptoms
Painless neck mass Nasal obstruction(Unilaterl & bilateral) Headache Hearing loss Epistaxis Trismus Vision loss Diminution of vision Diplopia Squint

No. of cases(%)
60 (60%) 50 (50%) 34 (34%) 32 (32%) 10 (10%) 4 (4%) 2 (2%) 2 (2%) 2 (2%) 2 (2%)

III. 3 Etiologi Dan Faktor Predisposisi Penyebab Karsinoma Nasofaring sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Banyak pendapat para ahli yang masih belum jelas. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr yang cukup tinggi.10 Banyak faktor genetik, etnis dan lingkungan yang berperan dalam etiologi penyakit ini. Dari penelitian, didapatkan bahwa insidensi KNF pada keluarga tingkat pertama lebih tinggi dari pada kontrol. Bahkan dengan penelitian hibridisasi gen perbandingan didapatkan perubahan pada beberapa kromosom seperti delesi pada region 14q, 16p, 1p dan amplifikasi dari 12q dan4q. Selain itu, hubungan genetik juga diduga dengan HLA-BW46 dan HLA-B17. Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini adalah letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi

14

kuman/parasit. Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.1,2,10 Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan tertentu, makan ikan-ikan yang diasinkan dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kelembaban udara sekitar merupakan faktor predisposisi Karsinoma Nasofaring. Pada diplopia monokuler, kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan refraksi tidak terkoreksi, gangguan kornea, katarak dan gangguan retina. Diplopia binokuler terjadi karena ketidaksejajaran mata, yang mungkin disebabkan oleh gangguan pada: 1. saraf 2. otot 3. persimpangan otot saraf 4. tulang sekitar mata. Strabismus sendiri ada tiga factor penyebab strabismus, yaitu factor sensoris, factor motorik, dan factor sentral. Faktor Sensoris Defect yang mencegah pembentukan bayangan di retina dengan baik, antara lain :8 Kekeruhan media Lesi di retina Ptosis berat Anomali refraksi (terutama yang tidak terkoreksi Faktor motoris meliputi kelainan pertumbuhan otot, trauma lahir, infeksi, tumor, gangguan vascular, dan gangguan akibat kelainan bentuk orbita. Factor sentral diantaranya adanya hiperaktivitas atau hipoaktivitas pernafasan, serta ketidakmampuan konsentrasi.8

Faktor Motoris dan Faktor Sentral

III. 4 Patofisiologi Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
15

dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu: 1,2,10 1. Adanya infeksi EBV 2. Faktor lingkungan 3. Genetik 1. Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfositB. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalammasuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polime ric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epsteinbarr yang meninfeksi sel dapatmengakibatkan kematian virus kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel sehingga sel yaitu interaksi

antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
16

amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal. 2. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyteantigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan p450 2E1 adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom bertanggung

jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen 3. Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagaidaerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV. Penyebaran KNF dapat berupa : 1) Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian kesinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai sarafsaraf kranialis anterior (N.I N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgiatrigeminal (parese N. II-N.VI).
17

2) Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke yaitu belakang sepanjang secara fosa ekstrakranial posterior menembus di fasciafaringobasilaris (termasuk

dalamnya foramenspinosum, foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX XII;disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior darisaraf otak yaitu N. VII N. XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistemanatomi tubuh. 3) Penyebaran ke kelenjar getah bening Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebabutama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Padakarsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 4) Metastasis jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

18

III. 5 Manifestasi Klinis Gejala-gejala dari KNF melibatkan gangguan pada organ-organ di sekitar dari nasofaring. Secara sederhana dapat dilihat dalam gambar.1,2,10 Hubungan gejala-gejala yang mungkin pada karsinoma nasofaring Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu: 1. Gejala hidung Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis sebagai rinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Gejela berupa sumbatan baik unilateral pada tahap awal ataupun bilateral pada tahap lanjut sering didapatkan dengan disertai rhinorhea. Oleh karena itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila penderita rinore lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila bercampur titik-titik darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal. Gejala lainnya dapat berupa epistaksis ringan yang muncul karena ulserasi dari tumor. 2. Gejala telinga Gejala telinga dapat berupa rasa penuh di telinga, berdengung atau tinitus, serta kurang pendengaran tipe hantaran. Gangguan pendengaran terjadi bila massa tumor menyebabkan oklusi tuba. Gangguan pendengaran ini kadang masih dianggap ringan oleh penderita, bahkan oleh dokter karena kurang pendengaran ini dianggap akibat sumbatan tuba oleh rinitis kronik. Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari Karsinoma Nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas. Dalam salah satu penelitian, didapatkan otitis media serosa dari 41% pasien KNF baru sehingga ketika ada seorang pasien datang dengan keluhan gejala seperti ini sebaiknya dipertimbangkan KNF. 3. Gejala tumor leher Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral. Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid, dibelakang angulus mandibula, di dalam m.sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan. Gejala tumor leher ini merupakan gejala yang agak lanjut dari karsinoma nasofaring, diperkirakan
19

hal inilah yang mendorong penderita datang berobat. Massa pada leher juga dapat menyebabkan Retrosphenoidal Syndrome of Jacod (yaitu kesulitan ekspresi wajah, dan juga masalah pergerakan mata dan rahang) dan juga Retroparotidian syndrome of Villaret (yaitu kesulitan menelan dan masalah pergerakan leher). 4. Gejala mata Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan kelumpuhan saraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III, IV,VI. Penderita biasanya mengeluh melihat dobel atau diplopia karena kelumpuhan N VI. Kelumpuhan mata/optalmoplegia akibat kelumpuhan N III dan N IV, dan apabila mengenai N II akan menimbulkan kebutaan. 5. Gejala kranial/saraf Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor. Pada gejala kranial ini, sebelum terjadi kelumpuhan syaraf kranial, didahului oleh gejala subjektif dari penderita, seperti kepala sakit, kurang rasa pada daerah hidung dan pipi, kadang kesulitan menelan. Gejala-gejala syaraf ini meliputi: Anosmia, kerusakan nervus I karena desakan melalui foramen olfaktorius. Sindroma petrosfenoidal, melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang muncul antara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan penurunanketajaman penglihatan. Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese nervus V yang merupakan saraf sensorik dan motorik. Sindroma parafaring, melibatkan nervus IX, X, XI, XII, gejala yang ditimbulkan antara lain; hilangnya refleks muntah, disfagi, parese lidah dan deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni, afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring. Pada parese nervus XI terdapat kesukaran memutar kepala atau dagu. 1,2,10 Dengan sifatnya yang nonspesifik dari gejala hidung, telinga, kerongkongan sampai mata dan juga otak, KNF jarang bisa terdiagnosa KNF dari awal. Kebanyakan didapatkan dalam keadaan sudah lanjut. Dalam suatu penelitian dari 4768 pasien, didapatkan bahwa gejala-gejala yang membawa pasien ke dokter antara lain massa

20

leher pada 76% pasien, gejala hidung pada 73% pasien, gejala di telinga pada 62% pasien dan kelumpuhan saraf cranialis pada 20% pasien. III. 6 Diagnosis Banding 1) Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anakanak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma. 2) Angiofibroma juenilis Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna foto polos. 3) Tumor sinus sphenooidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama. 4) Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor ini dengan KNF. 5) Tumor kelenjarr parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalammengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadangkadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada

21

sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan. 6) Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untu k membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical getah bening. 7) Menigioma basis kranii Walaupun CT tumor ini agak jarang tetapi yaitu gambaranya sedikit kadang-kadang sebelum meyerupaiKNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran meningiomacukup karakteristikk hiperdense penyuntikanzat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini. III. 7 Pemeriksaan Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protocol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor : 1,2,10 1. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF) 2. Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop 3. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
22

bagian atas karena

chordoma umunya

tidak memperhatikan

kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy

melalui mulut

dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis. 4. Pemeriksaan Patologi Anatomi Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu : Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu: Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell C arcinoma).
23

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. a) Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring b) C.T.Scan Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacammacam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan

24

sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring 6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinom anasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. Untuk pemeriksaan mata sendiri jika terdapat pasien yang mengalami karsinoma nasofaring dengan gejala pada mata yaitu:7,8 a. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan Pemeriksaan ketajaman penglihatan harus di evaluasi sekalipun hanya dapat dilakukan perkiraan kasar atau perbandingan dua mata. Masing-masing mata dievaluasi tersendiri. Karena pemeriksaan binokular tidak akan dapat memperlihatkan gangguan penglihatan pada salah satu mata. Untuk pasien yang sangat muda, dapat dipastikan dengan mengikuti suatu sasaran yang bergerak. Fiksasi dikatakan normal apabila fiksasi tersebut bersifat sentral
25

(foveal) dan dipertahankan terus sementara mata mengikuti suatu target yang bergerak. Salah satu teknik untuk mengukur kuantitas ketajaman penglihatan pada anak adalah forced-choice preferential looking. b. Inspeksi Inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau intermitten, berpindah-pindah atau tidak, bervariasi atau konstan.7,8 c. Penentuan sudut strabismusa. i. Uji Prisma & Penutupan Terdiri dari empat bagian : ii. Uji penutupan Uji membuka penutup Uji penutupan berselang seling Uji penutupan dengan prisma

Uji Objektif Metode Hircshberg Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya, sehingga yang dilihat oleh pemeriksa adalah refleks pantulan cahaya pada mata Sumber cahaya arahkan dari sekitar 30cm kea rah pangkal hidung, pasien melihat sumber sinar, lihat pantulan cahaya pada pupil. Bila kedua pantulan posisi cahaya bola terdapat mata ditengah pasien

pupil berarti

sentral( orthoposisi/orthoforia) Bila salah satu pantulan cahaya terdapat di luar pupil tetapi sebelah medial berarti posisi bola mata pasien juling keluar (ekstropia) Bila salah satu pantulan caahaya terdapat diluar pupil tetapi disebelah lateral berarti posisi bola mata pasien juling ke dalam (esotropia) Metode Refleks prisma (Uji Krimsky)

26

Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma ditempatkan didepan mata yang berdeviasi. Dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk membuat refleks cahaya terletak ditengah merupakan ukuran sudut deviasi. III. 8 Penatalaksanaan
a. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. b. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh. Terapi adjuvant tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata: kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi) concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaandengan penyinaran atau operasi)
27

post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi )

c. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasuskasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
d. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi. III. 9 Komplikasi 1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat memberikan kelainan : Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus. Ptosis palpebra ( N. III ) Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI ) foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang

2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N.XI, N. XII dengan manifestasi gejala : N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior sertaga ngguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

28

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertaiga ngguan respirasi dan saliva N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatummole N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah. Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang,masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 % III. 10 Prognosis Ras, umur dan jenis kelamin tidak mempengaruhi prognosis secara signifikan. Pada penelitiannya Perez melaporkan angka 5 years survival rate pada pasien kurang dari 50 tahun adalah 45% dan 25-27% untuk pasien yang lebih tua. Pada penelitian Qin, pasien yang lebih muda dan wanita memiliki survival rate lebih baik dari pada pria. Qin juga melaporkan survival rate pada pasien stadium awal (86% untuk stadium I, 59% untuk stadium II) lebih baik dari pada stadium lanjut (45% untuk stadium III, 29,2% untuk stadium IV). Kerusakan saraf cranial tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan menurunnnya survival rate. Jenis histologik dari tumor mempengaruhi kontrol tumor dan survival rate. Chen dan Fletzer melaporkan 31-33% rekurensi untuk karsinoma sel squamosa dan 10-12% untuk limfoepitelioma. Tetapi pada penelitian Meyer dan Wang tidak ditemukan perbedaan untuk perbedaan variasi histologik.

29

BAB IV PENUTUP
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekwensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang dengar, salit kepala dan penglihatan dobel. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya gejala diplopia dan strabismus pada pasien karsinoma nasofaring, kita diharapkan lebih memperhatikan adanya indikasi karsinoma nasofaring. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Oktaviani

E, FW.

Salean

T.

Karsinoma

Nasofaring.

Diunduh

dari: dari: dari:

http://www.scribd.com/doc/27925999/Karsinoma-Nasofaring. 2009
2. iswara

Karsinoma dan

Nasofaring. Nasopharing.

Diunduh Diunduh

http://www.scribd.com/doc/99170355/KARSINOMA-NASOFARING. 2010
3. Potter

J.

Anatomi

Fisiologi

http://www.scribd.com/doc/52863228/3/ANATOMI-DAN-FISIOLOGINASOPHARING. 2010 4. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008
5. Afuza I. Anatomi dan Fisiologi Otot Penggerak Bola Mata. Diunduh dari:

http://www.scribd.com/doc/51351640/Anatomi-dan-Fisiologi-otot-penggerakbola-mata. 2010
6. Anonym.

Penglihatan

Ganda

(Diplopia).

Diunduh

dari:

http://www.snec.com.sg/about/international/menuutama/kondisimataandperaw atan/common-problems/Pages/diplopia.aspx. 2010


7. Priska U. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan

Strabismus

Akomodatif

Esotropia.

Diunduh

dari:

http://www.scribd.com/doc/46841055/LP-Askep-Strabismus. 2009 8. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007. 9. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. 10. Higler AB. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997

31

You might also like