You are on page 1of 18

I. REKAM MEDIK A. Anamnesis 1. Identifikasi Nama MR/REG Umur Suku bangsa Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat MRS 2.

Riwayat perkawinan Kawin 1 kali, lama 13 tahun 3. Riwayat Reproduksi Menars 12 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lama 7 hari, hari pertama haid terakhir lupa 4. Riwayat kehamilan/melahirkan 1. Aterm, spontan, 1999, di bidan, (pr) 3000 g 2. Aterm, spontan, 2000, di bidan, (lk) 3300 g, sehat 3. Aterm, spontan, 2002, di dukun (lk) 3400 g, sehat 4. Aterm, spontan, 2004, di bidan (lk) 3200 g, sehat 5. Abortus, 3 bulan, 2010, di bidan 5. Riwayat penyakit dahulu : Disangkal 6. Riwayat gizi/sosioekonomi : Sedang/Sedang : Ny. Lilis Rohaiti : 515645/ 11015404 : 35 tahun : Indonnesia : Islam : SD : Rumah tangga : Jl. Bahu Ayu Kec. Kikim Selora Kab. Lahat : 14 Juni 2011 Pkl.20.00 WIB

7. Anamnesis Khusus Keluhan utama: Hamil kurang bulan dengan darah tinggi dan sesak nafas Riwayat perjalanan penyakit: 1 minggu SMRS Os mengeluh sering sesak nafas, sesak terjadi di malam hari menjelang tidur. Os memerlukan 2 3 bantal agar sesaknya berkurang. Os mengaku saat istirahat sering merasa sesak nafas. Os mengaku makin sesak 4 hari SMRS. Lalu Os ke RSUD Lahat dan sempat dirawat selama 1 hari di RSUD Lahat. Os dinyatakan darah tinggi kemudian Os dirujuk ke RSMH. Riwayat darah tinggi dalam keluarga (+), riwayat darah tinggi dalam kehamilan sebelumnaya (-), riwayat darah tinggi selama hamil (-), riwayat nyeri ulu hati (-), riwayat sakit kepala hebat, (-), riwayat pandangan mata kabur (-). Os mengaku hamil kurang bulan dan gerakan janin masih dirasakan. B. Pemeriksaan Fisik 1. Status Presens a. Keadaan umum Kesadaran Tipe badan Berat badan Tinggi badan Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu b. Keadaan khusus Kepala Leher Toraks Abdomen Ekstremitas : mata: konjungtiva anemia, sklera tidak ikterik : tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O , kelenjar getah bening tidak membesar : jantung : murmur grade III di katup trikuspid (+) gallop (-) paru-paru : ronki (-) , wheezing (-) : FUT 4 jari atas pusat (23 cm), memanjang puki kepala U 5/5 HIS (-), DJJ = 144 x/i, TBJ = 1500 g, hepar dan lien sulit dinilai : edema pretibial +/+, varises tidak ada, refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/: sedang : kompos mentis : piknikus : 70 kg : 156 cm : 190/120 mmHg : 107 x/menit : 32 kali/menit : 36,5 C

2. Pemeriksaan obstetri Pada pemeriksaan obstetri saat masuk rumah sakit tanggal 03 April 2011 Pkl. 11.00 WIB didapatkan : - Pemeriksaan luar : fundus uteri 4 jari atas pusat (23 cm), memanjang puki kepala U 5/5 HIS (-), DJJ = 144 x/i, TBJ = 1500 g - Inspekulo : portio livide, OUE tertutup, fluor (-), fluxus (-), erosi (-), laserasi (-), polip (-) - Indeks Gestosis : odem: 1, proteinuri : 1, TDS : 3, TDD : 3 = 8 C. Hasil Laboratorium (14-06-2011) Darah Rutin : Kimia Darah : Creatinin 2,6 mg/dl Prot.total 4,6 g/dl Bil. total 0,27 mg/dl SGOT 53 U/l Uric acid 5,5 mg/dl Urin : Sel epitel (+) D. Diagnosis kerja G6P4A1 hamil 31-32 minggu dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala E. Prognosis Ibu : dubia Janin : dubia F. Terapi - Ekspektatif - Stabilisasi 1-3 jam - O2 3 l/i Leukosit 4-5 /LPB Eritrosit 100 /LPB Protein : (++) Ureum 65 mg/dl albumin 1,7 g/dl Bil.direk 0, 12 mg/dl SGPT 19 U/l Natrium 135 mmol/l BSS 68 mg/dl globilin 2,9 g/dl Bil.indirek 0,15 mg/dl LDH 463 U/I Kalium 4,4 mmol/l Hb: 13,4 mg/dl Ht 42 vol% Leukosit 16.700/mm3 Trombosit 365.000/mm3 Hitung jenis 0/0/1/79/13/7

- Observasi tanda vital ibu, DJJ, tandas inpartu - kateter menetap, catat input output - IVFD RL gtt x/menit (mikro) - Injeksi furosemid 1x 20 g jika TD > 90/60 mmHg - Injeksi dexamthason 2x 6 mg iv ( 2 hari ) - Injeksi ceftrixon 2 x 1 g iv ( skin test ) - Metildopa 3 x 250 mg - Digoxin 2 x 0,25 mg - Laboratorium DR, UR, KD, crossmatch - konsul bagian PDL, Mata - Rencana USG konfirmasi - evaluasi satgas gestosis G. Konsul PDL (14-06-2011 pukul 20.30 WIB) Anamnesa: Kel: Sesak nafas RPP: sesak nafas bertambah berat dengan aktifitas, berkurang dengan istirahat tapi tidak hilang. Os diraawat 1 hari di RSUD. Riwayat darah tinggi selamama hamil ini dan riwayat sakit jantung disangkal. Pemeriksaan fisik: Keadaan umum sakit berat Sens. kompos mentis Nadi 108 x/menit Kepala : Mata RR 36 x/menit T 360 C : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-) TD 160/100 mmHg,

Leher : JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-) Torak: Jantung : HR 106x/menit, murmur sistolik grade III di trikuspid, gallop (-) Paru Abdomen Ekstremitas ECG Kesan saat ini : Ves (+) N, RBH (-), wheezing (-) : Cembung, Lemas, Hepar dan lien tidak teraba : Edema pretibial -/: Kesan: LAD + RBBB in komplit : Saat ini cor ditemukan PPHD fs NYHA IV DD/ HHD fs NYHA class IV Saran : - O2 3 l/i, Diet Jantung III - IVFD RL : D5 = 1 : 1 gtt x/m (mikro) - Injeksi furosemid 1x20 g jikaTD 90/60 mmHg

- metil dopa 3 x 250 mg - Bila TS setuju dapat rawat bersama dengan bagian penyakit dalam divisi kardiologi. Mata (14-4-2011 pukul 13.40 WIB) Anamnesa: RPP: Pasien konsul dari bagian kebidanan dengan diagnosa G6P4A1 hamil 31-32 minggu dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala, riwayat kaca mata (-), riwayat hipertensi kehamilan sebelumnya (-). Pemeriksaan fisik: TD 160/120 mmHg Nadi 92 x/menit Status oftalmologikus: VOD = 6/6 Ph (-) TIOD = 18,5 mmhg VOS = 6/6 Ph (-) TIOS = 15,6 mmhg T 36,5C RR 36 x/menit

KBM GBM Palpebra Kornea BMD Iris Pupil Lensa Tenang Jernih Sedang

Ortoforia

Tenang Tenang Jernih Sedang Gambaran baik B, C, RC (+), 3mm Jernih

Konjunctiva Tenang

Gambaran baik B, C, RC (+), 3mm Jernih

Segmen posterior: RFODS (+) FODS : Papil : Bulat, batas tegas, warna merah N, c/d 0,3, a/v 2:3 Makula : RF (+) N Retina : Kontur pembuluh darah sugriest streak (-), elschring spot (-) Kesan saat ini : Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda koroidopati/retinopati hipertensi

Saran : - Regulasi tensi sesuai TS - konsul ulang bila ditemukan adanya penurunan visus mendadak Follow up (Tanggal 15-06-2011 pukul 07.00 WIB) Keluhan : Hamil kurang bulan dengan darah tinggi Status Present: KU: sedang Nadi: 110x/m Status Obstetri: PL : FUT 4 jari atas pusat (23), memanjang puki, kepala, U 5/5, DJJ : 145 x/i, HIS (-), TBJ : 1500 g Diagnosa : G6P4A1 hamil 31-32 minggu dengan PEB + Decomp cordis NYHA IV belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala Terapi : - Ekspektatif - O2 3 l/i - Observasi tanda vital ibu, DJJ, tandas inpartu - kateter menetap, catat input output - IVFD RL gtt x/menit (mikro) - Injeksi furosemid 1x 20 g jika TD > 90/60 mmHg - Injeksi dexamthason 2x 6 mg iv ( 2 hari ) - Injeksi ceftrixon 2 x 1 g iv ( skin test ) - Metildopa 3 x 250 mg - Digoxin 2 x 0,25 mg - Laboratorium DR, UR, KD, crossmatch - Rencana USG konfirmasi - evaluasi satgas gestosis Sens RR : Compos mentis : 36 x/m TD :170/100mmHg T: 36,5 oC

Follow up (Tanggal 15-06-2011) PDL Divisi Kardiologi S O: : Sesak nafas KU: sakit berat Nadi: 92x/m Sens RR : Compos mentis : 36 x/menit TD :160/100mmHg

Kepala : oedem palpebra (+), Konj. Palpebra pucat (-) Leher : JVP (5+0) cmH2O Cor : HR : 92 x/i, murmur grade 3/6 dikatup mitral (+), gallop (-) Paru : vesikuler (+) Normal, ronkhi basah basal kedua paru (+), wheezing (-) Abdomen : Cembung, tegang, hepar dan lien sulit dinilai, tifut 5 jbpx, Bising usus (+) Normal Extremitas : Odem pretibial (+) A: P: 02 3-5 l/menit Istirahat setengah duduk Diat jantung III IVFD RL : Ds 5% gtt x/i (mikro) Inj. Furosemid 1 ampul iv Spirinolacton tab 1 x 25 mg Metildopa tab 3 x 250 mg Balance cairan Echocardiography - PPHD fs NYHA III - AKI RIFLE R

USG konfirmasi tanggal 15-06-2011 pukul 08.00 WIB (Prof. AK) Tampak JTH, Peskep Aktivitas dsan gerakan janin normal Biometeri janin BPD : 8,6 cm ~ 35 w 1 d AC : 29,0 cm ~ 33 w 1 d EFW : 2244 g Placenta di corpus anterior Ketuban SP : 4,3 cm Biofisik profil : FT : 2 FB : 2 FM : 2 NST : 2 AFI : 2 ~ 10 HC : 28, 6 cm ~ 31 w 1 d FL : 6,4 cm ~ 32 w 6 d

K / Hmil 32 33 minggu Janin tunggal hidup presentasi kepala dengan BPP : 10

II. PERMASALAHAN :

A. Apakah penyebab kematian pada kasus ini? B. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini?

III. ANALISA KASUS Di seluruh dunia lebih dari 500.000 wanita hamil dan bersalin meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi dari kehamilan dan persalinan. Hal ini merupakan suatu masalah, terutama di negara-negara berkembang. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian maternal yang berbeda-beda di setiap daerah atau fasilitas kesehatan, maka kematian maternal dapat dicegah. International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems (ICD) mendefinisikan kematian maternal sebagai berikut: Kematian wanita yang terjadi selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau insidental (faktor kebetulan). Kematian maternal merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas pelayanan kesehatan di suatu negara.1 Angka kematian maternal di Indonesia cukup tinggi yaitu 450 per 100.000 kelahiran hidup. Di negara-negara maju angka kematian maternal tercatat jauh lebih rendah, seperti di Amerika Serikat yaitu 10 per 100.000 kelahiran hidup (1978) dan di Inggris 11 per 100.000 kelahiran hidup (1980). Di Indonesia angka kematian pada beberapa rumah sakit berbeda-beda. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta didapatkan angka kematian maternal tahun 1997-2001 adalah 548,97 per 100.000 kelahiran hidup. Di RS dr. Hasan Sadikin Bandung didapatkan angka kematian maternal tahun 1998-2000 adalah 504,7 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di RS dr. Moh. Hoesin Palembang angka kematian maternal periode tahun 2000-2003 adalah 46,41 per 10.000 kelahiran hidup, turun dari angka kematian di tempat yang sama periode tahun 1986-1989 sebesar 56,79 per 10.000 kelahiran hidup. Penyebab utama kematian maternal dikenal ada 3, yaitu perdarahan, infeksi, EPH gestosis, di mana pada masing-masing pusat pendidikan mempunyai urutan yang berbeda. Di RS Mohammad Hoesin Palembang, EPH gestosis masih merupakan penyebab kematian terbanyak, diikuti oleh perdarahan dan infeksi dimana infeksi yang berat dapat menyebabkan sepsis dan syok septik.

Berdasarkan penyebabnya, kematian maternal dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Kematian obstetri langsung adalah kematian yang disebabkan oleh komplikasi obstetri dalam periode kehamilan, persalinan maupun nifas, akibat penanganan, kelalaian atau pengobatan yang tidak tepat, atau kaitan dari semua yang tersebut di atas. Di negara berkembang sebagian besar penyebab ini adalah perdarahan, infeksi, gestosis dan abortus. 2. Kematian obstetri tidak langsung adalah kematian yang diakibatkan oleh penyakit yang telah diderita ibu, atau penyakit yang timbul selama kehamilan dan tidak ada kaitannya dengan penyebab langsung obstetri, tapi penyakit tersebut diperberat oleh efek fisiologis kehamilan, misalnya hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, anemia, malaria dan lain-lainnya. 3. Kematian non obstetri adalah kematian yang timbul selama kehamilan yang disebabkan akibat kecelakaan atau kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan atau pengelolaannya. Termasuk di sini adalah kematian karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, pembunuhan, bunuh diri dan sebagainya. Pada kasus ini akan dibahas kematian seorang ibu pasca melahirkan yang mengalami sesak akibat penyakit jantung dan gagal ginjal. A. Apakah penyebab kematian pada kasus ini? Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kecacatan dan kematian non obstetrik yang penting pada wanita hamil, dapat terjadi pada 0,4-4% dari kehamilan. Dilaporkan angka rata-rata mortalitas wanita hamil dengan klasifikasi New York association kelas I dan II sebesar 0,4% hingga 6,8% dan lebih tinggi lagi pada penderita yang tingkat keparahannya kelas III dan IV. Di Indonesia belum diketahui insiden yang pasti dari penyakit jantung pada kehamilan. Laporan insiden dari beberapa negara diketahui bahwa di Amerika Serikat antara 1-3%, di Australia dan Asia Selatan antara 0,5-1,5%. Koonin dkk (1997) melaporkan bahwa penyakit jantung merupakan penyebab kematian sebesar 5,6% dari 1459 kehamilan di Amerika Serikat sejak tahun 1987 hingga 1990. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan beban hemodinamik pada saat hamil, bersalin dan melahirkan yang

dapat memperburuk gejala dan mencetuskan berbagai macam komplikasi pada wanita yang sebelumnya sudah menderita penyakit jantung. Untuk menentukan diagnosis kelainan jantung pada wanita hamil perlu dipahami keluhan dan gejala, yang bisa dikacaukan dengan keluhan yang bukan kardiologis selama kehamilan (edema, sesak napas yang biasanya juga terdapat pada wanita hamil, bising sistolik, tanda high output lain). Oleh karena itu perlu diperhatikan pendekatan diagnosis kardiologis yang lengkap, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, EKG, rontgen dada, ekhokardiografi sampai kateterisasi, termasuk klasifikasi fungsional dan etiologi maupun kelainan anatomik. Pemeriksaan ekhokardiografi M-mode dan 2D-Doppler sangat penting persamaannya dalam diagnostik. Teknik ini mampu menentukan derajat stenosis katup mitral, dimensi ruang-ruang jantung, ada tidaknya kelainan penyerta terutama regurgitasi mitral, stenosis atau regurgitasi aorta, ada tidaknya trombus pada atrium kiri. Klasifikasi fungsional jantung menurut the Criteria Committee, Diseases of The Heart and Blood Vessels, New York Heart Association (NYHA), sebagai berikut: Kelas I: Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan rasa capek, berdebar, sesak nafas atau nyeri dada (angina pektoris). Kelas II: Penderita kelainan jantung yang mempunyai aktivitas fisik terbatas. Tidak ada keluhan pada waktu istirahat, tetapitetapi aktivitas sehari-hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas atau angina pektoris. Kelas III: Adalah penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi aktivitas fisik ringan saja akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas atau angina pektoris. Tidak dianjurkan untuk hamil. Pada kehamilan dini, sebaiknya terminasi, bila sudah lanjut sebaiknya dilanjutkan dengan partus pervaginam dan kala II dipercepat. Kehamilan selanjutnya dilarang. Kelas IV: Adalah penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa terganggu (discomfort). Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan

telah terdapat pada keadaan istirahat. Dan setiap kegiatan fisik akan disertai gangguan yang bertambah. Kriteria kehamilan sama dengan kelas III. Jelasnya, kehamilan akan meningkatkan resiko kematian pada pasien dengan penyakit jantung. Pada kehamilan akan terjadi perubahan-perubahan kardiovaskular yang meliputi tekanan darah, nadi, curah jantung (cardiac output), volume plasma. Perubahan ini akan lebih memberatkan faal jantung pada kelainan/penyakit jantung yang menyertai kehamilan, misalnya setelah terbentuknya plasenta terjadi semacam fistel A-V yang semuanya membebankan kerja jantung pada kehamilan. Demikian pula vasodilatasi dan menurunnya resistensi perifer pada trimester pertama yang harus diperhitungkan dalam evaluasi tekanan darah penderita hamil. Hipertensi dapat terjadi pada 5-10% dari seluruh kehamilan dan merupakan satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Pada negara maju, 16% kematian maternal disebabkan oleh hipertensi, kemudian diikuti oleh 13% karena perdarahan, 8% abortus, dan 2% sepsis. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-1997, Berg dkk (2003) melaporkan hampir 16% dari 3201 kematian maternal disebabkan oleh suatu komplikasi hipertensi dalam kehamilan. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan yang diambil dari report on the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in pregnancy (AJOG vol 183: SI, July 2000): 1. Hipertensi gestasional Didapatkan desakan darah 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan desakan darah kembali normal < 12 minggu pascapersalinan 2. Preeklampsia Kriteria minimum adalah desakan darah 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria 300 mg/24jam atau dipstick +1. Dahulu, disebut preeklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu tekanan darah 140/90 mmHg, proteinuria, dan edema. Tetapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karene edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastole 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.

a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi < 160/110 mmHg dan proteinuria +1 b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg, proteinuria +2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oliguria. 3. Eklampsia Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-gejala preeclampsia berat. 4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia Timbulnya proteinuria 300 mg/24jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu. 5. Hipertensi kronik Ditemukannya desakan darah 140/90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pascapersalinan. Insiden preeklampsia dan eklampsia berkisar antara 4-9% pada wanita hamil, 3-7% terjadi pada nulipara, dan 0,8-5% pada multipara. Angka kejadian preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10%. Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya dipahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut the desease of theories. Gangguan-gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi pada preeklamsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara substantif dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ekstrasel, terutama paru. Dibandingkan dengan wanita normotensif, mereka yang mengidap preeklamsia memperlihatkan curah jantung yang secara bermakna meningkat sebelum diagnosis klinis, tetapi resistensi perifer total tidak secara bermakna berbeda selama fase praklinis ini. Pada preeklamsia klinis, terjadi penurunan mencolok curah jantung dan peningkatan resistensi perifer.

Suatu nekrosis tubular akut jarang semata-mata hanya disebabkan oleh preeklampsia sendiri. Meskipun tingkatan yang ringan ditemukan pada kasus-kasus yang terlambat, secara klinis gagal ginjal umumnya dipicu oleh syok hipovolemik, biasanya berkaitan dengan perdarahan saat melahirkan yang tidak mendapat penggantian darah yang memadai. Drakeley dkk (2002) melaporkan 72 wanita dengan preeklampsia dan gagal ginjal. Separuhnya mempunyai sindroma HELLP dan sepertiganya yaitu dengan solusio plasenta. Had-dad dkk (2000) melaporkan bahwa 5% dari 183 wanita dengan sindroma HELLP berkembang menjadi gagal ginjal akut. Separuhnya juga mempunyai solusio plasenta, dan kebanyakan disertai dengan perdarahan pasca persalinan. Jarang, nekrosis tubular ginjal berkembang ireversibel. Acute Kidney Injury (AKI) secara umum didefinisikan sebagai suatu penurunan yang cepat dan mendadak dari fungsi ginjal. Adapun definisi yang dikenalkan oleh The Acute Kidney Injury Network (AKIN) menyebutkan kriteria spesifik untuk diagnosis AKI, yaitu: 1. Terjadi dalam waktu yang cepat (kurang dari 48 jam) 2. Penurunan fungsi ginjal: - Peningkatan kreatinin serum Peningkatan kreatinin serum 0,3 mg/dl (26,4 umol/l) Peningkatan persentase kreatinin serum 50%

- Penurunan urine output, didefinisikan <0,5 ml/kg/jam selama >6 jam Sampai saat ini belum ada suatu konsensus cara terbaik dalam menilai fungsi ginjal; apa penanda terbaik untuk menggambarkan fungsi ginjal, dan bagaimanakah nilai penanda tersebut untuk membedakan fungsi ginjal yang normal dengan abnormal. The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)memformulasikan suatu klasifikasi Risk, Injury, Failure, Loss, dan End-stage (RIFLE). RIFLE terdiri dari tiga kelas yang menunjukkan suatu keparahan acute kidney injury yaitu risk (class R), injury (class I), dan failure (class F) serta dua kelas outcome (loss dan endstage). Klasifikasi stadium Acute Kidney Injury (AKI) : Risk: kreatinin serum meningkat 1,5 kali atau produksi urin <0,5 ml/kg selama 6 jam

Injury: kreatinin serum meningkat 2 kali dan produksi urin <0,5 ml/kg selama 12 jam Failure: kreatinin serum meningkat 3 kali atau kreatinin >355 umol/l (dengan peningkatan >44) (>4 mg/dl) atau urine output kurang dari 0,3 ml/kg selama 24 jam

Loss: AKI yang menetap atau kehilangan fungsi ginjal total lebih dari 4 minggu. End-stage: kehilangan fungsi ginjal total lebih dari 3 bulan. Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan suatu gagal ginjal akut yaitu:

1. Prarenal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung, dan hipotensi oleh sebab lain) 2. Renal: akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemia ginjal, dan penyakit glomerular) 3. Pasca renal: akibat obstruksi akut traktus urinarius (batu saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologi) Uremia adalah sindroma klinis yang dihubungkan dengan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan hormon serta kelainan metabolik, yang berkembang menjadi detoriorasi fungsi ginjal. Uremia lebih sering terjadi pada gagal ginjal kronik atau gagal ginjal kronik stadium akhir, tetapi dapat juga terjadi gagal ginjal akut jika kehilangan fungsi ginjal secara cepat. Dalam fungsi normalnya ginjal merupakan tempat produksi dan sekresi hormon, hemostasis asam basa, regulasi cairan dan elektrolit, serta eliminasi produk. Pada gagal ginjal, fungsi-fungsi ini tidak berjalan dengan adekuat dan terjadi kelainan metabolik, seperti anemia, acidemia, hiperkalemia, hiperparatiroidism, malnutrisi, dan hipertensi. Uremia biasanya terjadi setelah nilai creatinin clearance turun kurang dari 10 ml/min, meskipun beberapa pasien kadang telah menunjukkan gejala pada nilai creatinin clearance yang lebih tinggi, khususnya jika gagal ginjal secara akut terjadi. Sindroma ini akan muncul berbagai gejala seperti mual, muntah, kelelahan, anoreksia, berat badan turun, kram otot, pruritus, dan perubahan status mental. Insidensi edema paru sebagai komplikasi kehamilan adalah sekitar 1 dalam 5001000 persalinan. Dua penyebab umum adalah: (1) kardiogenik; edema hidrostatik akibat tekanan hidrolik kapiler paru yang tinggi dan (2) nonkardiogenik;

edema permeabilitas akibat kerusakan epitel kapiler endotel dan alveolar. Dalam kehamilan, edema paru sering disebabkan oleh kombinasi keduanya. Pada kebanyakan kasus edema paru selama kehamilan berhubungan dengan adanya hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi sistolik akut mengeksaserbasi disfungsi diastolik, menyebabkan edema paru. Penyebab tersering gagal jantung diastolik adalah hipertensi kronis dan obesitas dengan left ventricular hypertrophy. Penyebab lainnya adalah defek anatomis yang kongenital atau didapat. Walaupun begitu, gagal jantung bisa secara akut dicetuskan oleh preeklampsia, perdarahan dan anemia, dan sepsis masa nifas. Pada kebanyakan kasus ini, bila kemudian dilakukan EKG, akan didapatkan ejection fraction yang normal, dan bukti disfungsi diastolik bisa ditemukan. Secara klinis edema paru akut akibat penyakit jantung organik walaupun sulit dapat dibedakan dengan edema paru pada preeklampsia dan eklampsia. Pada preeklampsia dan eklampsia biasanya terjadi pada pasien usia muda tanpa riwayat penyakit jantung sebelumnya, pemeriksaan ECG normal, tidak dijumpai kardiomegali pada foto thorak dan ekokardiografi dan penyembuhannya lambat memberikan respon terhadap terapi. Mackenzie menyatakan, yang kemudian didukung oleh Hamilton dan Thomson bahwa terdengarnya ronkhi tetap di dasar paru-paru, yang tidak hilang setelah penderita menarik napas dalam dua atau tiga kali, merupakan gejala permulaan dari gagal jantung. Pada penderita penyakit jantung akan terjadi penurunan tekanan darah yang drastis bila ada intervensi dari luar berupa pemberian obat anti hipertensi atau fungsi pompa jantung yang sangat jelek. Pada keadaan normal selalu terdapat sisa darah dirongga ventrikel pada akhir sistol, dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung maka pada saat akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan normal. Pada fase diastol berikutnya maka sisa darah ini akan bertambah lagi dengan darah yang masuk ke ventrikel kiri, sehingga tekanan akhir diastol menjadi lebih tinggi. Semakin lama maka suatu saat akan timbul bendungan di atrium kiri yang akan diikuti dengan peningkatan tekanan darah di vena pulmonalis dan di pembuluh darah kapiler paru-paru. Karena ventrikel kanan yang masih sehat memompa terus sesuai dengan jumlah darah yang masuk atrium kanan, maka dalam waktu yang cepat tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru akan menjadi tinggi. Pada saat tekanan di arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis meninggi terjadi pula transudasi di jaringan intertisiel bronkhus. Jaringan tersebut yang sudah mengalami edema paru menjadi

lebih edema dan mengurangi besarnya lumen bronkhus, sehingga aliran udara terganggu. Penderita akan merasa sesak nafas disertai dengan nadi yang cepat. Bila transudasi sudah masuk ke rongga alveoli terjadilah edema paru dengan gejala sesak nafas yang hebat, takikardia, tekanan darah yang menurun, dan bila tidak dapat diatasi akan menjadi syok. Syok ini disebut syok kardiogenik yang memperburuk kondisi otot jantung dan mengakibatkan daya pompa jantung menjadi buruk. Hal ini merupakan lingkaran setan yang amat sangat sukar diatasi dan biasanya berakhir dengan kematian penderita. Walaupun telah dilakukan resusitasi dengan pemberian adrenalin dan sulfas atropin tetap tidak membantu sehingga memberikan kesan sudah terjadi syok kardiogenik. Kemungkinan penyebab kematian pada pasien ini karena terjadi cardiac arrest yang diperberat dengan adanya gagal ginjal. B. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kasus ini? Tujuan yang harus dicapai dalam penatalaksanaan kehamilan dengan PEB adalah : 1. Mencegah kejang. 2. Mengontrol tekanan darah ibu. 3. Memulai persalinan. Penatalaksanaan PEB pasca persalinan yang diberikan pada pasien ini meliputi stabilisasi, pemberian MgSO4 untuk pencegahan kejang, pemberian nifedipin untuk mengontrol tekanan darah. Pada kasus dekompensasi cordis tidak dianjurkan pemberian antikejang dengan MgSO4 , tetapi hal ini masih kontroversi. Seperti diketahui bahwa pemberian MgSO4 tidak dianjurkan pada kasus heart block, miastenia gravis, kerusakan otot jantung, hepatitis berat dan edema paru serta pemberian harus hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal karena sebagian dieksresikan melalui ginjal. Yeast dkk melaporkan bahwa MgSO4 tidak secara signifikan mengubah tekanan koloid osmotik, yang berarti secara signifikan tidak menyebabkan peningkatan resiko edema paru. Penulis lain melaporkan kejadiannya jarang yaitu 4/355. Data hemodinamik yang diperoleh sebelum terapi aktif untuk preeklamsia memperlihatkan tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal, resistensi vaskular sistemik yang tinggi, dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik. Benedetti dan rekan (1980) serta Hankins dan rekan (1984) melaporkan temuan serupa pada wanita

dengan preeklamsia berat atau eklamsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, hidralazin, dan kristaloid intravena sebanyak 75 sampai 100 ml/jam. Fungsi jantung pada para wanita ini memadai, dan penurunan resistensi vaskular sistemik sangat mungkin disebabkan oleh terapi hidralazin. Wanita yang juga diterapi dengan magnesium sulfat dan hidralazin plus terapi intravena agresif atau ekspansi volume memperlihatkan resistensi vaskular sistemik yang terendah dan curah jantung tertinggi. Suatu perbandingan pembatasan volume dengan hidrasi agresif memperlihatkan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada sebagian besar wanita dari kedua kelompok dan dua respons dalam kaitannya dengan indeks kerja pompa ventrikel kiri dan wedge pressure kapiler paru. Restriksi cairan menyebabkan wedge pressure kurang dari 10 mmHg, dan sebagian besar kurang dari 5 mmHg. Dengan demikian, fungsi ventrikel yang hiperdinamik sebagian besar disebabkan oleh rendahnya wedge pressure dan bukan karena meningkatnya indeks kerja pompa ventrikel kiri, yang secara langsung lebih mengukur kontraktilitas miokardium. Ketika dibandingkan, wanita yang diberikan cairan dalam jumlah cukup besar sering memperlihatkan wedge pressure kapiler paru yang melebihi normal; namun, fungsi ventrikel tetap hiperdinamik karena meningkatnya curah jantung. Kemudian, Visser dan Wallenburg (1995) melaporkan temuan dari 87 wanita dengan preeklamsia berat atau eklamsia dan menguraikan tingginya resistensi vaskular sistemik dan fungsi ventrikel yang hiperdinamik pada sebagian besar wanita tersebut.10 Dari studi-studi ini, masuk akal untuk disimpulkan bahwa pemberian cairan secara agresif kepada wanita dengan preeklamsia berat menyebabkan tekanan pengisian sisi kiri secara substansial meningkat, sementara curah jantung yang sudah normal meningkat menjadi tingkat supranormal.10 agonis parenteral seperti terbutalin berhubungan dengan timbulnya edema paru. Pada tahun 2005 Samol dan Lambers menemukan kejadian edema paru pada 8% dari wanita yang diberikan MgSO4 untuk tokolitik, namun setengah dari jumlah ini juga diberikan terbutalin, sehingga dari pengalaman jangka panjang masih diragukan bahwa MgSO4 adalah penyebab edema paru. Martin dan Foley (2006) juga menyimpulkan hal yang sama tentang ini. Walaupun penggunaan MgSO4 masih meragukan, pada pasien ini diberikan nifedipin dan MgSO4 untuk penanganan PEB. Penatalaksanaan gagal ginjal akut adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi

metabolik dan infeksi serta mempertahankan penderita tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Pada gagal ginjal akut terdapat dua masalah yang sering didapatkan yang mengancam jiwa yaitu edema paru dan hiperkalemia. Pada kasus ini diberikan diuretik seperti furosemid dengan tujuan agar cairan dalam paru dapat terdistribusi ke vascular sistemik. Pengobatan definitif adalah dengan mengeluarkan cairan melalui hemodialisis segera, tetapi pada kasus ini pasien menolak untuk dilakukan hemodialisis. Kadar kalium yang tinggi yaitu 7,9 meq/L, merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena hiperkalemia pada pasien ini dapat mengakibatkan henti jantung seketika. Pada pasien ini diberikan kalsium intravena (ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml. Belum diketahui secara jelas cara kerja obat ini, namun diduga obat ini bekerja pada jantung untuk menstabilkan membran. Penatalaksanaan pada kasus ini sudah cukup adekuat, dengan mempertimbangkan bahwa telah terjadi gagal jantung disertai berbagai komplikasi edema paru dan hiperkalemia. IV. KESIMPULAN 1. Kematian pada kasus ini kemungkinan disebabkan karena adanya gagal nafas yang disebabkan karena adanya edema paru, akibat gagal jantung karena dekompensatio cordis yang kemudian diperberat dengan adanya gagal ginjal. 2. Penatalaksaan pada kasus ini meliputi multidisiplin.

You might also like