You are on page 1of 40

615.

58 Ind p

PEDOMAN PELAYANAN FARMASI (TATA LAKSANA TERAPI OBAT) UNTUK PASIEN GERIATRI

DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 2006

Katalog Dalam Terbitan. Departemen Kesehatan RI Indonesia, Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 615.58 Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Ind Untuk Pasien Geriatri. -p Jakarta, Departemen Kesehatan. 2005 1. Judul 1. DRUGS 2. DRUGS - GERIATRIC

KONTRIBUTOR

1. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer., MEpid. Sub. Bagian Geriatrik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 2. Dra. Yulia Trisna, Apt. MPharm. Instalasi Farmasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 3. Dra. Tita Puspita, Apt. MPharm. Instalasi Farmasi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

E. Pertimbangan Khusus untuk penggunaan obat tertentu pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal Meperidin Obat AINS Metabolit normeperidin adalah neurotoksik dan dapat menyebabkan kejang Menurunkan respon diuretik dan meningkatkan kecenderungan hiperkalemia jika digunakan bersama diuretik hemat kalium dan ACE inhibitors. Menurunkan respon diuretik dan meningkatkan kecenderungan hiperkalemia jika digunakan bersama diuretik hemat kalium dan ACE inhibitors. Meningkatkan waktu paruh bila digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan mengalami hipoglikemia berkepanjangan Sebaiknya tidak digunakan jika CrCl < 50 ml/menit ( < 0,83 ml/detik) karena hal itu dapat menyebabkan laktik asidosis yang mengancam jiwa. Terjadi penurunan bersihan ginjal pada pemberian insullin eksogen dan karena itu potensial meningkatkan reaksi hipoglikemik seiring penurunan CrCl Diperlukan penyesuaian dosis karena obat ini akan cepat berakumulasi pada gangguan ginjal dan secara potensial menyebabkan nefrotoksik. Direkomdenasikan untuk dilakukan pengukuran kadar obat di dalam darah (Therapeutic Drug Monitoring) Menghambat sekresi tubular kreatinin, sehingga kreatinin serum meningkat. Hal ini bersifat reversible jika obat dihentikan.

Obat AINS

Klorpropamid

Metformin

Insulin

Aminoglikosida Vankomisin

Simetidine Triamteren Trimetoprim

61

C. Penyesuaian dosis obat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal Obat yang memerlukan penyesuaian dosis Semua Antibiotika KECUALI Antihipertensi Atenolol, nadolol, ACE inhibitor Obat yang tidak memerlukan penyesuaian dosis Kloksasilin, klindamisin, metronidazol, makrolida Antihipertensi Calcium Chanel Blocker, minoksidil, Angiotensin Receptor Blocker, klonidin, -blocker seperti prazosin. Obat Jantung lainnya Amiodaron, Nitrat

KATA PENGANTAR Buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) untuk pasien geriatri merupakan pedoman untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan apoteker dalam penanganan pasien geriatri. Dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian untuk pasien geriatri di rumah sakit yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kewenangan berbeda menurut fungsi masingmasing. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini dan untuk lebih menyempurnakan tidak menutup kemungkinan adanya masukan dan saran-saran dari berbagai pihak. Kepada semua pihak yang telah berperan aktif dalam penyusunan buku pedoman ini kami menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya. DIREKTUR BINA FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK
RT
E EM

Obat jantung lainnya Digoksin, sotalol

Diuretik Obat Jantung lainnya HINDARI diuretik hemat kalium pada Amiodaron, Nitrat pasien dengan CrCl < 30 ml / menit ( < 0,5 ml / detik ) Obat Penurun Kadar Lipid HMG - CoA reductase inhibitors, benafibrat, klofibrat, fenofibrat Narkotik Kodein, Meperidin Narkotik Fentanil, hidromorfon, morfin (perlu modifikasi dosis jika digunakan pada perawatan paliatif)

Psikotropik Psikotropik Lithium, kloral hidrat gabapentin, Antidepresan trisiklik, nefazodon, SSRI trazodon, paroxetin, primidone, lainnya topiramat, vigabatrin. Obat Hipoglikemik Obat Hipoglikemik Acarbose, klorpropamid, gliburid, Repaglinide, rosiglitazone gliklazid, metformin, insulin.

DEPA

Lainnya Lainnya Allopurinol, kolkisin, histamin, Penghambat pompa proton diklofenak, ketorolac, terbutalin

N K E SE H A

UB

O L I K I N D Drs.

60

Abdul Muchid, Apt NIP. 140 088 411

ES

IA

RAL JENDE IAN S TORAT DIREK N KEFARMA A Y TAN PELALA LAT KESEHA A N A D

N TA

RE

SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Langkah 4

Pilih obat dengan sesedikit mungkin e f e k nefrotoksiknya

Jika penggunaan obat nefrotoksik tidak dapat dihindari tanpa menyebabkan morbiditas atau mortalitas pada pasien, maka diperlukan pemantauan kadar obat dalam darah (Therapeutic Drug Monitoring = TDM) atau pantau fungsi ginjal. Biasanya loading dose ini sama seperti yang digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Turunkan dosis obat dan atur interval dosis lazim atau pertahankan dosis obat dan perpanjang interval penggunaan. Perlu diingat untuk selalu melakukan fitrasi dosis obat sesuai dengan efek/respon yang terjadi pada pasien. Sebagai contoh, dosis obat antihipertensi disesuaikan berdasarkan pada pengontrolan tekanan darah, akan tetapi dosis antimikroba tidak disesuaikan menurut responnya. Pantau kadar obat jika pemantauan ini berguna untuk memandu terapi selanjutnya Tinjau kembali pasien untuk mengevaluasi efektivitas obat dan perlunya terapi berkelanjutan. Jika obat nefrotoksik digunakan, ingatkan untuk melakukan pengecekan kembali creatinine serum dan creatinine clearance (CrCl) pasien.

Assalamu alaikum Wr. Wb


Langkah 5

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan petunjuknya sehingga penyusunan buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksanan Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri telah dapat diselesaikan pada waktunya, yang merupakan perwujudan dalam upaya meningkatkan mutu dan paradigma baru pelayanan kefarmasian. Menurut sensus penduduk tahun 1990, jumlah penduduk usia 60an tahun keatas kurang lebih 11,5 jiwa (6,5% dari seluruh penduduk Indonesia). Pada tahun 1998, kelompok usia ini meningkat menjadi 15 juta jiwa atau 7,5%. Pada akhir tahun 2020, WHO memperkirakan jumlah kelompok usia ini di Indonesia akan menjadi 30,1 juta jiwa dan merupakan urutan keempat dunia. Untuk mengantisipasi jumlah usia lanjut ini yang berkembang dengan pesat tersebut perlu dipersiapkan program pelayanan usia lanjut secara terintegrasi. Dalam penyelenggaraan program pelayanan kesehatan usia lanjut diperlukan sarana penunjang yang dapat mendukung pelaksanaan di lapangan yaitu antara lain dengan buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat Untuk Pasien Geriatri.

Gunakan loading dose

Langkah 6

Gunakan rejimen pemeliharaan (maintenance regimen)

Langkah 7

Pantau kadar obat dalam darah Lakukan penilaian kembali

Langkah 8

ii

59

LAMPIRAN 6 Cara Perhitungan Penyesuaian Dosis Obat pada Pasien dengan Gangguan Fungsi Ginjal A. Rumus Cockcroft-Gault untuk Menghitung Creatinine Clearance Pria CrCl (mL/menit) = (140-Umur (tahun)) x Berat Badan (Kg) 72 x SrCr (mg/dL) CrCl (mL/menit) = 0,85 x CrCl (pria)

Saya harapkan buku pedoman ini dapat dipakai sebagai acuan para apoteker dalam melaksanakan pelayanan farmasi yang bermutu dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya penggunaan obat yang rasional untuk pasien geriatri. Kepada Tim Penyusun dan pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan buku pedoman ini, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi tingginya.

Wanita

B. Rentang nilai normal dan penurunan Creatinine Clearance (unit SI) Fungsi Ginjal Normal Pria Wanita Gangguan Fungsi Ginjal Ringan Gangguan Fungsi Ginjal Sedang Gangguan Fungsi Ginjal Berat 95 - 145 ml/menit (1,58 - 2,42 mL/detik) 75 - 115 ml/menit (1,25 - 1,92 mL/detik) 50 - 70 ml/menit 25 - 50 mL/menit < 25 mL/menit (0,83 - 1,17 mL/detik) (0,42 - 0,83 mL/detik) (< 0,42 mL/detik)

DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

C. Petunjuk langkah penyesuaian dosis obat untuk pasien gangguan fungsi ginjal Langkah 1 Telusuri riwayat penggunaan obat dan lakukan pemeriksaan fisik Catat obat-obatan yang digunakan saat ini, termasuk obat bebas, obat pada saat bepergian, penggunaan alkohol. Alergi obat dan hipersensitifitas terhadap obat perlu dicatat. Pemeriksaan fisik harus meliputi : tinggi badan, berat badan, status volume ekstrasel (jugular venous pulse, TD, dan denyut nadi dengan perubahan ortostatik, udem, asites, bunyi paru) dan amati tanda tanda penyakit hati kronik Ukur kreatinin serum. Lakukan pengumpulan urin 24 jam atau hitung Creatinine Clearance Pastikan bahwa semua obat masih diperlukan dan obat-obatan yang baru ditambahkan mempunyai indikasi spesifik. Evaluasi adanya interaksi yang potensial terjadi.

Drs. Krissna Tirtawidjaja, Apt. NIP. 140 073 794

Langkah 2 Langkah 3

Tentukan tingkat kerusakan ginjal Te l a a h u l a n g daftar obat

58

iii

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

LAMPIRAN 5 Daftar Efek Samping Obat yang Berpotensi untuk Terjadi Efek Samping Sindrom delirium Kelompok Obat Benzodiazepin Phenothiazine Antikolinergik Antidepresan trisiklik Antiparkinson Analgesik narkotik, Antikonvulsan Kortikosteroid Teofilin (jika toksik) Digoksin (jika toksik) AINS (tidak sering) Benzodiazepin Phenothiazine Butirofenon Antikonvulsan

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN Rl NOMOR : HK 00.DJ.II.051 Tentang : PEDOMAN PELAYANAN FARMASI (TATALAKSANA TERAPI OBAT) UNTUK PASIEN GERIATRI
DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN MENIMBANG: a. Bahwa pembangunan di bidang Pelayanan Farmasi merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan. b. Bahwa untuk meningkatkan mutu dan efisiensi Pelayanan Farmasi yang berasaskan Pharmaceutical Care perlu dibuat Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri. c. Bahwa Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri merupakan arahan untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran
gangguan berjalan (gait disorder) atau jatuh

Hipotensi postural Antihipertensi dan jatuh Diuretik Phenothiazine Antidepresan trisiklik Antiparkinson Inkontinensia Diuretik Prazosin Antikolinergik (retensi urin, ovelflow incontinence) Antibiotika (golongan Penisilin: ampisilin, amoksisilin; golongan Fluorokuinolon: siprofloksasin, afloksasin; Metronidazol) Teofilin Digoksin (jika toksik) Phenothiazine Barbiturat Benzodiazepin Antidepresan trisiklik Analgesik narkotik Etanol Antikolinergik Phenothiazine Antidepresan trisiklik Verapamil

Mual

Hipotermia

kesehatan yang terkait. d. Bahwa sehubungan hal tersebut diatas perlu ditetapkan Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri

Konstipasi

iv

57

Keterangan : Level Kemaknaan Klinik Interaksi Obat Level 1 Hindari kombinasi Risiko yang dapat merugikan pasien lebih besar dari manfaat. Sebaiknya hindari kombinasi. Penggunaan kombinasi hanya dapat dilakukan pada keadaan khusus. Penggunaan obat alternatif dapat dilakukan jika memungkinkan. Pasien harus selalu dipantau dengan sebaikbaiknya jika obat tetap diberikan. Minimalkan risiko, Ambil tindakan yang perlu untuk mengurangi risiko. Tidak dibutuhkan tindakan. Risiko kerugian yang mungkin timbul relatif kecil. Potensi bahaya pada pasien rendah dan tidak ada tindakan spesifik yang direkomendasikan. Tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya interaksi obat.

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

Level 2

MENGINGAT

1. Undang undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. 2. Undang undang No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/MENKES/PER/II/1988 Tentang Rumah Sakit. 4. P e r a t u r a n M e n t e r i K e s e h a t a n R l N o . 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 1333/Menkes/SK/XII/ 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. 6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 436/Menkes/SK/VI/ 1993 tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis di Rumah Sakit. 7. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 085/Menkes/PER/I/ 1989 t e n t a n g K e w a j i b a n Menulis Resep dan atau menggunakan Obat Generik di Rumah sakit Pemerintah. 8. K e p u t u s a n M e n t e r i K e s e h a t a n n o m o r 1009/Menkes/SK/X/1995 tentang Pembentukan Komite Nasional Farmasi dan Terapi. 9. Keputusan Menteri Kesehatan No.1277/Menkes/SK/ Xl/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

Level 3 Level 4

56

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

menggigil dan kehilangan kesadaran 26 Siprofloksasin Antasida 2

antiserotonergik bila terjadi efek sindrom serotonin

MEMUTUSKAN MENETAPKAN PERTAMA : Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan tentang Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini. Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua agar digunakan sebagai pedoman oleh tenaga kefarmasian dalam melaksanakan pelayanan farmasi untuk pasien geriatri. Hal-hal yang belum ditetapkan dalam keputusan ini akan diatur dan ditetapkan kemudian. Keputusan ini mulai berLaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Pada tanggal : JAKARTA : 29 Juni 2004
29 Spironolakton Digoksin 2 27 Siprofloksasin Sukralfat 2

Menurunkan Bila tidak dapat efek farmakologi dihindari, berikan siprofloksasin antasida sedikitnya 2 jam sesudah pemberian siprofloksasin Menurunkan Bila tidak dapat efek farmakologi dihindari, berikan siprofloksasin antasida sedikitnya 2 jam sesudah pemberian siprofloksasin Kombinasi obat dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah pada pasien tertentu dengan risiko tinggi Mengurangi efek inotropik positif digoksin. Spironolakton meningkatkan kadar oksigen dalam darah, dan mengganggu uji kadar digoksin Penggunaan kedua obat dapat meningkatkan hiperkalemia akut Pantau fungsi ginjal dan kadar kalium dalam darah secara berkala. Sesuaikan dosis bila perlu

KEDUA

28

Spironolakton Kaptopril

KETIGA

KEEMPAT KELIMA

: :

Sesuaikan dosis digoksin. Pantau pasien terutama ketika melakukan uji kadar digoksin

30

Spironolakton Kalium

Hindari kombinasi. Pantau kadar kalium secara seksama.

Drs. H.M. Krissna Tirtawidjaja. Apt. NIP. 140 073 794

vi

55

dalam darah. Meningkatkan efek sedasi dan ataksia 19 Losartan K Rifampisin 4 Menurunkan konsentrasi plasma losartan, sehingga menurunkan efek antihipertensi Meningkatkan efek hipoprotrombin pada warfarin Amati respon pasien ketika obat dimulai dan dihentikan. Sesuaikan dosis bila perlu

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

20

Warfarin

Parasetamol

Batasi penggunaan asetaminofen. Pantau parameter koagulasi. Sesuaikan dosis warfarin bila perlu Pantau parameter koagulasi. Sesuaikan dosis warfarin bila perlu Pantau parameter koagulasi. Sesuaikan dosis warfarin bila perlu Gunakan kombinasi kedua macam obat tersebut pada keadaan tertentu saja

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN Rl NOMOR : HK 00.DJ.II.043.A Tentang : PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN GERIATRI

21

Warfarin

Omeprazole

Meningkatkan efek hipoprotrombin pada warfarin Meningkatkan efek antikoagulan pada warfarin Prednison mengantagonis efek dari miastenia gravis antikolenesterase

22

Warfarin

Simvastatin

DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN MENIMBANG : a. Bahwa pembangunan di bidang Pelayanan Farmasi merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan. b. Bahwa untuk meningkatkan mutu dan efisiensi Pelayanan Farmasi yang berasaskan Pharmaceutical Care perlu dibuat Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) untuk Pasien Geriatri. C. Bahwa Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Pasien Geriatri merupakan arahan untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran kesehatan yang terkait. d. Bahwa dalam penyusunan Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Pasien Geriatri perlu dibentuk Tim Penyusun.

23

Prednison

Mestinon

24

Ranitidin

Sefuroksim Asetil

25

Sertralin

Metoklopramid

Menurunkan Untuk bioavailabilitas mengoptimalkan dari Sefuroksim absorpsi, pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan Meningkatkan Pantau pasien untuk sindrom melihat efek serotonin, ekstrapiramidal yang seperti iritasi, tidak diinginkan. tonus otot, Gunakan obat

54

vii

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

13

Digoksin

Furosemid

MENGINGAT

1. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. 2. Undang-undang No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159b/MENKES/PER/II/1988 Tentang Rumah Sakit. 4. P e r a t u r a n M e n t e r i K e s e h a t a n R l N o . 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. 6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 436/Menkes/SK/VI/1993 tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis di Rumah Sakit. 7. Keputusan Menteri Kesehatan Rl nomor 085/Menkes/PER/I/ 1989 tentang Kewajiban Menulis Resep dan atau menggunakan Obat Generik di Rumah sakit Pemerintah. 8. K e p u t u s a n M e n t e r i K e s e h a t a n n o m o r 1009/Menkes/SK/X/1995 tentang Pembentukan Komite Nasional Farmasi dan Terapi. 9. Keputusan Menteri Kesehatan No.1277/Menkes/SK/ Xl/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.

Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia. Keadaan hipokalemia menyebabkan toksisitas digoksin meningkat

Pantau kadar kalium dan magnesium dalam plasma. Gunakan diuretik hemat kalium.

14

Fe Glukonat Siprofloksasin

Menurunkan Pisahkan waktu efek antiinfeksi penggunaan obat ini minimal 2 jam Menaikkan dan memperpanjang kadar klordiazepoksid dalam darah Gunakan alprazolam / triazolam dengan itrakonazol / ketokonazol Pertimbangkan untuk menurunkan dosis klordiazepoksid Pantau pasien dengan seksama untuk meilhat kemungkinan efek samping yang merugikan. Sesuaikan dosis kortikosteroid bila perlu. Pertimbangkan obat alternative lainnya. Berikan amoksisilin beberapa jam sebelum kloramfenikol. Pantau respon pasien Pantau perpanjangan efek sedasi. Turunkan dosis benzodiazepin atau lakukan interval dosis bila diperlukan.

15

Flukonazol

Klordiazepoksid

16

Flukonazol

Prednison

Meningkatkan efek kortikosteroid. Kemungkinan dapat meningkatkan efek samping

17

Kloramfenikol Amoksisilin

Kloramfenikol secara teoritis dapat menurunkan aktivitas antibakteri dari amoksisilin Menurunkan klirens, lama waktu paruh dan meningkatkan kadar klordiazepoksid

18

Klordiazepoksid Omeprazol

viii

53

dapat meningkatkan efek depresi pernafasan 7 Bisoprolol Fumarat Nifedipin 4 Efek farmakologi kedua obat dapat meningkat

waktu penggunaan untuk mengurangi efek aditif sedatifnya

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

Pantau fungsi jantung pada pasien yang memiliki kemungkinan efek samping kardiovaskular Bila terjadi reaksi hipersensitifitas hentikan penggunaan obat secara bersama.

MEMUTUSKAN MENETAPKAN PERTAMA : Membentuk Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Pasien Geriatri dengan unsur keanggotaan sebagai berikut: Pelindung Pengarah Ketua : Drs. H. M. Krissna Tirtawidjaja, Apt : Drs. Abdul Muchid, Apt : Dra. Elly Zardania, Apt, MSi.

Kaptopril

Allopurinol

Meningkatkan risiko reaksi hipersensitifitas bila digunakan bersama.

Kaptopril

Asetosal

Dapat Pantau tekanan menurunkan darah dan parameter efek hemodinamik antihipertensi dan vasodilatasi dari kaptopril Menurunkan efek hipotensi dari Kaptopril Pantau tekanan darah. Hentikan penggunaan indometasin atau gunakan obat antihipertensi lain Pantau kadar kalium dalam darah secara berkala. Sesuaikan dosis kalium

Wakil Ketua : Dr.Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer, MEpid. Sekretaris Anggota : Dra. Rostilawati Rahim, Apt. : DR. Abdullah Ahmad. MARS Dra. Fatimah Umar, Apt, MM. Dra. Ratna Nirwani, Apt, MM. Dra. Yulia Trisna, Apt, MPharm. Dra. Tita Puspita, Apt, MPharm. Dra. Nur Ratih Purnama, Apt, MSi. Drs. Masrul, Apt Dra. Nurul Istiqomah, Apt Sri Bintang Lestari, SSi, Apt Sekretariat : Dra. Farida Adelina Fitra Budi Astuti, SSi,Apt Yeni, AMF

10

Kaptopril

Indometasin

11

Kaptopril

Kalium

12

Cisapride

Maprotilin HCI

Meningkatkan kadar kalium. Dapat menyebabkan hiperkalemia akut Berisiko pada pengobatan aritmia jantung juga dapat meningkatkan tordases de pointes

Cisapride dikontraindikasikan pada penggunaan bersama maprotilin HCL (antidepresan trisiklik)

52

ix

DEPARTEMEN KESEHATAN R.I DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kapling No. 4-9 Jakarta 12950 Telp. : 5201590 (Hunting) PES.2029.5006.5900 Fax. : 52964838 Tromol Pos : 203

LAMPIRAN 4 Daftar Interaksi Obat yang Berpotensi untuk Terjadi No


1

Obat 1
Allopurinol

Obat 2
Purinetol

Level
1

Efek
Efek toksik dan farmakologi thiopurin meningkat Aminofilin mengantagonis efek sedatif dari benzodiazepin Kadar amitriptilin meningkat sehingga efek terapi dan efek samping juga meningkat

Penanganan
Turunkan dosis mercaptopurin 25% dari dosis lazim. Pantau fungsi hematologi Tidak perlu tindakan pencegahan khusus. Sesuaikan dosis benzodiazepin bila perlu Pantau respons klinik pasien dan konsentrasi amitriptilin ketika flukonazol dihentikan. Sesuaikan dosis amitriptilin jika perlu Pantau kadar glukosa darah. Turunkan dosis glibenklamid jika terjadi hipoglikemia. Pertimbangkan untuk menggunakan obat alternatif lain seperti parasetamol atau AINS Pantau INR. Sesuaikan dosis antikoagulan Sesuaikan dosis amitriptilin berdasarkan respon pasien. Pisahkan

KEDUA

Tugas-tugas Tim a. Mengadakan rapat-rapat persiapan dan koordinasi dengan pihak terkait b. Menyusun Draft Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Pasien Geriatri c. Melaksanakan pembahasan Draft Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Pasien Geriatri d. Menyempurnakan draft setelah mendapat masukan dalam pembahasan

Aminofilin

Alprazolam

Amitriptilin

Flukonazol

KETIGA

Dalam menjalankan tugas-tugasnya Tim dapat mengundang organisasi profesi atau pihak-pihak lain yang terkait untuk mendapatkan masukan guna mendapatkan hasil yang maksimal Hal-hal yang belum ditetapkan dalam surat keputusan ini akan diatur dan ditetapkan kemudian Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Pada tanggal : JAKARTA : 26 April 2004
4 Asetosal Glibenklamid 2

KEEMPAT KELIMA

: :

Dapat meningkatkan efek hipoglikemia dari sulfonylurea

Asetosal

Warfarin

Belladona

Amitriptilin

Drs. H.M. Krissna Tirtawidjaja. Apt. NIP. 140 073 794

Dapat meningkatkan aktifitas antikoagulan. Dapat menurunkan kadar serum amitriptilin dan

51

pengobatan PPOK pada pasien dengan sejarah NIDDM Peresepan obat antikolinergik untuk mencegah efek ekstrapiramidal dari obat antipsikotik Peresepan jangka panjang diphenoxilate untuk pengobatan diare Peresepan Cyclobenzaprine atau methocarbamol untuk pengobatan kejang otot

Dapat menyebabkan agitasi, delirium, dan gangguan kognisi Mengantuk gangguan kognitif dan ketergantungan Mengantuk, agitasi, dan disorientasi.

pemantauan kadar glukosa darah Turunkan dosis obat antipsikotik atau lakukan penilaian ulang kebutuhan akan obat tersebut Terapi tanpa obat dan diet atau berikan loperamide Terapi tanpa obat (fisioterapi, aplikasi panas & dingin atau TENS (Transcutaneous electrical nerve stimulation)

DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................. Sambutan Dirjen Yanfar dan Alkes ............................................................... Keputusan Dirjen Yanfar dan Alkes .............................................................. Tim Penyusun ............................................................................................... Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1.2. Tujuan .................................................................................... 1.3 Sasaran .................................................................................. 1.4 Pengertian .............................................................................. i ii iv ix xi 1 1 2 2 2

BAB II KARAKTER PASIEN GERIATRI BERKAITAN DENGAN TERAPI .. 5 OBAT II.1. Perubahan Farmakokinetika .................................................. 5 II.2. Perubahan Farmakodinamika ................................................ 8 II.3 Masalah Lain Yang Berkaitan Dengan Terapi Obat ............... 10 BAB III PEDOMAN TATALAKSANA PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN GERIATRI III.1 Pedoman Kerja Tim Tenaga Kesehatan ................................ III.2 Pedoman Peresepan ............................................................. III.3 Pedoman Telaah Ulang Regimen Obat ................................. III.4 Pedoman Penyiapan Dan Pemberian Obat ........................... III.5 Pedoman Pemberian Informasi dan Edukasi ........................ III.6 Pedoman Pemantauan Penggunaaan Obat........................... 15 15 19 21 22 24 26

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29 LAMPIRAN 1. Daftar masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat ............... 2. Daftar obat yang penggunaannya memerlukan perhatian khusus..... 3. Daftar terapi obat yang sering menimbulkan risiko pada kasus tertentu 4. Daftar interaksi obat yang berpotensi untuk terjadi ........................... 5. Daftar efek samping obat yang berpotensi untuk terjadi ................... 6. Cara perhitungan penyesuaian dosis obat pada pasien dengan....... gangguan fungsi ginjal ...................................................................... 32 32 34 41 52 58 59

50

xi

lebih dari 4 minggu

contoh kandidiosis usus dan resistensi serta pertimbangan costeffectiveness

Peresepan antibiotika pada pasien dengan kerusakan ginjal dan hati

Risiko dosis berlebih (bahkan toksik)

digunakan secara terus menerus lebih dari 4 minggu kecuali bila terdapat diagnosis khusus (seperti osteomyelitis) Dosis atau frekuensi pemberian antibiotika perlu disesuaikan Alternatif Terapi Antagonis reseptor Histamin (H2) lainnya

G. Peresepan pada kasus lainnya No. 1 Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan simetidin untuk pengobatan tukak lambung pada pasien yang sedang menggunakan warfarin Risiko bagi Pasien Dapat menghambat metabolisme warfarin dan meningkatkan risiko perdarahan Dapat memperburuk fungsi kognitif dan tingkah laku

2. Peresepan obat antikolinergik atau obat antispasmodik untuk pengobatan sindrom iritasi lambung (irritable bowel syndrome) pada pasien dengan demensia 3. Peresepan dipridamol untuk mencegah stroke 4 Peresepan jangka panjang pemberian steroid oral untuk

Terapi tanpa obat dan diet, calsium channel blocker untuk pengobatan diare

Tidak efektif Dapat memperburuk NIDDM

Asetosal, Tiklopidin Steroid inhalasi dan bronkodilator dengan

49

baik dibandingkan dengan kerja singkat. Pemakaian agonis oral masih dapat diberikan bila didapat kesulitan dalam pemakaian secara inhalasi. Sediaan lepas lambat salbutamol lebih dipilih karena efek sampingnya lebih minimal 2 Peresepan antikolinergik ipratropium bromide dan oxitropium brobide inhalasi yang merupakan antagonis muskarinik non selektif Kerjanya tidak selektif dan lama kerjanya pendek, sehingga efek bronkodilatasinya kurang efekrif Bronkodilator golongan antikolinergik yang ideal saat ini adalah tiotropium bromide yang bersifat lebih selektif, aktifitas kerjanya lama, dengan potensi yang 10 kali lebih kuat daripada ipratropium bromide. Alternatif Terapi Antibiotika oral sebaiknya tidak

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular, sistem saraf pusat dan sebagainya. Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan kondisi fisik baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang mengakibatkan gerak-geriknya menjadi lamban. Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga tidak hanya satu macam tetapi multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekadar mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah. Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya. Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut.

E. No. 1

Pesesepan Antibiotika Peresepan Obat dalam Risiko bagi Pasien Praktik Peresepan antibiotika oral Risioko efek yang secara terus menerus tidak diharapkan,

48

Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau menghentikan penggunaan obat. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented yang dikenal dengan istilah Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi apoteker dalam hal farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien. 1.2 Tujuan Tujuan umum Tersedianya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) dalam penanganan pasien geriatri secara paripurna melalui tim terpadu. Tujuan khusus - Memandu apoteker dalam melakukan kegiatan pharmaceutical care. - Memandu dokter dalam memberikan terapi obat yang sesuai 1.3 Sasaran Apoteker dan dokter yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan 1.4 Pengertian Acute Confusional State (= sindroma delirium) adalah gangguan kognitif global yang disertai dengan perubahan kesadaran, siklus tidur dan aktivitas psikomotor yang terjadi akut dan fluktuatif.

D. No. 1

Peresepan pada Kasus Diabetes Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan Klorpropamid untuk pengobatan NIDDM Risiko bagi Pasien Dapat menyebabkan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone secretion (SIADH); hiponatremia dapat terjadi. Klorpropamid juga mempunyai waktu paruh lebih dari 24 jam menyebabkan hipoglikemia Dapat menyebabkan lactic acidosis dan mungkin berakibat fatal Dapat menyebabkan akumulasi cairan yang berlebihan Risiko bagi Pasien Mula kerja (onset) lebih lambat dan efek samping lebih banyak Alternatif Terapi Gunakan obat hipoglikemik oral dengan waktu paruh pendek. Penggunaan generasi kedua sulfonilurea (gliburid, glipizid) untuk NIDDM telah menggantikan penggunaan obat generasi pertama. Gunakan dengan perhatian khusus, kurangi dosis. Hindari pada gagal ginjal yang parah. Hentikan penggunaan obat tersebut.

Peresepan Mefformin pada pasien dengan kerusakan ginjal atau hati

Peresepan glitazone untuk pengobatan diabetes

E. No. 1

Pesesepan pada PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan bronkodilator -agonis kerja pendek secara oral pada pasien dengan PPOK stabil Alternatif Terapi Penggunaan inhalasi agonis kerja panjang lebih

47

Peresepan AINS untuk pengobatan osteoarthritis pada pasien yang sedang menggunakan warfarin Peresepan jangka panjang AINS untuk pengobatan osteoarthritis pada pasien dengan sejarah gagal jantung Peresepan jangka panjang piroksikam, ketorolac, atau asam mefenamat untuk pengobatan nyeri

Dapat meningkatkan risiko perdarahan

Terapi tanpa obat atau parasetamol atau AINS dengan obat gastroprotektif Terapi tanpa obat atau parasetamol atau Pemantauan ketat pada gagal jantung Terapi tanpa obat atau parasetamol: ganti dengan AINS berbeda atau ganti dengan kodein Terapi tanpa obat, parasetamol; atau asetosal atau pemantauan ketat tekanan darah Allopurinol atau AINS dosis intermittent sesuai kebutuhan

Bioavailability (= ketersediaan hayati) adalah jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Clearance (= bersihan) adalah volume darah yang di bersihkan dari suatu zat persatuan waktu oleh hati, ginjal, atau tubuh secara keseluruhan Drug induced delirium adalah delirium yang dapat disebabkan oleh obat. Farmakokinetik obat adalah aspek kinetika yang mencakup nasib obat dalam darah yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Farmakodinamik obat adalah aspek efek obat terhadap berbagai organ tubuh dan mekanisme kerjanya. First-pass metabolism (= metabolisme lintas pertama) adalah obat yang sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. High first-pass effect adalah meningkatnya dosis yang masuk ke sirkulasi akibat destruksi obat berkurang pada penyerapan awal. llmu Geriatri adalah ilmu yang mempelajari pengelolaan pasien berusia lanjut dengan beberapa karakteristik (multipatologi, daya cadangan faali menurun, tampilan tak khas, penurunan status fungsional dan gangguan nutrisi). Metabolic Clearance adalah metabolisme volume darah yang dibersihkan dari suatu zat persatuan waktu oleh hati, ginjal, atau tubuh secara keseluruhan Pasien/penderita adalah orang sakit/orang yang menjalani pengobatan untuk kesembuhan penyakitnya

Peresepan jangka panjang AINS untuk pasien dengan sejarah hipertensi

10 Peresepan jangka panjang indometasin untuk pengobatan gout

11 Peresepan jangka panjang AINS untuk pengobatan osteoarthritis

Dapat menyebabkan retensi garam dan air, dapat memperburuk gagal jantung Risiko perdarahan lebih besar pada saluran pencernaan atas yang dihubungkan dengan penggunaan AINS lain. Dapat menyebabkan retensi garam dan air, dan memperburuk hipertensi Dapat menyebabkan gastropathy, efek samping neurologik dan retensi garam dan air Dapat menyebabkan gastropathy, perdarahan, serta retensi garam dan air

Parasetamol

46

Pelayanan Kefarmasian Pharmaceutical Care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemantauan Penggunaan Obat adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh apoteker setelah obat diberikan kepada pasien untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat, melakukan pencegahan terhadap masalah yang berpotensi untuk terjadi atau mengatasi masalah yang telah terjadi. Pemberian Informasi dan Edukasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam rangka memberikan penjelasan dan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan obat, dimana kegiatan ini berlangsung melalui tatap muka dan bersifat interaktif. Penyiapan dan Pemberian Obat adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh tenaga farmasi mulai dari penerimaan resep/instruksi pengobatan sampai dengan obat siap untuk diberikan kepada pasien. Telaah Ulang Rejimen Obat adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh apoteker sebelum obat disiapkan atau sesudahnya untuk menilai kesesuaian terapi obat dengan indikasi kliniknya, mengevaluasi kepatuhan pasien, mengidentifikasi kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat penggunaan obat, serta memberikan rekomendasi penyelesaian masalah. Terapi obat adalah usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit dengan menggunakan obat-obatan. Usia lanjut adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas

C No. 1

Peresepan pada Penggunaan obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS) dan Analgesik lainnya Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan jangka panjang obat AINS untuk pengobatan osteoarthritis pada pasien dengan sejarah tukak lambung Peresepan fenilbutazon untuk pengobatan osteoarthritis kronis Risiko bagi Pasien Dapat menyebabkan kambuhnya tukak lambung Dapat menyebabkan depresi sumsum tulang (bonemarrow depression) Dapat menyebabkan risiko perdarahan Dapat menyebabkan jatuh, fraktur, sindrom delirium, ketergantungan dan withdrawal Alternatif Terapi Terapi tanpa obat atau parasetamol atau AINS dengan obat gastroprotektif Parasetamol atau dosis intermittent AINS kelas lainnya

Peresepan asetosal untuk pengobatan nyeri pada pasien yang sedang menggunakan warfarin Peresepan jangka panjang dari meperidin atau pentazocin untuk nyeri

Parasetamol

Peresepan jangka panjang AINS untuk pengobatan osteoarthritis pada pasien dengan gagal ginjal kronik

Dapat memperburuk gagal ginjal, dapat menyebabkan retensi garam dan air

Langkah awal dengan terapi tanpa obat, kemudian parasetamol, kemudian kodein, morfin, atau hydromorphon jika diperlukan. Terapi tanpa obat, kemudian parasetamol

45

Peresepan jangka panjang benzodiazepin waktu paruh panjang untuk pengobatan agitasi pada demensia

Dapat menyebabkan jatuh, fraktur, sindrom delirium, ketergantungan dan withdrawal Dapat memperburuk hipotensi postural, dan menyebabkan jatuh Dapat menyebabkan abnormalitas kognitif dan tingkah laku Dapat memperburuk hipotensi postural, dan menyebabkan jatuh

Lozapine atau haloperidol, risperidon

BAB II KARAKTERISTIK PASIEN GERIATRI BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh, perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif juga turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi medikamentosa. 11.1. PERUBAHAN FARMAKOKINETIKA Oral bioavailability Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat yang absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan terpengaruh seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin dan siprofloksasin. Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-450. Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obat yang masuk per oral. Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolisme awal di hepar (first-pass metabolism di hepar); obat-obat ini lebih sensitif terhadap perubahan bioavailability akibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang akibat aktivitas enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % pada first-pass metabolism, sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5 %; jika karena proses menua destruksi obat mengalami penurunan (hanya 90 %) maka yang tersisa menjadi 10% dan sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim

7. Peresepan antidepresan trisiklik untuk pengobatan depresi pada pasien dengan sejarah hipotensi postural 8 Peresepan jangka panjang triazolam untuk pengobatan insomnia

SSRI, dengan pemantauan tekanan darah

Terapi tanpa obat atau dosis rendah benzodiazepin waktu paruh pendek High-potency neuroleptic seperti haloperidol, dengan pemantauan tekanan darah. SSRI

9. Peresepan klorpromazin untuk pengobatan psikosis pada pasien dengan sejarah hipotensi postural

10. Peresepan antidepresan trisiklik metabolit aktif (seperti : imipramin atau amitriptyline) untuk pengobatan depresi

Dapat menyebabkan efek samping antikolinergik

44

tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk ke sirkulasi meningkat dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik seperti kondisi tersebut di atas disebut sebagai obat dengan high first-pass effect; contohnya nifedipin dan verapamil. Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal organ akibat penuaan) Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh. Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih sangat dominan; ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan. Saat seseorang beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan tubuh akan berkurang akibat berkurangnya pula massa otot. Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar 8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut meningkat menjadi 33% pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik) akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat lipofilik mungkin harus dijarangkan. Kadar albumin dan 1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Tinggi rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar naproxen bebas dalam plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada albumin. Pada kadar albumin normal maka kadar obat bebas juga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat bebas akan sangat meningkat sehingga bahaya efek samping lebih besar.

Peresepan antidepresan trisiklik untuk pengobatan depresi pada pasien dengan sejarah glaukoma, BPH atau heart block

Dapat memperburuk glaucoma, menyebabkan retensi urin pada pasien dengan BPH, atau memperparah heart block. Dapat menyebabkan hipotensi ortostatik Dapat menyebabkan jatuh, fraktur, sindrom delirium, ketergantungan dan withdrawal Dapat memperberat efek yang tidak diharapkan dari SSRI

SSRI

Peresepan barbiturat jangka panjang untuk pengobatan insomnia

Terapi tanpa obat atau dosis rendah benzodiazepin waktu paruh pendek Hindari kombinasi, pastikan telah melewati washout period paling tidak 7 hari jika dilakukan penggantian dari MAO inhibitor ke SSRI Terapi tanpa obat atau obat lain tergantung penyebab kecemasan.

Peresepan SSRI pada pasien yang sedang mendapatkan suatu MAO inhibitor untuk pengobatan depresi

Peresepan jangka panjang benzodiazepin dengan waktu paruh panjang untuk pengobatan kecemasan

Dapat menyebabkan jatuh, fraktur, sindrom delirium, ketergantungan dan withdrawal

43

Peresepan Diuretik tiazida untuk hipertensi pada pasien dengan sejarah gout Peresepan Calsium Channel Blocker untuk hipertensi pada pasien dengan sejarah gagal jantung Peresepan penghambat -adrenergik untuk hipertensi pada pasien dengan sejarah gagal jantung

Dapat memperberat/ memperburuk gout Dapat memperburuk gagal jantung

Obat antihipertensi lainnya Diuretik atau ACE Inhibitor atau keduanya

Metabolic Clearance Faal hepar Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi) terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan bantuan enzim mikrosom. Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal. Reaksi kimia yang terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi maupun hidrolisis; obat menjadi kurang aktif atau menjadi tidak aktif sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P450, tidak memerlukan energi) biasanya terganggu dengan bertambahnya umur seseorang. Reaksi fase dua berupa konyugasi molekul obat dengan gugus glukuronid, asetil atau sulfat; memerlukan energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase 2 ini tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya usia. Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok, indeks ADL's (= Activities of Daily Living) Barthel serta berat ringannya penyakit yang diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan kecepatan biotransformasi obat berkurang dengan kemungkinan terjadinya peningkatan efek toksik obat. Faal ginjal

Dapat memperburuk gagal jantung

Diuretik atau ACE Inhibitor. Penghambat adrenergik dengan dosis lebih rendah serta pantau efeknya Calsium Channel Blocker

Peresepan jangka panjang penghambat adrenergik untuk angina atau hipertensi pada pasien dengan sejarah penyakit Raynaud

Dapat memperburuk penyakit Raynaud

B. No. 1

Peresepan pada Penggunaan Obat Psikotropik Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan jangka panjang benzodiazepin dengan waktu paruh panjang untuk pengobatan insomnia Risiko bagi Pasien Dapat menyebabkan jatuh, fraktur, sindrom delirium, ketergantungan dan withdrawal Alternatif Terapi Terapi tanpa obat atau benzodiazepin dengan waktu paruh pendek

Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur. Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan kadar kreatinin plasma tidak tepat sehingga sebaiknya menggunakan rumus Cockroft-Gault, CCT = (140-umur) x BB (kg) 72 x [kreatinin]plasma dikali 0,85 untuk pasien perempuan. (dalam ml/menit)

42

GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam; dibandingkan dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR pada usia lanjut maka diperlukan penyesuaian dosis obat; sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan faal ginjal. Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang sesuai dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian dipengaruhi antara lain oleh skor ADLs Barthel. Pemberian obat pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek toksik. Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi tentang waktu paruh obat. T 1/2 = 0,693 x volume distribusi clearance contoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga menurun sehingga hasil akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam, terdapat sedikit peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance maka hasil akhirnya adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar. II.2. PERUBAHAN FARMAKODINAMIKA Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien sulit di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.

LAMPIRAN 3 Daftar Terapi Obat yang Sering Menimbulkan Risiko pada Kasus Tertentu A. No. 1 PERESEPAN PADA KASUS PENYAKIT KARDIOVASKULER Peresepan Obat dalam Praktik Peresepan obat penghambat -adrenergik untuk hipertensi pada pasien dengan sejarah asma atau PPOK Peresepan obat penghambat adrenergik untuk angina pada pasien dengan sejarah asma atau PPOK atau gagal jantung Peresapan Reserpin untuk pengobatan hipertensi Risiko bagi Pasien Dapat memperburuk penyakit pernafasan Alternatif Terapi Kelas lain dari obat antihipertensi

Dapat memperburuk penyakit pernafasan, atau gagal jantung

Nitrat atau Calsium Channel Blocker

Dosis tinggi dapat Obat menyebabkan antihipentensi lain depresi dan efek ekstrapiramidal. Dosis rendah sudah dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Dapat Digoksin, menyebabkan efek Kuinidin, samping Prokainamid antikolinergik dan kematian akibat serangan jantung mendadak.

Peresapan Disopyramid untuk pengobatan atrial fibrilasi

41

Disopyramide Antimuskarinik kuat dan efek inotropik negatif Teofilin Sindrom delirium, mual, aritmia

JIka mungkin gunakan obat antiaritmia lain. Gunakan dengan dosis yang diturunkan Indeks terapi sempit, risiko toksisitas meningkat karena perubahan farmakokinetik dan bersihan menurun pada gagal jantung. Secara umum tidak dipertimbangkan sebagai terapi pilihan pertama.agonis inhalasi / dan kortikosteroid inhalasi lebih dianjurkan. Efikasi terbatas pada penyakit pembuluh darah tepi. Diragukan kemanjurannya pada panyakit pembuluh darah jantung (cerebrovascular). Pantau tekanan darah. Mulai dengan dosis yang lebih rendah. Pantau INR secara teratur. Hindari penggunaan bersama dengan obat yang berinteraksi secara bermakna dengan warfarin

Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada usia lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda: Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut. Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan pada usia dewasa muda. Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat mengakibatkan postural sway-nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda. Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor 1; efek pada reseptor 2 yakni penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat. Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular.

Pentoksifilin

Hipotensi, pusing, muka kemerahan. Dapat mempotensiasi efek antihipertensi.

Warfarin

Respon antikoagulan meningkat dan risiko perdarahan. Adanya interaksi obat

40

II.3.

KARAKTERISTIK LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia lanjut juga terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu pasien menderita beberapa penyakit. Keadaan ini bisa lazim terjadi pada kelompok populasi pasien berusia lanjut mengingat pada perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu penyakit yang akan cenderung menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga cenderung menahun akibat pertambahan usia, demikian seterusnya. Di tengah perjalanannya bukan tidak mungkin seorang pasien mengalami kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih yang mengakibatkan ia harus dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada seseorang dengan berbagai penyakit kronik degeneratif acap kali menambah daftar obat yang harus dikonsumsi pasien. Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam. Hal ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu karakteristik pasien geriatri. Namun demikian tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula kemungkinan terjadinya interaksi di antara obat-obat tersebut. Faktor lain yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa masih terdapat banyak kecenderungan untuk secepat mungkin mengatasi semua gejala, yang sayangnya tanpa sengaja mungkin telah melanggar prinsip cost effectiveness. Keadaan multipatologi di atas sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan multifarmasi atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah polifarmasi. istilah polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh beberapa ahli. Beberapa definisi antara lain:

Selective Serotonin Reuptake inhibitors (SSRI) secara umum lebih dianjurkan karena ditoleransi lebih baik, tetapi lebih mahal. I. 1 LAIN - LAIN Antihistamin (difenhidramin, klorfeniramin, prometazin) Efek antikolinergik Gunakan dosis terkecil dan (pandangan kabur, durasi terpendek yang retensi urin, konstipasi, masih mungkin. sindrom delirium) sedasi. Efek antikolinergik (pandangan kabur, retensi urin, konstipasi, sindrom delirium) sedasi. Risiko efek samping seringkali lebih besar dengan manfaat yang minimal. Hindari pemakaian jangka panjang Gunakan dosis terkecil dan durasi terpendek yang masih mungkin. Lebih dianjurkan steroid inhalasi untuk penyakit pernafasan. Lebih dianjurkan penggunaan penghambat pompa proton (proton pump inhibitor) Gunakan dosis lebih rendah. Pantau kadar obat dalam darah jika tersedia. Hindari keadaan hipokalemia. Bukan terapi pilihan pertama untuk gagal jantung (ACE Inhibitor lebih dianjurkan)

2. Antispasmodik (seperti : dicyclomine, prophanteline, alkaloid belladonna) 3

Kortikosteroid Hiperglikemia, (sistematik) osteoporosis, tukak lambung, depresi, atropi kulit, luka lama sembuh, sindrom delirium. Simetidin Sindrom delirium, gynaecomastia, interaksi obat yang bermakna Sindrom delirium, bradikardi, aritmia, mual

Digoksin

10

39

Benzodiazepi n (Seperti diazepam, oksazepam, temazepam, nitrazepam)

Sindrom delirium, mengantuk, gangguan ingatan, jatuh, ketergantungan

Secara umum tidak direkomendasikan karena waktu paruh yang panjang dan toksisitasnya. Tersedia obat yang lebih aman untuk insomnia. Coba dengan langkah tanpa obat untuk insomnia dan kecemasan. Hindari obat dengan waktu paruh panjang (diazepam, flunitrazepam, klordiazepoksid, nitrazepam) Yakinkan adanya indikasi yang sesuai. Gunakan dosis terendah yang masih mungkin, hindari penggunaan jangka panjang jika memungkinkan. Yakinkan adanya indikasi yang sesuai. Gunakan dosis terendah yang masih mungkin, hindari penggunaan jangka panjang jika memungkinkan. Jangan diberikan antidepresan trisiklik, mulai dengan dosis rendah dan secara perlahan ditingkatkan. Berikan sebagai dosis tunggal pada malam hari.

1) meresepkan obat melebihi indikasi klinik; 2) pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu; 3) penggunaan empiris lima obat atau lebih (Michocki,2001). Apapun definisi yang digunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga sedapat mungkin dihindari (Barenbeim,2002). Beberapa data dapat dikemukakan di sini: Linjakumpu (2002) mendapatkan dari dua survey sepanjang tahun 1990-1991 dan 1998-1999 bahwa terjadi peningkatan persentase pasien dengan polifarmasi yaitu dari 19% menjadi 25% (p=0.006). Jumlah obat yang dikonsumsi juga meningkat dari 3 obat menjadi 4 obat (p=0,0001); obat tersering digunakan adalah obat kardio-vaskuler, terutama pada kelompok berusia 85 tahun ke atas, khususnya perempuan. Penelitian lain (Hohl, 2001) mendapatkan bahwa dari 283 kasus (terpilih secara acak) gawat darurat pada pasien berusia lanjut ternyata saat itu menggunakan rata-rata lebih dari 4 obat. Efek samping obat merupakan 10,6% dari seluruh penyebab datangnya pasien ke unit gawat darurat tersebut. Lima puluh persennya setidaknya meminum satu obat yang potensial menimbulkan efek samping membahayakan. Jenis obat tersering digunakan (yang mengakibatkan efek samping) adalah NSAID, antibiotik, antikoagulan, diuretik, obat hipoglikemik dan penyekat beta. Di Poliklinik Geriatri Departemen llmu Penyakit Dalam RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), tercatat sebanyak 32,3% pasien menggunakan lebih dari lima obat pada tahun 1999; di tahun berikutnya, terdapat 21,8% pasien dengan polifarmasi, dan pada tahun 2001 turun menjadi 15,6%. Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri adalah sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan bahwa drug induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang mekanismenya:1) akibat perubahan metabolisme obat terkait usia; 2) polifarmasi; 3) interaksi beberapa obat; 4) kekacauan pengobatan karena pasien sulit mengingat; 5) penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia.

Phenothiazine (seperti : Klorpromazin, thioridazin, proklorperazin)

Sindrom delirium, mengantuk, efek antikolinergik, efek ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, akathisia Sindrom delirium, mengantuk, efek ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, akathisia

Butirofenon (seperti haloperidol)

Antidepresan trisiklik (seperti : amitriptilin, imipramin, doxepine, dethiepin)

Efek entikolinergik, hipotensi, jatuh.

38

11

Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling sering menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa neurotransmisi kolinergik memang menurun sejalan dengan penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa obat yang sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun jika diberikan pada usia lanjut akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa diantaranya adalah simetidin, ranitidin, prednisolon, teofilin, digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan nifedipin. Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula kemungkinan efek antikolinergik yang bisa muncul. Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai obat yang digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat yang digunakan maka semakin banyak pula kemungkinan interaksi obat. Jumlah kemungkinan interaksi pada N obat dapat dihitung dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2. Jadi, enam obat saja dapat menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian melaporkan jumlah pasien dengan kemungkinan interaksi sebanyak 2,4% dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat, 22,7% dengan 6 obat dan 55,8% dengan 12 obat. Tidak semua kemungkinan interaksi obat menunjukkan gejala klinik (Smonger, Burbank, 1995) Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan dengan metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang dibantu oleh sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini: pemberian rifampisin akan meningkatkan kerja CYP sehingga asetaminofen yang diberikan akan lebih cepat dimetabolisme, maka efektifitasnya menurun; hal yang sama pada pemberian lansoprazol atau omeprazol yang juga meningkatkan CYP, pada gilirannya akan mempercepat metabolisme teofilin yang diberikan bersamaan sehingga dosis lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika pasien menerima obat simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau amiodaron yang semuanya bersifat menghambat CYP, maka pemberian bersamaan dengan asetaminofen, teofilin, diazepam, haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl (= Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan toksisitas obat-obat yang disebutkan terakhir (Schwartz, 1999).

Verapamil

Konstipasi, bradikardi, Hindari pada gagal pusing, gagal jantung jantung. Pantau adanya konstipasi. Hipotensi postural, pusing, sakit kepala Mulai dengan dosis lebih rendah. Pantau tekanan darah Mulai dengan dosis kecil, Pantau tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar kalium dalam darah

Nitrat & Nicorandil

ACE - Inhibitor Hiperkalemia, kerusakan pinjal, hipotensi, batuk.

G. DIUTERIK 1 Loop dan tiazida (seperti : furosemid, hidroklortiazid) Dehidrasi, hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hiperglikemia, hiperurisemia, inkontinensia, sindrom delirium Hiperkalemia (terutama jika digunakan bersama suatu ACE-inhibitor) Gunakan dosis terendah yang masih memungkinkan. Pantau elektrolit dan glukosa.

Diuretik hemat kalium (Potassiumsparing) seperti amilorid

Pantau kadar kalium

H. OBAT PSIKOTROPIK 1 Barbiturat (seperti : fenobarbital, pirimidon) Sedasi, sindrom Secara umum tidak delirium, osteoporosis, direkomendasikan karena ketergantungan waktu paruh yang panjang dan toksisitasnya. Tersedia obat yang lebih aman untuk insomnia dan epilepsi

12

37

E. 1

OBAT ANTIPARKINSON Amantadine Sindrom delirium, udem perifer, ruam kulit Tidak direkomendasikan. Jika harus, gunakan dosis rendah.

Antikoligergik (seperti : benztropin, benzhexol)

Sindrom delirium, Secara umum tidak retensi urin, hipotensi direkomendasikan, postural kadang-kadang berguna jika tremor sukar disembuhkan dengan pengobatan lain. Sindrom delirium, halusinasi, hipotensi postural, mual, gerakan involunter (involuntary movements) Depresi, hipotensi postural, bradikardi Depresi, sedasi, hipotensi postural Stress incontinence, hipotensi postural Depresi, keletihan, bronkospasme, bradikardi, hipotensi, memperparah penyakit pembuluh darah tepi, insomnia, mimpi yang hidup (vivid dreams) Gunakan dosis terendah yang masih efektif.

Levodopa

Beberapa gejala iatrogenesis (gejala atau penyakit yang muncul akibat tindakan tenaga medis, antara lain meresepkan obat) yang sering muncul adalah perdarahan lambung (tersering akibat NSAID dan bisfosfonat, terutama jika tanpa penjelasan yang memadai, dan diberikan bersamaan dengan warfarin atau aspirin), mualmuntah dan aritmia akibat intoksikasi digitalis (terutama jika diberikan bersama diuretik tanpa memantau kadar elektrolit maupun digitalis plasma), hipotensi ortostatik sampai jatuh dan fraktur (terutama akibat pemberian teofilin bersamaan dengan antihipertensi kerja sentral yang diberikan pagi hari), perubahan atau gangguan kesadaran akibat obat hipnotik sedatif (pemberian obat kerja panjang atau yang diberikan bersamaan dengan antidepresan golongan non SSRI, antagonis H-2, atau diuretik kuat)(Flaherty, 2000). Pada tahun 2001, ruang rawat akut geriatri Departemen llmu Penyakit Dalam RSCM merawat dua pasien hematemesis melena akibat bifosfonat dan warfarin, dua orang pasien hematemesis melena akibat aspirin dan NSAID, satu orang pasien hematemesis melena akibat steroid dan warfarin, tiga orang pasien sindroma delirium (dua pasien akibat diuretik dan diet terlalu ketat rendah garam ditambah susu formula, satu pasien akibat pemakaian antibiotik), empat orang pasien instabilitas dan jatuh akibat obat (benzodiazepin, furosemid, klonidin). Dua orang pasien berobat jalan masing-masing berusia 68 tahun dan 74 tahun melaporkan keluhan insomnia, asthenia, perubahan suasana hati seperti depresi setelah meminum obat antihipertensi golongan penyekat jalur kalsium (calcium channel blocker) dan golongan penghambat ACE (angiotensin converting enzyme). Kondisi lain yang patut dicermati adalah, gejala dan tanda pada pasien geriatri sering sekali menyimpang dari yang klasik. Dalam berbagai kepustakaan disebutkan bahwa sindroma delirium, jatuh, inkontinensia urin, vertigo, muntah dan diare sering merupakan gejala yang mengakibatkan keluarga membawa pasien geriatri ke rumah sakit. Saat diagnosis ditegakkan ternyata masalahnya tidak berhubungan dengan keluhan utama. Kondisi seperti ini mengakibatkan dokter yang kurang berpengalaman akan memiliki kecenderungan mengobati semua gejala dan tanda yang muncul sehingga menambah daftar obat menjadi lebih panjang lagi.

F. 1

OBAT KARDIOVASKULAR Metildopa Tidak direkomendasikan Tersedia obat yang lebih aman Tidak direkomendasikan Tersedia obat yang lebih aman Bukan obat pilihan untuk hipertensi- Tersedia obat yang lebih aman Hindari pada pasien asma, PPOK, dan penyakit pembuluh darah tepi. Propranolol dan timolol tidak direkomendasikan karena tingginya kejadian efek yang tidak diinginkan

Reserpin

Prazosin

Penghambat Beta

36

13

Jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya akan terlihat bahwa dengan mengobati penyakit atau masalah utamanya maka beberapa gejala dan tanda lain yang semula diduga sebagai masalah terpisah akan teratasi dengan sendirinya. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian, ketelitian dan pengendalian keinginan untuk senantiasa mengobati semua gejala secepatnya-sebuah fenomena yang sering terjadi baik pada dokter maupun pasien tanpa memperhatikan prinsip cost effectiveness. Pengaruh kondisi mental dan kognitif: depresi dan penurunan faal kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai dampak antara berupa tidak akuratnya informasi obat-obat apa yang selama ini dikonsumsi. Di sisi lain, informasi obat-obat yang dipakai adalah sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dari kecenderungan polifarmasi dan efek interaksi obat. Pada kondisi ini maka kehadiran pendamping (keluarga atau pelaku rawat) menjadi penting karena bisa menjembatani antara minimnya informasi dan keperluan data lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang diperlukan, masalahnya belum selesai, compliance atau kepatuhan minum obat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat gangguan faal kognitif maupun emosi seseorang. Depresi dan kepikunan akan mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga efek maksimal yang diharapkan bisa terganggu. Telah dibicarakan beberapa perubahan fisiologik dan kondisi multipatologi yang bisa berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien geriatri. Aklorhidria, perubahan first-pass metabolism, afinitas terhadap albumin, metabolisme oksidatif dan konyugatif di hepar serta penurunan faal ginjal akan mempengaruhi farmakokinetika obat. Perubahan komposisi tubuh di usia lanjut juga besar pengaruhnya terhadap efek obat. Perubahan reseptor obat di jaringan akan banyak berpengaruh terhadap farmakodinamika obat yang sampai saat ini masih sulit dikuantifikasi. Beberapa aspek yang juga harus diperhatikan adalah adanya pengaruh faktor emosi dan penurunan faal kognitif terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan.

bermakna, kecuali bila dilakukan pemantauan kadar obat dalam darah (Therapeutic Drug Monitoring= TDM) 2 Sulfametoxazol/ Reaksi hipersensitif Trimetoprim yang serius (Steven (cotrimoxazole) Johnson syndrome, blood dyscrasias) Trimetoprim tunggal memberikan efek yang sebanding ( dan lebih aman) untuk infeksi saluran kemih. Lebih dianjurkan untuk menggunakan obat dengan sifat kerja lebih pendek (seperti: gliklazid, glipizid). Klorpropamid sebaiknya tidak digunakan karena waktu paruhnya sangat panjang Metformin lebih dianjurkan (kejadian lactic acidosis lebih jarang). Kurangi dosis pada kerusakan ginjal. Hindari pada gagal ginjal yang berat.

C. OBAT ANTI-DIABETIK 1 Sulfonilurea oral kerja panjang (seperti klorpropamid, glibenklamid, glimepirid ) Meningkatkan risiko hipoglikemia. Risiko SIADH dengan Klorpropamid

Phenformin, Metformine

Lactic acidosis (terutama jika ada kerusakan ginjal, kerusakan hati, atau penyakit jantung) dan mungkin berakibat fatal

D. OBAT ANTI-PIRAI (ANTI-GOUT) 1 2 Allopurinol Kolkisin Ruam kulit, gagal ginjal Kurangi dosis sampai 100 - 200 mg per hari Diare, dehidrasi Tidak direkomendasikan untuk terapi kronis.

14

35

LAMPIRAN 2 Daftar Obat yang Penggunaaannya Memerlukan Perhatian Khusus Efek Tidak Diharapkan yang Bermakna Tukak dan perdarahan pada saluran pencernaan, gagal ginjal, retensi cairan, dan sindrom delirium. Juga mungkin mengantagonis efek obat antihipertensi

BAB III PEDOMAN TATALAKSANA PELAYANAN FARMASI UNTUK PASIEN GERIATRI

No. A.

Obat ANALGESIK

Pertimbangan dan Rekomendasi

III.1. PEDOMAN KERJA TIM TENAGA KESEHATAN Gunakan parasetamol terlebih dahulu . Pantau fungsi ginjal, keadaan jantung, tekanan darah. Hindari penggunaan indometasin dan fenilbutazon karena meningkatkan kejadian efek yang tidak diharapkan (SSP dan hematologikal) Mulai dengan dosis rendah dan naikkan secara perlahan. Pantau efek yang tidak diharapkan. Cegah konstipasi dengan makanan berserat, cairan dan/atau menggunakan pencahar asalkan sesuai dengan pedoman yang berlaku Gunakan dosis lebih rendah. Hindari jika terjadi kerusakan ginjal yang Tujuan: Terciptanya suatu tim terpadu dengan konsep interdisiplin dalam penanganan pasien geriatri. Mengelola pasien geriatri yang kompleks permasalahannya memerlukan kiat-kiat tertentu; setidaknya diperlukan kinerja yang efektif melalui sebuah Tim Tenaga Kesehatan. Tim Tenaga Kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus memahami bahwa hasil kerja yang diharapkan senantiasa berorientasi kepada pasien dan dalam mencapainya tidak terjebak ke dalam persaingan antar disiplin ilmu yang terkait. Harus disadari bahwa hasil yang dicapai melalui kinerja tim akan lebih baik dari pada jika masing-masing pihak yang terlibat bekerja sendiri sendiri (terkotak-kotak). Sekali Tim Tenaga Kesehatan telah terbentuk maka sebenarnya tidak serta merta akan diperoleh hasil kerja yang baik; dalam tim yang bekerja dengan menerapkan konsep interdisiplin dibutuhkan pemahaman yang mendalam perihal aturan main yang disepakati bersama, koordinasi dan batas otoritas untuk menyampaikan ekspertise keilmuan masing-masing. Tim Tenaga Kesehatan untuk pasien geriatri di rumah sakit lazim disebut sebagai Tim Terpadu Geriatri yang terdiri atas internis, dokter spesialis rehabilitasi medik, psikiater, dokter gigi, ahli gizi, apoteker, perawat dan tim rehabilitasi medik. Keanggotaan Tim Terpadu Geriatri dan kelengkapan disiplin ilmu yang terlibat bisa disesuaikan dengan kondisi setiap rumah sakit. Pembentukan Tim Terpadu Geriatri merupakan proses yang berlangsung dimana tugas atau tanggung jawab setiap anggota dijabarkan; kemudian peran dan kewajiban masing-masing juga

1 AINS & penghambat COX-2

2 Analgesik narkotik

Sedasi, depresi pernafasan, konstipasi, hipotensi, sindrom delirium

B.

ANTIBIOTIKA Gagal ginjal, kehilangan fungsi pendengaran

1 Aminoglikosi da (seperti gentamisin)

34

15

dielaborasi dan disepakati bersama. Setiap tahap dalam pembentukan sebuah tim harus menilik kepada penjabaran peran setiap anggotanya; terutama jika ada anggota tim yang baru. Karena karakteristik pasien geriatri maka jenis tim yang dibentuk mengacu kepada konsep tim interdisiplin dimana orientasi pada kepentingan pasien benar-benar terjamin untuk diimplementasikan. Beberapa tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri: Tahap 1 (Forming): anggota yang akan bergabung berkumpul untuk pertama kalinya; menyatakan kesepakatan bersama tentang pentingnya pembentukan tim ini. Seluruh ide dasar/ide awal dijabarkan; semua keinginan dan impian tiap anggota diuraikan dengan jelas agar masing-masing memahami buah pikiran setiap anggota. Tahap 2 (Norming): mulai melakukan pendefinisian, penjabaran, penguraian lebih rinci tentang peran, kewajiban dan tugas masingmasing. Setiap anggota akan melihat kemungkinan terdapatnya tumpang tindih dari berbagai peran masing-masing sehingga konflik bisa terjadi. Proses pemahaman tentang kemungkinan perselisihan akibat tumpang tindih tugas dapat diatasi manakala terungkap adanya tujuan bersama yang harus dicapai, yakni kesembuhan dan pemulihan pasien secara paripurna. Konflik masih potensial timbul karena masing-masing disiplin merasa paling memiliki kompetensi (atau setidaknya lebih kompeten dari pada disiplin lainnya). Perbedaan latar belakang pendidikan/pelatihan dan kuranglancarnya komunikasi disadari merupakan hal yang harus diselesaikan dengan bijak. Keadaan ini diatasi dengan mengedepankan pengertian dan pendekatan interdisiplin serta pentingnya komunikasi antara anggota sebagai landasan tercapainya pengertian bersama. Kesepakatan tercapai karena masing-masing anggota temyata mempunyai visi yang sama. Akhimya Tim Terpadu Geriatri yang kompak bisa melakukan konsolidasi, keberadaan Ketua Tim lebih bersifat fungsional. Tujuan, visi, misi dan program Pasien mempunyai masalah medik yang sedang dalam pengobatan dengan dosis obat berlebih (risiko toksik). Sebagai contoh: tidak dilakukannya penyesuaian dosis pada pemakaian antibiotika sefotaksim pada pasien yang telah mengalami penurunan fungsi ginjal, atau tidak dilakukannya penurunan dosis digoksin yaitu obat dengan indeks terapi sempit saat melakukan penggantian dari sediaan oral (tablet atau eliksir) atau dari sediaan l.M ke sediaan l.V. 7. Reaksi Obat yang tidak Diharapkan Pasien mempunyai masalah medik sebagai akibat dari reaksi obat yang tidak diharapkan atau efek samping. Reaksi tersebut dapat diduga maupun tidak terduga, seperti tukak lambung akibat AINS, ruam akibat antibiotika Banyak obat yang dapat menyebabkan sindrom delirium pada pasien geriatri contohnya benzodiazepin dan antidepresan trisiklik; hipotensi postural pada penggunaan obat antihipertensi atau diuretik. Interaksi Obat Pasien mempunyai masalah medik disebabkan interaksi obatobat, obat - makanan, obat - laboratorium. Meningkatnya risiko hiperkalemia pada pasien yang menggunakan kombinasi obat antihipertensi kaptopril dengan spironolakton; pemberian kaptopril tidak pada saat lambung kosong dimana absorpsi kaptopril dapat berkurang dengan adanya makanan.

16

33

LAMPIRAN I Daftar Masalah yang Berkaitan dengan Penggunaan Obat No. 1 Masalah yang berkaitan dengan Penggunaan Obat Terdapat indikasi medik/pengobatan yang tidak mendapatkan obat (untreated indication) Kondisi medik pasien memerlukan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut. Sebagai contoh, seorang pasien dengan tekanan darah tinggi atau glaukoma tetapi tidak diberikan obat untuk masalah tersebut. Terapi obat diberikan padahal tidak terdapat indikasi Pasien mendapatkan obat untuk suatu kondisi medik tertentu yang tidak memerlukan terapi obat, seperti kegemukan (obesity) Pilihan obat yang tidak tepat Terapi obat diindikasikan tetapi pasien mendapatkan obat yang salah. Sebagai contoh yang sering terjadi adalah pasien dengan infeksi bakteri mendapatkan resep obat yang resisten pada bakteri yang menginfeksinya Dosis yang subterapi Kondisi medik pasien memerlukan terapi obat dan pasien mendapatkan obat yang tepat tetapi dosisnya di bawah dosis terapi, misalnya dosis insulin yang terlalu rendah. Gagal mendapatkan obat Kondisi medik pasien menunjukkan diperlukannya terapi obat, tetapi karena alasan farmasetik, psikologis, sosiologis, atau alasan ekonomi pasien tidak mendapatkan obat. Sebagai contoh: pemilihan tablet yang tidak boleh digerus padahal pasien tidak mampu menelan obat; peresepan obat yang banyak dengan rejimen dosis yang kompleks akan membuat pasien dementia menjadi pasien lupa meminum obat. Dosis berlebih atau dosis toksik

kerja serta rencana kerja dapat segera disusun bersama; selanjutnya agenda kerja dan cara mengukur keberhasilan kerja Tim Terpadu Geriatri mulai dijabarkan secara rinci. Tahap 3 (Performing): Ketua Tim menegaskan kembali pengertian pendekatan interdisiplin yang berbeda dari multidisiplin, paradisiplin maupun pandisiplin. Selain itu, perbedaan yang ada dapat disikapi dengan tingkat toleransi yang tinggi dan dianggap sebagai aset positif. Setiap anggota saling membantu dan saling mendukung; mereka berpartisipasi aktif dan self-initiated. Pertemuan teratur, secara berkala dapat dilaksanakan dengan baik dan tingkat kehadiran yang tinggi. Hubungan antar anggota semakin baik; rasa saling percaya tumbuh semakin kuat. Konflik yang kadang-kadang bisa muncul maupun kritikan tajam dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan keberhasilan program kerja. Tingkat produktivitas dan aktivitas problem solving semakin meningkat. Tim Terpadu Geriatri yang sudah terbentuk harus tetap mampu melibatkan diri secara aktif dalam berbagai upaya di rumah sakit maupun program lain yang berbasis komunitas. Hal tersebut penting mengingat keberadaan tim ini tidak boleh hanya sebatas formalitas. Penting pula untuk dipahami beberapa aspek yang berperan menunjang keberadaan Tim Terpadu Geriatri rumah sakit. Berikut ini disampaikan beberapa aspek yang berperan pada pembentukan /berlangsungnya kinerja Tim Terpadu Geriatri: q Aspek profesional/personal q Aspek intra-tim q Aspek organisasi/institusional q Mempertahankan tim (team maintenance) Aspek profesional/personal: q Menyangkut bagaimana keinginan dan komitmen setiap anggota untuk bergabung ke dalam tim ini dan meningkatkan kinerjanya. q Komitmen untuk memahami dan mempelajari ranah pengetahuan disiplin lain.

2.

3.

4.

5.

6.

32

17

q Komitmen di atas ditujukan untuk mempererat jalinan hubungan kerja yang seimbang dan memperkecil jurang perbedaan serta mempermudah komunikasi karena diharapkan setiap anggota mempunyai bahasa yang sama dalam menanggapi persoalan pasien secara bersama. q Keterbukaan pikiran untuk senantiasa menerima hal-hal baru. q Memadukan ekspertise disiplin dengan kebutuhan pasien dan keluarga. q Pengembangan pendekatan interdisiplin bersama-sama dengan anggota tim yang lain. Aspek intra-tim: q Kesepakatan tentang tempat kerja bersama dan interaksi formal maupun informal. q Memaksimalkan komunikasi (pertemuan rutin; teknologi komunikasi). q Kepemimpinan fungsional secara kolektif. q Pencapaian tujuan bersama. q Memaksimalkan pendekatan secara interdisiplin. q Masing-masing memahami peran setiap anggota. q Manajemen konflik yang efektif; setiap konflik adalah sehat dan membangun. Aspek organisasi/institusional: q Organisasi/institusi tempat kerja (rumah sakit) memahami konsep penanganan pasien secara interdisiplin. q Dukungan yang konsisten dari rumah sakit. q Organisasi di luar tim ini mengenal keberadaan Tim Terpadu Geriatri dan bersedia bekerja sama untuk kepentingan pasien. Aspek mempertahankan tim: q Tim memperbaiki kinerjanya secara terus menerus dan berkesinambungan (prosesnya, protokol-protokol, produk-produk lain). q Tim berupaya mendorong minat dan kinerja anggota (yang baru maupun yang lama).

21. Woodward MC. Deprescribing: Achieving Better Health Outcome for Older People Through Reducing Medication. J Pharm Pract Res 2003; 33: 323-328 22. Hansten PD, Horn JT. Drug interaction analysis and management : A clinical perspective and analysis of current development. USA: Fact and Comparisons, 2001 23. Christophidis N, Scharf S. Management of Drugs in the Elderly. Current Therapeutics 1995; April: 66-73 24. Kappel J, Calissi P. Nephrology: Safe Drug prescribing for patients with renal insufficiency. Canadian Medical Association J 2002 Feb. 19; 166 (4): 473-477 25. Brown BK Pharm.D. Rational Prescribing in the Elderly. Notes for Continuing Pharmaceutical Education, Accreditation Council for Pharmacy Education, 2004

18

31

11. Tune LE. Delirium. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:McGraw Hill,1999:1230-3. 12. Smonger AK, Burbank PM. Drug therapy and the elderly. Boston :Jones Barlett; 1995:53. 13. Schwartz JB. Clinical Pharmacology. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:McGraw Hill,1999:308-9. 14. Flaherty JH, Perry HM3rd, Lynchard GS, Morley JE. Polypharmacy and hospitalisation among home care patients. J Gerontol A Biol Sci Med Sci.2000;55(10):554-9. 15. Carlson JH. Perils of polypharmacy: 10 steps to prudent prescribing. Geriatrics 1996;15:26. 16. Rahmania M. Ketidakpatuhan pasien dalam terapi obat dan faktorfaktor penyebabnya di Poliklinik Geriatri Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Thesis, Program Studi Magister llmu Kefarmasian Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004: 82-129 17. American Society of Consultant Pharmacists. Guidelines for pharmacist counseling of geriatric patients, 1998. Diambil dari www.ascp.com 18. American Society of Consultant Pharmacists. Guidelines for Assessing the Quality of Drug Regimen Review in Long-Term Care Facilities, 1999. Diambil dari www.ascp.com 19. Fick. DM et.al. Updating the Beers Criteria for Potentially Inappropriate Medication Use in Older Adults. Internal Medicine 2003; 163, Dec 8/22:2716-2724 20. McLeod Peter J. MD, Huang Allen MD, Tamblyn Robin MD. Defining inappropriate practices in prescribing for elderly people: A national consensus panel. Canadian Medical Association J 1997; 156 (3) 385-391

q Tim menunjukkan kinerja kepemimpinan fungsional kolektif kepada anggota baru. q Harus ada umpan balik secara jujur, terbuka dan obyektif dari setiap anggota/eksternal. Jika filosofi dan tahap-tahap pembentukan Tim Terpadu Geriatri di rumah sakit telah dipahami maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menerapkannya dalam praktik sehari-hari. Pedoman peresepan yang akan disampaikan kemudian merupakan salah satu bentuk contoh produk yang seharusnya muncul setelah Tim tersebut terbentuk. III.2. PEDOMAN PERESEPAN Tujuan: Pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan indikasi klinik, efektif, aman dan mudah untuk dipatuhi rejimennya. Bagaimana meresepkan obat untuk pasien geriatri? Mungkinkah menghindari polifarmasi? Bagaimana menentukan prioritasnya? Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan. Pertimbangan akan kebutuhan, indikasi, kontraindikasi dan keperluan serta tujuan pengobatan menjadi penting. Tujuan pengobatan tidak selalu harus berdasarkan sudut pandang dokter, namun selain penemuan obyektif, perlu pula diingat akan pentingnya pendapat pasien dan keluarga tentang tujuan pengobatan sebelum dokter memutuskan memberikan rejimen pengobatan. Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja sendiri karena kompleksitas masalah medik dan non medik yang ada. Beberapa dokter dan tenaga kesehatan lain akan bekerja bersama dan sebaiknya di dalam sebuah tim terpadu yang bekerja dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar multidisiplin apalagi paradisiplin. Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain adalah memungkinkannya pemantauan terus menerus jumlah dan jenis obat yang diberikan sehingga berbagai pihak akan secara otomatis mempunyai kecenderungan saling mengingatkan. Pencapaian

30

19

tujuan bersama sangat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang baik demi kepentingan pasien. Saling keterlibatan yang intens dari masing-masing disiplin akan memperbesar peluang rejimen pengobatan yang lebih efisien sehingga pada gilirannya akan mampu menekan polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa dituntut untuk mengevaluasi pengobatannya secara rutin; obat yang sudah tidak diprioritaskan akan diganti dengan obat lain yang lebih utama atau dapat dihilangkan dari daftar obat manakala masalah lain menjadi lebih tinggi skala prioritasnya. Dengan demikian maka efektivitas dan keamanan pengobatan bagi setiap pasien akan lebih terjamin . Beberapa langkah praktis berikut ini mungkin dapat lebih memudahkan bagi setiap dokter dan tenaga kesehatan lain yang terlibat: b Mencatat semua obat yang dipakai saat ini (resep dan nonresep, termasuk jamu) b Mengenali nama generik dan golongan obat b Mengenali indikasi klinik untuk setiap obat b Mengetahui profil efek samping setiap obat b Mengenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga (misalnya interaksi) b Menyederhanakan rejimen pengobatan b Menghentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan b Menghentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik b Mengganti dengan obat yang lebih aman, bila perlu b Tidak menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi b Menggunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering b Membiasakan untuk melakukan evaluasi daftar obat secara berkala Setiap dokter (internis, psikiater atau anggota tim lain) harus mampu menekan arogansi disiplin masing-masing dan bersedia menghentikan obat yang diresepkannya apabila obatnya sudah bukan lagi merupakan prioritas untuk diberikan.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 1995. Supartondo. Penatalaksanaan Terpadu Pasien Geriatri: Pendekatan Interdisiplin. Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI / RSUPN CM, Jakarta 1999. de Bono A. Ageing: A world perspective The longevity revolution The 1st ASEAN course in Gerontology. Singapore, 2000. Troisi J. Demographic characteristics, trends and determinants of population ageing. The 1st ASEAN course in Gerontology. Singapore , 2000. Kalache A, Keller I. Population ageing in developing countries: demographic aspects. Dalam: Evans JG, Beattie BL,Williams TF, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Oxford: Oxford University Press, 2000 :26-8. Soejono CH, Suhardjono. Prinsip pemberian obat pada pasien usia lanjut. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, edisi lIl jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001: 281-285. Michocki RJ. Polypharmacy and principles of drug therapy. Dalam:Adelman AM, Daly MP, eds. 20 Common problems in geriatrics.Boston:McGraw Hill,2001:69-81. Berenbeim DM. Polypharmacy: overdosing on good intentions. Manag Care 2002;10(3):1-5. Linjakumpu T, Hartikainen S, Klaukka T, et al. Use of medications and polypharmacy are increasing among the elderly. J of Clinical Epidemiology 2002;55:809 -16.

3. 4.

5.

6.

7.

8. 9.

10. Hohl CM, Dankoff J, Colacone A, Asfilalo M. Polypharmacy, adverse drug-related events, and potential adverse drug interactions in elderly patients presenting to an emergecy department. Annals of Emergency Medicine 2001;38(6):666-671.

20

29

III.3. PEDOMAN TELAAH ULANG REJIMEN OBAT BAB IV PENUTUP Tujuan: Memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya, mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan akibat penggunaan obat dan mengevaluasi kepatuhan pasien dalam mengikuti rejimen pengobatan. Kriteria pasien yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah ulang rejimen obat: a. Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari b. Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko tinggi untuk mengalami efek samping yang serius c. Menderita tiga penyakit atau lebih d. Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri e. Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan f. Akan pulang dari perawatan di rumah sakit g. Berobat pada banyak dokter h. Mengalami efek samping yang serius, alergi Tatalaksana telaah ulang rejimen obat: a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri dan ketrampilan yang memadai. b. Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien: - Meminta pasien untuk memperlihatkan semua obat yang sedang digunakannya. - Menanyakan mengenai semua obat yang sedang digunakan pasien, meliputi: obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu, obat suplemen. - Aspek-aspek yang ditanyakan meliputi: nama obat, frekuensi, cara penggunaan dan alasan penggunaan. - Melakukan cek silang antara informasi yang diberikan pasien dengan data yang ada di catatan medis, catatan pemberian obat dan hasil pemeriksaan terhadap obat yang diperlihatkan pasien.

Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri, merupakan suatu panduan yang diharapkan dapat membantu para tenaga kesehatan terutama yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan dalam melayani pasien geriatri.

Dengan telah disusunnya Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) Untak Pasien Geriatri ini, diharapkan akan lebih terjalin suatu kerja sama antar profesi kesehatan yang bersifat interdisiplin berbentuk Tim Terpadu Geriatri. Dengan demikian pasien geriatri yang mempunyai karakteristik tersendiri akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal.

Mudah-mudahan Buku Pedoman Pelayanan Farmasi (Tatalaksana Terapi Obat) Untuk Pasien Geriatri ini dapat bermanfaat dalam melayani pasien geriatri, sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup pasien geriatri di Indonesia.

28

21

Memisahkan obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh pasien. - Menanyakan mengenai efek yang dirasakan oleh pasien, baik efek terapi maupun efek samping. - Mencatat semua informasi di atas pada formulir pengambilan riwayat penggunaan obat pasien. c. Meneliti obat-obat yang baru diresepkan dokter. d. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (lihat lampiran daftar masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat) e. Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yang teridentifikasi: Contoh: menghubungi dokter dan meminta penjelasan mengenai pemberian obat yang indikasinya tidak jelas. III.4 PEDOMAN PENYIAPAN DAN PEMBERIAN OBAT Tujuan: Pasien mendapatkan obat yang tepat dengan mutu baik, dosis yang tepat, pada waktu yang tepat dan untuk durasi yang tepat. Tatalaksana penyiapan dan pemberian obat: a. Menerima resep/instruksi pengobatan b. Meneliti kelengkapan dan kebenaran resep/instruksi pengobatan dari aspek administratif, farmasetik dan klinik. Yang termasuk aspek administratif antara lain: tempat dan tanggal resep/instruksi pengobatan dibuat, nama dan alamat/nomor telepon dokter yang dapat dihubungi, nama pasien, umur, nomor registrasi, nama ruang rawat / poliklinik, alamat / nomor telepon pasien yang dapat dihubungi. Persyaratan administratif lain disesuaikan dengan ketentuan institusi yang bersangkutan. Yang termasuk aspek farmasetik: nama obat (nama generik / nama dagang), bentuk sediaan, jumlah obat yang harus disiapkan, cara pembuatan (jika diperlukan peracikan).

Tatalaksana pemantauan penggunaan obat: a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang patofisiologi, terutama pada pasien geriatri, prinsip-prinsip farmakoterapi geriatri, cara menafsirkan hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik yang berkaitan dengan penggunaan obat, dan ketrampilan berkomunikasi yang memadai. b. Mengumpulkan data pasien, yang meliputi: - Deskripsi pasien (nama, umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, nama ruang rawat/poliklinik, nomor registrasi) - Riwayat penyakit terdahulu - Riwayat penggunaan obat (termasuk riwayat alergi penggunaan obat non resep) - Riwayat keluarga dan sosial yang berkaitan dengan penyakit dan penggunaan obat. - Data hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik - Masalah medis yang diderita pasien - Data obat-obat yang sedang digunakan oleh pasien Data/informasi dapat diperoleh melalui: - wawancara dengan pasien / keluarga - catatan medis - kartu indeks (kardeks) - komunikasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, perawat) c. Berdasarkan data/informasi pada (b), selanjutnya mengidentifikasi adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (lihat lampiran daftar masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat) d. Memberikan masukan/saran kepada tenaga kesehatan lain mengenai penyelesaian masalah yang teridentifikasi. e. Mendokumentasikan kegiatan pemantauan penggunaan obat pada formulir yang dibuat khusus.

22

27

j. Cakupan dan kedalaman informasi, serta bagaimana cara penyampaiannya haruslah disesuaikan dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan dan pemahaman pasien/keluarga serta jenis masalah yang dihadapi. Selain mendapatkan informasi dari pasien/keluarga, masukan dari anggota tim tenaga kesehatan lain juga diperlukan untuk menentukan informasi dan edukasi apa yang dibutuhkan pasien/ keluarga. k. Untuk meningkatkan pemahaman, maka pemberian informasi secara lisan sebaiknya ditunjang oleh informasi tertulis (contoh: brosur) dan peragaan (contoh: bagaimana menggunakan inhaler secara benar). l. Selain komunikasi secara verbal, digunakan juga komunikasi secara non verbal (gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah dan isyarat lain) yang dapat mendukung penyampaian informasi dan edukasi kepada pasien/keluarga, demikian pula komunikasi non verbal yang ditunjukkan oleh pasien/keluarga harus diperhatikan untuk menangkap pesan tersembunyi yang tidak terucap. m. Pasien/keluarga diberi kesempatan yang cukup untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan obat dan untuk menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi selama menggunakan obat. n. Masalah-masalah pasien/keluarga yang berkaitan dengan penggunaan obat harus diupayakan penyelesaiannya, jika perlu melibatkan anggota tim tenaga kesehatan lain (contoh: dokter mengubah rejimen obat yang diberikan menjadi lebih sederhana) o. Sebelum pertemuan diakhiri, harus dipastikan bahwa pasien/keluarga telah memahami informasi yang diberikan. p. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya pada formulir yang dibuat khusus. III.6. PEDOMAN PEMANTAUAN PENGGUNAAN OBAT Tujuan: Mengoptimalkan efek terapi obat dan mencegah atau meminimalkan efek merugikan akibat penggunaan obat.

c. d. e.

f.

9.

Yang termasuk aspek klinik: dosis, duplikasi obat, interaksi obat (untuk menilai aspek ini diperlukan data profil penyakit dan semua obat yang sedang digunakan pasien). Jika ditemukan ada masalah yang berkaitan dengan peresepan, menghubungi dokter pembuat resep/instruksi pengobatan. Jika ditemukan masalah dalam hal kelengkapan administratif, menghubungi pihak yang terkait (perawat, petugas administrasi). Menjaga agar stok obat-obatan selalu tersedia saat dibutuhkan, terutama untuk kelangsungan penggunaan obat kronik pasien, sebagai contoh: obat antihipertensi. Menyiapkan/meracik obat sesuai resep/instruksi pengobatan: - Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan kapsul, maka dipilih ukuran kapsul yang sesuai. - Jika dilakukan peracikan dengan bentuk sediaan puyer atau sirup, maka perlu diperhatikan kontraindikasi bahan pembantu dengan penyakit pasien (contoh: penggunaan saccharum lactis pada pasien diabetes mellitus) - Menggunakan wadah yang mudah dibuka oleh pasien, - Jika memungkinkan menggunakan wadah transparan (kecuali obat yang harus terlindung dari cahaya). Memberi penandaan pada obat yang telah disiapkan: - Penandaan meliputi: nomor/kode resep, nama obat, kekuatan sediaan, aturan pakai, jumlah obat yang ada di dalam wadah, instruksi khusus (contoh: diminum sebelum makan), tanggal obat disiapkan, tanggal kadaluarsa. - Penandaan harus ditulis dengan jelas, jika memungkinkan diketik, dengan ukuran huruf yang besar dan warna hitam/gelap dengan warna latar belakang kontras dengan warna huruf. - Penandaan, baik berupa tulisan, simbol atau gambar tidak boleh mudah terhapus, hilang atau lepas dari wadah. - Instruksi penggunaan harus jelas, singkat dan dapat dipahami, tidak menggunakan singkatan atau istilah yang tidak lazim. Penerima obat harus diberikan informasi secara lisan mengenai hal-hal yang tercantum pada penandaan untuk menghindari salah penafsiran.

26

23

h. Menyusun obat sedemikian rupa sehingga memudahkan pasien/keluarga untuk mengingat waktu makan obat dan memudahkan pasien mengambil obat dengan tepat. Contoh: meletakkan obat pada kotak/kantong obat yang sudah ditandai waktu minumnya. i. Menyerahkan obat kepada perawat, pasien atau keluarga sesuai dengan sistem distribusi obat yang berlaku. j. Memberikan informasi yang jelas kepada penerima obat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan obat yang akan digunakan oleh pasien, antara lain: nama obat, kegunaan obat, aturan pakai, cara penyimpanan, apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau menggunakan obat, meminta pasien untuk melaporkan jika ada keluhan yang dirasakan selama penggunaan obat. (Untuk lebih rinci lihat Pedoman Pemberian Informasi dan Edukasi) k. Mendokumentasikan temuan masalah dan penyelesaiannya pada formulir yang dibuat khusus. III.5. PEDOMAN PEMBERIAN INFORMASI DAN EDUKASI Tujuan: Pasien/keluarga memahami penjelasan yang diberikan, memahami pentingnya mengikuti rejimen pengobatan yang telah ditetapkan sehingga dapat meningkatkan motivasi untuk berperan aktif dalam menjalani terapi obat. Tatalaksana pemberian informasi dan edukasi: a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip gerontologi dan farmakoterapi geriatri, memiliki rasa empati dan ketrampilan berkomunikasi secara efektif. b. Pemberian informasi dan edukasi dilakukan melalui tatap muka dan berjalan secara interaktif, dimana kegiatan ini bisa dilakukan pada saat pasien dirawat, akan pulang atau ketika datang kembali untuk berobat.

c. Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk membuat pasien/keluarga merasa nyaman dan bebas, antara lain: - Dilakukan dalam ruang khusus atau yang dapat menjamin privacy. - Ruangan cukup luas bagi pasien dan pendamping pasien untuk kenyamanan mereka. - Penempatan meja, kursi atau barang-barang lain hendaknya tidak menghambat komunikasi. - Suasana tenang, tidak bising dan tidak sering ada interupsi (contoh: apoteker menerima telepon atau mengerjakan pekerjaan lain) d. Pada pasien yang mengalami kendala dalam berkomunikasi, maka pemberian informasi dan edukasi dapat disampaikan kepada keluarga/pendamping pasien. e. Apoteker perlu membina hubungan yang baik dengan pasien/keluarga agar tercipta rasa percaya terhadap peran apoteker dalam membantu mereka. f. Mendapatkan data yang cukup mengenai masalah medis pasien (termasuk adanya keterbatasan kemampuan fisik maupun mental dalam mematuhi rejimen pengobatan. g. Mendapatkan data yang akurat tentang obat-obat yang digunakan pasien, termasuk obat non resep. h. Mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial budaya, pendidikan dan tingkat ekonomi pasien/ keluarga. i. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien/keluarga adalah: nama obat, kegunaan obat, aturan pakai, teknik penggunaan obat-obat tertentu (contoh: obat tetes, inhaler), cara penyimpanan, berapa lama obat harus digunakan dan kapan obat harus ditebus lagi, apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau menggunakan obat, kemungkinan terjadinya efek samping yang akan dialami dan bagaimana cara mencegah atau meminimalkannya, meminta pasien/keluarga untuk melaporkan jika ada keluhan yang dirasakan pasien selama menggunakan obat.

24

25

You might also like