You are on page 1of 3

KEKERASAN TERHADAP ANAK: SUDUT PANDANG KITA MELIHATNYA

Oleh : Muhammad Arif Fadhillah Lubis, S.H.I., M.S.I. Tulisan ini bermula dari keprihatinan penulis, terkait dengan semakin dan terus merebaknya "fenomena" kekerasan terhadap anak di negeri ini dari tahun ke tahunnya. Di Indonesia, peningkatan kekerasan terhadap anak tersebut diakui oleh Seto Mulyadi, mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak. Ia mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, untuk dua tahun yang lalu saja, tahun 2006, tercatat hak 13,4 juta anak dilanggar. Lebih dari 90 persen pelanggaran terjadi karena permasalahan sosial, seperti akta kelahiran, kehilangan kewarganegaraan, narkotik dan obat terlarang, pornografi, anak berhadapan dengan hukum, tawuran pelajar, serta bunuh diri. Secara nasional, ada 72 ribu kasus kekerasan terhadap anak. Lebih lanjut, angka kekerasan terhadap anak pada 2007 mencapai 1.726 kasus. Jumlah ini meningkat menjadi 1.998 kasus pada 2009, yang mana sekitar 65 persen di antaranya kasus kekerasan seksual. Demikian yang diungkapkan Aris Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) periode 2010 hingga 2014 yang baru saja terpilih. Berdasarkan pernyataan di atas, seperti halnya anak-anak di belahan dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, di jalanan, di sekolah dan di antara teman sebaya mereka. Tapi banyak kasus kekerasan semacam ini tidak terungkap. Atau, hal ini tidak dianggap sebagai kasus kekerasan karena kedua pihak tidak menganggapnya sebagai masalah. Seringkali kekerasan terhadap anak dianggap hal yang lumrah karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Bahkan di banyak masyarakat, norma sosial dan budaya tidak melindungi atau menghormati anak-anak. Peningkatan fenomena tersebut menunjukkan dan harus diakui bahwa sejauh ini, tindak kekerasan terhadap anak masih dihadapi dengan cara pemahaman yang insidental, dari kejadiankejadian yang parsial. Belum memadainya pemahaman kekerasan anak yang lebih konseptual mengakibatkan tidak cukup membantu untuk menekan kekerasan serendah mungkin. Latar belakang seseorang anak mengalami kekerasan sangat erat kaitannya dengan keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Sebab keberadaan anak-anak tidak terlepas dari pola asuh keluarga yang membentuk tingkah laku yang berpola pada diri individu, yaitu kebiasaan (habit), dan tidak terlepas pula dari tingkah laku umum yaitu tingkah laku yang menjadi pola bagi sebagian besar masyarakat yang biasa disebut adat istiadat (customs). Semuanya ini, secara nyata terwujud dalam rangkaian aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan dan bergaul satu sama lain yang disebut sistem sosial. Seluruh aspek ini telah tertanam dalam diri seseorang sejak dini dan seringkali mempengaruhi tindakan-tindakannya dalam menghadapi permasalahan hidup.

Atas dasar inilah aspek sosial budaya menjadi penting artinya dalam mengurai masalah kekerasan terhadap anak, baik di daerah yang kehidupannya masih kental diliputi unsur tradisional maupun di daerah perkotaan yang pengaruh unsur tradisionalnya sudah longgar karena bercampurnya berbagai unsur etnis.

Faktor Kekerasan Pada Anak Abu Huraerah, M.Si, dalam bukunya Kekerasan Terhadap Anak (Penerbit: Nuansa, Cetakan I, Juli 2006), mengungkapkan setidaknya terdapat beberapa faktor, kenapa terjadi kekerasan terhadap anak.(1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak.(3) Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada salah satu orang tua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan. Namun, di luar faktor-faktor tersebut, Abu Huraerah, M.Si, mengungkapkan bahwa sebenarnya kekerasan struktural paling menjadi problem utama kehidupan anak-anak Indonesia. Karena sifatnya struktural, terutama akibat kemiskinan, faktor-faktor lain seperti rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, termasuk lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegak hukum memperkuat tingkat kekerasan terhadap anak. Antropolog Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, P.hD., menyatakan bahwa sumber berlangsungnya atau sebab-sebab terjadinya tindak kekerasan sangat situsional dan bersifat pribadi. Artinya, suatu tindak kekerasan tertentu terjadi pada anak karena dia dalam kondisi dan situasi yang tertentu berinteraksi dengan individu lain (orang dewasa) yang tengah berada dalam kondisi tertentu pula. Kondisi dan situasi ini berbeda-beda dari waktu ke waktu. Berawal dari interaksi dan hubungan antar pribadi yang sangat spesifik inilah biasanya suatu tindak kekerasan terjadi. Misalnya saja, seorang anak dipukul ayahnya yang mabuk atau setengah mabuk dan baru saja bertengkar dengan isterinya. Kemarahan ayah terhadap isteri yang belum reda, semakin bertambah karena si anak yang disuruhnya bekerja ternyata pulang tidak membawa uang. Pada anak yang lain, tindak kekerasan terjadi pada anak, karena si anak berebut mainan dengan saudaranya, dan suasana ribut yang mereka timbulkan membangkitkan kemarahan orang tua mereka, dan tindak kekerasan pun menimpa mereka. Kasus yang lain lagi berawal dari keengganan si anak untuk melakukan hal yang diperintahkan oleh ibunya. Oleh karena telah capek bekerja seharian, dan si anak tidak bersedia di suruh membantu, padahal si anak dianggapnya tergantung padanya dan mendapat belas kasihannya, maka si ibu pun marah dan melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya.

Situasi dan kondisi khusus yang bervariasi semacam inilah, yang menyulitkan kita untuk menarik suatu kesimpulan umum tentang sebab-sebab terjadinya tindak kekerasan atau sosialisasi kekerasan dalam masyarakat. Namun demikian dari sisi yang lain, masih bisa ditarik suatu generalisasi yang memungkinkan kita mengetahui sumber terjadinya tindak kekerasan ini dengan lebih baik.

Dua Kategori Jawaban tentang sebab-sebab kekerasan yang dialami anak-anak ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni sebab yang berasal dari (1) korban dan sebab yang berasal dari (2) pelaku. Berdasarkan hasil penelitian Antropolog UGM tersebut dalam A Focussed Study on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia yang merupakan kejasama antara Unicef dan Pusat Pariwisata UGM Yogyakarta, untuk sebab dari korban, korban tindak kekerasan banyak mengatakan bahwa mereka terkena "tindak kekerasan", - yang sering kali bisa mereka terima -, karena mereka (1) melakukan pelanggaran aturan atau (2) tidak menurut. Dari dua sebab ini kita dapat sampai pada sebuah kesimpulan yang agak umum, yang menunjukkan posisi anak-anak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan menjadi dasar terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap mereka. Di sinilah kita harus melihat anak secara struktural (dalam pengertian Redcliffe-Brown, bukan LeviStrauss), karena tindak kekerasan adalah fungsi dari hubungan-hubungan yang ada antara anak dengan individu-individu lain dalam masyarakat, atau fungsi dari struktur tertentu yang lelibatkan anak di dalamnya. Upaya memahami dan menjelaskan gejala kekerasan hanya dengan mengandalkan pandangan peneliti akan menghasilkan pemahaman yang sepihak dan tidak utuh. Oleh karena itu, untuk menentukan tindakan seperti apa yang dapat dikatakan "keras" atau menyakiti perasaan, pendapat subyek yang diteliti juga diperhatikan. Oleh karena itu pula, berbagai bentuk tindak kekerasan yang muncul disini sangat banyak variasinya. Dengan menggunakan perspektif atau pendekatan emic dan etic ini sekaligus dalam meninjau berbagai tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi dapat diketahui dengan lebih mendalam dan rinci.*** Penulis adalah: Peneliti Sosial Keagamaan, Alumnus Program Studi Magister Studi Islam Konsentrasi Islamic Research Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Sekarang sebagai Dosen di Politeknik Negeri Medan.

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=61403:kekerasanterhadap-anak-sudut-pandang-kita-melihatnya&catid=707:12-juli-2010&Itemid=218

You might also like