You are on page 1of 38

BAB I PENDAHULUAN Penyakit kronik degeneratif masih terus mengalami peningkatan.

1 Hal ini diduga akibat perubahan gaya hidup modernisasi yang mencerminkan sedentary lifestyle. Berbagai laporan epidemiolegi telah menunjukkan insiden diabetes melitus yang semakin meningkat, baik pada negara maju maupun berkembang. Pasien diabetes yang identik dengan gaya hidup tersebut sangat berisiko mengalami aterosklerosis yang terjadi lebih awal dan cepat, menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah serta penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian tertinggi pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan nondiabetes.2 Kejadian kasus diabetes dilaporkan sekitar 70 % terjadi pada negara-negara berkembang. Secara kuantitas 285 juta orang menderita diabetes pada tahun 2010 di

seluruh dunia. Dan pada tahun 2030 akan meningkat menjadi 438 juta orang. Penderita diabetes tipe 2 biasanya menderita diabetes pada kisaran umur 40-59 tahun. Walaupun diabetes lebih banyak dialami pria dibandingkan wanita dalam populasi, diabetes ternyata meningkatkan insiden infark myokard, klaudikasio dan stroke lebih banyak pada wanita dibandingkan pria.2 Peningkatan risiko ini diakibatkan faktor risiko mayor lainnya seperti hipertensi dan dislipidemia. Diabetes merupakan penyakit metabolik yang biasanya herediter, dan merupakan salah satu ancaman utama bagi umat manusia pada abad 21. Berdasarkan suatu hasil studi epidemiologi terbaru, tanpa memandang gender, ras, usia, Indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Di Indonesia diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum terdiagnosis. Jika sudah terdiagnosis pun, dua pertiganya saja yang menjalani pengobatan (non farmakologik maupun farmakologik) dan hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik.3 Diabetes merupakan penyakit yang akan diderita seumur hidup, jadi bukan hanya tim medis saja yang memiliki peran penting dalam pengelolaan penyakit ini, namun pasien dan orang disekelilingnya memiliki peranan yang jauh lebih penting. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang biasanya herediter, dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat gangguan sekresi, kerja insulin atau keduanya. Gejala hiperglikemia yang nyata berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan yang menurun.4

2.2 Klasifikasi Klasifikasi diabetes melitus menurut ADA 2010 yaitu5 : 1. Diabetes Melitus Tipe 1 2. Diabetes Melitus Tipe 2 3. Diabetes Melitus Tipe Lain meliputi defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, diabetes yang diinduksi obat atau zat kimia. 4. Diabetes Gestasional

2.3 Faktor Risiko Adapun faktor-faktor risiko terjadinya DM tipe adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor genetik Penandaan gen Riwayat keluarga Gen khusus 2. Karakteristik Demografi Jenis kelamin Umur Suku bangsa 3. Faktor Risiko Yang Dapat Dimodifikasi Kegemukan Kurang aktivitas fisik

Diet Alkohol dan merokok Diet Werternisasi, urbanisasi, modernisasi Lingkungan intrauterine

2.4 Patofisiologi 1. DM Tipe 2 Pada DM tipe 2 letak kelainan di beberapa tempat : Sekresi insulin oleh pankreas cukup, tetapi terjadi resistensi insulin di perifer. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang. Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak efektif. Terdapat kelainan di pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intra seluler terganggu. Adanya kelainan campuran diantara nomor 1,2,3 dan 4. 2.5 Gejala klinis Gejala klinis DM yang klasik : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.3

2.6 Diagnosis Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus-menerus dibuat baik oleh WHO, American Diabetes Association (ADA), maupun PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi

setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.3
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM 3

Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL) Kadar glukosa darah (mg/dL) puasa Darah kapiler <90 Darah kapiler <90 Plasma vena <100

Belum pasti DM 100-199 90-199

DM 200 200 126 100

Plasma vena

<100

100-125 90-99

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: (1) usia > 45 tahun, (2) berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2, (3) hipertensi (140/90 mmHg), (4) riwayat DM dalam garis keturunan, (5) riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4.000 gram, dan (6) kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida 250 mg/dl.1 Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT), dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM (prediabetes). Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan
4

kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia.1,3 Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dL.1,3

Tabel 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus 3 1. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

2.7 Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan DM 3: 1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk secara mapan. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Diantaranya pemahaman tentang perjalanan penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM dan resikonya, intervensi farmakologis dan nonfarmakologis, serta pentingnya latihan jasmani yang teratur.

2. Terapi Gizi Medis Terapi gizi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Pada konsensus PERKENI, telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi yang seimbang berupa karbohidrat (45-65%), lemak (20-25%), protein (15-20%), diet cukup serat, serta pembatasan garam. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25 kalori/kg BB untuk perempuan dan 30 kalori/kg BB untuk laki-laki. Hasilnya kemudian ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, stres metabolik dll. Perhitungan BB ideal dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb : BB ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg

Bagi pria dengan TB di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi : BB ideal = (TB dalam 100 cm-100) Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT : BB kurang < 18,5 BB Normal 18,5 22,9 BB Lebih 23,00 Dengan Risiko 23,00-24,9 Obesitas I Obesitas II 25,00-29,9 30,00

Penentuan status gizi berdasarkan Berat Badan Ideal (BBI) : (BB aktual BB kurang BB normal BB lebih BB gemuk : BB Idaman X 100 %) : BB < 90 % : BB 90 110 % : BB >110 120 % : BB > 120 %

Penentuan kebutuhan kalori per hari, berdasarkan : 1. Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria Laki-laki Wanita 2. Umur 40-59 tahun 60-69 tahun 70 tahun 3. Aktifitas Ringan Sedang Berat 4. Berat Badan Gemuk Lebih : -20% : -10%
7

: BBI x 30 kal : BBI x 25 kal

: -5% : -10% : -20%

: +10% : +20% : +30%

Kurus 5. Stres Metabolik

: +20% : + 10-30%

Infeksi, Operasi, Stroke 6. Kehamilan trimester I dan II Kehamilan trimester III : + 300 kal : + 500 kal

2. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe II. Latihan jasmani selain menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. 3. Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan bila sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan : a. Pemicu sekresi insulin : sulfonilurea dan glinid b. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion c. Penghambat glukoneogenesis : metformin d. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa Cara pemberian Obat Hipoglikemik Oral (OHO) : OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dan dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal. Sulfonilurea generasi I dan II Glimepiride Repaglinid/Nateglinid Metformin Penghambat glukosidase alfa Tiazolidindion : 15-30 menit sebelum makan : sebelum/sesaat sebelum makan : sesaat/sebelum makan : sebelum/pada saat/sesudah makan : bersama suapan pertama makan : tidak bergantung pada jadwal makan

Tabel 3. Efek samping obat hipoglikemik oral 3 :

Insulin Insulin diperlukan pada keadaan 3: a. Penurunan berat badan yang cepat b. Hiperglikemia berat yang disertai dengan ketosis c. Ketoasidosis diabetik d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan TGM i. Gangguan ginjal atau hati yang berat j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin3 : a. Insulin kerja cepat b. Insulin kerja pendek c. Insulin kerja menengah d. Insulin kerja panjang e. Insulin campur tetap Tabel 4. Farmakokinetik insulin eksogen

Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dosis awal insulin basal adalah 10 unit yang diberikan pada pukul 10 malam,

10

kemudian dilakukan evaluasi dosis dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Gambar 1. Algoritma pengelolaan DM Tipe 2.6

2.8 Kendali DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang merupakan target terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.1,3,7 Kendali glikemik merupakan dasar pengelolaan diabetes. Perbaikan kendali glikemik dihubungkan dengan penurunan angka retinopati, nefropati dan neuropati. Pada pasien dengan penurunan HbA1c hingga 7% menunjukkan komplikasi mikroangiopati yang lebih sedikit dan penurunan angka kejadian kardiovaskular.7 Telah tersedia berbagai cara untuk menilai kendali glikemik dalam pengelolaan diabetes, sehingga memungkinkan dalam mendapatkan derajat kendali yang maksimum bagi masing-masing individu. 1. Pemeriksaan kadar gula darah 3,5,7 Pemeriksaan glukosa darah dapat dilakukan di laboratorium atau dilakukan sendiri (self-monitoring blood glucose). SMBG memungkinkan pasien untuk

11

menilai respon terhadap terapi dan menentukan apakah target glikemik sudah tercapai, sehingga SMBG merupakan komponen terapi yang efektif. SMBG penting dilakukan pada pasien yang mendapat terapi insulin untuk memantau dan mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia. Bagi mereka yang menggunakan insulin mungkin diperlukan pemeriksaan setiap hari bisa sampai tiga kali atau lebih dalam sehari. 2. Pemeriksaan HbA1c 3,5,7 Pemeriksaan hemoglobin glikasi (HbA1c) dapat digunakan untuk menilai ratarata kadar gula darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan saat penderita memeriksakan dirinya pertama kali dan berikutnya untuk menilai hasil terapi jangka panjang. Pemeriksaan HbA1c sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan, atau paling sedikit 2 kali dalam setahun sesuai anjuran PERKENI 2002. Untuk menilai kendali glikemik paling baik menggunakan kombinasi antara kadar gula darah dan HbA1c. Hiperglikemia sebagai manifestasi kardinal pada diabetes mempengaruhi fungsi pembuluh darah, lipid dan koagulasi. Peningkatan kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah berkorelasi kuat dengan peningkatan kadar glukosa darah. Peningkatan risiko ini terjadi apabila kadar HbA1c di atas 6,2 %.8 Intervensi yang mampu menurunkan kadar HbA1c walau hanya 1% saja dapat menurunkan 14 % risiko infark myokard dan memberikan perbedaan yang bermakna pada pasien dengan diabetes.8 Tabel 5. Korelasi antara HbA1c dengan kadar glukosa darah rata-rata 5 A1c (%) 6 7 8 9 10 11 12 126 154 183 212 240 269 298 Rata-rata gula darah mg/dL 7.0 8.6 10.2 11.8 13.4 14.9 16,5 mmol/L

12

3. Pemeriksaan glukosa urin 7 Pemeriksaan glukosa urin merupakan cara penilaian tidak langsung dan kurang tepat, hanya digunakan pada penderita yang karena suatu sebab tidak bisa dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. Nilai ambang ginjal untuk ekskresi glukosa adalah kadar gula darah sekitar 180 mg/dl, namun hal ini sangat bervariasi antara satu penderita dengan yang lainnya sesuai keadaan atau penyakit yang menyertainya, seperti penyakit ginjal. 4. Kendali tekanan darah Hipertensi merupakan komorbid yang sering ditemukan pada pasien dengan diabetes. Prevalensi hipertensi pada pasien diabetes ditemukan 1,5 3 kali lebih tinggi daripada mereka yang tanpa diabetes.9 Keduanya merupakan penyakit yang sangat signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan pada penyakit jantung dan pembuluh darah. Kontrol yang baik terhadap tekanan darah adalah salah satu intervensi yang paling penting karena ternyata dapat menurunkan kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah lebih efektif daripada kontrol yang ketat terhadap glukosa darah.2 Penurunan tekanan sistolik sebanyak 10 mmHg dapat menurunkan risiko infark myokard sebanyak 11%.2 Nilai cut-off diagnostik hipertensi pada pasien dengan diabetes adalah lebih rendah ( 130/80 mmHg) dibanding nondiabetes ( 140/90 mmHg).5 Terapi perubahan gaya hidup pada hipertensi terdiri dari menurunkan berat badan jika overweight, diet rendah sodium dan tinggi kalium, mengurangi konsumsi alkohol dan meningkatkan aktivitas fisik. Terapi farmakologis pada pasien diabetes dan hipertensi haruslah mencakup ACE-inhibitor atau angiotensin II receptor blocker (ARB).5 Jika diperlukan dapat ditambahkan thiazide diuretic pada mereka dengan GFR 30 ml/mnt/1.73 m2 dan loop diuretic pada mereka dengan estimasi GFR < 30 ml/mnt/1.73 m2.5 Jika menggunakan ACE inhibitor, ARB dan diuretik, fungsi ginjal dan kadar potasium serum harus dimonitor ketat. Kebanyakan pasien akan mendapatkan 3 macam obat atau lebih untuk mencapai target. Bila pasien sudah mendapatkan tiga macam obat antihipertensi dari golongan yang berbeda dengan dosis maksimum maka salah satu agen haruslah diuretik.5 5. Pengelolaan lipid

13

Penderita dengan DM tipe II sering ditemukan adanya peningkatan kadar lipid plasma yang meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Rekomendasi penanganan dislipidemia diabetik menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 adalah sebagai berikut: 1. Pada orang dewasa, pemeriksaan lipid plasma paling sedikit dilakukan setiap tahun dan lebih sering jika diperlukan untuk mencapai sasaran. Bagi mereka dengan kadar lipid risiko rendah (LDL <100 mg/dl, HDL > 50 mg/dl, dan trigliserida < 150 mg/dl) ulangi pemeriksaan lipid setiap 2 tahun. 2. Terapi dan sasaran. Modifikasi gaya hidup dipusatkan pada pengurangan asupan lemak jenuh, lemak trans dan asupan kolesterol, peningkatan serat dan sterol, penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik untuk memperbaiki profil lipid. Mereka yang tanpa penyakit kardiovaskular sasaran utama adalah LDL < 100 mg/dl. Mereka yang dengan penyakit kardiovaskular diberikan statin untuk menurunkan LDL mencapai sasaran LDL < 70 mg/dl, karena terapi statin dapat menurunkan LDL sebanyak 30 40 % dari kadar awal. Abnormalitas pada profil lipid yang ditemui pada pasien dengan diabetes meliputi peningkatan trigliserida, penurunan HDL yang bersifat ateroprotektif dan peningkatan small-dense LDL yang aterogenik. Kontrol glukosa darah yang buruk berpengaruh terhadap memburuknya dislipidemia. Oleh karena itu, kontrol glukosa darah yang baik dapat menurunkan aliran asam lemak bebas dalam sirkulasi dan produksi VLDL oleh hepar. Penurunan berat badan, olahraga, berhenti merokok dan modifikasi pola makan adalah terapi pertama yang harus diberikan. Obat-obatan seperti HMG-CoA reductase inhibitor (statin) dapat meningkatkan pengambilan LDL dari sirkulasi, menurunkan produksi VLDL oleh hepar dan meningkatkan HDL. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penambahan TZD pada pasien yang menerima statin menunjukkan perbaikan dalam profil lipid, menurunkan aterosklerosis dan menurunkan risiko terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah walaupun keduanya memiliki efek metabolik yang berbeda. Derivat fibrat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar trigliserida.1 Asam nikotinik meningkatkan kadar HDL lebih baik daripada modalitas lainnnya tanpa mengganggu kontrol glukosa. Niasin
14

digunakan dalam lini kedua dan peringatan terhadap efek sampingnya seperti flushing, hiperurisemia, hiperglikemia dan gangguan fungsi hepar. Terapi statin sebaiknya diberikan pada pasien diabetes dengan penyakit kardiovaskular dan mereka yang tanpa penyakit kardiovaskular tetapi lebih dari 40 tahun dan memiliki risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Terapi kombinasi statin dan fibrat atau statin dan niasin mungkin efektif terhadap ketiga fraksi lipid tetapi kombinasi tersebut dapat meningkatkan transaminase, myositis maupun rabdomyolisis.5 6. Antiplatelet Aspirin dosis rendah direkomendasikan pada pasien diabetes walaupun tanpa riwayat penyakit janting dan pembuluh darah, oleh karena fungsi platelet yang abnormal pada pasien diabetes dan banyak pasien dengan ateroskleosis tidak nampak secara klinis. Terapi aspirin (75-162 mg/hari) sebagai strategi pencegahan primer pada diabetisi dengan peningkatan risiko kardiovaskular, dimana termasuk laki-laki > 50 tahun atau wanita > 60 tahun yang memiliki sedikitnya satu faktor risiko mayor (riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga, hipertensi, merokok, dislipidemia atau albuminuria).5 Antiplatelet dapat menurunkan risiko stroke, infark myokard dan kematian vaskuler.2,5 Glycoprotein IIb/IIIa inhibitor dapat menurunkan mortalitas 25% dalam tiga puluh hari pada pasien diabetes yang mengalami sindrom koroner akut dibandingkan nondiabetes.10 Kombinasi aspirin dengan clopidogrel menunjukkan penurunan angka kematian, infark myokard atau stroke pada pasien dengan unstable angina/NSTEMI yang menderita diabetes.10 7. Pemantuan Benda Keton Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan

15

melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD. Tabel 6. Kriteria Pengendalian DM 3

Untuk penderita DM yang berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa <150 mg/dL, dan sesudah makan <200 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus penderita DM usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.7

2.9 Pencegahan Mengingat jumlah pasien yang banyak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik dilakukan adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan ada 3 jenis yaitu: a. Pencegahan Primer : semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemi pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

16

b. Pencegahan Sekunder : menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi berisiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel. c. Pencegahan Tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi: Mencegah timbulnya komplikasi Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak terjadi kegagalan organ Mencegah kecacatan tubuh

2.10 Penyulit Diabetes Melitus Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun a. Penyulit akut 1. Ketoasidosis diabetik 1 Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. Akibat diuresis osmotik biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai syok. KAD memiliki beberapa faktor pencetus seperti infeksi, infark myokard akut, pankreatitis akut, pemakaian obat steroid, dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Pada KAD selain defisiensi insulin absolut atau relatif juga terdapat peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, kortisol, katekolamin, dan hormon pertumbuhan) yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati sehingga pasien jatuh dalam keadaan hiperglikemia. Walaupun kadar glukosa dalam darah tinggi, namun glukosa tersebut tidak dapat digunakan oleh sel untuk proses oksidasi sehingga terjadi peningkatan lipolisis. Produk akhir dari lipolisis adalah benda keton seperti asam asetoasetat, aseton, hydroxybutirate. Benda keton inilah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya ketosis. Gejala klinis pasien KAD seperti pernafasan yang cepat dan dalam (Kussmaul), dehidrasi dan kadang-kadang disertai syok. Pasien KAD biasanya

17

juga datang ke rumah sakit dengan keluhan muntah, nyeri perut akibat gastroparesis atau dilatasi lambung. Diagnosis KAD ditegakkan berdasarkan temuan adanya kadar glukosa darah > 250 gr/dL, pH darah < 7.35, ion bikarbonat (HCO3-) rendah, anion gap yang tinggi, dan didapatkan keton serum maupun keton dalam urine positif.1 Prinsip pengobatan KAD adalah : a. penggantian cairan dan garam yang hilang b. menekan lipolisis sel lemak dengan pemberian insulin c. mengatasi pencetus KAD d. pemberian kalium bila terjadi hipokalemia e. glukosa bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% f. bikarbonat diberikan bila pH darah < 7.1 atau hiperkalemia > 6.5 mmol/L g. di samping itu dapat diberikan antibiotik bila pencetus KAD adalah infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah edema paru, infark myokard akut, hipertrigliseridemia dan komlikasi iatrogenik (hipoglikemia, hiperkloremia, hipokalemia, hipokalsemia dan edema serebri). 2. Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotik Koma Hiperglikemia ini dicirikan dengan hiperglikemi, hiperosmolar, dan dehidrasi tanpa disertai keadaan ketotik. Sering terjadi pada umur tua atau paruh baya yang menderita DM tipe 2 yang ringan atau tak terdiagnosis. Koma dapat terjadi jika osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg. Insufisiensi ginjal atau gangguan vaskular dapat menjadi penyebab terjadinya hiperglikemia hiperosmolar non ketotik ini. Di samping itu beberapa obat seperti diuretik dan fenitoin juga dapat menjadi penyebab.1 Defisiensi insulin menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh otot, lemak, dan hati. Di saat yang bersamaan terjadi peningkatan glukoneogenesis di hati serta glikolisis di otot dan lemak yang menyebabkan hiperglikemia yang berat. Keadaan hiperglikemik tersebut memicu glukosuri dan diuresis osmotik. Ketosis tidak terjadi karena masih terdapatnya insulin dalam jumlah yang cukup untuk mencegah lipolisis namun tidak adekuat untuk menghambat hiperglikemi. Pada pasien tersebut dehidrasi akan terjadi bila cairan masuk tidak bisa mengimbangi banyaknya cairan yang keluar. Pada dehidrasi yang berat, aliran perfusi darah ke

18

ginjal akan berkurang yang kemudian menyebabkan bertambah beratnya kerusakan ginjal yang sebelumnya terjadi. Akibatnya ekskresi glukosa melalui urin menurun, sehingga kadar glukosa dalam darah akan meningkat. Hal ini menyebabkan osmolaritas kapiler juga meningkat. Bila nilai osmolaritas melebihi 330 mOsm/kg, air akan ditarik keluar dari jaringan otak sehingga dapat memicu terjadinya koma. Gejala poliuri, polidipsi, dan badan lemah dapat terjadi beberapa hari sebelum keadaan hiperglikemik, hiperosmolar non ketotik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda dehidrasi (tekanan darah turun, nadi meningkat, turgor kulit berkurang, mukosa kering,dll). Dan juga tampak tanda-tanda kelainan neurologis seperti gelisah, kejang, sampai koma.1 3. Hipoglikemia 1 Berbagai faktor yang merupakan predisposisi hipoglikemia adalah : a. Kadar insulin yang berlebih Dosis berlebihan baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan Peningkatan bioavailabilitas insulin

b. Peningkatan sensitivitas insulin Penurunan berat badan Post partum Gangguan menstruasi

c. Asupan karbohidrat yang tidak adekuat Porsi makan kurang atau telat makan Muntah dan diare

d. Pemakaian obat yang meningkatkan kerja obat hipoglikemik oral atau insulin (salisilat, sulfonamide meningkatkan kerja sulfonilurea). Gejala pasien dengan hipoglikemia terdiri dari gejala autonomik seperti berkeringat, jantung berdebar, tremor, lapar ; gejala neuroglikopenik seperti bingung, mengantuk, sulit berbicara, inkoordinasi, perilaku yang berbeda, gangguan visual, parestesi ; serta malaise. Terapi hipoglikemia pada diabetes berupa glukosa oral ataupun glukosa intravena. Pada pemberian glukosa intravena, pemberiannya harus lebih hati-hati karena bersifat toksik terhadap jaringan bila glukosa yang diberikan berkonsentrasi tinggi( 50 % atau lebih). Di samping pemberian glukosa dapat juga diberikan glukagon intramuskular.

19

b. Penyulit menahun 1. Makroangiopati : Pembuluh darah jantung Penyakit jantung koroner menyebabkan sebagian besar morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan diabetes, dimana risikonya meningkat dua hingga empat kali.2 Pada suatu studi berbasis populasi ditemukan bahwa pasien diabetes tanpa riwayat infark myokard akut memiliki risiko yang sama terhadap penyakit jantung koroner dibandingkan dengan pasien nondiabetes dengan riwayat infark myokard. Hasil ini membuat Adult Treatment panel III of the National Cholesterol Education Programme menyimpulkan bahwa diabetes sebagai risiko ekuivalen penyakit jantung koroner yang harus mendapatkan terapi antiaterosklerosis yang agresif.2,11 Target kolesterol LDL yang harus diacapai yaitu < 100 mg/dL, dimana terapi medikamentosa harus diberikan apabila kadar kolesterol 130 mg/dL.11 Pasien dengan diabetes juga memiliki prognosis jangka panjang yang buruk termasuk reinfark, penyakit jantung kongestif dan kematian. Kurang lebih pasien diabetes meninggal dalam lima tahun setelah infark myokard, dua kali lebih besar dibanding nondiabetes.2,10 Pembuluh darah tepi Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Pasien dengan diabetes berisiko tiga hingga empat kali terhadap penyakit arteri perifer. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala. Diabetes meningkatkan risiko amputasi lebih dari dua puluh kali lipat, bahkan diabetes merupakan penyebab nomor satu amputasi ekstremitas bawah selain trauma di Amerika Serikat.2 Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul. Pembuluh darah otak Prevalensi aterosklerosis pada pembuluh darah otak lima kali lebih banyak terdapat pada pasien dengan diabetes, dimana risiko stroke meningkat 150 hingga 400% dan kontrol hiperglikemia yang buruk berhubungan langsung terhadap risiko stroke.2 Diabetes meningkatkan risiko demensia tiga kali

20

lipat pascastroke, meningkatkan rekurensi stroke dua kali lipat dan meningkatkan mortalitas total.2,10

2. Mikroangiopati: Retinopati diabetik Retinopati diabetik adalah komplikasi vaskular yang berkorelasi kuat dengan durasi diabetes, hiperglikemia kronis, adanya nefropati dan hipertensi. Untuk mengurangi progresivitas dari retinopati maka kontrol terhadap gula darah dan tekanan darah harus dioptimalkan. Pasien dengan diabetes tipe II haruslah mendapatkan pemeriksaan mata segera setelah diagnosis diabetes ditegakkan. Adanya retinopati bukanlah kontraindikasi untuk memberikan aspirin sebagai terapi kardioprotektif,
5

karena

pemberiannya tidak meningkatkan risiko perdarahan retina. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati.3 Pembedahan fotokoagulasi dengan laser memiliki keuntungan dengan menurunkan risiko kehilangan penglihatan, tetapi tidak memberikan keuntungan dalam hal mengembalikan tajam penglihatan.5 Nefropati diabetik Nefropati diabetik dapat terjadi pada 20-40 % pasien dengan diabetes.5 Mikroalbuminuria persisten (30 299 mg/24 jam) dapat mengindikasikan stadium awal suatu nefropati pada pasien diabetes. Untuk mengurangi risiko terhadap nefropati diabetik, kontrol terhadap glukosa darah dan tekanan darah haruslah optimal. Penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat mengurangi kehilangan fungsi ginjal melalui efeknya dalam menurunkan tekanan darah sistolik. Pada pasien diabetes tipe II, hipertensi dan

mikroalbuminuria, penggunaan ACE Inhibitor dan ARB dapat menghambat progresivitas menjadi makroalbuminuria.5 Sedangkan ARB terbukti dapat menghambat progresivitas pada diabetes tipe II dengan hipertensi, makroalbuminuria, dan insufisiensi renal (creatinin serum > 1,5 mg/dl).5 Kombinasi obat-obatan yang dapat memblok sistem Renin-angiotensinaldosteron (ACE inhibitor, ARB, antagonis mineralocorticoid) dapat lebih menurunkan level albuminuria. Restriksi protein juga sangat bermanfaat

21

pada pasien penyakit ginjal kronis, dimana restriksi 0,8-1,0 gr/kgBB/hari pada stadium awal dan 0,8/kgBB/hari pada stadium akhir dapat memperbaiki fungsi ginjal.5 Neuropati Neuropati diabetik dapat bervariasi dalam manifestasi klinisnya, dapat lokal atau difus. Yang paling sering adalah polineuropati simetris distal dan neuropati autonomik diabetik. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. 1. Polineuropati simetris distal 5 Skrining neuropati pada pasien dengan diabetes dapat menggunakan beberapa tes seperti tes sensasi pin-prick, persepsi vibrasi, pemeriksaan sensasi raba dengan monofilamen 10 gram pada bagian plantar distal ibu jari dan sendi metatarsal serta pemeriksaan reflek lutut.5 Kombinasi dari pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas > 87 % dalam mendeteksi polineuropati simetris distal.5 Langkah awal penanganan adalah dengan mengontrol kadar glukosa darah. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Amputasi dan ulkus kaki sebagai akibat dari neuropati diabetik dan/atau penyakit arteri perifer merupakan penyebab morbiditas dan ketidakmampuan pada pasien diabetes. Pemeriksaan kaki meliputi inspeksi, pulsasi arteri, dan pemeriksaan sensoris. Risiko amputasi dan ulkus kaki dapat meningkat pada pasien dengan riwayat amputasi sebelumnya, riwayat ulkus kaki sebelumnya, neuropati perifer, deformitas, penyakit vaskular perifer, gangguan penglihatan, nefropati diabetik, kontrol gula darah yang buruk dan merokok. Skrining penyakit arteri perifer meliputi riwayat klaudikasio dan pemeriksaan pulsasi arteri pedis. Pemeriksaan ABI dapat dilakukan pada pasien dengan gejala penyakit arteri perifer. Sedangkan menurut konsensus ADA, ABI dapat dilakukan pada pasien > 50 tahun dan pasien < 50 tahun dengan faktor risiko seperti merokok, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes selama > 10 tahun.5 Pasien dengan neuropati atau dengan peningkatan tekanan

22

plantar dirawat dengan baik dengan menggunakan alas kaki yang pas dan nyaman serta dapat mendistribusikan tekanan. Obat-obatan yang dapat diberikan yaitu golongan obat trisiklik, antikonvulsan (gabapentin, pregabalin) duloxetine (5-HT & NE upatake inhibitor) dan capsaicin cream (substance P inhibitor). Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease, seperti: Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air Periksa kaki setiap hari, dan laporkan pada dokter apabila ada kulit yang terkelupas atau daerah kemerahan atau luka Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, dan mengoleskan krim pelembap ke kulit secara teratur 2. Neuropati autonomik diabetik Manifestasi mayor dari neuropati autonomik antara lain takikardia saat istirahat, exercise intolerance, hipotensi ortostatik, konstipasi,

gastroparesis, disfungsi ereksi, disfungsi sudomotor dan fungsi neurovaskular.5 Neuropati autonomik kardiovaskular, suatu faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular adalah bentuk klinis yang paling penting dari neuropati autonomik diabetik. Neuropati ini diindikasikan dengan adanya resting tachycardia (> 100 x/mnt), hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg saat berdiri).5 Neuropati gastrointestinal (misalnya enteropati esofageal, gastroparesis, konstipasi, diare, dan inkontinensia alvi) dapat mempengaruhi bagian manapun. Neuropati autonomik diabetik juga sering dikaitkan dengan traktus genitourinarius. Pada laki-laki, dapat menyebabkan disfungsi ereksi dan/atau ejakulasi retrograde. Evaluasi fungsi kandung kemih harus dilaksanakan pada pasien dengan ISK berulang, pyelonefritis, inkontinensia dan kandung kemih yang teraba.

23

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas pasien Nama Umur Jenis kelamin Suku Bangsa Agama Pendidikan Status perkawinan Pekerjaan Alamat : PURWA : 51 tahun : Laki-laki : Jawa : Indonesia : Islam : Tamat SD : Sudah menikah : Pegawai Swasta : Perum Angkasa Pura Bypas Jimbaran, Badung

3.2

Anamnesis (7 September 2011) Keluhan Utama Badan terasa lemas

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli interna RSUP Sanglah dengan membawa konsulan dari bagian TS Mata dengan diagnosis ODS Katarak Subcapsular Posterior + OS Vitreus Opacity. Pasien akan direncanakan operasi dengan anestesi lokal dikonsulkan untuk menilai kelayakan operasi sebab kadar glukosa darah sewaktu 375 mmol/dL. Pasien mengeluhkan lemas pada badan yang dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Lemas dirasakan pada seluruh tubuh. Keluhan lemas dirasakan hampir sepanjang hari, terutama saat beraktivitas berat. Keluhan dikatakan membaik saat pasien beristirahat namun sejak keluhan muncul pasien merasa tubuhnya tidak terasa bugar seperti dulu. Awalnya keluhan ini dikatakan berlangsung perlahan-lahan hilang timbul sepanjang hari, tetapi sejak seminggu terakhir keluhan dirasakan memberat dan membuat pasien tidak bisa beraktivitas berat dan bekerja.

24

Pasien juga mengatakan adanya penurunan berat badan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Awalnya dikatakan beratnya adalah 81 kg dan terakhir diperiksa tadi beratnya adalah 55 kg. Berat badannya dirasakan menurun perlahan-lahan hingga sekarang. Pasien mengatakan tidak ada riwayat mengalami sakit keras hingga diopname. Nafsu makan pasien dikatakan baik, namun pasien mengeluhkan sering merasa lapar. Pasien mengatakan sering merasa haus sehingga kebiasaan minum dikatakan lebih banyak dari biasanya sejak 5 bulan yang lalu. Buang air kecil dikatakan lebih sering, frekuensi 4-6 kali perhari, volume tiap kencing sampai 1 gelas, warna kuning jernih. Dan pada malam hari pasien biasanya kencing 2-3 kali dalam semalam. Pasien mengatakan buang air besar seperti biasa, konsistensi lembek, warna kuning kecoklatan, dengan frekuensi satu kali sehari. Pasien juga mengeluhkan kesemutan sejak kurang lebih 3 minggu yang lalu pada kedua kakinya. Keluhan kesemutan dirasa menetap, tidak hilang dengan beristirahat. Walaupun kesemutan, pasien masih bisa merasakan bila disentuh sesuatu, hanya terasa tebal. Awalnya kesemutan hanya dirasakan di ujung-ujung jari, dan bertambah hingga telapak dan punggung kaki. Keluhan penyerta lain seperti, mual, muntah, pusing, sesak nafas disangkal oleh pasien. Pasien juga mengatakan mengalami gangguan penglihatan pada kedua mata. Penglihatan pasien mulai kabur sejak 2 bulan yang lalu terutama jika melihat bendabenda silau atau di siang hari. Dikatakan penglihatan kabur perlahan-lahan semakin memberat, sejak 1 minggu pasien merasa hanya bisa melihat lambaian jari-jari tangan dari kejauhan. Riwayat memakai kacamata disangkal oleh pasien. Sejak keluhan ini memberat membuat pasien tidak berkerja lagi.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan Pasien menderita diabetes melitus sejak 1 tahun yang lalu, dimana pada saat itu pasien mengaku banyak minum, banyak makan dan sering kencing serta badan selalu terasa lemah. Akibat keluhan tersebut pasien memeriksakan diri ke RSU di Lombok dan mendapatkan terapi diabetes berupa pil yang diminum 3 kali sehari. Pasien mengatakan lupa nama pilnya karena pasien tidak rutin minum obat bahkan sejak 3

25

bulan terakhir pasien sudah berhenti minum obat. Riwayat penggunaan insulin disangkal pasien. Pasien juga mengatakan tidak mempunyai riwayat dioperasi. Riwayat mengkonsumsi jamu dan obat herbal lain juga disangkal. Pasien mengatakan mempunyai riwayat alergi terhadap semen, bila terlalu lama terpapar semen maka pasien sering merasa gatal-gatal dan kemerahan pada tangan hingga ke lengan, dan bahkan pernah pada hampir seluruh tubuh, namun tidak pernah sampai opname. Setiap keluhan muncul pasien meminum obat Dermaxan (dexametazone dan ctm) yang dia beli di toko obat. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit lain seperti asma, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung .

Riwayat Keluarga Di keluarga pasien, dikatakan tidak terdapat yang menderita diabetes melitus di antaranya ayah, ibu, dan 2 orang kakak pasien. Riwayat hipertensi pada keluarga tidak diketahui oleh pasien.

Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebagai buruh proyek. Namun 1 bulan terakhir pasien sudah mulai mengurangi aktivitasnya karena lemas dan beberapa kali tidak masuk kerja. Sejak 1 minggu karena gangguan penglihatan memberat pasien tidak bekerja lagi. Kegiatan sehari-hari pasien hanyalah beraktivitas di dalam rumah dan terkadang membantu istri berjualan di warung. Riwayat merokok dikatakan sejak umur 15 tahun. Dalam sehari rata-rat bisa menghabiskan 1 bungkus rokok, dan sejak 6 bulan yang lalu pasien mulai mengurangi kebiasaannya tersebut sekitar 1-2 batang tiap harinya. Riwayat minum minuman beralkohol disangkal oleh pasien. Pasien jarang berolahraga karena menganggap beraktivitas tempatnya sudah cukup sebagai latihan fisik. Pasien mengatakan sejak menderita diabetes pasien mulai mengatur pola makannya sesuai anjuran dokter dan pasien lebih sering mengkonsumsi jagung sebagai makanan pengganti.

26

3.3

Pemeriksaan Fisik (7 September 2011) Status Present Kondisi Umum : sedang Kesadaran Gizi GCS Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu aksila Berat badan Tinggi badan IMT Lingkar perut : Compos mentis : Sedang : E4 V5 M6 : 130/80 mmHg : 86 x/mnt : 20 x/mnt : 36,5 C : 55 kg : 160 cm : 21,48 kg/m2 : 74 cm

Status General Mata THT Leher Thorax Cor : Inspeksi Palpasi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis : Teraba iktus kordis pada ICS V 1cm dari MCL kiri, irama teratur, thrill (-) Perkusi : Batas atas jantung ICS II Batas kanan jantung 1cm PSL kanan Batas kiri jantung 1cm lateral MCL kiri ICS V Auskultasi Pulmo : Inspeksi Palpasi : Simetri : Pergerakan simetri, taktil vokal fremitus simetri : S1S2 tunggal regular murmur (-) : Konjungtiva pucat-/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ isokor : Kesan tenang : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP PR + 0 cm H2O

27

Perkusi

: Batas bawah kanan ICS V, batas bawah kiri ICS VI, sonor/sonor

Auskultasi Abdomen : Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Ekstremitas

: Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

: distensi (-) : bising usus (+) normal : hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-). : ascites (-) : Akral hangat ++/++ edema: --/--

Pemeriksaan Mata (07/09/2011) OD 6/12 PH (-) N Tenang Jernih Palpebra Konjunctiva Kornea Visus OS 2/60 PH(-) N Tenang Jernih

Dalam Bilik mata depan Dalam Bulat, reguler Reflek Pupil (+) Keruh Jernih 12,2 Papil N. II bulat, batas tegas CDR 0,3 aa/vv 2:3 Retina : exudat (-), perdarahan (-) Makula : exudat (-), RM (+) Iris Pupil Lensa Vitreus TIO Funduskopi Bulat, reguler Reflek pupil (+) Keruh Opasitas 17,3 Papil N. II bulat, batas tegas CDR 0,3 aa/vv 2:3 Retina : eksudat (-),perdarahan Makula : RM (+), perdarahan (-)

Kesimpulan

: ODS Katarak Subcapsular Posterior OS Vitreus Opacity

28

3.4 Pemeriksaan Penunjang DARAH LENGKAP PEMERIKSAAN WBC Neu % Lym % Mo % Eos % Ba % Neu # Lym # Mo # Eos # Ba # RBC HGB HCT MCV MCH MCHC PLT RDW MPV Blooding Time Clotting Time 7/9 9,04 51,70 35,60 4,90 5,60 0,60 4,67 3,22 0,44 0,51 0,06 5,37 14,10 43,1 80,20 26,3 32,70 238 12,1 6,8 100 630 NILAI NORMAL 4,1 - 11,0 103/uL 47 - 80 % 13 - 40 % 2 - 11 % 0,0 - 5 % 0,0 2 % 2,5 7,5 103/uL 1 - 4 103/uL 0,1 1,2 103/uL 0,0 0,5 103/uL 0,0 0,1 103/uL 4,5 5,9 106/uL 13,5 - 17,5 g/dl 41,0 - 53,0 % 80,0 - 100 fL 26,0 - 34,0 pg 31,0 - 36,0 g/dl 150 - 440 103/uL 11,6-14,8 % 6,8-10,0 Fl 1-3 menit 5-15 menit

29

KIMIA DARAH PEMERIKSAAN SGOT/AST SGPT/ALT GDP GD 2 jam PP Creatinin BUN HbA 1C 7/9/2011 24,00 31,00 375 390 0,81 15 13,59 NILAI NORMAL 11 - 33 IU/L 11 - 50 IU/L 80 100 mg/dL 70 140 mg/dL 0,50 - 1,20 mg/dL 6,0 - 20,0 mg/dL <6,5%

3.5 Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 ODS Katarak Subcapsular Posterior OS Vitreus Opacity

3.6

Penatalaksanaan - Rawat jalan - Edukasi - Latihan Jasmani - Diet 1620 kkal /hari - Humalog mix 10-10-8 - Metformin 2 x 500 mg

3.7

Daftar Permasalahan Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi penyakitnya: 1. Pasien akan dilakukan operasi katarak dengan kadar glukosa darah puasa dan glukosa darah 2 jam post prandial tinggi serta HbA1c yang juga tinggi sehingga operasi ditunda untuk regulasi kadar glukosa darahnya.

30

2. Pasien sering tidak taat dalam mengkonsumsi obat minum yang diberikan karena terlalu sibuk bekerja dan sering lupa. Saat dilakukan kunjungan pasien sudah mengkonsumsi 1 obat tablet pada pukul 14.00 WITA dan belum menyuntikkan insulin setelah makan yang terakhir. Pasien terakhir makan pukul 18.00 WITA 3. Pasien mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak bisa menyuntikkan sendiri insulin karena tidak bisa mengatur dosisnya. Pasien biasanya menunggu anaknya datang selesai bekerja untuk menyuntikkan insulin. 4. Pasien lebih sering berdiam di rumah dan hanya melakukan aktivitas ringan oleh karena pasien cepat merasa lelah, mata kabur dan silau dengan cahaya matahari dan takut membawa kendaraan sendiri. Atas dasar keluhan ini pula, pasien akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja sejak 1 minggu yang lalu. 5. Pasien bergantung sepenuhnya dari penghasilan istri dan anaknya untuk dana pengobatan yang tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan

3.8 Analisis Kebutuhan Pasien 1. Kebutuhan Fisik-Biomedis Kecukupan Gizi Terapi gizi medik merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan DM. Selama ini pasien belum melakukan konsultasi ke ahli gizi. Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien biasa makan 2-3 kali sehari dengan uraian menu berupa nasi, tempe atau tahu, ikan atau daging, sayur-sayuran dan buah. Buah ataupun ikan atau daging hanya terakadang dikonsumsi oleh pasien. Riwayat alergi makanan tidak ada. Berdasarkan status gizi pasien dari kunjungan rawat jalan terakhir, dengan berat badan terakhir pasien sebesar 55 kg dan tinggi badan 160 cm, kebutuhan kalori pasien sekitar 1620 kkal. Pada pasien ini jumlah, jenis dan jadwal makan belum sepenuhnya diatur sesuai dengan diet untuk pasien DM. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi pasien.

31

Waktu Makan Jenis Makanan Pagi 07.00) (pk Nasi/ penukar (60gr) Daging/ penukar (50 gr) Tempe/penukar (60gr) Sayuran B (50gr) Minyak/ penukar (5gr) Susu (1 gelas) Snack pagi (pk 9.30) Siang( pk 12.00) Nasi/ penukar (800 gr) Ikan/ penukar (100 gr) Tempe/ tahu (120 gr) Buah/ penukar (200gr)

Contoh Menu Nasi putih (150 kal, 2 gr protein ) Telur dadar (75 kal, 6 gr gr protein) Tempe goreng (90 kal, 4 gr protein) Bayam (12 kal, 1 gr protein) Minyak kelapa (50 kal) Susu (75 kal, 5gr prot) Pisang 1 potong besar (60 kal)

Nasi putih (350 kal, 2 gr protein) Ikan mujair (110 kal, 13 gr protein) Tahu 2 potong sedang (220 kal, 10 gr protein)

Sayuran C (100gr) Minyak/ penukar (5gr) Snack sore (pk 15.00) Malam (pk 18.30) Roti tawar (2 iris) Pisang (2 buah sedang) Nasi/ penukar (50 gr) Tempe/ tahu (100gr) Sayuran B (120gr) Minyak/ penukar (5gr) Buah/ penukar (200gr) Total kalori 1727 kal Karbohidrat : 1036 kal Lemak Protein : 345 kal : 246

Kangkung (100 kal, 2 gr protein) Minyak kelapa (50 kal) Roti tawar putih (120 kal, 2 gr prot) Pepaya (100 kal) Nasi putih (180 kal, 3 gr protein) Tumis tempe (75 kal, 4gr protein) Buncis tumis (30 kal, 1 gr protein) Minyak zaitun (50 kal) Semangka ( 80 kal)

Akses pelayanan kesehatan DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tapi bisa dikontrol dan komplikasinya tidak dapat dihindari tapi perkembangannya dapat diperlambat. Untuk itu, dalam mengetahui perkembangan penyakitnya pasien harus rutin

32

memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan terdekat. Mengingat pasien bermukim di daerah Jimbaran, akses ke pelayanan kesehatan masih tergolong mudah bagi pasien, dimana jarak dari rumah pasien ke Puskesmas terdekat sekitar 1 km dan jarak ke RS Sanglah yang cukup jauh yaitu kira-kira 20 km yang dapat ditempuh selama 30 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Lingkungan Pasien tinggal bersama dengan istri. Pasien mempunyai tiga orang anaknya yang sudah menikah dan tinggal terpisah dengan pasien. Hanya anak tertua yang tempat tinggalnya berdekatan dengan rumah pasien yaitu kira-kira 2 km. Rumah pasien seluas kira-kira 0,5 are tergolong tidak permanen dimana dinding terbuat dari bahan tidak permanen yaitu rumbia. Atap terbuat dari seng dan lantai hanya disemen tanpa keramik dengan lantai rumah dari bahan semen dan beralaskan karpet pada kamar tamu. Rumah terdiri dari 1 lantai, satu kamar tidur, satu kamar tamu, 1 dapur sekaligus warung. Rumah pasien tidak terdapat batas dinding pembatas rumah, jadi merupakan perumahan yang langsung berdampingan dengan halaman rumah tetangga pasien. Di luar rumah terdapat halaman dan kandang ayam milik tetangga. Keadaan rumah yang didiami oleh pasien tergolong rapi namun tidak cukup bersih sebab halaman rumah pasien berupa tanah yang langsung berhubungan dengan halaman rumah tetangga, Ventilasi tidak terlalu bagus sebab hanya ada 1 jendela di kamar tamu. Pertukaran udara dan masuknya sinar matahar sudah cukup karena rumah pasien cukup kecil. Barang-barang tertata cukup rapid dan hanya beberapa pakaian yang bertumpuk-tumpuk di kamar tidur pasien. Pasien tidak memiliki kamar mandi dan jamban pribadi, jadi menggunakan kamar mandi umum di perumahan tersebut. Sumber air minum untuk keluarga pasien adalah dari air mineral sedangkan sumber air MCK bersumber dari air sumur bor. Tempat pembuangan sampah menggunakan tempat sampah, dimana sampah dibungkus dalam kantong plastik. Sampah biasanya dibakar ataupun dibuang ke tempat pembuangan sampah umum. Komunikasi dengan tetangga sekitar sangat baik, dimana pasien sesekali mengobrol dengan tetangga apabila bertemu. Hubungan

33

pasien dengan keluarga juga sangat baik, dimana anak pasien dan menantu serta cucu-cucunya rutin datang pulang untuk mengunjungi pasien. Biasanya pada hari raya besar seperti Idul Fitri pasien dan keluarganya pulang ke kampung untuk bersilahturahmi menengok keluarganya.

2. Kebutuhan Bio-Psikososial Lingkungan biologis Dari segi genetik pasien tidak ada anggota keluarga lain mengidap penyakit DM. Pasien adalah anak keempat dari enam orang bersaudara saat ini sudah menikah dengan mempunyai 3 orang anak dan 8 orang cucu. Kualitas kehidupan pasien sehari-hari dikatakan sedikit berkurang. Pasien masih bisa mengontrol BAB, mengontrol BAK, membersihkan diri (lap muka, sikat gigi), penggunaan toilet (melepas, memakai celana, menyeka, menyiram), makan sendiri, mampu berpindah tempat dari tidur ke duduk, berjalan sendiri tanpa kursi roda atau bantuan tongkat, bisa memakai dan mengancing baju, naikturun tangga, mampu mandi sendiri, mengoperasikan telepon sendiri, meminum obat secara tepat dosis dan waktunya tanpa bantuan. Namun sejak pasien mengalami gangguan penglihatan, pasien merasa silau melihatdi siang hari dan benda-benda yang terang, kemudian tidak berani mengendarai sepeda motor sendiri, bahkan pesien kesulitan dalam bekerja. Faktor psikososial Karena penyakit DM tidak bisa disembuhkan maka harus diupayakan agar pasien hidup bahagia dengan penyakitnya dengan cara tidak putus asa dalam berobat dan menjalani program lainnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan dukungan dari keluarga. Untungnya, keluarga pasien tampaknya termasuk keluarga yang harmonis sehingga pasien tidak memiliki masalah dalam hal emosi, pasien memperoleh cukup kasih sayang dan perhatian, dimana interaksi pasien dengan anggota keluarga yang lain sangat baik.

34

3.9

Saran dan KIE 1. Pasien hendaknya menjalani pengobatan rutin ke dokter untuk menurunkan gula darahnya sehingga target glukosa darah sebagai syarat kelayakan operasi dapat dicapai yaitu dengan minum obat rutin dan kontrol rumah sakit secara teratur. 2. Pasien sebisa mungkin mengikuti anjuran dokter dalam konsumsi obat oral dan suntikan sehingga kontrol maksimal terhadap penyakitnya dapat dicapai. Diberikan pula edukasi mengenai cara dan waktu penyuntikan insulin yang benar sehingga pasien mengkonsumsi obat sesuai dengan jadwal. Juga diberikan informasi mengenai penyakit yang dialami pasien dan komplikasi yang mungkin terjadi. Misalnya mengenai hipoglikemik dan cara mengatasi secara dini. 3. Pasien dianjurkan pengawasan yang ketat dari anggota keluarga lain terutama istri dan anak. Disini yang perlu diperhatikan adalah cara penggunakan insulin suntikan. Diajarkan kepada anggota keluarga lain terutama istri untuk menyuntikkan insulin setelah makan. Kemudian juga dianjurkan bila anggota keluarga lain tidak sempat atau berhalangan agar diatur dosis insulin sehingga pasien bisa menyuntikkan insulin sendiri, mengingat pasien mengalami gangguan penglihatan. 4. Mempertahankan pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik. Apabila keluhan penglihatan membatasi aktivitas pasien, maka pasien dapat mencoba menggunakan kacamata hitam apabila bepergian di siang hari dan tetap ditemani oleh sedikitnya satu orang dewasa. Aktivitas fisik di dalam rumah dapat dimodifikasi misalnya dengan olahraga senam dengan panduan (misalnya video aerobik, dll) 5. Pasien dianjurkan mengurus KTP sehingga bias memperoleh asuransi kesehatan JKBM atau asuransi miskin lainya, sehingga bisa membantu memperingan biaya pengobatan. Sebab DM merupakan penyakit yang akan dialami seumur hidup dan memerlukan kontrol dan pengobatan yang rutin dan teratur.

35

LAMPIRAN Denah Rumah

U
Keterangan : 1. Kamar tidur utama 2. Kamar tamu 3. Dapur dan warung

36

Foto Keluarga Pasien

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, AW. Setyohadi B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th edition. Jakarta: FKUI dan PAPDI.2010 2. Beckman J, Creager M, Libby P. Diabetes and Atherosclerosis: Epidemiology, Pathophysiology, and Management. JAMA. 2002;287(19):2570-2581 3. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. 4. Suastika K. Diagnosis, klasifikasi dan standar perawatan diabetes. Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah. Denpasar : Udayana University Press 2008; 66-72 5. American Diabetes Association. Standard of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care. 2010. (33): S11-S48 6. PERKENI. 2007. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta. 7. Suastika K. Kendali Diabetes. Disampaikan dalam 2nd National Diabetes Educator Training Camp Diabetes Update for Primary Health Care Physician Cimacan. 2004. 8. Selvin E, Coresh J, Golden S et al. . Glycemic Control, Atherosclerosis, and Risk Factors for Cardiovascular Disease in Individuals With Diabetes. Diabetes Care, vol 28 (8) 2005, p. 1965-1973 9. Suastika K. Terapi Hipertensi Pada Diabetes Tipe 2. 2004. Majalah Penyakit Dalam Udayana 5 : 61-66 10. Creager M, Luscher T, Cosentino F et al. Diabetes and Vascular Disease : Pathophysiology, Clinical Consequences, and Medical Therapy: Part II. Circulation 2003;108;1655-1661 11. McBride P, Underbakke G, et al. Dyslipidemia. In: taylor R (ed). Taylors cardiovascular disease. New York: Springer; 2005. P. 145-172

38

You might also like