You are on page 1of 30

BAB I PENDAHULUAN

Saat ini insiden penyakit keganasan terus menerus bertambah, baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Karsinoma nasofaring sebagai salah satu keganasan di daerah kepala dan leher selalu berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit. Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang ditemukan di Amerika dan Eropa. Karsinoma nasofaring ini merupakan yang terbanyak ditemukan di Indonesia dengan persentase 60 % jika dibandingkan dengan keganasan di daerah kepala dan leher lainnya.1,2,4,5 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (mukosa) nasofaring atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Faktor genetik diketahui sangat berperan untuk terjadinya karsinoma jenis ini dimana ras Mongoloid merupakan yang paling banyak terkena. Disamping itu faktor infeksi virus Epstein Barr diketahui mempunyai hubungan erat dengan patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lain yang diduga banyak berpengaruh adalah faktor lingkungan, terutama paparan bahan karsinogenik. Gejala awal yang sering ditemukan adalah hidung buntu, perdarahan dari hidung, pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Seringkali pasien datang dengan keluhan benjolan atau massa pada leher yang merupakan metastase sel-sel ganas ke kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah pada stadium lanjut dan ini menyebabkan kematian tinggi selama satu tahun setelah terapi radiasi. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita.1,2 Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan pengetahuan mengenai kanker nasofaring sehingga diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitel permukaan nasofaring terutama daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa yang dikenal dengan fossa Rossenmuler.1,2,3,4,5 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak yang ditemukan di Indonesia namun sulit untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan letaknya yang tersembunyi serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.1,5

2.2 Epidemiologi Angka kejadian karsinoma nasofaring tinggi di Asia dan terendah pada bangsa Kaukasian, Jepang, dan India. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker ini dimana penduduk Cina bagian selatan khususnya di propinsi Guang Dong mempunyai insiden tertinggi didunia, yaitu 30-50 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden karsinoma nasofaring juga banyak pada daerah yang banyak dijumpai imigran Cina, misalnya Hong Kong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia dan Indonesia.1,4 Di Indonesia karsinoma nasofaring cukup banyak ditemukan dan hampir merata di setiap daerah meskipun angka kejadian yang pasti belum diketahui. Beberapa penilitian telah dilakukan dan didapatkan angka kejadian di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta lebih dari 100 kasus per tahun, RS Hasan Sadikin Bandung mencatat rata-rata 60 kasus per tahun, Ujung Pandang mencapai 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun dan 11 kasus per tahun di Padang dan Bukit Tinggi.1 Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada penduduk Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga

penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan pengawet nitrosamine. Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 23 : 1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, diduga adanya kaitan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain. Penyakit ini ditemukan terutama pada usia yang masih produktif yakni 30-60 tahun, dengan usia terbanyak 40-50 tahun.1,4

2.3 Etiopatogenesis Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan komsumsi nitrosamine diketahui sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring.1,3,4,5 EBV adalah
suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus tersebut dapat masuk ke

dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.1,4,5 Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediatormediator lainnya antara lain3,4 :
Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Sering

kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti benzopyrenen, benzoanthracene, gas kimia, asap industry, asap kayu, beberapa ekstrak

tumbuhan. Faktor lingkungan akan didukung oleh pengamatan cara hidup orang cina bagian selatan. Cara memasak tradisional sering dilakukan dalam ruangan tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar. Pembakaran ini, terutama jika tak sempurna menyebarkan partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dapat tersangkut pada hidung dan nasofaring dan kemudian

tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit-penyakit hidung, maka penyakit ini akan menetap lebih lama di nasofaring dan dapat merangsang tumbuhnya tumor.
Ras dan keturunan. Insiden yang tinggi ditemukan di negara Cina bagian

selatan dan diantara penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke negaranegara lain (ras mongoloid).

Radang kronis telinga, hidung dan tenggorokan terutama daerah nasofaring; Profil HLA. Seringkali tumor ini dan tumor lainnya ditemukan pada beberapa

generasi dari suatu keluarga. Haplotipe yang sering dihubungkan dengan keganasan ini adalah human leucocyte antigens (HLA) termasuk HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58. Salah satu contoh pada anggota keluarga di Cina selatan dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 penderita karsinoma nasofaring dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari penderita karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.

Serum pasien penduduk Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentukbentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma.3

2.4 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring Secara anatomi merupakan bagian dari faring dan terletak di belakang rongga hidung diatas tepi bebas palatum molle dengan bentuk menyerupai sebuah kubus dengan diameter antero-posterior kira-kira 2-4 cm, lebar 4 cm dan tinggi 4 cm. Nasofaring berhubungan dengan rongga hidung di bagian depan sehingga bila

terdapat kelainan seperti massa, sumbatan hidung merupakan gangguang yang sering. Batas depan yang lain adalah bagian belakang sinus maksilaris. Bagian belakang nasofaring dibatasi dinding belakang faring, fascia prevertebralis, dan otot-otot dinding faring. Di bagian lateral, nasofaring berhubungan dengan telinga melalui tuba Eustachius dimana orifisium ini berbentuk seperti segitiga dan dibatasi superior dan inferior oleh torus tubarius, kearah superior terdapat fossa Rossenmuller. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak yang merupakan tempat keluar masuk saraf-saraf otak serta pembuluh darah dari dan kedalam otak, sedangkan dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan dorsal palatum molle.1,3,4 Mukosa nasofaring memperlihatkan lipatan-lipatan dan kripte-kripte sehingga luas seluruhnya diperkirakan 2 sampai 3 kali luas permukaaan yang terlihat. Luas permukaan nasofaring pada orang dewasa kira-kira 50 cm2, yang terdiri dari epitel skuamosa, epitel bersilia dan epitel transisional. Permukaan yang ditutupi oleh epitel skuamosa lebih luas daripada yang ditutupi oleh kedua epitel lainnya. Pembuluh limfe yang terdapat pada seluruh permukaan nasofaring saling menyilang di bagian tengah dan selanjutnya menuju kelenjar Rouviere yang terletak pada bagian lateral ruang retrofaring. Dari tempat aliran limfe selanjutnya menuju kelenjar limfe di sepanjang vena jugularis dan kelenjar limfe yang letaknya superfisial (subdigastrik, submandibula, submental, asesori spinal dan

supraklavikula). Letak deretan kelenjar limfe jugularis bagian proksimal berdekatan dengan N.IX, X, XI, XII. Pembesaran kelenjar limfe di daerah ini seringkali menimbulkan gangguan fungsional keempat saraf tersebut.1

2.5 Gejala Klinik Rongga nasofaring sulit dilihat dan karsinoma yang tumbuh seringkali hanya sedikit memberikan gejala untuk waktu yang lama. Dapat pula ditemukan mukosa faring yang berpenampakan normal dalam waktu lama, walaupun telah terjadi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial. Keluhan pasien dengan karsinoma nasofaring berhubungan dengan lokasi dari tumor primer dan derajat dari penyebarannya, dimana gejala dan tanda

biasanya muncul akibat adanya obstruksi oleh tumor, invasi ke ruang tengkorak atau orbita, dan metastasis tumor ke kelenjar getah bening.1,5 Gejala karsinoma nasofaring dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.1,2,3,4,5 1. Gejala nasofaring Berupa sumbatan hidung hingga epistaksis ringan. Seringkali gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor), oleh karena itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop. Gejala hidung pada karsinoma nasofaring lebih ditekankan apabila penderita pilek lama lebih dari 1 bulan, usia lebih dari 40 tahun, tetapi pada pemeriksaan hidung tidak tampak kelainan; penderita pilek, ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila tampak titiktitik atau garis-garis darah, tanpa adanya kelainan hidung dan sinus paranasalis; penderita usia lebih dari 40 tahun, sering mimisan atau keluar darah dari hidung namun pemeriksaan tekanan darah normal, dan hidung juga normal. 2. Gejala telinga Gejala ini biasanya paling dini muncul dikarenakan tempat asal tumor di muara tuba Eustachius atau daerah fossa Rosenmuller. Keluhan dapat berupa tinnitus atau berdengung, rasa penuh atau tidak nyaman di telinga hingga rasa nyeri (otalgia). Gejala lain berupa gangguan pendengaran tipe konduksi, hingga tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran baru kemudian menyadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring. 3. Gejala mata dan saraf Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia

trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.

Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen. Gejala saraf kranialis meliputi : Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak N.I melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa. Penderita akan mengeluh anosmia, Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi sehingga penderita memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan. Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata m.levator palpebra dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia serta ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra menyempit dan kesulitan membuka mata. Paresis N.III, IV dan VI akan menimbulkan keluhan diplopia Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut karsinoma, akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N.IX

menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, deviasi

uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah, salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin akibat gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan memberikan gejala : gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah faring dan laring, dispnea, hipersalivasi). Parese N.XI akan menimbulkan kesukaran mengangkat dan memutar kepala dan dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor melalui kanalis n.hipoglossus atau dapat pula karena parese otot-otot yang dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan inferior, m.genioglossus (otototot lidah). Gejala yang timbul berupa lidah yang deviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan, suara pelo dan disfagia. 4. Gejala metastasis atau leher Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogenik dari kanker nasofaring, bisa unilateral atau bilateral. Metastase jauh dapat sampai ke organ hati, paru, ginjal, limpa, tulang belakang dan tulang lainnya. Kekhasan tumor leher disini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibularis, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, dimana massa tumor keras, tidak sakit, dan tidak bergerak. Gejala tumor leher ini merupakan gejala yang agak lanjut dari kanker nasofaring, sering masih belum disadari oleh para dokter sehingga banyak penderita tumor ini di rujuk ke bagian selain THT. Gejala tumor leher ini cukup besar angkanya, yaitu sekitar 70 - 90 % dari seluruh penderita karsinoma nasofaring. Diperkirakan gejala inilah yang mendorong penderita datang berobat. 2.6 Histopatologi Gambaran histopatologi yang sering ditemukan adalah undifferentiated epidermoid karsinoma, kemudian non keratinizing epidermoid karsinoma dan karsinoma sel skuamosa. Selama ini yang dikenal sebagai limfoepitelioma, sel transisisonal, sel

spindel,

sel

clear dan lain-lain, semuanya


3

dimasukkan dalam kelompok

undifferentiated.

Berdasarkan

histopatologi

ini,

WHO

mengklasifikasikan

karsinoma

nasofaring menjadi tiga. Tabel. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring Menurut WHO3 Tipe WHO Tipe I Tipe II Tipe III Tipe Histologis Keratinizing squamous cell carcinoma Non keratinizing squamous cell carcinoma Undifferentiated carcinoma Frekuensi 10% 20% 70%

Kasus terbanyak pada anak-anak dan dewasa adalah tipe 3 dengan sedikit tipe 2. Tipe 2 dan 3 berhubungan dengan peningkatan titer EBV, namun tidak pada tipe 1. Modifikasi WHO yang digambarkan oleh Krueger dan Wirstow menyertakan derajat infiltrasi limfoid. Tipe 2 dan 3 dikaitkan dengan infiltrate radang lomfoskit, sel-sel plasma, dan eosinofil, yang dalam jumlah banyak dan menyebabkan limfoepitelioma. Dua pola histology mungkin terjadi : tipe Regaud, dengan kumpulan sel-sel epithelial yang jelas dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat, dan tipe Schumncke, dimana selsel tumor berdistribusi secara difus dan intermingle dengan sel-sel radang. Kedua tipe ini bisa terdapat pada tumor yang sama.3 2.7 Cara Penyebaran Penyebaran atau perluasan karsinoma nasofaring melalui 3 cara yaitu meluas ke jaringan sekitar, metastase melalui aliran limfe, metastase melalui aliran darah.5 1. Perluasan ke jaringan sekitar, bisa ke tiga arah :

Tumor meluas keatas secara langsung dan merusak basis kranii melalui foramen laserum masuk ke fossa kranii media Tumor meluas ke depan dan ke bawah. Perluasan ke depan mulanya akan menimbulkan sumbatan kavum nasi dan pallatum durum dan selanjutnya proses melibatkan prosesus pterygoideus, sinus ethmoidalis dan sinus maksillaris. Kearah rongga orbita tumor dapat masuk melalui fissura orbitalis inferior dan fossa pterygo-palatinum. Sedangkan perluasan ke bawah menyebabkan kerusakan dinding orofaring, tonsil dan pangkal lidah

Tumor meluas ke samping masuk ke rongga parafaring. Dalam rongga ini terdapat N.IX, X, XI dan XII serta ganglion servikalis kranialis. Sehingga bila meluas ke samping maka massa tumor akan menekan nervi tersebut.

Tumor dapat terus tumbuh ke belakang, ke dalam foramen jugulare dan kanalis nervus hipoglossus sampai ke dalam fossa kranii posterior sehingga N.IX, X dan XI dapat rusak pada saat keluar dari foramen jugularis dan N.XII rusak saat melewati kanalis nervus hipoglossus. Bila kemudian tumor tumbuh ke depan atas akan merusak fossa infra temporal, melalui fissura orbita dan dapat menyebabkan proptosis bulbi. Tumor dapat meluas ke belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan menyusup prevertebralis. 2. Metastase tumor melalui aliran limfatik Seperti diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju kelenjar Rouviere, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda menuju kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring dan dalam hal ini pasien mengeluh adanya benjolan pada leher sebagai metastase limfogenik pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah tersebut dan dapat menekan N.IX dan X. 3. Metastase melalui aliran darah

Metastase tumor secara hematogenik ini menyebabkan terjadinya metastase jauh. Bila hal ini terjadi maka prognosisnya sangat buruk. Organ-organ yang terkena adalah tulang, hati, paru-paru dan organ lainnya. 2.8 Diagnosis Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan berdasarkan. 1,2,4,5,6,7 1. Gejala klinik Keluhan penderita ketika tumor masih terbatas pada nasofaring antara lain : pilek berulang, hidung tersumbat, ingus bercampur darah, telinga terasa penuh dan mendenging, tetapi semua gejala ini tidak spesifik Gejala dan keluhan pembesaran kelenjar limfe leher, di belakang angulus mandibula. Gejala ini paling sering dijumpai dan merupakan gejala metastase tumor ke kelenjar regional Gejala atau keluhan setelah tumor meluas melewati batas nasofaring antara lain rongga hidung tersumbat atau tertutup oleh massa tumor, suara bindeng atau sengau. Gejala parese saraf otak antara lain parestesia, nyeri wajah (N.V), diplopia dan strabismus (N.VI), ptosis dan oftalmoplegia (N.III, IV), parese atau paralisis pallatum molle dan faring (N.IX, X), gangguan fungsi otot sternokleidomastoideus dan trapezius (N.XI), deviasi lidah dan gangguan menelan (N.XII) metastase jauh, dimana keganasan ini dapat bermetastase jauh ke organ jauh seperti paru, hepar, tulang. Metastase keparu menyebabkan terjadinya berupa batuk-batuk, dahak bercampur darah, nafas sesak. Metastase ke hepar menyebabkan terjadinya ikterus, pembesaran hepar dan pada tulang dapat menyebabkan nyeri pada tulang. 2. Pemeriksaan fisik Rhinoskopi anterior untuk menilai keadaan rongga hidung bagian belakang Rhinoskopi posterior dilakukan untuk menilai nasofaring

Otoskopi untuk menilai keadaan membrane timpani, telinga tengah, dan fungsi tuba Eustachius.

Memeriksa fungsi saraf otak (III, IV, V, VI, IX, X, XI, XII) Periksa dengan perabaan kelenjar limfe leher, khususnya kelenjar limfe dibelakang angulus mandibula.

Diagnosa klinis karsinoma nasofaring ditegakkan dengan formula DIGBY. Tabel 3. formula DIGBY Simptom Masa terlihat pada nasofaring Gejala khas di hidung Gejala khas pendengaran Sakit kepala unilateral/bilateral Gangguan neurologic Eksoftalmus Limfadenopati leher Nilai 25 15 15 5 5 5 25

Bila jumlah nilai > 50, diagnosis klinis karsinoma nasofaring dapat dipertanggungjawabkan. 3. Pemeriksaan penunjang Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang ke arah diagnosa, antara lain : 1. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada pasien karsinoma nasofaring diantaranya foto thorak, Skull lateral basis kranii, Waters, CTScan, USG abdomen, MRI, dan PET. CT-Scan kepala dan Ieher dipergunakan untuk mengetahui penyebaran tumor, erosi basis kranii, dan limfoadenopati servikal. CT-Scan dada dan tulang dipergunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh. MRI dilakukan jika dicurigai terdapat penyebaran tumor ke intracranial. PET (Positron Emmision Tomografi) digunakan jika ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfe yang penyebabnya belum diketahui dengan pasti. 2. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin termasuk sel darah lengkap, tes fungsi hati bila terdapat metastase ke hepar, BUN dan kreatinin darah bila terdapat gangguan kencing. Jika terdapat invasi ke basis kranii, maka pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk mendeteksi penyebaran tumor. 3. Pemeriksaan Imunologis Tes serologis Epstein Barr dapat bermanfaat pada beberapa pasien. Titer EBV yaitu antibodi IgA dan IgG terhadap antigen kapsul virus EpsteinBarr harus diperiksa. Kadar titer ini berkaitan dengan perkembangan tumor dan dapat menurun jika diberikan terapi. 4. Pemeriksaan Endoskopi Deteksi adanya lesi atau visualisasi direk pada lesi yang nonpalpabel tetapi dicurigai keganasan dapat dilakukan nasofaringoskopi direk dengan mengunakan endoskopi yang rigid atau endoskopi yang fiberoptik fleksibel. Pada nasofaringoskopi dapat dilihat massa yang tumbuh di nasofaring, biasanya di Fossa Rossenmuller.

5. Biopsi Nasofaring Biopsi nasofaring merupakan tindakan diagnostik. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada daiam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anastesi topikal dengan Xylocain 10%. Biopsi dalam anastesi umum dilakukan pada penderita yang tidak kooperatif.6 Biopsi kelenjar limfe leher dilakukan apabila biopsi nasofaring dua kali berturut-turut tidak menunjukkan gejala keganasan, sedangkan secara klinis ada kecurigaan.

2.9. Stadium Klinis Penetapan stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan kriteria tumor primer (T), kelenjar limfe regional ( N ) dan metastasis jauh ( M ). Stadium klinik karsinoma nasofaring dibagi menjadi empat yaitu : 1,4 Stadium I Stadium II A : T1 : T2a N0 N0 M0 M0

Stadium II B

: T1 T2a T2b

N1 N1 N0,N1 N2 N2 N2 N0,N1,N2 N3 Semua N

M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Stadium III

: T1 T2a,T2b T3

Stadium IVA Stadium IVB Stadium IVC

: T4 : Semua T : Semua T

Keterangan : T = Tumor primer T1 T2 : tumor terbatas di nasofaring. : tumor meluas ke jaringan lunak T2a : Perluasan tumor ke orofaring dan / rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring T2b : Disertai perluasan ke parafaring T3 T4 : tumor menginvasi struktur tulang dan / sinus paranasal : tumor dengan perluasan intrakranial dan / terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator N = Pembesaran kelenjar getah bening regional NX N0 N1 : pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai : tidak ada pembesaran : metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N2 : metastasis kelenjar getah bening bilateral , dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3 : metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a : ukuran lebih dari 6 cm

N3b : di dalam fossa supraklavikula

M = Metastasis jauh MX M0 M1 : metastasis jauh tidak dapat dinilai : tidak ditemukan metastasis jauh. : terdapat metastasis jauh.

2.10. Diagnosa Banding Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 1 1. TBC nasofaring Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ). 2. Angiofibroma nasofaring Insidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena merupakan tumor jinak

2.11 Penatalaksanaan Radioterapi Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi merupakan pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk radioterapi radikal adalah 6000-7000 rad dengan aplikasi radium dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar X dalam waktu 5-6 minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring dan kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga dari dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada tahun pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan setiap 6 bulan selama 5 tahun.1,4 Kemoterapi

Kemoterapi merupakan terapi ajuvan yang hingga saat ini masih tetap digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platiunum, bloemycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Obat-obatan sitostatika yang direkomondasikan adalah : 1,2 a. Obat tunggal : Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan

membuat rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik ganda. 5FU akan menghambat sintesis timidilat dan juga mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA, berpengaruh terhadap DNA, dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien dengan penyakit yang progresif.

b. Obat-obatan ganda : COMP : Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena Vincristine 1 mg intravena 5 FU 750 mg intravena Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena Vincristine 1 mg intravena Methotrexate 50 mg intravena Diulang setiap 4 minggu

Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin : Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena Methotrexate 20 mg / m2 intravena Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena Diulang setelah 10 minggu Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang baik terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya. Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat radiotherapy dan juga karena tingginya metastase jauh dari kanker nasofaring, maka kombinasi modalitas therapy radiasi dan kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif. Kombinasi ini dapat saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa cara untuk kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan (kemoterapi yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi (radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring. 1,4 Operasi Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya kekambuhan kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa atau kambuh diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi. 1,4

Paliatif Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihati pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Pada keadaan dimana terjadi kekambuhan atau timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak, tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Radiasi sangat efektif untuk pengurangan rasa nyeri akibat metastasis tulang. Penderita KNF adalah penderita yang mengalami sakit berat sehingga mereka akan mengalami penderitaan baik fisik, jiwa maupun sosialnya. Oleh karena itu selain terapi definitif terhadap kankernya, terapi paliatif untuk menangggulangi penderitaan lainnya perlu dilakukan sejak dini. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala sehingga penderita sehari-hari dapat menjalani hidupnya dengan normal. 1,4 2.12. Pencegahan Usaha pencegahan terjadinya karsinoma nasofaring telah dilakukan sejak lama. Adapun usaha tersebut adalah dengan vaksinasi dan migrasi penduduk di daerah dengan resiko tinggi, selain itu juga dengan melakukan penerangan dan penyuluhan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Selain itu juga menciptakan lingkungan hidup yang sehat serta meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sangat penting dalam mencegah terjadinya karsinoma nasofaring. 1

2.13. Prognosis Prognosis dari karsinoma nasofaring sangat ditentukan oleh stadium ditemukannya penyakit, dimana dikatakan untuk angka bertahan hidupnya dalam 5 tahun adalah : pada stadium I 98%, stadium II 95%, stadium III 86%, dan stadium IV

73%, yang akan diperberat jika telah timbul matastasis, sehingga prognosis akan semakin buruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis adalah stadium klinis dari kanker nasofaring, umur penderita, jenis kelamin, genetik dan adanya metastase. Prognosis akan semakin baik pada stadium awal, penderita umur muda dengan jenis kelamin perempuan, sedangkan stadium lanjut pada penderita laki-laki umur tua umumnya sangat buruk.

BAB III LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien Nama RM Umur Jenis kelamin Bangsa Suku Agama Pendidikan Status Perkawinan Pekerjaan Alamat MRS : Burhanudin : 01.42.17.92 : 50 tahun : Laki-laki : Indonesia : Sasak : Islam : tamat SD : Menikah : Pegawai Swasta : Lembar RT02 Madyan Lombok Barat NTB : 28 September 2010

Tanggal Pemeriksaan : 2 Oktober 2010

3.2. Anamnesis Keluhan utama : Benjolan pada leher kanan dan kiri Perjalanan penyakit : Pasien datang rujukan dari dokter spesialis THT di Mataram NTB dengan keluhan benjolan pada leher kanan dan kiri. Benjolan pada leher kanan yang lebih awal muncul dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Benjolan tersebut awalnya berukuran kecil dan tidak nyeri namun lama kelamaan dirasakan semakin membesar disertai keluhan rasa penuh pada telinga. Karena takut mengira dirinya diguna-guna, pasien datang ke dukun. Namun keluhan tidak berkurang dan keluhan lain muncul seperti telinga mendenging, sakit kepala, hidung mampet, sulit menelan, batuk dan kadang-kadang sesak. Selain itu pasien juga baru merasakan adanya dua benjolan lain di leher sebelah kiri yang tidak nyeri. Pasien juga merasa berat badannya menurun drastis dan kondisinya semakin melemah. Baru kemudian pasien memeriksakan diri ke dokter spesialis THT, dan melakukan beberapa pemeriksaan di rumah sakit di Mataram. Dikarenakan tidak adanya fasilitas, pasien disarankan untuk ke Bali untuk pengobatan selanjutnya.

Riwayat pengobatan Sejak pertama kali pasien merasakan timbul benjolan di leher kanan kurang lebih 1 tahun yang lalu, pasien tidak pernah melakukan pengobatan. Namun 6 bulan yang lalu merasa benjolan semakin memebesar, pasien datang ke dukun karena takut dirinya diguna-guna. Oleh dukun diberikan obat luar namun pasien tidak merasakan perbaikan.

Riwayat Penyakit Terdahulu Pasien tidak pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit sistemik lainnya. Selain itu pasien juga menyangkal pernah melakukan operasi. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien mengatakan bahwa pada keluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang sama atau menderita penyakit kanker lainnya. Riwayat sosial Sejak remaja pasien rutin mengkonsumsi ikan asin karena letak rumahnya yang di pinggir laut disamping pasien juga dahulunya bekerja sebagai nelayan. Menginjak dewasa, pasien mulai merokok dan sudah berhenti sejak pasien merasa sakit. Pasien menyangkal memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol. 3.3. Pemeriksaan fisik Status Present Keadaan umum Kesadaran Tekanan Darah Denyut Nadi Respirasi Temperatur Axila : Lemah : Compos Mentis : 110/70 mmHg : 72 kali/menit : 16 kali/menit : 36,5 OC

Status General Kepala Mata : Tidak ditemukan kelainan : Anemia (-/-),ikterus (-/-), ptosis (-/-), diplopia (-/-), strabismus (-/-), isokor THT Leher : Sesuai status lokalis : pembesaran kelenjar getah bening - leher sisi kanan massa padat terfiksir 8 x 5 cm - leher sisi kiri atas massa padat mobile 3 x 2 cm - leher sisi kiri bawah massa kenyal mobile 1 x 1 cm Thorak : Cor : S1S2 tunggal, Reguler, Murmur(-) Po : Ves +/+, Rh-/-,Wh-/ Abdoment Ekstremitas : Distensi(-), Bising usus (+) Normal, H/L tak teraba : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Status Lokalis THT Telinga Daun telinga Liang telinga Discharge Membrana Tipani Tumor Mastoid Tes pendengaran Berbisik Kanan N Lapang Intak N Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Kiri N Lapang Intak N

Weber Rinne Schwabah BOA Tympanometri Audiometri Nada Murni BERA OAE TEs Alat Keseimbangan Hidung Hidung Luar Kavum Nasi Septum Discharge Mukosa Tumor Konka Kanan N Sempit

Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi Kiri N Lapang Tidak ada deviasi Merah muda Dekongesti

Tidak ada deviasi Merah muda Dekongesti

Sinus Koana Naso endoskopi Tenggorok Dispneu Sianosis Mucosa Dinding belakang Stridor Suara Tonsil Laring

N Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

Merah muda Normal T1/T1 Tidak dievaluasi

3.4. Pemeriksaan Penunjang FNAB sitologi ( tanggal 4 September 2010) Bahan : Colli Kesimpulan : Colli-sitologi : Malignancy, kesan Metastasis Carcinoma Patologi ( tanggal 22 September 2010) Bahan : Nasofaring dextra Kesimpulan : non-keratinizing carcinoma CT Scan Kepala ( tanggal 18 September 2010)

Kesan : Ca nasofaring, T2N3Mx

3.5. Diagnosis Karsinoma Nasofaring (KNF) stadium IV B (T2N3M0) 3.6. Penatalaksanaan Rencana diagnosis : foto thorax, USG abdomen Terapi 1. MRS 2. IVFD NaCL 0,9% : D5% = 2:1 20 tts/mnt 3. Paracetamol 3 x 500 mg 4. Vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab 5. Vitamin C 1 x 1 tab 6. Ambroxol 3 x 1 7. Rencana kemoterapi 8. Nutrisi : diet lunak TKTP :

3.7.Prognosis Dubius ad Malam.

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien, laki-laki, 50 tahun, datang dengam keluhan muncul benjolan pada leher kanan sejak 1 tahun yang lalu dan dirasakan semakin membesar lalu diikuti munculnya dua benjolan pada leher kiri sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan telinga yang terasa penuh dan telinga mendenging, pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat, sakit kepala dan sulit menelan. Dari riwayat sosial ditemukan pasien sering megkonsumsi ikan asin dan merokok kurang lebih 1 bungkus perhari. Berdasarkan anamnesis penderita, kita menemukan adanya gangguan nasofaring,telinga,tenggorokan dan pembesaran KGB, serta faktor resiko yang sesuai teori mampu mengarahkan kita pada diagnosisi karsinoma nasofaring. didapat gejala penyakit yang mendukung ke arah diagnosa karsinoma nasofaring. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher sebelah kanan dan kiri. Pembesaran KGB ini menunjukan adanya metastase kelenjar. Sifat pembesaran kelenjar dapat dipakai untuk menentukan stadium

penyakit menurut sitem TNM. Pada penderita ini pembesaran kelenjar bersifat bilateral dengan ukuran lebih dari 6 cm sehingga termasuk N3. Demikian juga untuk T dan M, pada pemeriksaan CT scan ditemukan massa terbatas pada nasofaring tanpa ditemukan infiltrasi ke tulang dan pada pasien ini tidak ditemukan gejala lesi saraf maupun metastase jauh sehingga termasuk T2 dan M0. Pada penderita telah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi nasofaring dan didapatkan hasil non keratinizing carcinoma. Penatalaksanaan pada penderita ini berupa pemberian radioterapi dan kemoterapi hal ini sudah sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke intrakranial. Kemoterapi merupakan terapi adjuvant/tambahan pada karsinoma nasofaring. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh, dan pada kasus dengan metastase jauh.

Pada penderita ini kemoterapi diberikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap radioterapi yang diberikan. Pada penderita ini diberikan KIE tentang penyakit yang dideritanya, menghimbau penderita untuk menghindari stress serta istirahat yang cukup. Penderita

mendapatkan pengobatan simtomatis berupa paracetamol 3x 500 mg dan ambroxol 3x1. Prognosis penderita ini bisa dikatakan buruk, karena sudah mencapai stadium IV dimana survival rate-nya adalah sekitar 16,4%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring; Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keenam. Editor : Soepardi EA, Iskandar N. FK UI;Jakarta. 2007 2. Suardana W. et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Denpasar. 1992 3. Brennan B. Nasopharyngeal Carcinoma. Kingdom. 2005 4. Asroel H. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatera Utara. 2002 5. Anonim. Karsinoma Nasofaring. Diunduh dari : Orphanet Encyclopedia;United

http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf. Diakses pada : 1 Oktober 2010 6. Paulino, A. C. et al; 2002. Nasopharingeal Cancer. Diunduh dari : http ://www.eMedicine.com. Diakses pada : 1 Oktober 2010 7. Febrianto, P. Karsinoma Nasofaring. 2008. Diunduh dari :

http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulus-febrianto-silor078114130.pdf. Diakses pada : tanggal 1 Oktober 2010

You might also like