You are on page 1of 33

1

BAB I PENDAHULUAN Seorang dokter gigi akan menemukan penyakit vesiculobullous dari mulut yang dihadapkan dengan kenyataan bahwa banyak penyakit memiliki penampilan klinis yang serupa. Mukosa oral yang tipis, dimana vesikel dan bula menyebabkan dengan cepat menjadi bisul, dan borok karena mudah trauma dari gigi dan makanan, dan menjadi sekunder karena terinfeksi oleh faktor flora. Ini dapat menyebabkan lesi yang memiliki penampilan khas pada kulit dan memiliki penampilan yang spesifik pada mukosa mulut. Pengenalan terhadap berbagai penyakit vesikobullous harus benar-benar dicermati guna penentuan diagnose yang tepat. Berikut akan dibahas beberapa penyakit vesicobullous yang termasuk dalam kategori gawat darurat dan penanganan apa yang harus dokter gigi lakukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Severe Erythema Multiforme Erythema Multiforme ( EM ) adalah penyakit inflamasi akut pada kulit dan membrane mukosa yang menyebabkan berbagai variasi lesi kulit, sehingga dikenal dengan nama multiforme. Lesi memiliki bentuk khas yang disebut sebagai lesi target, disertai dengan vesikel yang mudah rupture dan bullaie, 2.1.1 Etiologi Erythema Multiforme adalah penyakit yang berhubungan dengan system imun yang dapat diinisiasikan oleh deposisi dari kompleks imun pada microvasculature superfisial di kulit dan mukosa, atau imunitas sel. Eritema multiform merupakan reaksi yang di sebabkan oleh hipersensitivitas yang timbul baik secara ringan maupun berat yang terjadi pada kulit maupun membran mukosa, pada banyak kasus biasanya eritema multiform ini muncul karena adanya faktor lain yang menginisiasi. Faktor penginisiasi itu sendiri terbagi atas 4: 1. 2. 3. Akibat infeksi : herpes simpleks 1 dan 2, mycoplasma pneumonia, dan histoplasmosis. akibat pengunaan obat : sulfat, penicillin, dilantin, barbiturate, iodine, dan salisilat. pengaruh lainnya : malignansi, terapi radiasi, dan vaksinasi.

2.1.2

Pathogenesis Patofisiologi dari Erythema multiforme belum sepenuhnya

dimengerti, tetapi kemungkinan besar berhubungan dengna sistem imunitas dan terlihat juga melibatkan reaksi hipersensitifitas yang dapat dipicu oleh beberapa stimuli.

Sel-sel imunitas bertanggung jawab atas destruksi dari sel epitelial.Pada awal penyakit, epidermis akan diinfiltrasikan oleh limfosit T dan makrofag, sementara dermis memperlihatkan peningkatan limfosit CD4. Sel sel imun aktif ini tidak secara langsung bertanggung jawab atas kematian sel epitel. Tetapi mereka mengeluarkan sitokin yang kemudian akan menyebabkan reaksi inflamasi dan menyebabkan apoptosis dari sel epitel. 2.1.3 Diagnosis Banding Berikut adalah diagnosis banding yang didapat dari erythema multiforme : 1. Acute Febrile Neutrophilic Dermatosis 2. Acute Hemorrhagic Edema of Infancy 3. Behcets Disease 4. Pemphigus 5. Dermatitis kontak 6. Drug Eruptions 7. Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis 8. Urticarial Vasculitis (Plaza, 2013) 2.1.4 Gejala Klinis 1. Temuan di Kulit EM kebanyakan terjadi pada anak-anak serta dewasa muda dan jarang terjadi setelah usia 50 tahun. Penyakit ini tergolong akut atau memiliki serangan yang tiba-tiba, pada kasus yang hebat seringkali disertai gejala umum seperti demam dan malaise. Dalam waktu kurang dari 24 jam, pasien mendapatkan lesi pada kulit dan mukosa secara tiba-tiba. Sebelum munculnya lesi, biasanya dalam 3 sampai 7 hari yang merupakan tahap prodomal penderita akan menderita demam rendah, malaise, dan sakit kepala

Daerah kutaneus yang paling sering terkena adalah tangan, kaki dan permukaan anggota gerak seperti siku dan lutut. Lesi juga biasanya terdapat pada wajah dan leher, tetapi hanya kasus berat saja yang sampai mengenai tenggorokan. Lesi EM pada kulit berupa makula, papula dan vesikel yang nonspesifik. Secara khas lesi EM di kulit memiliki karakteristik berupa petechiae di tengah-tengah lesinya. Dikenal juga sebagai lesi target atau iris lesion, terdiri dari bula sentral atau daerah pucat yang dikelilingi edema dan berkas erythem.

Gambar 1. Gambaran Lesi Target. Sumber : (http://adc.bmj.com/content/83/4/347.full waktu akses 15 Maret 2013) Pada tahap awal penyakit ini terdapat gambaran klinis dimana terdapat lesi stomatitis dan kutan, dimana tanda berupa macula cincin, merah putih, konsentrik, berukuran 0,5 sampai 2 cm disebut lesi target, mata sapi, atau iris yang timbul cepat pada permukaan ekstensor lengan dan kaki, lutut dan telapak tangan. Leher biasanya bebas dari lesi kecuali pada kasus yang parah. Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri dalam jangka waktu 2-3 minggu, tetapi perawatan dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Gambaran khas bentuk iris (target lesion) Tipe makulaeritem Bagian tengah berupa vesikel atau eritem keunguan dikelilingi lingkaran kosentris yang pink pucat dan kemudian lingkaran merah.

Tipe vesikobulosa Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian

timbul lesi vesiko- bulosa di tengahnya bentuk ini dapat mengenai selaput lender. 2. Temuan Di Daerah Oral Lesi Oral biasanya muncul bersamaan dengan lesi kulit pada kurang lebih 70% Erythema Multiforme. Pada beberapa kasus, lesi oral adalah daerah yang lebih dominan atau satu-satunya tempat terjadinya penyakit. Diagnosis ditegakkan dengan dasar dari gambaran klinis, termasuk onset dari lesi. Lesi oral dimulai sebagai bula pada dasar eritematus, tetapi bullae yang masih utuh jarang ditemukan oleh klinisian karena mudah pecah menjadi ulser iregular. Lesi Erythema Multiforme berbentuk besar, iregular, dalam, dan sering berdarah. Lesi dapat terjadi dimana saja pada mukosa oral, tetapi keterlibatan bibir biasanya sangat menonjol dan keterlibatan gingiva termasuk jarang. Pada kasus yang parah, bibir akan terlihat tererosi secara ekstensif, sebagian besar dari mukosa oral akan kehilangan epitel. Pasien tidak dapat makan atau menelan sekalipun dan mengeluarkan saliva berwarna darah. Dalam 2 atau 3 hari lesi pada bibir mulai membentuk krusta. Pada kasus awal, lesi akan hilang dalam waktu 2 minggu, tetapi untuk kasus berat, diperlukan waktu beberapa minggu.

Gambar 2. Gambaran Lesi Erythema Multiforme pada mukosa labial remaja berusia 18 tahun. (Sumber : Burkets) 2.1.3 Perawatan Bentuk ringan dari oral Erythema Multiforme dapat dirawat dengan terapi supportive, termasuk obat kumur antiseptik, anastetik topikal, dan diet makanan lunak dan cair. Keberhasilan kemampuan untuk dari perawatan dan sangat bergantung faktor kepada yang menemukan menyembuhan

menginisiasi, misalnya terkena herpes maka harus di berikan acyclovir atau valacyclovir untuk penyembuhan herpes itu sendiri tetapi dalam banyak kasus kronik penghilangan faktor yang menginisiasi tidak selalu dapat menghilangkan EM itu sendiri, jika dalam kondisi ini maka pertahanan dari tubuh itu sendiri yang menentukan kesembuhannya. Untuk kasus EM ringan bersifat simptomatik dapat di berikan antihistamin, analgesic, dan antipireutik dikombinasi dengan antihistamin atau penggunaan topical steroid. Steroid sistemik kadang-kadang di gunakan tetapi untuk perawatan yang terbaik pasien dapat dirujuk ke bagian unit perawatan yang lebih intensif. Kasus EM oral sedang sampai berat dapat diobati dengan kortikosteroid sistemik. Pasien dengan kasus EM recurent yang parah diobati dengan dapsone, azathioprine, levamisole, atau thalidomide.

Semakin cepat perwatan di berikan maka akan mengurangi resiko bertambah parahnya penyakit. 2.2 Stevens Johnson Syndrome Sindroma Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium, dan mata serta disertai gejala umum yang berat. Penyakit ini merupakan bentuk klinis yang lebih berat dari erithema multiforme (EM) minor yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Pada keadaan klinis yang berat penyakit ini sulit dibedakan dengan toxic epidermal necrolysis (TEN) dan pemphigus vulgaris Walaupun bentuk minor dapat terjadi, keterlibatan dari rongga mulut, rongga hidung, mata, vaginal, urethra, gastrointestinal dan mukosa membrane saluran pernapasan dapat terjadi. Keterlibatan gastrointestinal dan saluran pernapasan dapat menyebabkan nekrosis. Stevens Johnsons Syndrome adalah penyakit sistemiks serius dengan potensi menyebabkan morbiditas yang parah, dan mungkin kematian. Walaupun beberapa klasifikasi akan SJS dan TEN telah dibuat, yang paling simple adalah sebagai berikut : 1. Stevens Johson Syndrome merupakan bentuk minor dari TEN, karena permukaan tubuh yang terlibat adalah kurang dari 10% 2. Perbatasan antara Stevens Johnson Syndrome dan TEN adalah keterlibatan permukaan tubuh 10-30% 3. TEN : keterlibatan permukaan tubuh 30% atau lebih 2.2.1 Etiologi Etiologi SSJ sukar ditentukan secara pasti karena disebabkan oleh berbagai factor. Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering sindrom ini pada orang dewasa dan lansia. . Pada kasus pediatrik, sindrom ini lebih banyak berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan ataupun reaksi obat. Terdapat beberapa katagori etiologi, yaitu sebagai berikut :

1. Idiophatic 2. Infeksi : Penyakit karena infeksi virus dilaporkan telah menyebabkan Stevens-Johnson Syndrome dan terdiri dari : Herpes simplex virus, AIDS, Coxsakie, Influenza, Hepatitis, dan Gondongan. Sementara apabila bakteri terdiri dari : Streptococcus beta hemolitc, Diphteria, Brucellosis, Mycobacteria, dll. Kemungkinan Jamur yang dapat menyebabkan adalah : Coccidiodomycosis, dermatophytosis, histoplasmosis. 4. Obat Antibiotik (penicillin, ciprofloxacin) adalah penyebab Stevens Johnson syndrome yang paling umum, diikuti oleh analgesis, antikonvulsan (phenytoin, carbamezapine, dll.) obat batuk, NSAIDs, obat psychoepileptic. 2.2.2 Pathogenesis Reaksi hipersensitifitas yang tertunda dan bersifat idiosinkratik telah diimplikasikan pada patopysiologi dari Stevens=Johnson Syndrome. Beberapa populasi memiliki factor resiko terkena yang lebih besar, seperti pasien dengan immunocompromised (contoh : HIV), dan pasien yang sedang mengalami radiotherapy untuk pengoabtan kanker. Presentasi antigen dan produksi dari tumor necrosis factor (TNF) oleh dendrosit jaringan berakibat pada proliferasi limfosit T dan meningkatnya cytotoxicity dari sel efektor imun lainnya. Sitotoksis ini dapat menyebabkan apoptosis sel epidermal dengan beberapa mekanisme seperti melepaskan enzyme granzyme B dan perforin, yang kemudian akan menyebabkan apoptosis sel epidermal. Apoptosis dari keratinocytes (yang disebabkan karena interaksi antara death-receptor dengan ligand nya, yang ada pada permukaan keratinocytes) dapat menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel.

Kematian keratinocytes juga menyebabkan pemisahan dari epidermis dan dermis. Setelah kematian selterjadi, sel yang mati kemudian memprovokasi kebutuhan akan chemokines yang akan meningkatkan proses inflamasi, sehingga meningkatkan tingkat nekrosis epidermal. 2.2.3 Diagnosis Banding Berikut ini adalah diagnosis banding dari Stevens Johnson Syndrome : 1. Luka bakar karena zat kimia dan terbakar 2. Dermatitis Eksfoliatif 3. Keratoconjunctivitis Atopic 4. Sjogren Syndrome 5. Toxic Shock Syndrome 6. Trachoma 2.2.4 Manifestasi Klinis Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada gejala yang berat penderita dapat mengalami koma. Mulainya keadaan akut dimulai dari gejala prodromal (berkisar antara 1-14 hari) berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, lesu, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis merupakan gejala awal. Pada sindrom ini terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, mukosa dan mata.Setelah itu akan timbul lesi di : 1. Kulit, berupa eritema, papula, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10% disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN).

10

Gambar 3. Lesi Stevens Johnson Syndrome pada kulit. Sumber : http://www.primehealthchannel.com/steven-johnson-syndrome.html) Lesi dapat dimulai sebagai macula yang kemudian berubah menjadi papula, vesikel, bullae, plak urtikariall, dan erythema. Pusat dari lesi ini dapat berbentuk vesicular, purpuric atau nekrotik. Lesi yang tipikal memiliki bentuk seperti target (pathognomonic). Tetapi berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Intinya dapat berbentuk vesicular, purpurik, atau nekrotik, dan bagian luarnya dikelilingin oleh erythema macular. Lesi kemudian akan menjadi bullae dan kemudian rupture, sehingga kulit akan terkelupas. Kulit menjadi mudah terkena infeksi sekunder. 2. Kelainan mukosa terjadi di orifisium (mulut, tenggorokan dan genital), berupa vesikel, bula. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi, perdarahan dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk pseudomembran. Kelainan dapat pula menyerang saluran pencernaan bagian atas (farinf dan esophagus) dan saluran nafas sehingga penderita tidak dapat menelan dan juga sulit untuk bernafas. Selain itu dapat juga menyerang mukosa pada urogenital..

11

3. Mata; berupa konjuntiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea. Gejala yang timbul karena penyakit pada mata adalah : mata merah, berair, terasa kering, perih, gatal, kelopak mata terasa berat, terasa ada benda asing, penglihatan berkurang, photophobia.

Gambar 4. Contoh kelainan Stevens Johnson Syndrome pada mukosa dan mata. Sumber : ( (Langlais & Miller, 2009) Color Atlas of Common Oral Disease 2.2.5 Penatalaksanaan Perawatan utama pada SJS yaitu menghentikan agen yang diduga sebagai penyebab SJS. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.

12

Pada umumnya penderita Sindrom Stevens Johnson datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : 1. Cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Managemen caieran diberikan oleh macromolecules dan solusi saline pada 24 jam pertama. Garam phosphate dibutuhkan apabila terjadi hypophosphatemia. Jumlah cairan pada pasien SJS biasanya kurang dari pasien luka bakar dengan jumlah luka yang menutupi permukaan tubuh sama. 2. Pemberian nutrisi melalui pipa nasograstik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat kumur atau kenalog in orabase. 3. Pulmonary care termasuk penggunaal aerosol, pengeluaran cairan di bronchial, dan terapi fisik. Gunakan tranquilizers untuk meningkatkan pernafasan pasien. 4. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi. Antibiotika yang beresiko tinggi (B-laktam dan sulfa) jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, missal klindamisin. 5. Antihistamin diberikan bila perlu, untuk mengatasi gejala pruritus atau rasa gatal. 6. Lesi yang terbuka dirawat dengan cara dikompres basah dengan larutan burowi. 7. Papula dan macula kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit yang terbuka.

13

8. Kortikosteroid deksametason secara intravena setiap 6 jam. 9. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal 0,5 mg/kg BB pada hari ke 1 dan seterusnya saat masuk rumah sakit. 10. Untuk mencegah sekuele ocular dapat diberikan obat tetes mata 11. Lakukan prophylaxis untuk tetanus 2.3 Toxic Epidermal Necrotican TEN disebut juga Lyells syndrome merupakan kondisi dermatologis yang mengancam jiwa, biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap obat. Terdapat persetujuan dari beberapa literature bahwa TEN merupakan bentuk Steven Johnson Syndrome yang lebih parah. Beberapa penulis mempertimbangkan adanya tumpang tindih di antara kedua syndrome ini (biasanya di antara 10% san 30% kerusakan kulit) Insidensinya di antara 0,4 dan 1,2 kasus per satu juta orang setiap tahunnya. 2.3.1 Etiopatogenesis Secara mikroskopis, TEN menyebabkan kematian sel pada seluruh epidermis. Keratinosit yang terdapat di bawah epidermis juga mengalami nekrosis. TEN merupakan kejadian yang langka dan biasanya merupakan reaksi yang lebih parah terhadap obat-obatan tertentu. Riwayat karena penggunaan obat terjadi pada lebih dari 90% pasien TEN. Obat uang paling banyak terlibat adalah antibiotic seperti sulfonamide, NSAID (), allopurinol , obat antiretroviral, kortikosteroid, dan anticonvulsant seperti , phenytoin, carbamazepine, dan . TEN juga dapat berasal dari imunisasi, infeksi beberapa agen seperti atau herpes virus dan transplantasi sumsum tulang atau organ 2.3.2 Manifestasi Klinis

14

TEN dimulai dari nonspesifik prodormal 1-14 hari seperti demam, malise, sakit kepala, rhinitis, batul, sore throat, nyeri dada, vomiting, diare, mialgia dan arthalgia. Pasien sering merasa sakit dan diberikan antimikroba dan antiinflamasi karena sulitnya menentukan factor penyebab. Onset penyakit ini yiba-tiba, memiliki periode yang panjang antara exposure dan timbulnya penyakit. Pada macular berupa morbiliform rash pertama kali timbul di wajah,leher,dagu dan area central trunk.bisa jjuga menyebar ke ekstremitas, dan menyebar ke bagian tubuh lainnya.lesi nya berupa lesi targetdan positif pada Nikolsy sign.,bentuknya yang tidak teratur dan , berupa macula yang pucat. Lesi ini lebih besar dari lesi target.,datar, beberapa ada yang lembek(flaccid), dan kadang-kadang menimbulkan perdarahan. Lesi meningkat dalam jumlah dan ukuran, biasanya mencapai puncak dalam 4-5 hari. Berbeda dengan SJS,TEN mengenai daerah yang lalu, ,diffuse erythema, lesi macular yang dapat terlihat di peripheral. Pasien TEN akan kehilangan epidermis. Lapisan epidermis yang nekrotik pada wajah akan menebar ke bahau dan punggung, berwarna merah dan mengalami erosi. Pada kasus TEN yang berat, akan melibatkan anggota badan, jari kaki dan tangan dan bisa kehilangan alis mata dan cilia. Ruam pada membran mukosa kavitas oral dan vermillion border, rasa terbakar pada conjunctiva, bibir dan mukosa bukal, edema yang kemudian meluas.Lesi oral menyebabkan rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan sulit makan, bernafas dan hypersalivasi, kemudian kan meluas ke gingival, lidah, pharynk nasal cavity,larynik, esophagus dan batang tenggorokan yang akan berkembang menjadi otitis media. Pada conjunctiva akan terlihat inflamasi dan chemosis, vesikulasi dan erosi yang bisa menyebabkan photophobia , ulcerasi , anterior uveitis, dan panophthalmitis. Pada genital terdapat lesi bullous, erosive dan atau purulent yang bisa menyebabkan retensi urin dan phimosis. TEN juga dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal.

15

Gambar 5 : lesi TEN pada tubuh (Sumber : www.your-doctor.net )

Gambar 7 : Lesi TEN pada area mulut (sumber : dermatlas.med.jhmi.edu ) 2.3.3 Perawatan Pasien yang menderita TEN, jika memungkinkan perlu mendapat perawatan dari seorang dermatologist untuk proses penyembuhan yang menyeluruh. Pasien TEN dapat menjalani rawat jalan karena tidak begitu diperlukan perawatan suportif dan pengawasan yang konstan. Hal ini benar, ketika pasien TEN berada dalam initial stages, pasien merasakan dirinya sehat dan sulit untuk mau dirawat di rumah sakit. Rujukan kepada ICU dan burn center bukan sebuah keharusan kecuali penyakit ini

16

mengalami perluasan ataupun komplikasi. Bila dirawat dengan baik, TEN dikaitkan dengan sedikit gejala sistemik. Manajemen perawatan TEN dibagi ke dalam : (1) identifikasi dan eliminasi agen kausatif yang provokatif (obat-obatan yang menyebabkan/memperparah infeksi) (2) terapi aktif (3) langkah suportif . Tidak ada petunjuk perawatan yang jelas pada TEN ini dikarenakan jarang terjadi dan jarang yang mengancam hidup (life-threatening). 1) Penghilangan Obat-obatan yang Diduga Merugikan. Obat-obat kausatif harus dengan segera diidentifikasi dan dihilangkan. Penghentian penggunaan obat yang kausatif ini dapat mengurangi resiko kematian sampai 30% per hari. Penghentian penggunaan obat-obat ini tidak langsung menghentikan progresi dari penyakit ini. Sekarang ini, deteksi dari obat-obat kausatif , difokuskan pada obat yang terakhir dikonsumsi, dan hubungannya dengan perkembangan gejala-gejala yang terjadi dan episode dari terjadinya TEN. Biasanya obat yang merugikan ini adalah obat yang dikonsumsi dalam 4 minggu terakhir. Obat-obat ini termasuk antimikroba, analgesik, dan NSAID. 2) Active Suppression of Disease Progression Sejumlah obat anti inflamasi dan imunosupresi mempunyai keuntungan terhadap perawatan TEN. Gambaran burns yang berasal dari single thermal trauma, mengingat bahwa TEN adalah serangan immunological-sitotoksik yang berlangsung lebih dari 1 minggu (tidak hanya 3 atau 4 hari, seperti yang sering dikeluhkan), bergantung pada detoksifikasi dan ekskresi dari agen-agen offending (merugikan). Harus dilakukan strategi perawatan untuk fase awal ini, untuk menghilangkan progresi dari penyakit ini dan membatasi nekrosis kulit dan mukosa dan juga megurangi sequelae. 3) Glukokortikoid

17

Pemberian glukokortikois secara sistemik adalah perawatan yang utama dari TEN untuk waktu yang lama, tetapi dianggap buruk belakangan ini. Dianggap buruk karena apabila glukokortikoid diberikan lebih lama dari fase progresinya, maka akan meningkatkan bahaya infeksi dan mungkin akan meningkatkan kematian. Jika steroid menghambat progresi dari initial phase, yang diharapkan pada penyakit sistem imun-mediated, mereka tidak mengurangi puncaknya dan fase regresi. Glukokortikoid harus digunakan dengan secara hati-hati. Jika diberikan, dibutuhkan high initial doses (1-2 mg/kg methyl prednisolone per day given orally) dan progresi penyakit ini akan berhenti kemudian. Obat ini diberikan sebagai bagian dari total program jika kondisi fisik pasien memungkinkan. 4) Immunoglobulins Akhir-akhir ini, pemberian immunoglobulins secara intravena (IVIG)muncul sebagai strategi perawatan yang menjanjikan untuk memblok progresi dari TEN, berdasarkan kandungan immnuglobulin yang berisi antibodi melawan Fas ligand yang akan mencegah apoptosis cell in vitro. Dosis IVIG berkisar antara 0.2 -0.75 g/kg BB per hari selama 4 hari berturut-turut. Pada kebanyakan pasien akan terjadi penurunan progresi penyakit TEN secara drastis. Walaupun IVIG memberikan hasil yang baik pada perawatan, nefrophaty jarang terjadi tetapi berbahaya pada gagal ginjal. 5) Plasmapheresis dan hemodialisis Berlawanan dengan prinsip yang menyatakan bahwa penghilangan obat kausatif akan mengehentikan progresi dari TEN. 6) Cyclophosphamide Adalah inhibitor cell-mediated cytotoxicity. Walaupun, Obat ini suskes pada sejumlah pasien TEN, obat ini adalah agen immunosupresif yang dapat menyebabkan TEN. 7) Cyclosporine

18

Beberapa kasus melaporkan efekasi dari cyclosporine pada TEN. Cyclosporine berinteraksi dengan metabolism TNF-. 8) N-Acetylcysteine Bersama dengan S-adenosyl-L-methionine, N-acetycysteine dapat berperan melengkapi sel dengan kapasitas antioksidandan dengan menghambat reaksi cytokine (TNF-)-mediated immune. 9) Thalidomide Eksperimen rasional dilakukan menggunakan thalidomide, yang terkenal sebagai inhibitor TNF-, memegang peranan yang amat penting dari sitokin ini pada asal usul TEN. Pemeliharaan equilibrium hemodinamik, homeostatis protein, dan elektrolit Perawatan rasional pasien dengan TEN pada luka bakar akan menggunakan prinsip therapeutic dari luka bakar(contoh : pengaturan keseimbangan cairan, protein,dan elektrolit; control infeksi; bedah awal debridement dari lesi di kulit). Proses patologis TEN dengan luka bakar berbeda. Perbedaan utamanya yaitu vascular damage pada TEN, edema dan hilangnya cairan pada jaringan interstitial. Hilangnya cairan pada TEN terjadi lewat evaporasi dari erosi dan akan selanjutanya mencapai fase puncaknya. Semua faktor ini saling bekerja sama mebuat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dikaitkan dengan TEN. Shock hemodinamik mungkin terjadi, tetapi jarang terjadi dan jika terjadi, aka tejadi pada pasien dengan cardiovascular . Juga sakit luka bakar tingkat dua, akan lebih sakit dari TEN. Tekanan darah, hematokrit, dan level gas dalam darah, elektorlit dan serum harus selalu dikontrol. 10) Perawatan Antibiotik / Antimikrobial Akan sering ditemukan bakteri dan kultur jamur dua sampai tiga kali per minggu dari kulit dan lesi mukosa, darah dan sputum; mukosa oral dan genital harus sering dipantau dari keberadaan HSV ataupun candida. Kebanyakan ,pasien diberikan antibiotic hanya jika gejala klinis dari infeksi sudah muncul. Hal ini mungkin saja, bahwa banyak dokter

19

menggunakan antibiotic profilaksis untuk pasien yang drug intolerance. Yang termasuk antibiotic profilaksis adalah sodium penicillin,, 2x 10 juta unit per hari). 11) Perawatan Suportif (1) Kulit : Antibiotik dan antiseptic topikal (2) Mata : Steroid lubricant dan antibiotic drop (3) Traktus respiratorius : Drainase postural (4) Alimentation : Local anatesi, mouthwash. High protein diet juga duanjurkan, walaupun resiko dari septicemia dapat terjadi pada intravenous lines.

2.4 Acute Adrenal Insuficiency (Krisis Addison) 2.4.1 Definisi Suatu keadaan gawat darurat yang berhubungan dengan menurunnya atau kekurangan hormon yang relatif dan terjadinya kolaps sistem kardiovaskuler dan biasanya gejala gejalanya non spesifik, seperti muntah dan nyeri abdomen. 2.4.2 Patofisiologi Kortek adrenal memproduksi 3 hormon steroid yaitu hormon glukokortikoid (kortisol), mineralokortikoid (aldosteron, 11deoxycoticosterone) dan androgen (dehydroepiandrosterone). Hormon utama yang penting dalam kejadian suatu krisis adrenal adalah produksi dari kortisol dan adrenal aldolteron yang sangat sedikit. Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dan menyediakan zat - zat melalui proteolisis, penghambat sintesis protein, mobilisasi asam lemak,dan meningkatkan pengambilan asam amino di hati. Kortisol secara tidak langsung meningkatkan sekresi insulin untuk mengimbangi hperglikemi tetapi juga menurunkan sensitivitas dari insulin. Kortisol juga mempunyai efek anti inflamasi untuk mestabilkan lisosom, menurunkan

20

respon leukositik dan menghambat produksi sitokin. Aktivitas fagositik dipertahankan tetapi sel mediated imunity hilang pada keadaan kekurangan kortisol dan mensupresi sintesis adrenokortikotropik hormon ( ACTH). Aldosteron di keluarkan sebagai respon terhadap stimulasi dari angiotensin II melalui system renin angiotensin, hiperkalemi, hiponatremi dan antagonis dopamin. Efek nya pada target organ primer. Ginjal meningkatkan reabsorpsi dari natrium dan sekresi dari kalium dan hidrogen. Mekanismenya masih belum jelas, peningkatan dari natrium dan kalium mengaktivasi enzim adenosine triphosphatase ( Na/K ATPase) yang bertangung jawab untuk trasportasi natrium dan juga meningkatkan aktivitas dari carbonic anhidrase, efek nya adalah meningkatkan volume intravaskuler. System renin angiotensin-aldosteron tidak dipengaruhi oleh glukokortikoid eksogen dan kekurangan ACTH mempuyai efek yang sangat kecil untuk kadar aldosteron kekurangan hormon adrenokortikal menyebabkan efek yang berlawanan dengan hormon ini dan menyebabkan gejala klinis yang dapat ditemukan pada krisis adrenal. Berikut adalah bagan yang menggambarkan keadaan yang terjadi pada krisis Addison: (Gambar 1)

21

Gambar 8. Dikutip dari Adddison crisis pathway, Widebertha`s MESSAGE BOARD; available at : http://pages.zdnet.com/nana200 3/id129,html 2.4.3 Insidensi Insidensi dari krisis adrenal sangat jarang yaitu : sekitar 4 dari 100.000 orang. 2.4.4 Etiologi Penyebab primer adalah perdarahan kelenjar adrenal bilateral, trombosis atau nekrosis selama terjadi sepsis atau ketika mendapat antikoagulan. Bila kehilangan kelenjar adrenal unilateral tidak akan menyebabkan insufisiensi adrenal. Penyebab sekunder adalah peripartum pituitary infark (Sheehan`s syndrom), Pituitary apoplexy ( perdarahan pada kelenjar pituitary), trauma kepala dengan gangguan batang kelenjar pitutari, tetapi biasanya tidak seberat pada keadaan adrenal insuficiency primer karena sekresi aldosteron tidak dipengaruhi. 2.4.4 Faktor Resiko Penggunaan steroid , kurang lebih 20 mg sehari dari prednison atau persamaannya sekurang kurangnya 5 hari pada 1 tahun terahir, penderita menerima dosis yang mendekati kadar fisiologis yang dibutuhkan selama 1 bulan untuk memulihkan fungsi dari kelenjar adrenal. Stres fisiologik yang berat seperti sepsis, trauma, luka bakar, tindakan pembedahan. Berikut ini adalah keadaan yang terjadi pada hipotalamik-pituitary- adrenal axis pada keadaan normal, keadaan stress fisiologis yang berat dan dalam keadaan critical illness. (Gambar 2)

22

Gambar 9. Aktifitas dari hipotalamus-pituitary-adrenal axis pada A. keadaan normal B. Respon terhadap stres C. Dalam keadaan critically illn es ( dikutip dari Corticosteroid Insufficiency in Acuttely ill patiet , N Eng J Med2003;348:727 -34) Organisme yang berhubungan dengan krisis adrenal yaitu haemophilus Influenza, staphilokokus aureus, streptokokus pneumonia, jamur. Selain itu penggunaan obat inhalasi fluticasone, setelah injeksi steroid intra artikular, dan pada pengguna obat-obatan ketokonazole, phenitoin, rifampisin. 2.4.5 Gejala Klinis Gejala klinis yang mendukung suatu diagnosis krisis adrenal adalah sebagai berikut :

23

1. Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh dengan pemberian resusitasi cairan atau vasopresor. 2. Hipotermia atau hipertermia 3. Yang berhubungan dengan kekurangan kortisol yaitu cepat lelah, lemah badan, anoreksia, mual mual dan muntah , diare, hipoglikemi, hipotensi, hiponatremi. 4. Yang berhubungan dengan kekurangan hormon aldosteron yaitu hiperkalemia dan hipotensi berat yang menetap 5. Lain lain tergantung dari penyebab, mungkin didapatkan panas badan, nyeria bdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan kelenjar adrenal. 2.4.6 Pemeriksaan Penunjang Data laboratorium memperlihatkan kadar glukosa darah yang rendah. Biasanya kadar natrium plasma juga rendah tetapi jarang dibawah 120 meq/L dan kadar kalium dalah meningkat, tetapi jarang diatas 7 meq.L. Penderita biasanya mengalami asidosis dengan kadar bikarbonat plasma antara 15-20 meq /L. Kadar ureum juga meningkat. Kemungkinan diagnosa juga dapat di lihat dari adanya eosinofilia dan limpositosis pada SADT, dan adanya gangguan kadar serum tiroid. Diagnosa paling spesifik yaitu dengan memeriksa kadar ACTH dan kortisol, jika terdapat banyak waktu. Serum kotisol biasanya kadarnya kurang dari 20 mcg/dl tetapi kita dapat menunggu untuk melakukan pemeriksaan ini bila pasien sudah dapat distabilkan. Jika akan dilakukan test untuk menstimulasi ACTH setelah memulai stess dose steroid, pastikanlah steroid sudah diganti ke dexametason karena tidak akan mempengaruhi test. Cara melakukan ACTH test adalah pertama tetapkan kadar kortisol plasma baseline, kemudian berikan ACTH 250 mcg intavena yang diberi tekanan kemudian pantau serum kortisol 30-60 menit setelah diberikan

24

ACTH. Kenaikan kurang dari 9 mcg dapat dipikirkan sebagai insuficiensi adrenal. Pada foto thorax harus dicari tanda tanda tuberculosis, histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan lymphoma. Pada pemeriksaan CT scan abdomen menggambarkan kelenjar adrenal mengalami perdarahan, atropi, gangguan infiltrasi, penyakit metabolik. Perdarahan adrenal terlihat sebagai bayangan hiperdens, dan terdapat pembesaran kelenjar adrenal yang bilateral. Pada pemeriksaan EKG mempelihatkan adanya pemanjangan dari interval QT yang dapat mengakibatkan ventikular aritmia, gelombang t inverted yang dalam dapat terjadi pada akut adrenal krisis. Pemeriksaan histologis tergantung dari penyebab kegagalan adrenal. Pada kegagalan adrenokotikal yang primer, terlihat gambaran infeksi dan penyakit infiltratif. Pada kegagalan adrenokotikal yang sekunder dapat menyebabkan atrofi kelenjar adrenal. Gambaran dari perdarahan adrenal bilateral mungkin hanya ditemukan gambaran darah saja. 2.4.7 Penatalaksanaan 1. Cairan isotonik seperti NaCl 9% diberikan untuk menambah volume dan garam. 2. Jika penderita hipoglikemi dapat di berikan cairan dextrose 50% Steroid IV secepatnya : dexametason 4 mg atau hydrokortisone 100 mg. 3. Setelah penderita stabil lanjutkan dengan dexametasone 4 mg IV tiap 12 jam atau hydrokortison 100 mg IV tiap 6-8 jam. 4. Obati penyakit dasarnya seperti infeksi dan perdarahan, untuk infeksi dapat diberikan antibiotik. 5. Untuk meningkatkan tekanan darah dapat diberikan dopamin atau norepineprin. 6. Terapi pengganti mineralokortikoid dengan fludricortisone

25

7. Penderita harus dikonsultasikan dengan endokrinologist, spesialis penyakit infeksi, ahli critical care, kardiologis, ahli bedah. 2.4.8 Prognosa Pada keadaan tidak didapatkan perdarahan adrenal bilateral, kemungkinan hidup dari penderita dengan krisis adrenal akut yang didiagnosa secara cepat dan ditangani secara baik, mendekati penderita tanpa krisis adrenal dengan tingkat keparahan yang sama. Penderita yang penyakitnya berkembang menjadi perdarahan sebelum dapat dilakukan pemeriksaan CT scan atau test hormonal jarang yang dapat bertahan hidup. Karena insiden dari krisis adrenal dan perdarahan adrenal sulit diketahui secara pasti maka mortalitas dan morbiditasnya tidak diketahui dengan jelas.

2.5

Pemphigus Vulgaris 2.5.1 Definisi Pemphigus vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi berupa kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau mukosa, di mana system imun tubuh menyerang protein-protein pada kulit. 2.5.2 Insidensi Pemphigus biasanya terjadi pada remaja dan orangtua. PV merupakan bentuk pemphigus yang paling sering terjadi, sekitar 80% kasus. Telah dilaporkan bahwa pemphigus dalam waktu yang bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya, terutama myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma juga memiliki insidensi tinggi untuk mengalami

26

pemphigus. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan kelainan autoimun multiple atau pada pasien yang mengalami neoplasma seperti lymphoma. Kematian biasanya terjadi pada pasien yang tua dan pada pasien yang membutuhkan dosis kortikosteroid yang tinggi yang mana akan menambah infeksi dan septikemia yang disebabkan oleh bakteri, terutama oleh Staphylococcus aureus. 2.5.3 Patogenesis Mekanisme yang mendasari penyebab dari lesi intraepitel ini adalah kerusakan atau hilangnya adhesi intersel akibat autoantibodi IgG, kadang-kadang IgA dan IgM terutama terhadap desmoglein dapat juga pada desmoglein sehingga menyebabkan pelepasan sel epitel yang dikenal dengan akantolisis Akantolisis terjadi pada lapisan terbawah pada stratum spinosum. Mikroskop electron menunjukkan awal terjadinya epithelial berubah karena hilangnya substansi intrcellular cement, yang diikuti dengan pelebaran dari interseluler space, penghancuran desmosom, dan degenerasi selular. Acantholysis ini menghasilkan suprabasilar bulla yang besar pada epithelium, sehingga menyebabkan hilangnya daerah kulit dan mukosa. Perluasan ulserasi yang diikuti ruptur pada lepuhan dapat menyebabkan
rasa sakit, kehilangan cairan dan elektrolit.

2.5.4 Manifestasi klinis Lesi klasik dari pemphigus adalah bulla berdinding tipis yang timbul pada kulit yang normal atau mukosa. Bulla secara terus menerus merusak tetapi selanjutnya memanjang ke sekeliling, dan kemudian meninggalkan daerah luas kulit yang gundul. Ciri-ciri utama dari penyakit ini diperoleh dengan memberikan tekanan pada bulla. Pada pasien dengan PV, bulla diperbesar oleh perluasan permukaan normal. Ciri-ciri lain dari penyakit ini adalah tekanan pada daerah normal akan menghasilkan pembentukan bulla baru. Kejadian ini, disebut Nikolsky sign, biasanya

27

berhubungan dengan epidermolysis bullosa.

pemphigus

tetapi

juga dapat terjadi

pada

Beberapa pasien dengan pemphigus dapat terjadi secara akut, tetapi pada kebanyakan kasus, penyakit ini terjadi secara lebih lambat, biasanya memerlukan waktu berbulan-bulan untuk berkembang sampai tingkat sempurna.

Gambar 10. Gambaran lesi PV pada oral dan tubuh (sumber : Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed.)

2.5.4 Manifestasi oral 80-90% dari pasien dengan pemphigus vulgaris terkadang timbul lesi oral selama masa sakitnya, dan pada 60% kasus, lesi oral merupakan tanda pertamanya. Lesi oral dapat timbul sebagai bulla klasik pada dasar non inflamasi; lebih sering lagi, dokter melihat ulser dangkal yang irregular, hal ini dikarenakan oleh pecahnya bulla secara terus menerus. Lapisan tipis epithelium mengelupas dalam pola yang irregular, meninggalkan dasar yang gundul. Tepi lesi memanjang ke sekelilingnya selama beberapa minggu sampai mencapai bagian yang lebar di mukosa oral. Lesi paling sering terjadi pada mukosa bukal, biasanya pada daerah yang mengalami trauma pada sepanjang bidang oklusal. Palatum dan gingival merupakan lokasi lesi lainnya.

28

Gambar 11. Gambaran lesi oral PV (sumber : Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed.) Biasanya lesi oral muncul sekitar 4 bulan sebelum timbulnya lesi pada kulit. Jika perawatan dimulai selama masa ini, penyakitnya akan lebih mudah untuk dikontrol, dan kemungkinan untuk remisi awal dari kelainan ini tinggi. Biasanya, diagnosis awal terlewatkan, dan lesi salah diagnosa menjadi infeksi herpes atau candidiasis. Jika riwayat penyakit dilihat, dokter pasti mampu untuk membedakan lesi pemphigus dari lesi lainnya dalam kategori RAS. Lesi RAS dapat menjadi parah, tetapi lesi individual dapat disembuhkan dan timbul kembali. Pada pemphigus, lesi yang sama berlanjut meluas ke sekelilingnya dalam waktu mingguan sampai bulanan. Lesi pemphigus tidaklah bulat dan simetris seperti lesi RAS, tetapi lesinya dangkal dan iregular dan terkadang melepaskan epitelium pada bagian perifernya. Pada tahap awal penyakit, pengelupasan pada epitel oral menyerupai mengelupas kulit yang terjadi setelah terbakar sinar matahari yang parah. Pada beberapa kasus, lesi dimulai pada gingiva fan dikenal dengan nama desquamative gingivitis. Harus diingat bahwa desquamative gingivitis bukan diagnosanya sendiri, lesi ini harus dibiopsi untuk mengetahui kemungkinan lesi ini adalah PV, pemphigus bullous, pemphigoid membran mukosa, dan lichen planus yag erosif.

29

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui tes laboratorium. PV didiagnosa dengan biopsy. Biopsi yang baik diambil dari vesikel dan bullae yang kurang dari 24 jam, karena pada mukosa oral jarang, spesimen biopsi diambil dari tepi lesi. Specimen diambil pada kulit yang mengalami denudasi. Jika pasien menunjukan tanda postif dari Nikolsky sign; tekanan bisa diberikan pada mukosa untuk menghasilkan lesi baru, biopsy bisa diambil dari lesi baru. 2.5.5 Perawatan Perawatannya diberikan dosis tinggi corticosteroid sistemik, biasanya dosis yang diberikan adalah 1 atau 2 mg/kg/d. Kika cortico steroid diberikan pada jangkan waktu yang panjang, bisa diberikan azathioprine atau cyclophospamide untuk mengurangi komplikasi dari penggunaan terapi corticosteroid dalam jangka panjang. Prednisone juga diberikan untuk membuat penyakit dapat dikontrol, dan ketika sudah diberikan, dosisnya terus dikurangi. Pasien yang terkena pada oralnya juga membutuhkan dosis rendah dari prednisone untuk jangka pendek, hingga bisa dipertimbangkan apakah perlu terapi lainnya tanpa menyebabkan resiko komplikasi tambahan seperti dyscrasiasis darah, hepatitis, dan meningkatkan malignancy. Efek samping terkait pemberian kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang, seperti hipertensi, perdarahan gastrointestinal, osteoporosis, hiperglikemia ditangani oleh bagian penyakit dalam. Efek samping lainnya adalah kandidiasis, yang terlihat secara klinis di rongga mulut pasien biasanya dberikan perawatan dengan kortikosteroid, berupa plak putih dapat diangkat, meninggalkan daerah kemerahan dan rasa perih pada mukosa bukal dan dorsum lidah. Pasien diberikan obat antijamur topikal, yaitu nistatin suspensi. Kebersihan mulut yang optimal sangat penting di dalam perawatan ini. Keterlibatan gingiva dan jaringan periodontal dapat memberikan

30

respon berlebihan terhadap plak bakteri. Dalam hal ini, perawatan gigi dan mulut bertujuan untuk mengurangi produksi autoantibodi sistemik sehingga diharapkan dapat mengendalikan proses penyakit.

BAB III KESIMPULAN

Erythema multiform, Stevens jhonsons syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis, Acute Adrenal Insufficiency dan Pemphigus Vulgaris merupakan beberapa penyakit yang termasuk kategori gawatdarurat. Dalam hal ini, dokter gigi perlu mengetahui ciri-ciri khas dari setiap penyakit di atas agar mampu memberikan perawatan yang tepat pada pasien. Pemphigus vulgaris contohnya, ia merupakan penyakit yang lesi oralnya muncul 4-6 bulan sebelum terjadi lesi di tubuh. Jika dokter gigi menemukannya,

31

maka tindakan preventif bisa dilakukan guna mencegah penyebaran lesi yang lebih massif.

DAFTAR PUSTAKA Addison`s Disease. Medic Alert Foundation International ; California ; available at : http//www.labtestonline.org/understanding/condition/addisons- disease.html Addisons Disease or Hypoadrenocorticism ; available at:

http//wheatenguy.tripod.com/addisons.html Adhiarta, IGN. Soetedjo, Nanny NM. Krisis Adrenal. available

at: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/krisis_adrenal.pdf

32

Burket LW. 1971. Oral Medicine; Diagnosis and Treatment. 6th ed, Philadelphia, Toronto : J.B.Lippincott Co. Cooper MS,Stewart PM ; Corticosteroid Insufficiency in Acute ill Patient, Review Article; N Engl J Med 2003 ; 348:8 727-34 http://emedicine.medscape.com/article/116716-overview Foster, Stephen C. (2012, November 27). Stevens Johnson Syndrome. Retreieved Maret 17, 2013 from Medscape : http://emedicine.medscape.com/article/1197450overview#a0101 Huetther SE. Disorders of Adrenal Gland, Alteration of Hormonal Regulatin.In: Mc Cance KL, Huether SE. The biologic basis for diseases in adult and children. 5th Edition; 2005: 720-728 Joan Hoffman. 911 Adrenal crisis / Crisis Addison / Adrenal Insuficiency in : Cushing`s Help and support ; June 2002 available from ; http://www.cushinghelp.com/911.htm Kirkland L. AdrenalCrisis; eMedicine; available at;

http://emedicine.medscape.com/article/116716-overview Lynette K Nieman . Treatment of Adrenal Insufficiency; Up TO Date Treatment of Adrenal Insufficiency; available at : http://patients update.com/topic.asp>file=adrenal/4402 Marina martin MD. Adrenal insufficiency; available at:

http://www.ctm .stanford.edu/06-07/adrenalinsuff-martin-9-18-06.pdf

33

McPhee SJ. Disorders of the Adrenal Cortex. In: McPhee SJ,Linggapa VR,Ganong WF.eds. Pathophisiology of Diseases. 4th Edition .New York: McGraw-Hill; 2003 : 597-61 Oelkers W. Adrenal Insuficiency ; Review article ; N Engl J Med 1996; 335:120612 Plaza, J. A. (2013, February 1). Erythema Multiforme. Retrieved Maret 15, 2013, from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/1122915-overview Speiser PW. Adrenal Krisis in : Pediatric Endocrinology.; Schhiner Children`s Hospital ; New York School of Medicie ; New York City, 2003; available at: http://www.caresfoundation.org/news-letter/sping 03 WillacyH, Bonsal A. Addisonian Crisis in :Patient Plus original by doctoroline.nhs.uk,EMIS 2006 ; available at: http://www.patient.co.uk/showdoc/40001340

You might also like