You are on page 1of 8

TONSILITIS

PENDAHULUAN

DEFENISI Tonsillitis adalah peradangan pada tonsil, bantalan berbentuk oval pada jaringan di belakang tenggorokan. ANATOMI TONSIL Tonsil adalah sepasang organ kecil berbentuk almond yang terletak di kedua sisi tenggorokan pada mulut. Dulu dokter percaya bahwa tonsils tidak memiliki kegunaan yang jelas dan seringkali mereka membuangnya untuk menghindari tonsillitis atau radang amandel. Namun sekarang tonsil dan adenoid diduga memiliki peranan sebagai baris pertama pertahanan terhadap kuman -kuman yang menyebabkan penyakit yang masuk ke tubuh melalui hidung, mulut, atau tenggorokan. Tonsil dan adenoid melindungi tubuh terhadap kuman pada masa anak-anak dengan memproduksi antibody (yaitu sejenis protein yang dibuat di dalam tubuh untuk memerangi infeksi dan menghancurkan organisme berbahaya seperti virus dan bakteri). Dengan menyerang virus dan bakteri, antibody berperan penting dalam system kekebalan tubuh. Masalahnya adalah bahwa dalam proses perlindungan tubuh tersebut, tonsil dan adenoid sendiri dapat terinfeksi. Ketika anak-anak tumbuh dan berkembang, tonsil dan adenoid pada akhirnya mulai menyusut dan mungkin tidak lagi penting dalam melindungi tubuh terhadap kuman yang menyebabkan penyakit. Bahkan pada anak-anak, menghilangkan tonsil dan adenoid yang terinfeksi tampaknya tidak melemahkan pertahanan tubuh. Ada banyak sel-sel di dalam tubuh yang merupakan bagian dari sistem kekebalan. Jaringan ini, dikenal sebagai jaringan lymphoid, yang juga membuat antibody untuk memerangi infeksi. Tonsil bersemayam dan menonjol dari fossa tonsilaris. Ada 3 perbatasan tonsil, yaitu : 1.Perbatasan anterior : arkus palatoglossus (arkus anterior). 2.Perbatasan posterior : arkus palatofaring (arkus posterior). 3.Perbatasan lateral : ruangan peritonsilair. Ruangan peritonsilair berisi jaringan peritonsil dan muskulus konstriktor medius.

ETIOLOGI Yang umum menyebabkan sebagian besar tonsilitis adalah pilek virus ( adenovirus, rhinovirus, influenza, coronavirus, RSV ). Hal ini juga dapat disebabkan oleh virus Epstein-Barr, herpes simpleks virus , cytomegalovirus, atau HIV. Yang paling umum menyebabkan kedua adalah bakteri. Para bakteri penyebab umum paling adalah Group A-hemolitik streptokokus ( GABHS ), yang menyebabkan radang tenggorokan. Kurang bakteri penyebab umum termasuk: Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, pertusis, Fusobacterium , difteri, sifilis, dan gonore. Dalam keadaan normal, seperti virus dan bakteri masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut, mereka disaring di amandel. Dalam amandel, sel-sel darah putih dari sistem kekebalan tubuh memount sebuah serangan yang membantu menghancurkan virus atau bakteri, dan juga menyebabkan peradangan dan demam. Infeksi juga mungkin ada di tenggorokan dan sekitarnya, menyebabkan peradangan pada faring. Ini adalah area di bagian belakang tenggorokan yang terletak di antara dalam kotak suara dan tonsil. Tonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri streptokokus Grup A, mengakibatkan radang tenggorokan. Viral tonsillitis mungkin disebabkan oleh berbagai virus [10] seperti virus EpsteinBarr (penyebab infeksi mononucleosis ) atau adenovirus. Kadang-kadang, tonsilitis disebabkan oleh infeksi dari spirochaeta dan Treponema, dalam hal ini disebut 's angina Vincent atau-Vincent angina Plaut.

Tonsilitis bisa disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus. Antara tonsillitis akut dan tonsillitis kronik memiliki perbedaan penyebabnya, yaitu:

a. Tonsillitis akut. Lebih disebabkan oleh kuman grup A streptokokus beta hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi sehingga radang berupa keluarnya leukosit terbentuk detritus.

polimorfonuklear

Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kekuningan. b. Tonsillitis kronik. Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut, namun kadang-kadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Faktor predisposisi tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis rokok, makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.

GEJALA DAN TANDA Gejala umum tonsilitis meliputi: merah dan / atau bengkak amandel putih atau kuning patch pada amandel tender, kaku, dan / atau leher bengkak sakit tenggorokan sulit menelan makanan batuk sakit kepala Sakit mata tubuh sakit otalgia demam

panas dingin hidung mampet Tonsilitis akut disebabkan oleh bakteri dan virus dan akan disertai dengan gejala sakit telinga saat

menelan, bau mulut, dan air liur bersama dengan radang tenggorokan dan demam. Dalam hal ini, permukaan tonsil mungkin merah cerah atau memiliki lapisan putih keabu-abuan, sedangkan kelenjar getah bening di leher akan membengkak

DIAGNOSA Diagnosis dari tonsilitis akut atau berulang ditegakkan terutama berdasarkan manifestasi klinis. Meskipun demikian prosedur kultur dan resistensi bakterial sangat dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya jenis bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A pada 40% kasus, di mana tonsilitis yang terjadi sekunder terhadap bakteri ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup berat. Jenis bakteri lain yang juga dapat ditemukan, antara lain: streptokokus alfa dan gama, difteroid, stafilokokus aureus, dan haemofilus influenza. Di samping itu bakteri anaerob juga telah ditemukan pada permukaan dan poros tonsil, terutama grup bakteroides melaninogenikus

PENATALAKSANAAN Perawatan untuk mengurangi ketidaknyamanan dari gejala tonsillitis meliputi: rasa sakit, anti-inflamasi, demam mengurangi obat (acetaminophen, ibuprofen) sakit tenggorokan lega (obat kumur air garam, belah ketupat, cairan hangat). Jika tonsilitis disebabkan oleh kelompok A streptococus , maka antibiotik yang berguna dengan penisilin atau amoksisilin baris pertama sedang. Sebuah macrolide seperti eritromisin digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Pasien yang gagal terapi penicilin mungkin menanggapi pengobatan yang efektif terhadap lactamse memproduksi bakteri-beta seperti klindamisin atau amoksisilin-klavulanat . Aerobik dan anaerobik beta penghasil laktamase bakteri yang berada di jaringan tonsil dapat "perisai" kelompok A streptokokus dari penicilins. Bila tonsilitis disebabkan oleh virus, panjang penyakit tergantung pada virus mana yang terlibat. Biasanya, pemulihan lengkap dibuat dalam satu minggu, namun dapat berlangsung selama dua minggu. kronis kasus dapat diobati dengan tonsilektomi (operasi pengangkatan tonsil) sebagai pilihan untuk pengobatan.

PENCEGAHAN Kuman yang menyebabkan tonsillitis baik itu virus maupun bakteri adalah menular. Untuk itu menerapkan hidup bersih adalah cara terbaik dalam mencegah tonsillitis. Ajarkan anak anda untuk: Mencuci tangan secara benar dan sering, khususnya setelah menggunakan toilet dan sebelum makan. Hindari berbagi makanan, gelas minum atau perlengkapan. Untuk Ajarkan membantu penularan terhadap anak lain maka

Tanyakan pada dokter anda apakah anak anda telah siap untuk kembali ke sekolah. anak anda untuk batuk dan bersin dengan ditutup tisu atau lipatan siku.

Ajarkan anak anda untuk mencuci tangan setelah batuk atau bersin.

KOMPLIKASI 1.Abses Peritonsilar (quinsy) Biasanya timbul pada pasien dengan tonsillitis berulang atau kronis yang tidak mendapat terapi yang adekuat.

2.Abses parafaringeal : Timbul jika infeksi atau pus (cairan abses) mengalir dari tonsil atau abses peritonsilar melalui otot konstriktor superior, sehingga formasi abses terbentuk di antara otot ini dan fascia servikalis profunda. Komplikasi ini berbahaya karena terdapat pada area di mana pembuluh darah besar berada dan menimbulkan komplikasi serius.

3.Abses retrofaringeal : Keadaan ini biasanya disertai sesak nafas (dyspnea), ganggaun menelan, dan benjolan pada dinding posterior tenggorok, dan bisa menjadi sangat berbahaya bila abses menyebar ke bawah ke arah mediastinum dan paru-paru.

4.Adenitis servikalis supuratif Infeksi pada kelenjar getah bening daerah leher, ditandai dengan kelenjar yang membengkak berisi nanah, kemerahan dan nyeri, biasanya anak akan mengeluh nyeri pada daerah lehernya dan sulit menggerakan lehernya ke segala arah.

5.Tonsilolith : Tonsilolith adalah kalkulus di tonsil akibat deposisi kalsium, magnesium karbonat, fosfat, dan debris pada kripta tonsil membentuk benjolan keras. Biasanya menyebabkan ketidaknyamanan, bau mulut, dan ulserasi (ulkus bernanah).

6.Kistatonsil : Umumnya muncul sebagai pembengkakan pada tonsil berwarna putih atau kekuningan sebagai akibat terperangkapnyadebrispadakriptatonsilolehjaringanfibrosa.

7.Komplikasi sistemik : Kebanyakan komplikasi sistemik terjadi akibat infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A. Di antaranya: radang ginjal akut (acute glomerulonephritis), demam rematik, dan bakterial endokarditis yang dapat menimbulkan lesi pada katup jantung.

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil juga dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.

KESIMPULAN Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah meimblkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.

Sudah hampir dipastikan disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Faktor ras, letak geografis, jenis kelamin (laki-laki), faktor lingkungan (iritasi bahan kimia, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masakan tertentu, asap sejenis kayu tertentu, dan faktor genetik juga mempengaruhi. Gejala dibagi dalam 4 kelompok yaitu: Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau sumbatan hidung. Gejala telinga, berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di telinga. Gejala saraf, berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia daerah pipi, neuralgia trigeminal, paresis/paralisis arkus faring, kelumpuhan otot bahu, dan sering tersedak. Gejala atau metastasisi dileher, berupa benjolan di leher. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukkan masa jaringan lunak didaerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media. Dapat pula dilakuakn CT-Scan daerah kepala dan leher serta pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA. Diagnosis pasti dilakukan dengan biopsy dari hidung atau mulut. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dsb untuk mendeteksi metastasis. Pengobatan utama adalah radioterapi. Sebagai tambahan dapat dilakuakn diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus. Sebagai terapi ajuvan terbaik dalh kemotrapi dengan kombinasi Cis-Platinum sebagai inti. Diseksi leher radikal dilakukan bila benjolandi leher tidak menghilang dengan radiasi atau timbul kembali, dengan syarat tumor induknya sudah hilang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed.13, jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396 2. Adams GL, Boeis LR. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, ed 6. Jakarta. EGC. 1994; 95-116. 3. Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC, Jakarta. pp;371-373 4. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi, FKUI, 1994, Jakarta.pp;151-152 5. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396 6. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ; 146-159 7. www.utmb.edu

You might also like