You are on page 1of 6

Makalah Pendidikan Agama Islam Ijtihad

Disusun Oleh :
Dyah Muawiyah (K3312026)

Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 2013

IJTIHAD
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad dari segi bahasa berarti bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha tau ikhtisar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Quran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum terdapat dalam AsSunnah, dan merumuskannya menjadi garis-garis hukumyang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Sumber hukum ijtihad adalah Al-Quran: Surat An-Nisaayat 59 (AlQuran, As-Sunnah, Ulil Amri, dan Rayu) dan As-Sunnah , yaitu Hadits Muad bin Jabbal ketika dikirim sebagai ulil amri di Yaman. Ijtihad juga hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai mujtahid.

B.

Metode-Metode Ijtihad
Ada beberapa cara atau metode yang sudah dirumuskan oleh para mujtahid dalam melakukan ijtihad. Metode yang disepakati oleh para mujtahid ada dua, yaitu ijma dan qiyas. Sedangkan metode-metode lain yang tidak disepakati, yakni istihsan, istishlah (mashlahah mursalah), istishhab, urf, madzab shahabi, syaru man qablana, dan saddu aldzariah. 1. Ijma Secara etimologis, ijma memiliki dua arti yaitu sepakat dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Secara terminologis, ijma di definisikan sebagai kesepakatan para mujtahid kaum muslimin pada suatu masa sepeninggal nabi Muhammad SAW, terhadap kaum syara mengenai suatu peristiwa. Dengan kata lain ijma artinya kesepakatan, yakni kesepakatan para ulama dengan cara ijtihad dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Contoh dari praktik penggunaan ijma adalah : a. Terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW adalah kesepakatan para ulama pada masa itu. b. Hukum merokok menutu ijma (Fatwa Majelis Ulama Indonesia), rokok adalah haram. Rujukan rokok ini adalah pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sesuatu yang mudharat (bahaya)nya lebih besar dari manfaatnya adalah haram. c. Adanya hak waris seorang kakek dalam hal seseorang yang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup. 2. Qiyas Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan, artinya menetapkan suatu hukum atau perkara yang baru, belum ada pada masa

sebelumnya, namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga di hukumi sama. Dalam islam, ijma dan qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyas (analogi): a. menyimpulkan hukum dari yang asal menuju cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui persamaan diantaranya. Fungsi qiyas adalah untuk menemukan sebab atau illat hukum yang diwahyukan untuk dikembangkan ke dalam kasus serupa. Adapun unsur-unsur yang harus ada (rukun) pada qiyas, yaitu : a. Maqisalaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya) atau sering disebut ashl (sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain). b. Maqis (sesuatu yang akan di-qiyas-kan), atau sering disebut furu (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashl). c. Hukum ashl, yaitu hukum yang ada apada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, dan hukum ini juga yang akan ditetapkan pada furu. d. Illat, yaitu sifat yang menjadi dasar ditetapkannya hukum. Jika illat yang ada pada ashl dan furu sama, maka hukum keduanya sama. Contoh qiyas antara lain: a. Menurut Al-Quran (surah Al-Jumuah ayat 9) : seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan jumat. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual beli) yang dilakukan pada saat mendengan adzan jumat? Dalam AL-Quran maupun Hadits tidak di jelaskan. Maka hendaknya kita ber-ijtihad dengan jalan qiyas, yaitu: kalau jual beli karena dapat mengganggu sholat jumat dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu sholat jumat juga dilarang. b. Contoh lain, menurut surah Al-Isra ayat 23 : seseorang tidak boleh berkata (menghardik) orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti, dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi/qiyas terhadap hukum menghardik tadi, karena sama-sama menyakiti orang tua. c. Pada zaman Rasulullah SAW pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar qiyas tersebut, yaitu ketika Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW: hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya dalam keadaan berpuasa. Rasulullah SAW bertanya: Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu berpuasa? Umar menjawab: tidak apa-apa. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: kalu begitu teruskanlah puasamu. 3. Istihsan Arti istihsan secara entimologis: a. Memperhitungkan sesuatu lebih baik b. Adanya sesuatu itu lebih baik c. Mengikuti sesuatu yang lebih baik

d. Mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang di suruh untuk itu Sedangkan secara terminologis, istihsan berarti: meninggalkan qiyas jali (jelas) untuk menjalankan qiyas yang khafi (samarsamar), atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum juzi atau istinai (pengecualian) karena alasan yang menguatkannya. 4. Istishlah (Mashlahah Mursalah) Secara entimologis, mashlah mursalah berarti kemashalatan atau kepentingan yang tidak terbatas, tidak terikat, atau kepentingan yang diputuskan secara bebas. Secara terminologis adalah kemashalatan yang tidak ditetapkan secara pati oleh syari (Allah dan Rasul-Nya) untuk mewujudkannya dan tidak ada dalil syara yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya. Adapun contoh penggunaan mashlahah mursalah adalah kebijaksanaan yang dilakukan Abu Bakar mengenai pengumpulan AlQuran dalam satu mushaf, adanya ijazah, surat nikah, dan lain-lain. 5. Istishhab Istishhab adalah mengambil hak yang sudah ditetatpkan masa lalu dan tetap digunakan sampai sekarang selama belum ada sumber hukum yang menetapkan. Contoh istishhab adalah seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum, maka dalam hal ini ia harus berpegang pada ketentuan hukum asal, yaitu ia belum berwudhu. Adapun kehujahan istishhab atau kedudukannya sebagai sumber hukum islam, antara lain: a. Ulama Syafiyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dzariyah, dan sebagian kecil ulama Hanafiyah dan Syiah membolehkan selama belum ada ketentuan hukumnya baik Al-Quran, Hadits, dan ijma. b. Kebanyakan ulama Hanafiyah menolah istishab sebagai pegangan hukum. 6. Madzab Shahabi Madzhab Shahabi terkadang dinamakan dengan qaul shahabi dan fatwa shahabi. Secara sederhana, madzhab shahabi berarti fatwa sahabat secara perseorangan. Adanya batasan perorangan ini mengindikasikan bahwa madzhab shahabi berbeda dengan ijma shahabi yang lahir dari kesepakatan dari para sahabat secara keseluruhan. 7. Syaru Man Qablana Syaru man Qablana (syariat sebelum kita) berarti hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad. Syariat umat sebelum kita yang di jelaskan dalam Al-Quran dan Sunnah dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:

a. Ada yang sudah di nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad, seperti dijelaskan dalam surah AlAnam (8): 146 tentang haramnya binatang yang punya kuku, sapi dan kambing, dan hadits Nabi tentang halalnya harta rampasan. b. Ada yang masih tetap berlaku untuk umat Nabi Muhammad, seperti dijelaskan dalam surah Al-Baqarah (2):183 tentang kewajban puasa, dan hadits Nabi tentang syariat berkurban. c. Ada yang tidak dijelaskan berlakunya untuk kita dan tidak juga dijelaskan apakah hal itu telah di naskh, dan inilah yang menjadi pembicaraan umat ushul. 8. Saddu al-dzariah Secara etimologis, kata al-dzariah berarti jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau manawi, baik atau buruk. Sedangkan secara definisi, al-dzariah berarti apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan. Sedangkan sata saddu artinya menutup.

DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2011. Ijtihad Karena Keterbatasan Nash Al-Quran dan Sunnah. http://thesaltasin.wordpress.com/2011/11/08/diperbolehkannya-ijtihad-karenaketerbatasan-nash-al-quran-dan-sunnah/. (Diakses pada 24 Maret 2013). Ani Robianah. 2008. Metode Ijtihad. http://aniecuuyz.blogspot.com/. (Diakses pada 22 Maret 2013). Estuty Dewi. 2012. Metode http://estutydewi.blog.esaunggul.ac.id/2012/03/28/metode-ijtihad/. pada 22 Maret 2013). Ijtihad. (Diakses

Taufiq, Ahmad, dkk. 2012. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yuma Pressindo. Wikipedia. 2013. Ijtihad. http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad. (Diakses pada 24 Maret 2013).

You might also like