You are on page 1of 7

makalah peranan media massa dan televisi dalam pemilu BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Media massa adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media. Media Secara perlahan-lahan namun efektif membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Media massa secara tidak langsung terkait dengan kebebasan pers terutama di Indonesia kini pengaruh media massa memberi kekuatan strategis pada upaya diplomasi serta mampu mempengaruhi negara lain dalam kaitan hubungan antarnegara baik tingkat bilateral maupun regional.seperti dalam kasus gagalnya nota kesepahaman antara Indonesia - Singapura mengenai pemanfaatan wilayah RI untuk latihan militer negara "Singa" itu. Melihat hal itu maka media massa mempunyai andil yang sangat besar dalam penyebaran informasi, sesuai dengan fungsinya yaitu: 1. Fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan. 2. Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah. 3. Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan. 4. Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi). Banyaknya jenis media massa seperti :

surat kabar majalah radio televisi film (layar lebar) Internet Telepon selular

Penyelesaian berbagai krisis nasional yang kita hadapi saat ini membutuhkan adanya suatu pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat, dipercaya, dan berwibawa, untuk bisa mengatasinya. Sedangkan untuk memperoleh pemerintahan yang demikian itu, tak bisa lain harus melalui Pemilu, baik untuk memilih anggota parlemen, DPD, maupun Presiden. Namun Pemilu baru dapat membuahkan hasil yang diterima rakyat, jika pemilu itu betul-betul dilaksanakan dengan prinsip: langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil

(jurdil). Untuk memenuhi prinsip itu, penyelenggaraan Pemilu tentu perlu dipantau oleh segenap elemen masyarakat. Sejumlah organisasi pemantau Pemilu, seperti KIPP, UNFREL, Forum Rektor, dan sebagainya, menjadi kepanjangan tangan rakyat dalam memantau pelaksanaan Pemilu. Namun, apakah organisasi-organisasi tersebut mampu memantau seluruh proses Pemilu di berbagai daerah, dan mengkoordinasikan kerja pemantauan yang melibatkan ratusan ribu relawan itu dalam waktu yang sudah sangat singkat ini, tentu mengandalkan kapasitas organisasi-organisasi itu saja masih belum memadai. Dalam hal ini, jurnalis dengan media massanya menjadi unsur pendukung, serta merupakan mata, telinga, dan mulut rakyat. Media massa memantau pelaksanaan Pemilu dan menyiarkan/memberitakan hasil pantauannya, sehingga diketahui rakyat. Bahkan hasil pantauan organisasi pemantau Pemilu pun butuh media massa untuk bisa diketahui rakyat Begitu banyaknya jenis media massa maka penulis membatasi materi dengan mengambil judul Peranan Radio Dalam Pemilu Jabar 2008 1.2 Indentifikasi masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat didefinisikan permasalahannya sebagai beerikut: 1. bagaimana peranan radio dalam pemilu Jawa Barat 2008. 2. Kendala apa yang dihadapi radio dalam pemilu. 1.3 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan makalah yang penulis lakukan adalah: 1. untuk mengetahui bagaimana peranan radio dalam pemilu di Jawa Barat. 2. untuk mengetahui kendala apa saja yang di hadapi radio dalam pemilu. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Gambaran Umum 2.1.1 Sejarah Singkat Radio Banyak penggunaan awal radio adalah maritim, untuk mengirimkan pesan telegraf menggunakan kode Morse antara kapal dan darat. Salah satu pengguna awal termasuk Angkatan Laut Jepang memata-matai armada Rusia pada saat Perang Tsushima di 1901. Salah satu penggunaan yang paling dikenang adalah pada saat tenggelamnya RMS Titanic pada 1912, termawuk komunikasi antara operator di kapal yang tenggelam dan kapal terdekat, dan komunikasi ke stasiun darat mendaftar yang terselamatkan. Radio digunakan untuk menyalurkan perintah dan komunikasi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut di kedua pihak pada Perang Dunia II; Jerman menggunakan komunikasi radio untuk pesan diplomatik ketika kabel bawah lautnya dipotong oleh Britania. Amerika Serikat menyampaikan Empat belas Pokok Presiden Woodrow Wilson kepada Jerman melalui radio ketika perang.

Siaran mulai dapat dilakukan pada 1920-an, dengan populernya pesawat radio, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Selain siaran, siaran titik-ke-titik, termasuk telepon dan siaran ulang program radio, menjadi populer pada 1920-an dan 1930-an. Penggunaan radio dalam masa sebelum perang adalah pengembangan pendeteksian dan pelokasian pesawat dan kapal dengan penggunaan radar]. Sekarang ini, radio banyak bentuknya, termasuk jaringan tanpa kabel, komunikasi bergerak di segala jenis, dan juga penyiaran radio. Baca sejarah radio untuk informasi lebih lanjut. Sebelum televisi terkenal, siaran radio komersial termasuk drama, komedi, beragam show, dan banyak hiburan lainnya; tidak hanya berita dan musik saja. 2.1.2 Fungsi Media Massa Pertama fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan. Kedua fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah. Ketiga fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan. keempatfungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi). 2.1.3 Pengaruh Media Massa Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari [1]

Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media. Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mempengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.

Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "catatan si boy". Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.

Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain . 2.2 Pembahasan Siap atau tidak siap, radio di Indonesia tidak dapat menolak perannya menunjang sukses Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008. Sebenarnya radio tidak pernah absen berpartisipasi memeriahkan perhelatan yang sering dipermanis julukannya sebagai pesta demokrasi. Bedanya sekarang, tuntutan partisipasi itu berkonotasi kewajiban karena Undang Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur peran itu untuk pertama kalinya dalam sejarah perundang Indonesia. Pengaturan kampanye Pemilu di radio sebelumnya sangat tergantung pemerintah, yang dimasa Orde Baru dimonopoli Radio Republik Indonesia. Keterlibatan radio swasta dan Radio Siaran Pemerintah Daerah waktu itu hanya me ngulang saja. Sekarang inisiatif harus datang dari setiap radio. Cermati Bab-VIII tentang Kampanye. Pada Bagian Pertama mengenai Kampanye Pemilihan Umum, pasal 72 ayat (d) menyebutkan: kampanye pemilu dilakukan lewat penyiaran melalui radio dan atau televisi. Yang lebih menarik pasal 73 ayat (1) menyatakan: media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu. Sementara ayat (2) menyebutkan :media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye. Dalam konstelasi politik Indonesia mutakhir banyak pertanyaan bagaimana radio mampu berperan, apalagi Undang Undang No. 12 Tahun 2003 seakan-akan percaya pada kemampuan radio memediasi isyu-isyu politik yang mempertemukan masyarakat-pemerintah-partai politik. Termasuk kemampuannya menerjemahkan makna memberi kesempatan yang sama bagi setiap partai politik peserta Pemilu untuk berkampanye dan memasang iklan. Padahal ini pengalaman pertama radio melakukan tawar menawar langsung dengan partai politik. Model Pemilunya saja juga tergolong baru, seperti pemilihan presiden dan wakilnya secara langsung, atau Pemilu lebih

dari satu kali. Yang lebih hangat gelombang golput yang menyatakan akan menggunakan hak politiknya untuk tidak ikut Pemilu. Terlepas dari aspek teknis tersebut, peranan radio menyukseskan Pemilu secara kongkrit masih sebatas imajinasi. Banyak persoalan politik dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi sebagai konsekuensi reformasi. Secara internal, radio harus belajar Undang Undang Pemilu dan Undang Undang Partai Politik, padahal radio belum selesai belajar Undang Undang Penyiaran. Radiopun sedang menunggu kelahiran Komisi Penyiaran Indonesia yang berwenang atas standarisasi penyiaran radio di Indonesia. Masih banyak kemungkinan yang terjadi, meski arah yang diharapkan jelas: radio ikut menyukseskan Pemilu 2008. Agar imajinasi tadi lebih kongkrit, radio di Indonesia dapat belajar dari analisa peran radio selama pemilihan umum di Inggris tahun 1997, mengacu pada laporan John Curtise dan tim yang diterbitkan dengan judul On Message: Communicating The Campaign. Menurut profesor dan Director of the Social Statistics Laboratory University of Strathclyde itu, radio dituntut melakukan tiga pendekatan untuk mempengaruhi masyarakat. Pertama, Memerangi sikap publik. Maksudnya, mendorong publik peduli dan memobilisasi untuk memilih. Dalam konteks sikap golput publik, mampukah radio mempengaruhi mereka tidak abstain, sebagai tanda sukses mentransmisi informasi dan memberi masyarakat alasan alternatif pilihan. Pengalaman membuktikan media membuat publik belajar memutuskan pilihan, sekaligus membangun kepercayaan pada politik dan mengubah tingkat partisipasi. Untuk itu radio dianjurkan menyiarkan isyu yang mengerucutkan preferensi politik publik. Kedua, radio melakukan Agenda Setting. Intinya radio berperan sebagai penggiring perhatian publik. Strateginya mendefinisikan prioritas isyu politik dengan mengikuti gagasan Walter Lippman dalam Public Opinion terbitan 1922. Katanya, media massa harus membuat publik tidak sekedar berpikir tetapi mereka seharusnya memikirkan apa. Pendekatan ini akan sukses bila isyu siaran sejalan dengan agenda publik. Ketiga, radio melaksanakan kekuatan persuasinya. Pengalaman di Inggris membuktikan, 27 prosen responden mulai menentukan pilihannya ketika kampanye di media sedang berlansung. Preferensi publik tentang partai politik sangat dipengaruhi sasaran media massa ke indera publik Media massa termasuk radio Inggris, juga menemukan lima komponen yang membuat kampanye partai politik di media sukses atau gagal. Satu diantaranya agenda media yang bertolak dari pendekatan analisa isi siaran dan nilai informasi. Ketepatan media mengagendakan isyu-isyu Pemilu yang komunikatif bagi konsumen, memerlukan pemahaman profil mereka, terutama kemungkinan respon seputar Pemilu. Komponen berpengaruh lainnya, agenda partai berupa isi manifesto visi dan misi partai. Perhatikan juga agenda publik yang menyangkut perhatian publik dan permasalahan yang mereka alami. Termasuk agenda kebijakan pemerintahan khususnya isyu kebijakan legislatif dan program pemerintah. Komponen penting lainnya Indikator realita publik berupa fakta sosial yang mempengaruhi kehidupan seperti kasus kriminalitas, pengangguran dan narkotika. Radio dan pengalaman media massa inggris dalam konteks Undang Undang Pemilu, ternyata tidak sekedar berfungsi sebagai medium penyampai informasi. Radio bahkan mirip konsultan partai politik maupun publik calon pemilih. Bagi partai politik, radio diharapkan menjadi mitra

yang membantu kampanye partai dalam ketepatan auditif. Bagi publik, radio diharapkan membangun logika mereka agar berpartisipasi menjadikan Pemilu sebagai wahana demokrasi. Termasuk menyemangati khalayak yang skeptis dan trauma, karena Pemilu sebelumnya menampilkan sosok-sosok yang kinerjanya mengecewakan saat ini. 2.2.1. Kendala yang dihadapi dalam pemantauan Pemilu: Sejak awal, sudah disadari bahwa daya jangkau para pemantau Pemilu sangat terbatas, baik dari segi wilayah maupun tahapan/aspek yang bisa dipantau secara efektif. Sehingga masih banyak peluang untuk kecurangan. Daerah perkotaan tampaknya akan lebih mudah dipantau ketimbang daerah pedalaman. Sejumlah organisasi pemantau Pemilu punya metode yang berbeda dalam teknik pemantauan Pemilu dan cara perhitungan hasil Pemilu, sehingga ada problem dalam koordinasi, dan pertukaran informasi. Bisa juga terjadi "persaingan" dalam rekrutmen relawan untuk tugas memantau Pemilu. Para insan pers juga mengalami sejumlah kendala, di antaranya : 1. Selain mungkin disibukkan oleh tugas rutin yang tidak terkait langsung dengan liputan Pemilu, para jurnalis bisa jadi terbagi-bagi dalam sejumlah organisasi jurnalis pemantau Pemilu. Dan di antara organisasi-organisasi ini tidak ada koordinasi ataupun pertukaran informasi yang baik, dalam peliputan dan pemantauan Pemilu. 2. Persaingan antar media, khususnya media televisi, juga tidak mendorong mereka untuk saling bertukar informasi tentang adanya kasus di daerah pemilihan tertentu. Padahal, pemberitaan yang meluas tentang adanya kasus kecurangan tertentu, misalnya, dapat mendorong penuntasan kasus tersebut. 3. Pengetahuan dan pengawasan publik melalui pers, meski cukup meluas, pada prakteknya juga hanya bisa dilakukan secara terbatas. Ada beberapa faktor penyebab untuk hal ini: Pertama, jumlah media dan jurnalisnya yang terbatas. Kedua, daya jangkau liputan dan pemberitaannya juga terbatas (dalam hal ini media radio dan TV lebih punya keunggulan, karena tak butuh sarana distribusi seperti media cetak). Sejumlah media, karena keterbatasan sarana dan dana, dengan sendirinya akan membatasi area peliputan/ pemantauannya. Ketiga, daya beli masyarakat yang merosot selama krisis ekonomi, tidak mendorong mereka untuk mengkonsumsi dan memantau pemberitaan media cetak, misalnya. 4. Waktu persiapan yang minim, yang menyulitkan dalam memahami aturan main Pemilu yang ada (yang juga disusun tergesa-gesa). Kesulitan ini bukan cuma berlaku bagi masyarakat umum, tetapi juga bagi tim-tim pemantau sendiri dari berbagai organisasi, dan bahkan para jurnalis peliput Pemilu. 5. Konflik kepentingan dalam media massa karena pertimbangan pemasukan iklan. Partai-partai politik bermodal besar menjanjikan akan memasang iklan, yang berarti pemasukan uang besar untuk media, sehingga mereka cenderung untuk tidak terlalu kritis terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan partai bersangkutan. 6. Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media massa menjadi pengurus/simpatisan/atau pendukung parpol tertentu. Dalam Pemilu semasa Orde Baru, misalnya, mayoritas pimpinan media massa adalah anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan pendukung Golkar. Oleh karena itu, pemberitaan mereka cenderung membesarkan Golkar dan mengecilkan partai lain. Kecenderungan semacam ini masih besar kemungkinannya

terjadi pada Pemilu 2004. Apalagi wartawan bermental Orde Baru ini sampai sekarang masih kuat bercokol di organisasi jurnalis dan di medianya masing-masing. 7. Konflik kepentingan dalam media massa karena sebagian wartawan menjadi anggota, pengurus atau pendukung partai politik tertentu (posisi ini bisa dengan restu atau tanpa restu dari pemimpin media bersangkutan). Hal ini juga akan mempengaruhi pemberitaan mereka. 8. Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media bersangkutan ikut aktif sebagai kandidat dalam Pemilu, baik untuk posisi anggota DPR, DPD ataupun Presiden. Contoh yang paling menonjol adalah majunya Surya Paloh, pemimpin grup penerbitan Media Indonesia dan Metro TV, sebagai calon Presiden RI melalui Konvensi Partai Golkar. Sulit diharapkan, Media Indonesia dan Metro TV dapat bersikap fair terhadap kandidat lain. Dalam kaitan pemantauan oleh media, maka butir 5, 6, 7, dan 8 di atas perlu mendapat perhatian khusus, jika media massa diharapkan berperan aktif dan efektif dalam pemantauan Pemilu Jawa Barat 2008. Pemantauan Pemilu oleh media massa sebetulnya membutuhkan suatu jaringan kerja, agar pemantauan itu dapat berjalan efektif dan efisien. Tanpa adanya jaringan kerja pemantau Pemilu pun, para jurnalis biasanya karena tuntutan tugas dan profesinya akan melakukan juga pemantauan Pemilu. Namun pemantauan seperti ini dilakukan sebagai bagian dari tugas peliputan, yang sifatnya kadang-kadang kontinyu (berkesinambungan), tetapi lebih sering bersifat temporer. Karena tidak adanya pola pemantauan yang sistematis, maka gambaran hasil pemantauannya pun tentu tidak menunjukkan keteraturan, sehingga sulit untuk dijadikan acuan. BAB III Kesimpulan 3.1 Kesimpulan Siap atau tidak siap, radio di Indonesia tidak dapat menolak perannya menunjang sukses Pilgub 2008. Sebenarnya radio tidak pernah absen berpartisipasi memeriahkan perhelatan yang sering dipermanis julukannya sebagai pesta demokrasi. Bedanya sekarang, tuntutan partisipasi itu berkonotasi kewajiban karena Undang Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengatur peran itu untuk pertama kalinya dalam sejarah perundang Indonesia. Pengaturan kampanye Pemilu di radio sebelumnya sangat tergantung pemerintah. Dalam Menghadapi pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2008 ini, rasanya masih sulit untuk mengharapkan radio bersikap obyektif. Karena sikap keberpihakan kepada salah satu pasangan calon akan tetap terbaca, sehingga sulit bagi radio dapat menjaga obyektifitasnya. Makanya, radio harus terus dipantau agar bersikap obyektif. Dengan demikian, peran media watch harus terus ditingkatkan.

You might also like