You are on page 1of 28

Referat Ilmu Kesehatan Anak Gagal Nafas Pada Anak

Pembimbing: dr. dr.H.Raddy Irmawan,SpA Disusun oleh: Hussain 11-2010-229

Fakultas Kedokteran Ukrida Stase Ilmu Kesehatan Anak RS Rajawali Bandung

BAB I PENDAHULUAN
Peranan sistem pernapasan adalah untuk mempertahankan PO2, PCO2, dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas, disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transpor oksigen hemoglobin, dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal napas.1 Insidensi di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36% meninggal selama perawatan. Morbiditas dan mortilitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan adanya komorbiditas.2 Penelitian yang dilakukan Qian et al, dari total 13.070 perawatan di NICU, ada 1.722 (13,2%) kasus kegagalan pernapasan neonatus dengan sindrom gangguan pernapasan, pneumoni, sepsis, dan sindrom aspirasi mekonium sebagai penyebab utama. Untuk bayi yang bertahan sampai keluar perawatan, lama rata-rata penggunaan ventilasi adalah 70 jam. Secara keseluruhan, kematian di rumah sakit karena kegagalan pernapasan pada neonatus adalah 32,1%.10

BAB II ISI
2.1 Definisi1,3,4,5 Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic. PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia. 2.2 Etiologi1,3,5 Kegagalan paru dapat terjadi karena penyakit yang menyerang saluran nafas,alveoli,membrane kapiler alveoli, atau sirkulasi pulmonal yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnea. Kegagalan pompa respirasi, terjadi karena berbagai penyakit mulai dari pusat pernafassan di otak sampai medulla spinalis bagian atas, nervus frenikus,dan otot dinding dada, terutama menyebabkan hiperkapnea. Jenis penyakit penyebab gagal nafas pada bayi / anak penyebab Jalan nafas bagian atas : Faring Bayi / Anak Makroglosis

Hipertropi tonsil

Laring

Laringotrakeobronkitis Epiglotis akut Laringitis difterika Edema/stenosis pasca intubasi

Trakea Jalan nafas bagian bawah Bronkus/bronkiolus

Benda asing

Bronkiolitis Status asmatikus Alveoli Pneumonia Kelainan jantung bawaan Trauma Luka bakar Kompresi pulmonal Pneumonia Trauma dada Susunan saraf Trauma Ensefalitis Takaran obat berlebihan

Status epileptikus Sindrom Guillain-Barre Faktor predisposisi5 Terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu : 1. Struktur anatomi a. Dinding dada Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga yang kurang kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot interkostal yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas. b. Saluran pernafasan Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus dewasa, sedangkan ukuran tubuh dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran pernafasan 75 %. c. Alveoli Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan elastic recoil untuk mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relatif lebih besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan menambah elastic recoil. 2. Kerentangan terhadap infeksi Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak kerentangan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi gagal nafas. 3. Kelainan kongenital Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang berhubungan dengan alat pernafasan. 4. Faktor fisiologis dan metabolik

Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut di capai dengan menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme anaerib akibatnya terjadi asidosis.

2.3 Klasifikasi Gagal Napas1-5 Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun sedikit. Temuan Klinis Tipe 1 (hipoksia, PaCO2, PaO2 normal ) Penyebab Gangguan ventilasi/perfusi Contoh Posisi (terlentang di tempat tidur), sindrom distres pernafasan akut (SDPA), atelektasis,pneumonie, emboli paru, displasia, Gangguan difusi paru bronkopulmonal Edema paru, SDPA, pneumonie interstitiel, malformasi atrio-vena paru, malformasi adenomatoid Tipe 2 (Hipoksia, Hiperkapnea, PaO2 , Hipoventilasi kongenital Penyakit neuromuskular (polio, GBS), trauma

PaCO2 )

kepala, sedasi, disfungsi dinding dada (luka bakar), kifosis, hiperreaktivitas saluran nafas berat

a.

Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS. 1) Patofisiologi gagal napas hipoksemia Hipoksemia dan hipoksia Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.

Mekanisme hipoksemia Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena). Penurunan PO2Alveolar Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar: PAO2 = FiO2 x PB - PACO2 R FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2).

Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi. Pencampuran Vena (Venous Admixture) Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-leftshunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat. Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q mismatching) Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit. Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan. Keterbatasan Difusi (diffusion limitation) Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen

dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid. 2) Gambaran Klinis Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat

diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan. b. Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe Ii / Gagal Ventilasi Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia. 1) Patofisiologi gagal napas hiperkapnia Hipoventilasi alveolar Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus: VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__ 863 Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 danVA berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi

alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO2 rumus diatas. Ventilasi Semenit Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD) : VE = VA + VD VA = VE - VD VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT) 863 VD/VTmenunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat: 1. nilai VE dibawah normal. 2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat. 3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat. Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching).

Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE.

2) Gambaran Klinis Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak. Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea. Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan

derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala. Tindakan Awal Gagal Nafas Penilaian Status mental Tonus otot/ posisi tubuh Gerakan dada Upaya nafas Warna kulit Tindakan Distress pernafasan Sadar, agitasi, melawan Normal, posisi tripod Ada Meningkat Kemerahan atau pucat Pendekatan segera, bekerja dengan tingkat sedang, bantu anak dalam posisi nyaman, beri O2, pengobatan berdasarkan evaluasi Penilaian Status mental Tonus otot/ posisi tubuh Gerakan dada Upaya nafas Warna kulit Tindakan selanjutnya Gagal nafas Agitasi hebat atau kurang responsif Normal atau hipotonia Ada Sangat meningkat Pucat, berbercak (mottled) atau sianosis Gerak cepat, buka saluran nafas, hisap lendir, berikan O2, segera berikan bantuan ventilasi tekanan positif bila pasien tidak membaik, pengobatan berdasarkan evaluasi selanjutnya

Penilaian Status mental Tonus otot/ posisi tubuh Gerakan dada Upaya nafas Warna kulit Tindakan

Henti nafas Tidak responsif Atonia Tidak ada Tidak ada Sianosis Segera buka saluran nafas, hisap lendir, berikan O2, segera berikan bantuan ventilasi tekanan positif, nilai ulang ada/kembalinya nafas spontan, pengobatan berdasarkan evaluasi selanjutnya. Dikutip dari: Alatas I, Hasan R 5

2.4 Diagnosis Gagal Napas Akut3,4,8 Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya).

2.5 Tatalaksana Gagal Napas Akut1,7,8,9

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut. a. Dasar-dasar fisiologis terapi Gagal napas hiperkapnea Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum. Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.

Gagal Napas Hipoksemia Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen. Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya. b. Pengobatan Nonspesifik Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejalagejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya. Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut: 1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen 2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi

a) Perbaiki jalan napas b) Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and mask), IPPB 3) Ventilasi kendali 4) Fisioterapi dada

Terapi Oksigen Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea. Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%. Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan konsentrasi O2 Inspirasi. Alat Kateter nasal Sungkup muka Sungkup muka tipe venturi Ventilator Inkubator Aliran O2 (L/men) 2-6 4-12 4-8 Bervariasi 3-8 Konsentrasi O2 (%) 30-50 35-65 24, 28, 35, 40 21-100 30-40

Venturi mask

Kateter nasal

Sungkup muka Atasi Hiperkapnia, Perbaiki Ventilasi Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan mengakibatkan gangguan PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan PH darah tidak banyak berubah

karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh. Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam. 1) Perbaiki jalan napas (Air Way) Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea. 2) Ventilasi Bantu Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur. 3) Ventilasi Kendali Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.

Fisioterapi Dada Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan bantuan dengan ventilator. c. Pengobatan Spesifik Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel. Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut Etiologi 1. Otak Neoplasma Epilepsi Hematoma Subdural Keracunan Morfin CVA Pengobatan Spesifik Rawat Operasi Antikonvulsi Operasi Nalokson Rawat Intensif

2. Susunan Neuro-muskular Miastenia Gravis Polyneuritis, demyelinisasi Analgesia spinal tinggi Pelumpuh otot Prostigmin, Piridostigmin Rawat dan bantuan napas ventilasi terkendali

3. Dinding Thoraks dan

Diafragma Luka tusuk Thoraks - Ruptur diafragma 4. Paru Asma Infeksi paru Benda asing Pneumothoraks, hemathoraks Edema Paru ARDS Aspirasi

Operasi Operasi

Steroid, Bronkodilator Antibiotik Bronkhoskopi Drainase paru Diuretika, Ventilasi kendali

5. Kardiovaskuler Renjatan, Gagal jantung Emboli paru Obat-obatan Terapi cairan Bantuan napas

6. Pasca bedah Thoraks

2.6 Aplikasi Klinis Ventilator2,9 Ventilasi mekanik dipergunakan pada berbagai keadaan, misal pada pembedahan, pasca bedah dan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan pernafasan, baik yang diakibatkan oleh susunan saraf pusat, paru-paru sendiri, atau otot-otot pernafasan. 2.6.1 Manfaat Pemasangan Ventilator a. Mengatasi hipoksemia b. Mengatasi asidosis respiratorik akut c. Mengatasi distress pernafasan d. Mencegah atau mengatasi atelektasis paru

e. Mengatasi kelelahan otot bantu pernafasan f. Memudahkan pemberian sedatif atau blokade neuromuscular g. Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik dan miokard h. Menurunkan tekanan intrakranial i. Menstabilkan dinding dada 2.6.2 Indikasi Pemasangan Ventilator Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal nafas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal nafas. Kondisi yang mengarah ke gagal mafas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Nilai Analisis gas Darah 0 > 60
> 7,3

PaO2 (mmHg) pH

1 50-60 7,2-7,29 50-60

Nilai 2 < 50 7,1-7,19 61-70

3 < 50 < 7,1 > 70

PaCO2 (mmHg) < 50 Skor > 3: memerlukan ventilator


Sumber: Mathai9

Hipoksemia a. PaO2 <60 mmHg atau SatO2 <90% pada FiO2 >50% b. Adanya shunt (pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboli paru) c. Adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau percampuran darah vena (pada asma dan PPOK) d. Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2 (pada henti napas, gagal napas akut) e. Pada FiO2 rendah, tekanan barometric yang rendah, dan adanya toksin tertentu (kebakaran, ketinggian tertentu, keracunan CO) f. Keseimbangan difusi yang tak adekuat (anemia,, curah jantung yang tinggi, umumnya ini adalah faktor yang memperburuk bukan faktor utama)

Hiperkapnia PaCO2 >55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO2 dari keadaan awal yang disertai asidosis. Hal ini dapat terjadi pada: a. Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas kerja karena: 1) Compliance yang rendah (ARDS, luka bakar daerah dada, efusi pleura, obesitas, pneumonia) 2) Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau sumbatan pada saluran nafas) b. Peningkatan VCO2 bersamaan dengan terbatasnya kapasitas kerja (diet, PPOK) c. Peningkatan dead space (ruang rugi) yang memerlukan peningkatan ventilasi bersamaan dengan keterbatasan kapasitas kerja d. Penurunan kapasitas kerja 2.6.3 Aplikasi Ventilasi Mekanis a. Volume Tidal Dimulai dengan 10-12 ml/kgBB dan dapat dinaikkan 12-15 ml/kgBB sesuai dengan respon penderita. Tujuannya untuk mengembangkan alveoli secara optimal untuk mencegah atelektasis dan memperbaiki pertukaran gas. Bila menggunakan PEEP, volume tidal dapat dikurangi. b. Tekanan Tekanan antara 35-40 cmH2O sebaiknya dihindarkan karena berbahaya pneumotoraks. Bila terjadi kenaikan tiba-tiba dari tekanan inflasi, ini harus dipikirkan adanya hambatan aliran gas dari ventilator. Bila kenaikan terjadi pelan-pelan, ini kemungkinan paru-paru sudah menurun elastisitasnya. c. FiO2 Diatur untuk menghindari bahaya, baik hipoksemia atau keracunan O2. Hipoksemia merupakan bahaya yang lebih mendadak daripada keracunan O2 karena itu pada permulaann FiO2 dapat diberikan 100% (kecuali menggunakan PEEP; FiO2 serendah mungkin). Kemudian FiO2 diturunkan bertahap untuk

mencapai PaO2 60-100 mmHg. Usahakan memakai FiO2 <40% untuk mempertahankan PaO2 60-100 mmHg.

d. Frekuensi Nafas Usahakan frekuensi 10-14 x/menit, karena kombinasi frekuensi tinggi dan volume tidal yang tinggi akan membahayakan otak dan kardiovaskular. e. Ruang Rugi (Dead Space) Bila terjadi alkalosis respiratorik dapat ditambahkan ruang rugi 60-300 mL secara bertahap untuk mempertahankan PaCO2 30-40 mmHg atau dapat dengan menurunkan volume tidal. f. PEEP Adalah salah satu cara memanipulasi siklus pernafasan untuk memperbaiki oksigenisasi; dengan tekanan positif baik pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Pertimbangan pemakaian PEEP bila FiO2 > 50% diperlukan untuk mencapai PaO2 > 60 mmHg. PEEP mencegah kolaps alveoli selama fase ekspirasi; memperbesar FRC; menurunkan pintasan intrapulmoner dan menaikkan PaO2. Bila PEEP > 8 cmH2O, hemodinamik harus dimonitor ketat dengan memasang Swan-Ganz kateter. Ada kecenderungan memakai PEEP sejak awal ventilasi mekanis, ini ternyata mengurangi risiko kegagalan pernafasan pada pasca bedah. Penting untuk memonitor gas darah dan tanda-tanda vital lainnya bila memakai PEEP. 2.6.4 Komplikasi Dari Ventilasi Mekanik Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang vemtilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. a. Pengaruh pada Paru-paru

Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumothorax. Puncak tekanan pengisian paru yang tinggi (lebih besar dari 40 cmH2O) berhubungan dengan peningkatan insiden barotraumas. Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan jalan nafas yang tinggi. Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan nafas lebih lanjut. Tekanan jalan nafas yang tinggi juga mengakibatkan distensi berlebihan alveolar (volutrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FiO2 lebih besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder. b. Pengaruh pada Kardiovaskular Jantung, aorta, dan pembuluh darah pulmonal berada di dalam rongga dada dan potensial dalam meningkatkan tekanan intratorakal. Hasilnya berupa penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan. c. Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penurunan fungsio ginjal dengan penurunan volume urin dan ekskresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu. Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 2. Katyal P, Gajic O. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of Mechanical Ventilation. Rochester, MN, USA. 2008. 3. Garna H, Nataprawira M. Gagal Nafas Pada Anak. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-III.Bandung:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Anak FKUP;2005. 4. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview 5. Alatas I, Hasan R. Kegagalan Pernafasan Akut. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Kesehatan Anak. FKUI; 2002. 7. Priestley M, Helfaer M. Approaches in the management of acute respiratory failure in children. Curr Opin Pediatr. 2004 8. Ashok P, Clark A . Respiratory Distress and Failure. Dalam: Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia : WB Saunders, 2011. 9 Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007. 10. . Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, et al. Neonatal Respiratory Failure: A 12-Month Clinical Epidemiologic Study From 2004 to 2005 in China. Pediatrics 2008.

You might also like