You are on page 1of 3

Kekuasaan yang Membuat Lupa (Refleksi Tujuh Tahun Perjanjian Damai MoU Helsinki) Oleh: Zulfikar Muhammad Setiap

tahun, di saat masyarakat Aceh memperingati Mou Helsinki 15 Agustus, perdebatan yang muncul ke permukaan selalu yang itu-itu saja. Semua pihak mengeluh soal penegakan hak asasi manusia yang sama sekali belum berjalan. Berkali-kali para korban pelanggaran HAM berteriak menuntut keadilan, tapi teriakan tersebut diabaikan begitu saja. Pemerintah seakan menganggap agenda penegakan HAM tidak terkait dengan perdamaian Aceh. Ironisnya, sistem pemerintahan di Aceh yang dikendalikan salah satu pihak yang menandatangani perjanjian damai Helsinki, juga turut mengabaikan komitmen ini. Pada waktu-waktu tertentu, mereka memang turut meneriakkan soal penegakan HAM, tapi dalam agenda kerjanya, tidak tampak ada semangat menggebu untuk pengungkapan kasus kekerasan masa lalu itu. Mereka hanya sibuk menuntut legalitas kewenangan dan fasilitas pembangunan dari pusat. Agenda kerja soal penegakan HAM masih kabur. Malah kalau tidak ada gugatan dari masyarakat, bukan tidak mungkin masalah ini akan terabaikan. Padahal dalam butir kesepakatan MoU Helsinki, soal penegakan HAM termasuk yang mendapat sorotan penting. Semua pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian itu -- baik dari Pemerintah Pusat, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemerintah Aceh dan juga DPR Aceh -- mutlak harus melaksanakannya. Bahkan CMI selaku mediator konflik Aceh harusnya gigih mempertanyaan komitmen terhadap penegakan HAM dan hak-hak korban konflik di Aceh ini. Dengan Pemerintahan Aceh yang sekarang, seharusnya arapan itu terbuka lebar. Sayangnya, hingga saat ini belum ada tanda-tanda Pemerintahan Aceh memiliki agenda khusus tentang penegakan hukum tentang korban kekerasan pada masa lalu. Yang ada hanya kebiasaan lama yang masih berjalan, bentuk tim ini dan itu. Namun makna dan tujuan kerjanya tidak jelas. Paling tidak ada empat butir agenda penegakan HAM yang seharusnya dijalankan di Aceh pasca perdamaian 15 Agustus 2005. Keempat agenda itu adalah: Butir 1.4.5 Kesepakatan Semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Pembentukan KKR di Aceh Pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Claim (Joint Claims Settlement Commission) Tindak lanjut Belum terealisasi, karena di Aceh belum dibentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara kejahatan HAM berat. Belum ada kejelasan Belum ada kejelasan Belum ada kejelasan

2.2 2.3 3.2.6

Tiga butir pertama, tentang peradilan kasus kejahatan HAM masa lalu, pembentukan pengadilan HAM di Aceh dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR), idealnya dilaksanakan sejalan. Untuk menyidangkan kasus pelanggaran HAM itu memang harus ada pengadilan HAM di Aceh. Sedangkan pengungkapan kasus kejahatan tersebut dilakukan melalui proses pengungkapan

kebenaran. Di sinilah pentingtnya kehadiran KKR. Pembentukannya harus didahulukan mengingat kerja pengungkapan kebenaran membutuhkan data akurat dan waktu yang tidak singkat. Merujuk Pasal 260 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, KKR Aceh seharusnya sudah terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA sendiri disahkan Presiden pada 1 Agustus 2006, itu berarti KKR Aceh seharusnya sudah ada sebelum 1 Agustus 2007. Sekarang, setelah lima tahun berlalu, nyatanya KKR Aceh hanya ada dalam imaginasi. Semua pihak, apakah itu Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan juga Pemerintah pusat, seakan melupakan komitmen ini. Tujuh tahun usia perdamaian berlangsung, belum juga ada tanda-tanda upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh. Yang ada hanyalah janji dan janji. Setiap tahun kita memperingati MoU Helsinki, hanya janji yang dilontarkan kepada masyarakat, janji untuk melaksanakan semua yang tertera dalam MoU tersebut. Pemerintah Aceh dan DPR Aceh kerap pula berdalih kalau urusan KKR merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Padahal kalau punya kepedulian, seharusnya Pemerintah dan DPR Aceh bisa bergerak cepat membentuk Qanun KKR yang kelak menjadi landasan bagi kerja-kerja pengungkapan kebenaran di daerah ini. Toh, UUPA telah menegaskan tentang masalah KKR ini, jadi tidak perlu menunggu pusat bertindak. Bukankah DPR Aceh sangat ngotot menuntut pelaksanaan UUPA saat Pemilukada yang lalu? Mengapa dalam kasus KKR ini mereka lalai? Pertanyaan ini wajar sekali dilontarkan mengingat sudah tujuh tahun perdamaian berlangsung, atau lima tahun batas waktu pembentukan KKR terlampaui, niat mengungkap pelanggaran HAM di Aceh tidak jua ada. Padahal desakan demi desakan dari komunitas masyarakat sipil sudah tidak terhitung banyaknya. Masyarakat sipil Aceh bahkan sudah mengajukan draf rancangan qanun KKr Aceh ke DPR Aceh pada 2008, dengan harapan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh cepat bertindak untuk membahasnya. Sangat disayangkan, rancangan qanun itu tidak juga digubris. Atas desakan masyarakat sipil Aceh, respon positif yang pernah diberikan Gubernur Aceh hanyalah mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 188.342/37/2008 tanggal 8 April 2008 tentang Pembentukan Tim Pra Qanun KKR Aceh. Tim ini terdiri dari 40 personil, termasuk dua orang konsultan hukum dari Jerman. Mereka bertugas menyiapkan rancangan naskah akademik dan menyusun draft awal Rancangan Qanun KKR. Dasar pertimbangan pembentukan tim ini merujuk kepada Pasal 229 dan 230 UUPA. Konsideran lain pembentukan tim ini adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Aceh, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Masa tugas tim selama empat bulan, mulai 8 April hingga 8 Agustus 2008. Namun hingga berakhir masa tugasnya dan bahkan sampai berganti Gubernur Aceh, kerja tim ini tidak jelas. Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh parlemen. Pada tahun 2010, DPR Aceh telah memasukkan Rancangan Qanun KKR dalam program legislasi daerah (Prolega) yang akan mereka bahas untuk

disahkan sebagai qanun. Waktu berlalu, ternyata hasilnya sama, nol. Kasus serupa terjadi lagi pada tahun 2011, kembali Raqan KKR masuk dalam daftar Prolega, toh tidak juga ditindaklanjuti. Tahun ini, lagi-lagi janji itu diumbar. Mereka mengaku akan membahas Rancangan Qanun KKR Aceh sebagai bagian dari inisiatif DPRA. Apakah akan terealisasi? Sama saja dengan cet langit! Tiga tahun berjanji tanpa pernah bukti agaknya menjadi alasan kuat kalau kita pantas meragukan janji itu. Bisa jadi kalangan elit di daerah ini menganggap kalau pembentukan KKR belum merupakan hal mendesak. Penyebabnya, karena dianggap berpotensi mengusik harmonisasi yang sudah terbina. Pemerintah Aceh dan DPR Aceh mungkin saja berprinsip kalau pembangunan ekonomi lebih penting ketimbang penegakan HAM. Lihat saja bagaimana Pemerintah Aceh begitu gigih memperjuangkan hak-hak dan kewenangan Aceh yang tercantum dalam UUPA. Berkali-kali mereka menuntut Pemerintah Pusat segera menuntaskan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) soal kewenangan Aceh itu. Masalah kewenangan itu sangat penting karena berkaitan dengan kekuasaan dan tentu saja anggaran. Ini yang membedakan dengan masalah penegakan HAM. Persoalan HAM murni penegakan hukum demi kepentingan korban kekejaman masa lalu, demi keadilan, dan demi masa depan demokrasi di Aceh. Tapi justru dianggap sebelah mata. Para elit hanya mengangguk setuju soal KKR ini manakala tuntutan masyarakat menggelegar pada momen-momen tertentu. Kata-kata manis mereka lontarkan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak mengabaikan kesepajatan MoU Helsinki. Tapi ketika tuntutan melemah, mereka pun melupakannya. Seperti biasa, dalam setiap momentum peringatan Mou Helsinki, suara menuntut pembentukan KKR dan penegakan kasus pelanggaran HAM masa lalu selalu berdentang di berbagai forum. Agar tidak malu, saat seperti ini, biasaya Pemerintah dan DPR Aceh akan merespon cepat. Bahkan janji membahas qanun KKR lagi-lagi dilontarkan. Untuk tahun ini, janji itu diawali dengan pembentukan tim baru yang dinamakan Tim Penjaringan Pendapat soal MoU Helsinki. Tugasnya, mengevaluasi impementasi MoU Helsinki pasca tujuh tahun perdamaian. Padahal kalau mau mengulas butir perjanjian MoU Helsinki, akan sangat mudah menjawab mana saja dari butir kesepakatan itu yang belum berjalan. Di sana ada empat butir soal penyelesaian pelanggaran HAM yang sama sekali belum tersentuh. Makanya, belajar dari pengalaman, rasanya sulit percaya dengan kinerja tim ini. Apa boleh buat, tampaknya rakyat Aceh hanya bisa berbuai janji dan imaginasi soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kekuasaan membuat penguasaha lupa pada darah rakyat yang tertumpah.*** Penulis adalah Direktur Koalisi NGO HAM Aceh

You might also like