You are on page 1of 10

Idham Samawi, Dari Incognito Hingga Kandang Kambing

VIVAnews - Di Dlingo, hidup digali dari batu cadas dan tanah merah. Lereng, tebing dan bukit tersusun dari cadas. Hanya pohon jati kluwih yang sanggup tumbuh di situ. Tanah merah itu memang bersahabat di musim hujan. Bisa bersawah. Bisa berkebun. Tapi bila musim kemarau datang, semuanya menyerah. Pohon rontok, lahan kering kerontang, tanah membelah. Hidup sulit. Kerja keraslah yang membuat warga di sana bertahan. Bahkan sanggup menyekolahkan anak. Suatu hari tahun 1999, di musim kemarau yang garang, seorang pria lewat di situ. Dia menghampiri seorang petani yang sibuk mengais di ladang. Jalan menuju ladang itu sempit. Berbatu dengan aspal tipis seadanya. Bagaimana tanamannya, Pak?, pria itu menyapa dalam bahasa Jawa yang santun. Ya beginilah, Pak. Tanahnya tandus, giliran panen harganya rendah, ndak cocok dengan tenaga dan biaya menanam, jawab si petani itu sembari menghela nafas berat. Tamu yang datang siang bolong itu kembali bertanya. Katanya ada bupati baru yang dilantik. Orangnya seperti apa sih, Pak?. Si petani menjawab pendek. Katanya sih baik, tapi nggak tahu ya ke depannya. Sesudah ngobrol sebentar, pria itu pergi. Pak Tani yang sedang diladang itu, sungguh tak tahu bahwa lelaki yang berlalu itu adalah Idham Samawi, Bupati Bantul yang baru dilantik. Sang bupati memang datang ke kecamatan Dlingo itu cuma berdua. Cuma pakai kaos oblong dan celana jeans. Incognito. Menyamar. Itulah yang dilakukan Idham Samawi pada masa-masa awal menjadi Bupati Bantul. Dia keluar masuk pelosok kampung. Dari pinggir pantai, kampung di pelerengan, hingga perbukitan tandus seperti Dlingo itu. Dengan keluar masuk secara incognito itu, dia bisa merekam keadaan warga. Merekam apa yang mereka perlukan. Dari situlah dia menyusun program kerja. Dari hasil menyamar ke kampung-kampung itu, kesimpulannya jelas. Warga butuh infrastuktur khususnya jalan. Lewat jalan itu mereka punya akses ke sumber-sumber ekonomi. Saya membangun infrastruktur jalan di Kecamatan Dlingo. Ternyata hasilnya luar biasa. Ekonomi masyarakat meningkat tajam, kisah Idham Samawi, kepada VIVAnews. Sesudah itu sang bupati tetap memeras otak. Sebagian besar rakyat adalah petani. Mengantung nasib pada kebaikan alam. Panen dimusim hujam. Bisa kelaparan di musim kemarau. Saat panen berlimpah harga terjun ke titik nadir. Petani nyaris tak pernah untung. Selalu begitu saban tahun. Sang bupati baru itu harus memikirkan cara bagaimana menyudahi nasib itu. Lalu muncul gagasan terobosan ini. Bila musim petik tiba, dan harga terjungkal ke titik terendah, pemerintah harus turun tangan. Bagaimana caranya? Borong semua hasil panen jika harga terjun bebas. Kalaupun rugi, biar pemerintah yang tanggung, kata Idham. Dengan cara itu para petani memetik untung dan kian semangat bekerja. Birokrasi dikerahkan demi membantu warga. Dari kepala dinas, camat hingga kepala dusun. Itu sebabnya mereka harus menguasai wilayahnya secara rinci. Setiap camat di Bantul wajib hafal berapa jumlah siswa, berapa hektar sawah irigasi, tegalan, dan pekarangan. Bukan cuma itu. Pak camat juga harus bersedia menjadi camat siaga. Siap mengantarkan ibu hamil yang segera melahirkan dengan mobil dinas ke rumah sakit. Ini adalah salah satu cara untuk menekan jumlah ibu dan bayi meninggal saat melahirkan, kata Idham. Mereka yang malas memikul kewajiban itu, sanksinya tegas. Jabatan dicopot. Selain sektor pertanian dan kesehatan, Idham juga memacu sektor pendidikan. Semua guru sekolah dasar di Bantul wajib bertitel sarjana . Yang belum harus melanjutkan kuliah. Biaya kuliah disubsidi Pemerintah Kabupaten Bantul. Hingga akhir masa jabatan saya, guru SD yang tidak berijazah S1 dapat dihitung dengan jari, katanya. Kisah dari kandang kambing Suatu hari Idham kembali mengunjungi Dlingo. Di jalan ia bertemu dengan seorang ibu yang baru pulang dari pasar. Ibu tua itu menggendong bakul berisi hasil panen yang tidak laku terjual. Dengan tubuh membungkuk menahan beban, perempuan desa itu mendaki perbukitan.

Idham menyuruh sopirnya menghentikan mobil dan menepi. Ia mengajak ibu itu untuk ikut serta. Diantar hingga dekat rumahnya. Hingga turun dari mobil, ibu itu tak tahu bahwa yang memberi tumpangan adalah Pak Bupati. Sopir pribadi Idham, Gunadi, masih merekam dengan jelas hari-hari pertama majikannya menjadi bupati. Kerap menyamar turun ke lapangan menemui langsung masyarakat. Memakai jeans dan baju kaos. Sang sopir berkali-kali salah tingkah. Dan itu karena kelakuan si bupati ini. Suatu hari, Gunadi tidak sadar bahwa acara yang dihadiri oleh bupati sudah selesai. Dia asyik menikmati panganan di sebuah angkringan. Merasa terlambat, Gunadi buru-buru membayar. Tapi terlambat. Sang majikan sudah di depan mata. Ia selonong seenaknya ke angkringan itu, duduk di bangku kayu, lalu sibuk menyomot tahu dan tempe. Gunadi yang terkejut, plus salah tingkah kembali duduk. Kami jadi minum teh bersama di angkringan. Di lain kesempatan, Gun, nama panggilan sopir berusia 56 tahun itu, mengantar Idham ke Semarang. Mereka menginap di hotel bintang lima. Lantaran cuma sewa satu kamar, si sopir berniat selonjor di mobil untuk beristirahat. Tapi Idham memaksanya tidur di kamar. Jadilah mereka seranjang berdua. Pak Bupati dan sopirnya. Tapi Gun salah tingkah sampai di ranjang itu. Dia tak bisa tidur nyenyak. Mosok saya tidur satu ranjang dengan juragan," kata Gun. Kisah unik seperti ini, bertaburan di masa kepemimpinan Idham Samawi di Bantul. Dikisahkan rakyatnya sendiri, sopir dan orang-orang dekatnya. Dengarlah kisah dari Beni Sasongko, mantan ajudan pribadi Idham. Jika sangat mendesak, katanya, Idham Samawi bisa menerbitkan keputusan di mana saja. Termasuk di kandang kambing, ketika dia bercelana pendek dan sedang asyik memberi pakan kepada hewan bertanduk itu. Dulu Pak Idham itu suka memelihara kambing etawa. Suatu hari, ketika sedang memberi pakan, ada kepala dinas yang meminta tanda tangan dan juga arahan terkait program. Karena sedang memberi pakan, pengarahan pun dilakukan di kandang kambing itu,kata Beni. Kepala Dinas Sumber Daya Air Pemkab Bantul, Yulianta membenarkan cerita itu. Tidak harus di kantor atau rumah dinas. Di empang pun, saat kami datang akan ditanggapi, kata Yulianta. Dilanjutkan istri Sesudah dua periode menjabat, pengaruh Idham di Bantul tak lantas surut. Lantaran Idham tak bisa maju lagi, warga di sana memaksa istrinya yang maju. Meski tidak disokong partai yang mendukung Idham, sang istri Sri Suryawidati malah terpilih sebagai bupati. Sejumlah orang menganggap, fenomena istri menggantikan suami di tampuk kekuasaan sebagai sesuatu yang tak pantas dan mencederai demokrasi. Namun, Idabegitu sang istri disapa-menyebutnya sebagai sebuah kecelakaan. Saya menjadi bupati karena kecelakaan politik. Modal saya jadi bupati kan hanya dari ketua PKK Kabupaten Bantul, katanya. Bahkan hingga saat ini, setiap kebijakan yang akan diputuskan Ida kadang harus mendapat restu dari Idham. Saya berkonsultasi dengan suami dalam mengambil kebijakan. Pak Idham staf ahli saya yang tak perlu dibayar, ujar Ida.

JR Saragih: Membangun Ala 'Anak Terminal'


VIVAnews - Senin, 19 Desember 2011 menjadi hari tak terlupakan bagi 109 pejabat eselon III dan IV di jajaran Pemerintah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. "Hanya" gara-gara tak ikut upacara Hari Kesadaran Nasional, mereka kehilangan pekerjaan, alias dicopot dari jabatan masing-masing. Bupati Simalungun Jopinus Ramli (JR) Saragih marah besar hari itu, lantaran anak buahnya tak disiplin. Dia bekas militer, tentu gerah melihat disiplin pegawai negeri sipil (PNS) yang rendah. "Padahal itu adalah hari kesadaran nasional. Seharusnya mereka terlebih dahulu harus menyadarkan dirinya," kata bupati yang biasa disapa JR ini dalam perbincangan dengan VIVAnews, Rabu 24 Oktober 2012. Pria kelahiran 10 November 1968 itu masih belum bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tak hanya 109 PNS saja yang jadi sasaran disiplin sang Bupati. Dua hari sebelumnya, 17 Desember 2011, JR juga mencopot Kepala Dinas Kesehatan Simalungun, Saberina Tarigan. Simalungun sempat geger dengan berbagai pencopotan ini. JR beralasan, Kadinkes tak datang saat dia panggil rapat karena sedang berada di Medan. "Pejabat eselon II itu tidak boleh meninggalkan daerahnya tanpa sepengetahuan bupati." Tanpa tedeng aling, JR pun pernah mencopot Kepala RSUD Raya gara-gara keluhan masyarakat. "Saya pun sidak pagi-pagi, rumah sakit tidak terurus, atap-atap bocor dibiarkan. Seharusnya rumah sakit itu bersih," kata dia seraya menambahkan bahwa dirinya sangat peduli pada kesehatan. Tapi, amarah JR kepada 109 PNS yang bolos upacara tak lama. Berselang sehari, dia memanggil kembali anak buahnya itu bekerja. Sebagai hadiah Lebaran. "Sekaligus peringatan kepada para pejabat agar memberikan contoh yang baik. Dan kalau itu berulang lagi, pencopotan jabatan pasti akan mereka terima." Tak heran jika gaya kepemimpinan JR keras dan disiplin. Dia pernah bertugas di Korps Polisi Militer, komandan sub Detasemen Polisi Militer, komandan Detasemen Polisi Militer. Bahkan, dia pernah bergabung sebagai salah satu personel pengamanan presiden. Selain dunia militer, masa kecil suami Erunita Tarigan Girsang ini pun turut membentuk karakter JR yang tangguh dan keras. Tak seperti bocah kebanyakan, dia harus berjibaku untuk membiayai sekolahnya sendiri. Ayahnya, R Saragih, meninggal saat dia baru berusia satu tahun. Sang Ibu lalu menitipkan JR di rumah nenek di Desa Hapoltakan Pematang Raya karena perekonomian yang morat marit. Sejak SD, JR membantu neneknya memetik kopi di ladang. Tapi, duka kembali menggelayut. Sang Nenek juga meninggal. JR kembali ke rumah ibunya, N boru Sembiring Meliala, di Tanah Karo. Karena ekonomi tak memungkinkan, JR terpaksa berhenti sekolah saat duduk di kelas 6. Tak mau lama-lama dirundung sedih, JR memutuskan merantau ke Pematang Siantar. Di sana JR melakoni pekerjaan apapun untuk mendapat uang. Dia menjadi tukang semir sepatu di terminal, dan juga tukang bersih-bersih bus antar kota. Dua tahun JR harus membanting tulang dengan pekerjaannya itu. Dia kembali ke bangku sekolah setelah seorang supir menyarankannya sekolah. Dia berhasil menyelesaikan sekolahnya hingga SMP sambil bekerja memperbaiki alat-alat elektronik dan beternak ayam. Sampai di situ, penderitaan rupanya belum mau melepas JR. Dia kesulitan membayar uang sekolah untuk melanjut ke SMA. JR kembali merantau. Kali ini, tujuan rantauannya jauh dari kampung halaman, Jakarta. Di Ibukota, JR bekerja sebagai penggali pasir. Dari uang itu, dia bisa mendaftar ke SMA swasta Iklas Prasasti di Kemayoran. Saat bersekolah di SMA ini lah hidup JR menemui titik balik. Sambil bersekolah, JR mendapat tawaran bekerja paruh waktu di pusat Primer Koperasi Mabes TNI AD di Jakarta. Keuletan dan kegigihan JR mencari uang untuk sekolah mendapat simpatik dari petinggi angkatan TNI AD. JR pun diberikan kesempatan mengikuti tes masuk Akademi Militer, dan berhasil. Minder lihat baju dinas Di luar disiplin ala militernya dalam memimpin Simalungun, ada satu kebiasaan JR yang sudah diketahui warga. Dia kerap blusukan ke daerah-daerah dengan sepeda motor trail miliknya, tanpa pengawalan. Mengenakan baju kaus biasa, JR juga sering terlihat nongkrong di warung-warung kopi. "JR itu sosok nyentrik. Dia sering ke warung kopi untuk membaur dengan warga," kata Enrico, penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia. Sekilas, kata dia,

perjalanan dengan motor ke kampung-kampung itu terlihat seperti pencitraan. "Tapi, tidak. Dia memang begitu. Langsung turun untuk bertanya kebutuhan warganya itu apa," imbuhnya. Saat ditanya soal kebiasaannya itu, JR punya alasan sendiri. Sebelum dirinya menjabat sebagai bupati, menurut JR, jalanan di Simalungun sudah kacau, terutama di pedalaman. Masih banyak yang belum diaspal. "Ada yang sampai tak bisa dilalui. Itulah kenapa saya lebih senang pakai motor trail. Kalau pakai mobil nanti susah sendiri karena sebagian jalanan di dalam tidak bisa dilalui mobil," kata JR. Soal kaus olahraga saat kunjungan kerja? "Kalau pakai dinas saya terlalu kaku. Dari pengalaman, masyarakat merasa minder melihat baju dinas pejabat yang hadir di kampungnya," kata JR. Seolaholah, imbuhnya, pejabat itu orang hebat. Padahal, dia datang justru mau jadi tempat curhat warga. Dengan kaus biasa, tak hanya warga, staf pun tak canggung lagi. "Inilah yang saya inginkan. Jadi mereka bisa lebih terbuka dan merasa bersahabat dengan saya. Tentunya kerjasama lebih berguna." Warga pun lebih berani mengajaknya duduk di warung kopi jika tak mengenakan baju dinas. Mengenai prioritas pembenahan, JR punya dua hal: kesehatan dan pendidikan. Dua bidang ini, menurut JR, adalah hal paling penting dalam kehidupan. "Sekolah tinggi kalau tak sehat juga susah. Begitu juga sebaliknya. Nah, keduanya ini harus menjadi nomor 1 di Simalungun," kata dia. Beberapa sekolah, kata dia, sudah dibangun sehingga menambah tempat bagi generasi muda menimba ilmu. Dia berharap pembangunan pendidikan ini terus berkembang sebab pendidikan adalah salah satu cara memajukan bangsa. Hal ini diakui Enrico. "Basic dia kesehatan. Awalnya, dia punya rumah sakit. Jadi dia lebih dominan kesehatan. Tapi, pendidikan pun jalan, terbukti bertambahnya sekolah di Simalungun," jelas Enrico. Selanjutnya, prioritas JR adalah infrastruktur. "Perlahan, Kota Raya sudah berkembang menjadi kota baru. Padahal dulu, kota ini seperti kota mati. Meskipun sudah menjadi kabupaten Simalungun," imbuhnya. Indikasi kota mati, kata dia, orang susah cari penginapan, warnet, dan layanan publik lainnya. Jalanan pun, menurutnya, sudah kian lebar. Investor pun mulai melirik Raya, di luar Siantar untuk berinvestasi. "Landasan pacu pun sudah ada di Raya," kata dia. Penerbangan pertama dari landasan pacu itu terjadi pada 2011 lalu. Tapi, dia akui memang masih kurang investor. "Susi Air sering berkunjung ke sini." Di sektor pertanian, JR belum bisa berjanji muluk-muluk. Paling tidak, kata dia, Simalungun tidak perlu mengimpor beras dari luar. Simalungun, kata dia, merupakan daerah pertanian sehingga padi pun jadi andalan wilayah yang dia pimpin. Bupati Simalungun sejak 28 Agustus 2010 itu juga pernah mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena berhasil meningkatkan produksi padi pada 2011 lalu. Penghargaan ini diberikan melalui Menteri Pertanian Siswono MM di Jakarta. Dibandingkan 2009, Simalungun surplus produksi padi sebanyak 134.156 ton pada 2011.

Tri Rismaharini: Sepenuh Hati Menata Surabaya


VIVAnews Seorang ibu paruh baya berdiri di tengah kompleks lokalisasi Dolly, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Matanya berkaca-kaca. Ia berbicara dengan suara parau kepada para pekerja seks komersial (PSK) di sana. Sudah banyak ulama dan tokoh agama mendesak saya menutup tempat ini. Sekali lagi saya mohon kepada panjenengan (Anda, red) semua meninggalkan pekerjaan ini. Saya dan Pemerintah Kota Surabaya, bismillah, siap membantu dan memfasilitasi panjenengan semua, kata sang Ibu, merayu, membujuk. Suasana senyap, dan haru. Kerongkongan ibu itu seperti tercekat. Ia seperti tak tahu lagi hendak berkata apa kepada para pekerja seks di sana. Ibu itu tak lain Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani. Bulan puasa kemarin, awal Agustus 2012, Risma sengaja menggelar acara silaturahmi dan buka puasa bersama warga lokalisasi Dolly di rumah dinasnya. Acara itu dihadiri 200 lebih penghuni lokalisasi Dolly. Tujuannya satu: memohon para PSK itu beralih profesi. Pemkot Surabaya dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memang bertekad membersihkan Surabaya dari bisnis prostitusi. Mereka bahkan bersedia memberikan uang sebagai modal bagi para PSK untuk memulai hidup baru. Meski sampai saat ini rayuan itu belum sepenuhnya berhasil, namun lambat laun suasana Gang Dolly tidak seramai dahulu. Tahun 2010, ada sekitar 3.000 PSK beroperasi di gang itu, tahun 2011 turun jadi 2.500 PSK. Pada 2012 ini tersisa 580 PSK. Mungkin pada akhirnya nanti, bujukan sabar keibuan Risma pada para PSK Dolly itu berbuah manis. Tegas Sekilas, melihat sikap Risma di hadapan para PSK Dolly, tergambar sosok ibu yang sabar. Namun di balik kesabaran itu, tersimpan ketegasan. Kurang dari sebulan setelah Risma menggelar buka puasa bersama PSK Dolly, petugas Satuan Polisi Pamong Praja menjaring belasan remaja yang ketahuan memakai narkoba dan minuman keras. Risma pun melontarkan amarahnya kepada para remaja itu tanpa ampun. Kalian jangan gaya-gayaan. Kalian itu masih di bawah umur, pakai acara pergi ke diskotek segala. Mau jadi apa kalian? sembur Risma di Kantor Satpol PP Jalan Jimerto, Surabaya, akhir Agustus 2012. Ketika salah seorang remaja itu mengaku lari ke narkoba karena ia berasal dari keluarga tak bahagia, kemarahan Risma tak lantas surut. Masih banyak orang lain menderita. Kalian jangan menyalahkan keadaan. Baju kalian itu masih b agus. Coba lihat anak-anak lain di sekitar, ujar Risma. Kemarahan Risma itu bukan tanpa alasan. Dia cemas, jika remaja dengan pergaulan semacam itu kelak menjadi korban kejahatan perdagangan manusia. Menata kota Membersihkan Surabaya dari bisnis prostitusi adalah salah satu tekad Risma di antara tumpukan mimpi lain. Secara umum, Risma menata dan membenahi lingkungan kota Surabaya. Ibu dua anak itu membangun sejumlah taman, di berbagai lokasi di Surabaya. Taman-taman yang sudah ada pun dipercantik, dan dilengkapi fasilitas olahraga, serta arena bermain anak. Warga Surabaya, baik dewasa maupun anak-anak, butuh tempat bermain yang nyaman, dan aman, kata Risma kepada VIVAnews, Rabu 24 Oktober 2012. Menata taman memang salah satu keahlian Risma. Maklum, Pegawai Negeri Sipil Pemkot Surabaya itu pernah menjabat sebagai Kepala Cabang Dinas Pertamanan pada 2001, dan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada 2005. Risma menjelaskan, Surabaya harus menjadi kota metropolitan tanpa meninggalkan konsep rumah. Surabaya harus menjadi tempat nyaman, aman, dan disayangi penghuninya. Kita tidak boleh mengeksploitasi kota ini hingga akhirnya menjadi tidak nyaman bagi warganya, ujar Risma. Perempuan kelahiran Kediri itu yakin, taman-taman hijau itu berkontribusi pada terciptanya kerukunan di Surabaya itu. Taman Bungkul di jantung kota Surabaya misalnya, kini menjadi tempat nongkrong

anak muda tanpa pernah ada insiden tawuran di situ. Ini karena mereka merasa semua fasilitas di taman itu milik bersama, sehingga mereka merawat dan menikmatinya bersama, kata Risma. Taman Bungkul memang salah satu kebanggaan Surabaya. Taman di Jalan Raya Darmo itu diresmikan 2007, dan mengusung konsep sport, education, and entertainment. Taman seluas 900 meter persegi itu dilengkapi arena skateboard, sepeda BMX track, jogging track, amfiteater, taman bermain anakanak, kolam air mancur, dan pujasera. Taman ini bahkan memiliki jalur penyandang cacat, akses internet Wifi, telepon umum, dan pujasera. Tak hanya soal taman, Risma juga menata kawasan kumuh Surabaya. Sejumlah kampung yang dahulu terkenal kumuh dan tidak tertata seperti Banyu Urip, Gundih, dan Dukuh Setro, kini pun tampak lebih nyaman, bersih, dan cantik, karena penghijauan yang dilakukan warga. Dalam menata kota, menurut Risma kuncinya ada pada membangkitkan partisipasi warga untuk ikut peduli dan bertanggung jawab memelihara lingkungan mereka sendiri. Itu pula yang ia lakukan ketika menata Pedagang Kaki Lima di Jalan Kayoon. Jalan Kayoon yang sebelumnya kumuh sampai tak bisa dilalui warga, kini sudah lebih tertata. Meski demikian, Risma mengaku penataan dan pemberdayaan PKL yang ia lakukan belum tuntas karena banyaknya kendala yang dihadapi. Apapun, ia yakin semua persoalan lambat-laun bisa teratasi melalui edukasi dan ajakan bekerja sama kepada masyarakat terus-menerus. Menata kota sebetulnya tak asing untuk Risma yang terpilih menjadi Wali Kota Surabaya pada akhir 2010. Sebelum menjadi wali kota, Risma pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya 1997-2000, Kepala Bagian Bina Bangunan tahun 2002, dan Kepala Bappeko Surabaya tahun 2008. Batu sandungan Langkah Risma sebagai Wali Kota Surabaya tak selalu mulus. Batu sandungan bahkan sudah menghadang di tahun pertama ia menjabat. Pada 31 Januari 2011, DPRD Surabaya mencoba melengserkan Risma. Itu gara-gara dia menerbitkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya. Kedua Perwali itu mengatur kenaikan pajak reklame ukuran besar dan sedang sebesar 25 persen, serta menurunkan pajak reklame ukuran kecil. Risma punya tujuan spesifik menerbitkan kedua Perwali itu: untuk menekan pertumbuhan reklame ukuran besar yang kerap roboh terkena angin kencang apabila cuaca buruk, dan mempermudah Usaha Kecil Menengah yang ingin memasang reklame kecil guna mempromosikan usaha mereka. Risma juga menegaskan, pajak di kawasan khusus Surabaya memang perlu dinaikkan agar pengusaha tak seenaknya memasang iklan di jalan umum. Pemasangan iklan terlalu banyak, dan amburadul, menurut Risma, akan menjadikan Surabaya bak belantara iklan. Maka dengan meninggikan pajak reklame ukuran besar, ia berharap pengusaha iklan beralih memasang iklan di media massa ketimbang memasang baliho di jalan-jalan kota. Namun penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame oleh Risma itu mendapat tentangan sejumlah pengusaha reklame besar. Mereka mengajukan surat keberatan melalui DPRD Kota Surabaya. DPRD Surabaya menganggap Risma melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah, karena sang wali kota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Perwali. DPRD Surabaya pun merekomendasikan pemberhentian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Keputusan itu didukung oleh enam dari tujuh fraksi politik yang ada di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusungnya sebagai Wali Kota Surabaya pada Pilkada. Hanya satu fraksi yang menolak pemberhentian resmi Risma, PKS. Pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi menyatakan tak ada cukup alasan untuk memecat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Gamawan menegaskan, Peraturan Wali Kota tidak bisa dijadikan alasan pemecatan. Kesalahan administrasi dalam proses penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame, yaitu tak dilibatkannya SKPD dalam penyusunan Perwali, masih manusiawi. Jangankan Peraturan Wali Kota, Peraturan Daerah saja bisa salah. Untuk itu ada evaluasi terhada p peraturan-peraturan itu. Tapi pemecatan Wali Kota karena alasan itu terlalu berlebihan, ujar Gamawan. Ia menambahkan, pemberhentian kepala daerah hanya dilakukan dengan apabila kepala daerah terkait melanggar sumpah dan tidak mampu melaksanakan tugas. (np)

Mardjoko, Ambisi Investasi Bupati Ngapak


VIVAnews Ada yang cukup dikenang oleh Bupati Banyumas Mardjoko ketika baru dua bulan menjabat, pada 2008 silam. Puluhan wartawan berdemo di depan kantornya. Mereka menentang kebijakan bahwa hanya bupati yang boleh berbicara ke media. Terutama soal pengelolaan keuangan daerah, dan pembinaan pegawai. Meski didesak wartawan, Mardjoko tak berubah. Dia malah mencopot kepala humas. Alasannya, sang jubir itu tak bisa menyampaikan kebijakan itu ke wartawan. Saya bukan menghalang-halangi wartawan mendapat informasi, kata Mardjoko kepada VIVAnews. Soal surat itu, Dewan Pers memang sempat turun tangan. Namun, Marjoko tak gentar. Dia merasa kebijakan itu benar. Saya juga dapat surat dari Dewan Pers, ujarnya. Tapi Mardjoko menjelaskan alasannya kepada Dewan Pers, dan menurutnya Dewan Pers menerima. Sampai sekarang tidak apaapa, kata Bupati yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa, dan menang satu putaran di pemilu Banyumas. Sebagai pejabat baru, Mardjoko ingin informasi ke masyarakat jelas. Tak ada bias. Jadi nanti apa yang disampaikan ke publik harus dikomunikasikan dengan pimpinan, ujar dia. Rombak alun-alun Ada hal kontroversial lain saat awal dia menjabat. Belum genap tiga bulan berkuasa, Mardjoko berniat membongkar alun-alun di Kota Purwokerto, ibukota Banyumas. Alun-alun itu dipisahkan dua jalan. Saat itu kondisinya kumuh. Banyak pedagang kaki lima, sampai menjorok ke tengah alun-alun. Sekitar Juli 2008, para pedagang kaki lima itu dipindah ke Jalan Rajasemangsang, sekitar 30 meter dari alun-alun. Mardjoko mendatangkan buldoser. Jalanan yang memisahkan alun-alun dibongkar. Begitu juga pohon beringin yang tumbuh di tengahnya. Sontak, rencana itu dikecam puluhan seniman Banyumas. Mereka berdemo. Perombakan alun-alun dinilai melanggar hukum. Mardjoko dituding merusak benda cagar budaya. Dia juga dilaporkan ke polisi. Mardjoko tak mundur. Dia ngotot membedah alun-alun kumuh itu. Alasannya, ingin mendatangkan investor. Perombakan pun dilanjutkan. Berbagai sudut dipoles. Rumput berkualitas bagus ditanam di atasnya. Dalam waktu singkat, alun-alun terlihat cantik. Saya kampanye membangun Banyuwas dengan investasi. Kalau kumuh mana ada investor mau datang. Toh saat ini berubah jadi bagus. Banyak investor masuk, ujar Mardjoko dengan logat ngapak. Dia terus mendandani Banyumas. Ruang terbuka hijau dalam kota diperluas. Jalan-jalan di Kota Purwokerto dilebarkan. Para pedagang kaki lima yang semula berjubel di alun-alun dibuatkan tempat khusus, Prathista Hasta. Di tempat itu, para pedagang bebas berjualan. Jika di alun-alun hanya dagang dari siang sampai malam, di tempat khusus ini mereka bisa berjualan 24 jam. Keberanian Marjdoko menata Banyumas berbuah. Sejumlah investor mulai masuk. Di sektor jasa, dua hotel kelas nasional dibangun di Purwokerto. Ratusan restoran dan rumah makan berkembang pesat. Bak jamur di musim hujan. Investasi juga masuk di sektor industri. Pabrik semen Panasia dibangun di Desa Tipar Kidul, Ajibarang. Nilai investasinya Rp2,9 triliun. Di Gunung Slamet, Baturaden, muncul pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal. Nilai investasinya mencapai Rp7,9 triliun. Tak sendiri Mardjoko tak bekerja sendiri. Dia mengajak rekannya, para bupati di sekitar Banyumas. Bupati Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, dan Kebumen, pun digandeng. Mereka diajak merintis operasional lapangan udara Wirasaba milik TNI Angkatan Udara. Lapangan itu disulap menjadi bandara komersial. Proses ini masih berjalan. Lapangan udara itu memang berada di Kabupaten Purbalingga. Namun, Mardjoko ingin lapangan udara itu berkembang. Prinsipnya, jika lapangan itu berkembang, maka daerah sekitarnya ikut tumbuh. Jika bandara dibuka, ekonomi berputar lebih cepat. Banyumas, kata Mardjoko, pasti ikut menikmati hasilnya. Hasilnya kini mulai tampak. Pendapatan asli daerah (PAD) Banyumas, sebelum era Mardjoko, hanya Rp40 miliar per tahun. Setelah gebrakan Mardjoko, PAD Banyumas meroket jadi Rp200 miliar per tahun. Naik lima kali lipat. Selama menjabat, dia juga menyabet 132 penghargaan di berbagai bidang. Laporan keuangan kabupaten dengan 27 kecamatan ini pun termasuk oke. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan predikat wajar tanpa pengecualian untuk Banyumas, pada laporan 2009, 2010, dan 2011. Sebelumnya, Banyumas dapat stempel disklaimer dari badan pemeriksa itu.(np)

Dikekang Perda Kontroversial


VIVAnews Selembar surat seruan yang sempat bikin heboh itu akhirnya ditempelkan di tempat terbuka di Lhokseumawe, Senin 7 Januari 2012. Sejumlah orang berseragam pegawai negeri, memasang kertas itu di sejumlah titik. Sontak, aturan kota di Aceh bagian utara itu lalu jadi bahan perbincangan panas. Judul kertas itu Seruan Bersama. Empat tokoh penting di kota itu menekennya: Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah, dan Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman. Ada empat pasal dalam seruan itu, tapi yang paling menohok adalah Pasal 1, y ang bunyinya: Perempuan dewasa yang dibonceng sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat). Resmilah sudah, mulai hari itu, para perempuan di kota gas Lhokseumawe itu, tak boleh lagi dibonceng dengan duduk mengangkang. Ini bentuk keprihatinan pemerintah Kota Lhokseumawe, ujar Suaidi. Dia melihat maraknya warga tidak lagi peduli budaya dan adat istiadat Aceh. Banyak pasangan terutama bukan muhrim berpelukan, dan bermesraan saat berkendara di jalan. Salah satu solusinya, ya itu tadi: perempuan dilarang duduk mengangkang ketika membonceng. Tapi kata Suaidi, tak berarti setiap perempuan membonceng tak boleh mengangkang. Ada pengecualian yang dianggap darurat, ujarnya. Misalnya, perempuan bawa anak atau barang belanjaan. Atau pada saat darurat ke rumah sakit. Dalam keadaan begitu boleh duduk mengangkang, kata dia. Aturan ini, kata sang walikota, baru berbentuk seruan. Jadi, masih percobaan selama tiga bulan. Karena hanya berbentuk seruan, maka tak ada sanksi. Jika berjalan baik, Suaidi akan meningkatkannya menjadi peraturan wali kota, atau bahkan peraturan daerah. Dia juga tak pusing dengan Kalau misalnya nanti setelah jadi peraturan walikot a minta dibatalkan, kami akan mempertanyakan juga, sebab menurut kami ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kata Suaidi. Dia pertama kali mengusulkan larangan mengangkang ini dalam sebuah acara dakwah di Lapangan Hira Lhokseumawe di malam pergantian tahun 2012 ke 2013. Lalu, apakah seruan bersama ini dipatuhi? Keesokan harinya, sejumlah televisi melaporkan, sebagian perempuan di Lhokseumawe masih membonceng mengangkang. Kami tidak setuju. Susah itu, kata seorang mahasiswi yang diw awancara stasiun televisi antv. Alasannya, sulit jika dibonceng harus duduk menyamping. Apalagi buat anak perempuan di bawah umur. Bisa-bisa jatuh, ujarnya. Memang ada risiko sendiri dengan duduk menyamping. Seorang pelatih keselamatan berkendara di Jakarta, Jusri Pulubuhu, membenarkan pendapat mahasiswi itu. Seharusnya sebelum aturan dibuat, kata Jusri, aspek keselamatan harus lebih dulu diperhatikan, sebelum soal estetika, norma, dan agama. Dengan penumpang duduk menyamping kestabilan dan keseimbangan akan berkurang. Itu berbahaya," kata Jusri, yang jadi training director di Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC). Selain tak aman, duduk menyamping juga tak ergonomis. Jusri berharap aturan dibonceng posisi menyamping tak diterapkan. Itu sangat berbahaya di jalan raya. "Jalan raya kini telah menjadi ladang pembantaian massal," kata dia. Tentu saja, aturan itu memancing banyak reaksi. Sejumlah situs asing, bahkan menulisnya sebagai bagian cerita lucu. Media otomotif international Jalopnik misalnya memberikan judul yang meledek: "Where Is The Worst Place In The World To Be A Woman Motorist?" Artinya "Di manakah tempat terburuk di dunia bagi wanita pengendara sepeda motor?" Jawabannya ya apalagi kalau bukan salah satu kota di Aceh itu. Diskriminasi perempuan Peraturan yang lucu tapi mengekang perempuan itu rupanya kerap terjadi di daerah. Koordinator Pemantauan Kebijakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Jafar, misalnya mencatat pernah ada 154 perda yang diskriminatif bagi perempuan. Dia mengutip data itu dari Komnas Perempuan. Perda itu bertentangan dengan HAM. Ia mengekang ruang gerak perempuan, ujar Wahyudi, Rabu pekan lalu. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada September 2012 lalu, pernah mencatat 282 kebijakan di daerah yang tak peduli hak perempuan. Bahkan sampai merenggut nyawa kaum hawa.

Jumlah itu meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, ada 154 Perda yang dianggap mendiskreditkan perempuan. Tahun 2010 ada 189, dan pada 2011 ada 207 kebijakan. Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut perda diskriminatif itu tersebar di 100 kabupaten di 28 provinsi. "Dari Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur, masih tetap menjadi enam provinsi yang kabupatennya masih gemar menerbitkan kebijakan daerah diskriminatif," kata Andy. Dia menambahkan, dari 282 Perda, sekitar 207 di antaranya langsung mendiskriminasi perempuan. Sebanyak 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. Dalam soal bekerja, ada tujuh aturan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak mereka sebagai pekerja. Andy menyebut sejumlah kasus. Ada seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, Lilis Lisdawati ditangkap oleh satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial. Lilis stres karena tekanan psikologis, akibat stigma masyarakat menganggapnya sebagai PSK. Akibatnya, Lilis meninggal pada 2009. Di Langsa, Aceh, Andy menuturkan, seorang perempuan menjadi korban penerapan aturan diskriminatif. Remaja Aceh ini bunuh diri, diduga akibat malu setelah ditangkap Polisi Syariat Islam Aceh, Waliyatul Hisbah, 3 September 2012 lalu. Dia menambahkan, remaja itu ditangkap Polisi Syariah karena kedapatan keluar rumah pada malam hari. Diduga, Putri tak dapat menanggung malu setelah ditangkap, dan dicap sebagai pelacur. Di Kota Tasikmalaya, ada peraturan daerah mewajibkan pegawai perempuan mengenakan rok. Aturan itu terdapat dalam Peraturan Daerah Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai. Di Sumatera Barat, peneliti di Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, bahkan menyebut hampir di setiap kabupaten dan kota ada peraturan daerah diskriminatif. Peraturan itu terlalu mencampuri urusan pribadi warga negara. Di Padang, misalnya, Wali Kota mengeluarkan surat edaran mengatur kewajiban mengenakan busana muslim. Anehnya, meski kasus diskriminatif ini sudah banyak contohnya, kata Andy, pemerintah di pusat nyaris tak pernah membatalkan aturan semacam itu. Sampai saat ini belum ada informasi pe mbatalan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas oleh Kemendagri," kata Andy. Wahyudi dari Elsam juga menyatakan hal senada. Kebanyakan perda yang dihapuskan Kemendagri adalah berurusan dengan investasi dan retribusi. Soal perda yang dikriminatif, hampir tak terdengar ada pembatalan. Sebetulnya, ada jalur lain membatalkan perda yakni melalui uji material ke Mahkamah Agung. Tapi, tampaknya itu tak terlalu efektif. Kepala Biro Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur menyebutkan, pada 2012, ada 52 pengajuan uji material perda ke MA. Sementara 2011 ada 50 perkara dan 2010, 61 perkara. Tapi, untuk sampai ada keputusan, butuh waktu antara tiga sampai sepuluh bulan, ujar Ridwan. Bukan ajaran Islam Tapi Kementerian Dalam Negeri mengklaim, sepanjang 2012, kementerian itu membatalkan 173 perda dari 3.000 yang dievaluasi. Sisanya, ada yang lolos evaluasi, dan ada yang perlu dikoreksi agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Pekerjaan ini tak mudah, kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, awal Januari 2013 ini. Tiap hari, minimal satu perda muncul dari 497 kabupaten, atau dari kota atau provinsi. Gamawan menyatakan, evaluasi satu perda itu makan waktu 14 hari. Gamawan mengakui, sebagian besar perda bermasalah itu berkaitan dengan retribusi, pajak dan perizinan. Misalnya, ada perda yang mengatur kewenangan yang sebenarnya jatah pemerintah pusat. Akibatnya, terpaksa perda itu dibatalkan. Misalnya, soal pajak dan retribusi. Untuk urusan ini, kata Gamawan, tak boleh ada inisatif membebani orang dengan pajak dan retribusi di luar yang diatur UU Nomor 28 tahun 2009. Jadi daerah tak bisa suka-suka. Karena ingin meningkatkan pendapatan asli daerah, lalu menambah-nambah jenis pajaknya, ujar Gamawan. Di Kalimantan Barat misalnya, ada perda soal pengendalian dan pengaturan kendaraan asing yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Kendaraan asing berkeliaran di Kalimantan Barat, sementara pemerintah daerah gigit jari, tak bisa menambah penghasilan lewat pajak atau retribusi. Perda itu, kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kalimantan Barat, Syarif Izhar Asyuri, juga berfungsi sebagai pencegah penyelundupan kendaraan dari Malaysia ke Indonesia. Pihak DPRD maupun Pemprov Kalimantan Barat curiga penolakan ini disebabkan permainan elite melindungi bisnis pengguna mobil asing yang berkeliaran di Kalbar, kata Syarif.

You might also like