Professional Documents
Culture Documents
VIVAnews - Di Dlingo, hidup digali dari batu cadas dan tanah merah. Lereng, tebing dan bukit tersusun dari cadas. Hanya pohon jati kluwih yang sanggup tumbuh di situ. Tanah merah itu memang bersahabat di musim hujan. Bisa bersawah. Bisa berkebun. Tapi bila musim kemarau datang, semuanya menyerah. Pohon rontok, lahan kering kerontang, tanah membelah. Hidup sulit. Kerja keraslah yang membuat warga di sana bertahan. Bahkan sanggup menyekolahkan anak. Suatu hari tahun 1999, di musim kemarau yang garang, seorang pria lewat di situ. Dia menghampiri seorang petani yang sibuk mengais di ladang. Jalan menuju ladang itu sempit. Berbatu dengan aspal tipis seadanya. Bagaimana tanamannya, Pak?, pria itu menyapa dalam bahasa Jawa yang santun. Ya beginilah, Pak. Tanahnya tandus, giliran panen harganya rendah, ndak cocok dengan tenaga dan biaya menanam, jawab si petani itu sembari menghela nafas berat. Tamu yang datang siang bolong itu kembali bertanya. Katanya ada bupati baru yang dilantik. Orangnya seperti apa sih, Pak?. Si petani menjawab pendek. Katanya sih baik, tapi nggak tahu ya ke depannya. Sesudah ngobrol sebentar, pria itu pergi. Pak Tani yang sedang diladang itu, sungguh tak tahu bahwa lelaki yang berlalu itu adalah Idham Samawi, Bupati Bantul yang baru dilantik. Sang bupati memang datang ke kecamatan Dlingo itu cuma berdua. Cuma pakai kaos oblong dan celana jeans. Incognito. Menyamar. Itulah yang dilakukan Idham Samawi pada masa-masa awal menjadi Bupati Bantul. Dia keluar masuk pelosok kampung. Dari pinggir pantai, kampung di pelerengan, hingga perbukitan tandus seperti Dlingo itu. Dengan keluar masuk secara incognito itu, dia bisa merekam keadaan warga. Merekam apa yang mereka perlukan. Dari situlah dia menyusun program kerja. Dari hasil menyamar ke kampung-kampung itu, kesimpulannya jelas. Warga butuh infrastuktur khususnya jalan. Lewat jalan itu mereka punya akses ke sumber-sumber ekonomi. Saya membangun infrastruktur jalan di Kecamatan Dlingo. Ternyata hasilnya luar biasa. Ekonomi masyarakat meningkat tajam, kisah Idham Samawi, kepada VIVAnews. Sesudah itu sang bupati tetap memeras otak. Sebagian besar rakyat adalah petani. Mengantung nasib pada kebaikan alam. Panen dimusim hujam. Bisa kelaparan di musim kemarau. Saat panen berlimpah harga terjun ke titik nadir. Petani nyaris tak pernah untung. Selalu begitu saban tahun. Sang bupati baru itu harus memikirkan cara bagaimana menyudahi nasib itu. Lalu muncul gagasan terobosan ini. Bila musim petik tiba, dan harga terjungkal ke titik terendah, pemerintah harus turun tangan. Bagaimana caranya? Borong semua hasil panen jika harga terjun bebas. Kalaupun rugi, biar pemerintah yang tanggung, kata Idham. Dengan cara itu para petani memetik untung dan kian semangat bekerja. Birokrasi dikerahkan demi membantu warga. Dari kepala dinas, camat hingga kepala dusun. Itu sebabnya mereka harus menguasai wilayahnya secara rinci. Setiap camat di Bantul wajib hafal berapa jumlah siswa, berapa hektar sawah irigasi, tegalan, dan pekarangan. Bukan cuma itu. Pak camat juga harus bersedia menjadi camat siaga. Siap mengantarkan ibu hamil yang segera melahirkan dengan mobil dinas ke rumah sakit. Ini adalah salah satu cara untuk menekan jumlah ibu dan bayi meninggal saat melahirkan, kata Idham. Mereka yang malas memikul kewajiban itu, sanksinya tegas. Jabatan dicopot. Selain sektor pertanian dan kesehatan, Idham juga memacu sektor pendidikan. Semua guru sekolah dasar di Bantul wajib bertitel sarjana . Yang belum harus melanjutkan kuliah. Biaya kuliah disubsidi Pemerintah Kabupaten Bantul. Hingga akhir masa jabatan saya, guru SD yang tidak berijazah S1 dapat dihitung dengan jari, katanya. Kisah dari kandang kambing Suatu hari Idham kembali mengunjungi Dlingo. Di jalan ia bertemu dengan seorang ibu yang baru pulang dari pasar. Ibu tua itu menggendong bakul berisi hasil panen yang tidak laku terjual. Dengan tubuh membungkuk menahan beban, perempuan desa itu mendaki perbukitan.
Idham menyuruh sopirnya menghentikan mobil dan menepi. Ia mengajak ibu itu untuk ikut serta. Diantar hingga dekat rumahnya. Hingga turun dari mobil, ibu itu tak tahu bahwa yang memberi tumpangan adalah Pak Bupati. Sopir pribadi Idham, Gunadi, masih merekam dengan jelas hari-hari pertama majikannya menjadi bupati. Kerap menyamar turun ke lapangan menemui langsung masyarakat. Memakai jeans dan baju kaos. Sang sopir berkali-kali salah tingkah. Dan itu karena kelakuan si bupati ini. Suatu hari, Gunadi tidak sadar bahwa acara yang dihadiri oleh bupati sudah selesai. Dia asyik menikmati panganan di sebuah angkringan. Merasa terlambat, Gunadi buru-buru membayar. Tapi terlambat. Sang majikan sudah di depan mata. Ia selonong seenaknya ke angkringan itu, duduk di bangku kayu, lalu sibuk menyomot tahu dan tempe. Gunadi yang terkejut, plus salah tingkah kembali duduk. Kami jadi minum teh bersama di angkringan. Di lain kesempatan, Gun, nama panggilan sopir berusia 56 tahun itu, mengantar Idham ke Semarang. Mereka menginap di hotel bintang lima. Lantaran cuma sewa satu kamar, si sopir berniat selonjor di mobil untuk beristirahat. Tapi Idham memaksanya tidur di kamar. Jadilah mereka seranjang berdua. Pak Bupati dan sopirnya. Tapi Gun salah tingkah sampai di ranjang itu. Dia tak bisa tidur nyenyak. Mosok saya tidur satu ranjang dengan juragan," kata Gun. Kisah unik seperti ini, bertaburan di masa kepemimpinan Idham Samawi di Bantul. Dikisahkan rakyatnya sendiri, sopir dan orang-orang dekatnya. Dengarlah kisah dari Beni Sasongko, mantan ajudan pribadi Idham. Jika sangat mendesak, katanya, Idham Samawi bisa menerbitkan keputusan di mana saja. Termasuk di kandang kambing, ketika dia bercelana pendek dan sedang asyik memberi pakan kepada hewan bertanduk itu. Dulu Pak Idham itu suka memelihara kambing etawa. Suatu hari, ketika sedang memberi pakan, ada kepala dinas yang meminta tanda tangan dan juga arahan terkait program. Karena sedang memberi pakan, pengarahan pun dilakukan di kandang kambing itu,kata Beni. Kepala Dinas Sumber Daya Air Pemkab Bantul, Yulianta membenarkan cerita itu. Tidak harus di kantor atau rumah dinas. Di empang pun, saat kami datang akan ditanggapi, kata Yulianta. Dilanjutkan istri Sesudah dua periode menjabat, pengaruh Idham di Bantul tak lantas surut. Lantaran Idham tak bisa maju lagi, warga di sana memaksa istrinya yang maju. Meski tidak disokong partai yang mendukung Idham, sang istri Sri Suryawidati malah terpilih sebagai bupati. Sejumlah orang menganggap, fenomena istri menggantikan suami di tampuk kekuasaan sebagai sesuatu yang tak pantas dan mencederai demokrasi. Namun, Idabegitu sang istri disapa-menyebutnya sebagai sebuah kecelakaan. Saya menjadi bupati karena kecelakaan politik. Modal saya jadi bupati kan hanya dari ketua PKK Kabupaten Bantul, katanya. Bahkan hingga saat ini, setiap kebijakan yang akan diputuskan Ida kadang harus mendapat restu dari Idham. Saya berkonsultasi dengan suami dalam mengambil kebijakan. Pak Idham staf ahli saya yang tak perlu dibayar, ujar Ida.
perjalanan dengan motor ke kampung-kampung itu terlihat seperti pencitraan. "Tapi, tidak. Dia memang begitu. Langsung turun untuk bertanya kebutuhan warganya itu apa," imbuhnya. Saat ditanya soal kebiasaannya itu, JR punya alasan sendiri. Sebelum dirinya menjabat sebagai bupati, menurut JR, jalanan di Simalungun sudah kacau, terutama di pedalaman. Masih banyak yang belum diaspal. "Ada yang sampai tak bisa dilalui. Itulah kenapa saya lebih senang pakai motor trail. Kalau pakai mobil nanti susah sendiri karena sebagian jalanan di dalam tidak bisa dilalui mobil," kata JR. Soal kaus olahraga saat kunjungan kerja? "Kalau pakai dinas saya terlalu kaku. Dari pengalaman, masyarakat merasa minder melihat baju dinas pejabat yang hadir di kampungnya," kata JR. Seolaholah, imbuhnya, pejabat itu orang hebat. Padahal, dia datang justru mau jadi tempat curhat warga. Dengan kaus biasa, tak hanya warga, staf pun tak canggung lagi. "Inilah yang saya inginkan. Jadi mereka bisa lebih terbuka dan merasa bersahabat dengan saya. Tentunya kerjasama lebih berguna." Warga pun lebih berani mengajaknya duduk di warung kopi jika tak mengenakan baju dinas. Mengenai prioritas pembenahan, JR punya dua hal: kesehatan dan pendidikan. Dua bidang ini, menurut JR, adalah hal paling penting dalam kehidupan. "Sekolah tinggi kalau tak sehat juga susah. Begitu juga sebaliknya. Nah, keduanya ini harus menjadi nomor 1 di Simalungun," kata dia. Beberapa sekolah, kata dia, sudah dibangun sehingga menambah tempat bagi generasi muda menimba ilmu. Dia berharap pembangunan pendidikan ini terus berkembang sebab pendidikan adalah salah satu cara memajukan bangsa. Hal ini diakui Enrico. "Basic dia kesehatan. Awalnya, dia punya rumah sakit. Jadi dia lebih dominan kesehatan. Tapi, pendidikan pun jalan, terbukti bertambahnya sekolah di Simalungun," jelas Enrico. Selanjutnya, prioritas JR adalah infrastruktur. "Perlahan, Kota Raya sudah berkembang menjadi kota baru. Padahal dulu, kota ini seperti kota mati. Meskipun sudah menjadi kabupaten Simalungun," imbuhnya. Indikasi kota mati, kata dia, orang susah cari penginapan, warnet, dan layanan publik lainnya. Jalanan pun, menurutnya, sudah kian lebar. Investor pun mulai melirik Raya, di luar Siantar untuk berinvestasi. "Landasan pacu pun sudah ada di Raya," kata dia. Penerbangan pertama dari landasan pacu itu terjadi pada 2011 lalu. Tapi, dia akui memang masih kurang investor. "Susi Air sering berkunjung ke sini." Di sektor pertanian, JR belum bisa berjanji muluk-muluk. Paling tidak, kata dia, Simalungun tidak perlu mengimpor beras dari luar. Simalungun, kata dia, merupakan daerah pertanian sehingga padi pun jadi andalan wilayah yang dia pimpin. Bupati Simalungun sejak 28 Agustus 2010 itu juga pernah mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena berhasil meningkatkan produksi padi pada 2011 lalu. Penghargaan ini diberikan melalui Menteri Pertanian Siswono MM di Jakarta. Dibandingkan 2009, Simalungun surplus produksi padi sebanyak 134.156 ton pada 2011.
anak muda tanpa pernah ada insiden tawuran di situ. Ini karena mereka merasa semua fasilitas di taman itu milik bersama, sehingga mereka merawat dan menikmatinya bersama, kata Risma. Taman Bungkul memang salah satu kebanggaan Surabaya. Taman di Jalan Raya Darmo itu diresmikan 2007, dan mengusung konsep sport, education, and entertainment. Taman seluas 900 meter persegi itu dilengkapi arena skateboard, sepeda BMX track, jogging track, amfiteater, taman bermain anakanak, kolam air mancur, dan pujasera. Taman ini bahkan memiliki jalur penyandang cacat, akses internet Wifi, telepon umum, dan pujasera. Tak hanya soal taman, Risma juga menata kawasan kumuh Surabaya. Sejumlah kampung yang dahulu terkenal kumuh dan tidak tertata seperti Banyu Urip, Gundih, dan Dukuh Setro, kini pun tampak lebih nyaman, bersih, dan cantik, karena penghijauan yang dilakukan warga. Dalam menata kota, menurut Risma kuncinya ada pada membangkitkan partisipasi warga untuk ikut peduli dan bertanggung jawab memelihara lingkungan mereka sendiri. Itu pula yang ia lakukan ketika menata Pedagang Kaki Lima di Jalan Kayoon. Jalan Kayoon yang sebelumnya kumuh sampai tak bisa dilalui warga, kini sudah lebih tertata. Meski demikian, Risma mengaku penataan dan pemberdayaan PKL yang ia lakukan belum tuntas karena banyaknya kendala yang dihadapi. Apapun, ia yakin semua persoalan lambat-laun bisa teratasi melalui edukasi dan ajakan bekerja sama kepada masyarakat terus-menerus. Menata kota sebetulnya tak asing untuk Risma yang terpilih menjadi Wali Kota Surabaya pada akhir 2010. Sebelum menjadi wali kota, Risma pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya 1997-2000, Kepala Bagian Bina Bangunan tahun 2002, dan Kepala Bappeko Surabaya tahun 2008. Batu sandungan Langkah Risma sebagai Wali Kota Surabaya tak selalu mulus. Batu sandungan bahkan sudah menghadang di tahun pertama ia menjabat. Pada 31 Januari 2011, DPRD Surabaya mencoba melengserkan Risma. Itu gara-gara dia menerbitkan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame, dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya. Kedua Perwali itu mengatur kenaikan pajak reklame ukuran besar dan sedang sebesar 25 persen, serta menurunkan pajak reklame ukuran kecil. Risma punya tujuan spesifik menerbitkan kedua Perwali itu: untuk menekan pertumbuhan reklame ukuran besar yang kerap roboh terkena angin kencang apabila cuaca buruk, dan mempermudah Usaha Kecil Menengah yang ingin memasang reklame kecil guna mempromosikan usaha mereka. Risma juga menegaskan, pajak di kawasan khusus Surabaya memang perlu dinaikkan agar pengusaha tak seenaknya memasang iklan di jalan umum. Pemasangan iklan terlalu banyak, dan amburadul, menurut Risma, akan menjadikan Surabaya bak belantara iklan. Maka dengan meninggikan pajak reklame ukuran besar, ia berharap pengusaha iklan beralih memasang iklan di media massa ketimbang memasang baliho di jalan-jalan kota. Namun penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame oleh Risma itu mendapat tentangan sejumlah pengusaha reklame besar. Mereka mengajukan surat keberatan melalui DPRD Kota Surabaya. DPRD Surabaya menganggap Risma melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Hukum Daerah, karena sang wali kota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Perwali. DPRD Surabaya pun merekomendasikan pemberhentian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Keputusan itu didukung oleh enam dari tujuh fraksi politik yang ada di DPRD Surabaya, termasuk PDIP yang mengusungnya sebagai Wali Kota Surabaya pada Pilkada. Hanya satu fraksi yang menolak pemberhentian resmi Risma, PKS. Pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri Gawaman Fauzi menyatakan tak ada cukup alasan untuk memecat Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Gamawan menegaskan, Peraturan Wali Kota tidak bisa dijadikan alasan pemecatan. Kesalahan administrasi dalam proses penerbitan Perwali Nilai Sewa Reklame, yaitu tak dilibatkannya SKPD dalam penyusunan Perwali, masih manusiawi. Jangankan Peraturan Wali Kota, Peraturan Daerah saja bisa salah. Untuk itu ada evaluasi terhada p peraturan-peraturan itu. Tapi pemecatan Wali Kota karena alasan itu terlalu berlebihan, ujar Gamawan. Ia menambahkan, pemberhentian kepala daerah hanya dilakukan dengan apabila kepala daerah terkait melanggar sumpah dan tidak mampu melaksanakan tugas. (np)
Jumlah itu meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009, ada 154 Perda yang dianggap mendiskreditkan perempuan. Tahun 2010 ada 189, dan pada 2011 ada 207 kebijakan. Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyebut perda diskriminatif itu tersebar di 100 kabupaten di 28 provinsi. "Dari Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur, masih tetap menjadi enam provinsi yang kabupatennya masih gemar menerbitkan kebijakan daerah diskriminatif," kata Andy. Dia menambahkan, dari 282 Perda, sekitar 207 di antaranya langsung mendiskriminasi perempuan. Sebanyak 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. Dalam soal bekerja, ada tujuh aturan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak mereka sebagai pekerja. Andy menyebut sejumlah kasus. Ada seorang ibu rumah tangga di Tangerang, Banten, Lilis Lisdawati ditangkap oleh satpol PP karena diduga sebagai pekerja seks komersial. Lilis stres karena tekanan psikologis, akibat stigma masyarakat menganggapnya sebagai PSK. Akibatnya, Lilis meninggal pada 2009. Di Langsa, Aceh, Andy menuturkan, seorang perempuan menjadi korban penerapan aturan diskriminatif. Remaja Aceh ini bunuh diri, diduga akibat malu setelah ditangkap Polisi Syariat Islam Aceh, Waliyatul Hisbah, 3 September 2012 lalu. Dia menambahkan, remaja itu ditangkap Polisi Syariah karena kedapatan keluar rumah pada malam hari. Diduga, Putri tak dapat menanggung malu setelah ditangkap, dan dicap sebagai pelacur. Di Kota Tasikmalaya, ada peraturan daerah mewajibkan pegawai perempuan mengenakan rok. Aturan itu terdapat dalam Peraturan Daerah Tasikmalaya No. 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai. Di Sumatera Barat, peneliti di Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, bahkan menyebut hampir di setiap kabupaten dan kota ada peraturan daerah diskriminatif. Peraturan itu terlalu mencampuri urusan pribadi warga negara. Di Padang, misalnya, Wali Kota mengeluarkan surat edaran mengatur kewajiban mengenakan busana muslim. Anehnya, meski kasus diskriminatif ini sudah banyak contohnya, kata Andy, pemerintah di pusat nyaris tak pernah membatalkan aturan semacam itu. Sampai saat ini belum ada informasi pe mbatalan kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas oleh Kemendagri," kata Andy. Wahyudi dari Elsam juga menyatakan hal senada. Kebanyakan perda yang dihapuskan Kemendagri adalah berurusan dengan investasi dan retribusi. Soal perda yang dikriminatif, hampir tak terdengar ada pembatalan. Sebetulnya, ada jalur lain membatalkan perda yakni melalui uji material ke Mahkamah Agung. Tapi, tampaknya itu tak terlalu efektif. Kepala Biro Hubungan Masyarakat MA Ridwan Mansyur menyebutkan, pada 2012, ada 52 pengajuan uji material perda ke MA. Sementara 2011 ada 50 perkara dan 2010, 61 perkara. Tapi, untuk sampai ada keputusan, butuh waktu antara tiga sampai sepuluh bulan, ujar Ridwan. Bukan ajaran Islam Tapi Kementerian Dalam Negeri mengklaim, sepanjang 2012, kementerian itu membatalkan 173 perda dari 3.000 yang dievaluasi. Sisanya, ada yang lolos evaluasi, dan ada yang perlu dikoreksi agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Pekerjaan ini tak mudah, kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, awal Januari 2013 ini. Tiap hari, minimal satu perda muncul dari 497 kabupaten, atau dari kota atau provinsi. Gamawan menyatakan, evaluasi satu perda itu makan waktu 14 hari. Gamawan mengakui, sebagian besar perda bermasalah itu berkaitan dengan retribusi, pajak dan perizinan. Misalnya, ada perda yang mengatur kewenangan yang sebenarnya jatah pemerintah pusat. Akibatnya, terpaksa perda itu dibatalkan. Misalnya, soal pajak dan retribusi. Untuk urusan ini, kata Gamawan, tak boleh ada inisatif membebani orang dengan pajak dan retribusi di luar yang diatur UU Nomor 28 tahun 2009. Jadi daerah tak bisa suka-suka. Karena ingin meningkatkan pendapatan asli daerah, lalu menambah-nambah jenis pajaknya, ujar Gamawan. Di Kalimantan Barat misalnya, ada perda soal pengendalian dan pengaturan kendaraan asing yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Kendaraan asing berkeliaran di Kalimantan Barat, sementara pemerintah daerah gigit jari, tak bisa menambah penghasilan lewat pajak atau retribusi. Perda itu, kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kalimantan Barat, Syarif Izhar Asyuri, juga berfungsi sebagai pencegah penyelundupan kendaraan dari Malaysia ke Indonesia. Pihak DPRD maupun Pemprov Kalimantan Barat curiga penolakan ini disebabkan permainan elite melindungi bisnis pengguna mobil asing yang berkeliaran di Kalbar, kata Syarif.