You are on page 1of 19

PENYAKIT SARS

Oleh:

Anton Bahagia, S.Ked

05700026

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2012

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penyusun panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan anugrahNya kepada penyusun dalam menyusun makalah berjudul PENYAKIT SARS, guna memenuhi tugas di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan rasa terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Wijaya Kusuma Surabaya atas diberikannya kesempatan kepada penyusun untuk membuat makalah ini. Meskipun penyusun berusaha untuk menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik-baiknya, serta mengingat keterbatasan kemampuan penyusun, maka dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu penyusun tidak menutup diri terhadap kritik dan saran demi penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat serta dapat menambah informasi tentang PENYAKIT SARS.

Surabaya, 17 Februari 2012

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG Pada pertengahan Maret 2003, WHO menyatakan kewaspadaan global terhadap penyakit SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Setelah kasus SARS pertama pada bulan November 2002 di provinsi Guangdong, Cina, penyakit ini dalam waktu singkat telah menyebar dari Cina daratan ke Hongkong kemudian ke tempat lain di dunia dan menimbulkan kepanikan di berbagai tempat. WHO melaporkan sampai bulan Juli 2003 telah terjadi 8442 kasus SARS di 30 negara dengan 812 kematian.1 WHO merekomendasikan setiap orang yang menderita demam panas mendadak untuk menunda perjalanannya sampai sehat kembali dari negara terjangkit (affected area), seperti Kanada (Toronto), Singapura, Cina (Beijing, Guangdong, Hongkong, Shaxi dan Taiwan) serta Vietnam (Hanoi). WHO melaporkan bahwa 30% kasus SARS terjadi pada petugas kesehatan. Penularan SARS terjadi karena kontak pada saat merawat penderita. Disamping itu resiko penularan dapat terjadi pada penderita lain yang sedang dirawat di rumah sakit, anggota keluarga serumah, orang yang menjaga penderita maupun tamu penderita.2 Dalam upaya menanggulangi dan mencegah penyebaran SARS lebih luas, kerja sama antar laboratorium antar negara dalam waktu yang relatif singkat telah berhasil menyediakan sejumlah uji laboratorium untuk mengenali virus baru yang berasal dari famili coronavirus. Setelah pembuktian Postulat Koch pada monyet, secara resmi WHO mengumumkan bahwa penyebab SARS adalah virus corona. Nama seperti Urbani-SARS associated coronavirus, Franhfurt am Main index case (FFMic), coronavirus telah diusulkan untuk virus corona penyebab SARS dan WHO secara resmi menentukan virus SARS-CoV sebagai nama penyebab SARS.

I.2

IDENTIFIKASI MASALAH Sesuai dengan judul makalah ini Penyakit SARS maka masalahnya dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit SARS? 2. Bagaimana manusia dapat tertular? 3. Bagaimana cara mengenali gejala penyakit SARS? 4. Apa yang harus dilakukan jika seseorang merasakan gejala penyakit SARS? 5. Bagaimana cara pencegahan Penyakit SARS?

BAB II PENYAKIT SARS


II.1 ETIOLOGI Saat ini penyebab penyakit SARS sudah dapat diketahui, yaitu berupa infeksi virus yang tergolong dalam genus coronavirus (CoV). SARS-CoV biasanya tidak stabil bila berada dalam lingkungan. Namun virus ini dapat bertahan berhari-hari pada suhu kamar. Virus ini juga mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila masih berada di dalam feces (Chen & Rumende, 2006 ).3 Data yang telah dikumpulkan oleh WHO mengenai stabilitas virus SARS terhadap faktor lingkungan dan desinfektan memperlihatkan bahwa virus SARS stabil dalam feses dan urin pada suhu ruang selama 1 2 hari. Nilai pH feses penderita lebih tinggi dari pH feses normal, dan virus yang dikandungnya lebih stabil serta dapat bertahan sampai 4 hari. Virus SARS pada pH 6 7 dapat bertahan sampai 3 jam, dan pada pH yang lebih tinggi virus dapat bertahan lebih lama, 6 jam pada pH 8 dan 4 hari pada pH 9. Pada suhu 4C dan -80C virus dapat bertahan sampai 21 hari. Pada suhu tersebut konsentrasi virus dalam kultur sel hampir tidak menurun. Konsentrasi virus menurun sampai satu log pada suhu ruang setelah dua hari. Oleh karena itu virus SARS-CoV lebih stabil dibandingkan dengan virus corona manusia yang telah dikenal. Virus SARS pada pemanasan 56C akan menurun cepat, yaitu 10 ribu infectious virus unit per 15 menit. Efektivitas virus dapat dihilangkan dengan desinfektan seperti aseton 10%, formaldehid dan paraformaldehid, kloroks 10%, etanol 75%, dan fenol 2% pada suhu ruang dapat meng inaktifkan virus dalam waktu 5 menit ( WHO 2003, dalam Ibrahim dan Sudiro, 2003).4 SARS- CoV tersebut merupakan tipe baru dari coronavirus telah diidentifikasi sebagai penyebab SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome ). SARS coronavirus (SARS-CoV) secara resmi telah dideklarasikan oleh WHO sebagai agen causative penyebab SARS. SARS-CoV mempunyai patogenesis yang unik sebab mereka menyebabkan infeksi pernafasan pada bagian atas dan bawah sekaligus serta dapat menyebabkan gastroenteritis (WHO, 2003).2 Coronavirus sendiri berasal dari bahasa Yunani kopv yang berarti mahkota (corona). Mahkota virus tersusun dari komponen S glikoprotein, yang dapat menempel pada sel inang dan nantinya dapat menyebabkan virus masuk ke dalam sel inang (Jawetz et al.1996 ).5 Coronavirus adalah anggota dari famili Coronaviridae, suatu virus besar, dan mempunyai selubung (envelope). Selubung virus ini dipenuhi dengan tonjolan tonjolan yang panjang berbentuk daun bunga ( petal) (Surjawidjaja, 2003).6 Partikel virus SARS mempunyai diameter 80 140 nm, sama seperti virus corona yang lain, mempunyai komponen tonjolan atau glikoprotein pada permukaan atau selubung virus. Pada virus SARS, glikoprotein HE tidak ditemukan. Genom lengkap beberapa isolat virus SARS telah berhasil disekuens (Ibrahim dan Sudiro 2003). Genom RNA coronavirus ini mempunyai ukuran 27 32 kb dan merupakan genom yang terbesar di antara semua virus yang ada. Genom virus ini beruntai tunggal ( single-

stranded) dan membentuk suatu nukleokapsid helikal yang fleksibel dan panjang. Nukleokapsid ini terletak di dalam suatu selubung lipoprotein yang terbentuk dari penggembungan membran intraseluler (Drosten et al. 2003). Adapun klasifikasi dari coronavirus menurut Surjawidjaja (2003) adalah sebagai berikut : Ordo : Nidovirales Familia : Coronaviridae Genus : Coronavirus

Gambar 1. Coronavirus(Surjawidjaja, 2003) Ada 3 kelompok serologis coronavirus yang telah dikenali setiap serogrup, virus diidentifikasi sesuai dengan pejamu alamiahnya, dengan cara urutan (sekuens) nukleotidanya dan hubungannya masing-masing secara serologis. Seperti halnya dengan kebanyakan virus-virus RNA, coronavirus memiliki frekuensi mutasi yang sangat besar. Dengan melihat panjangnya genom dan frekuensi kesalahan polymerase RNA dari virus-virus lain, genom RNA coronavirus agaknya memiliki kumpulan titik mutasi pada setiap replikasi RNA-nya (Drosten et al.2003).7

Gambar 2. Model struktur coronavirus


(http://www.wpro.who.int/media_centre/sars_book/Schematic_drawing_of_SARS_coronavirus.htm)

Analisi urutan (sekuens) nukleotida dari berbagai isolat coronavirus menunjukkan suatu variabilitas sekuens yang dapat mempengaruhi replikasi virus dan patogenesisnya. Ada anggapan bahwa penyakit SARS yang disebabkan oleh coronavirus dan menyerang manusia merupakan keadaan di mana coronavirus yang infektif terhadap beberapa hewan mengalami mutasi dan berevolusi untuk kemudian menjadi patogen terhadap beberapa kelompok hewan lainnya dan juga pada manusia (Poutanen et al.2003). 8

II.2

EPIDEMIOLOGI SARS diduga berasal dari Propinsi Guangdong di Cina daratan, muncul dan menyerang manusia sekitar bulan November 2002. Pada bulan Juli 2003 dilaporkan adanya penderita yang mengalami radang paru yang atipikal dan sangat gawat serta tingkat penularannya tinggi. Dilaporkan juga penyakit ini telah menjangkiti sekitar 305 orang dan menyebabkan 5 diantaranya tewas. WHO melaporkan bahwa 30% kasus SARS terjadi pada petugas kesehatan, yang terjadi karena kontak pada saat merawat penderita. Di samping itu resiko penularan dapat terjadi pada penderita lain yang sedang dirawat di rumah sakit, anggota keluarga yang tinggal satu rumah, orang yang menjadi penderita maupun tamu penderita (DepKes RI, 2003). SARS terbawa keluar dari Guangdong ke Hongkong pada tanggal 21 February 2003 oleh seorang dokter yang telah merawat pasien dengan gejala mirip flu di tempat kerjanya. Setelah saat itu infeksi semakin meluas ke penjuru Cina dan Hongkong yang pada akhirnya meluas hingga ke Vietnam dan Kanada. Penularan SARS pada tanggal 12 Maret 2003, Badan Kesehatan Dunia ( World Health Organization / WHO ) mengeluarkan suatu peringatan ke seluruh dunia adanya suatu penyakit yang disebutnya sebagai sindrom

pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome / SARS ) (WHO, 2003). Penyakit ini digambarkan sebagai radang paru (pneumonia) yang berkembang secara cepat, progesif dan seringkali bersifat fatal, dan diduga berawal dari suatu propinsi di Cina Utara yaitu propinsi Guangdong. Pada saat pengumuman WHO ini dikeluarkan, kasus-kasus SARS diketahui telah menyerang beberapa negara seperti Cina, Hongkong, Vietnam, Siangapura dan Kanada (Poutanen et al. 2003). Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi di 6 wilayah yaitu: Kanada, Cina Daratan (yang berasal dari Guangdong kemudian menyebar ke beberapa kota besar, Taiwan dan Hongkong), Singapura dan Vietnam. Setelah itu SARS diketahui menyebar ke lebih dari 20 tempat lain di dunia mengikuti rute penerbangan (WHO, 2003).

Gambar 3. Jumlah Kasus Kematian akibat SARS di Seluruh Dunia Sampai dengan tanggal 3 Mei 2003 telah ditemukan sebanyak 6.234 kasus (probable cases) dan 435 (6,97%) kematian di 30 negara. Sulit sekali untuk menentukan dengan pasti, berapa jumlah kasus, berapa negara yang terkena wabah SARS dan berapa angka kematian, oleh karena gambaran penyakit ini setiap saat berubah dengan cepat (WHO, 2003). Kejadian SARS selama periode November 9 April 2003 terjadi di berbagai Negara yaitu Australia, Belgia, Brazil, China, Hongkong, Taiwan, Perancis, Jerman, Italia, Irlandia, Rumania, Spanyol, Switzerland, United Kingdom, Amerika Serikat, Thailand, Singapore, Malaysia, Vietnam dan lain lain. Total penderita 2.671 dengan 103 kematian (CFR = 3,9%). WHO merekomendasikan setiap orang yang menderita demam panas mendadak untuk menunda perjalanannya sampai sehat kembali dari Negara terjangkit affectiv area seperti Kanada (Toronto), Singapura, Cina (Beijing, Guangdong, Hongkong, Shaxi dan

Taiwan) serta Vietnam (DepKes RI, 2003).

Gambar 4. Jumlah Kasus SARS di Indonesia Di Indonesia sampai dengan 16 Juni 2003 jumlah orang yang berobat karena khawatir dirinya menderita SARS atau diduga SARS sebanyak 112 orang. Setelah diperiksa, dari jumlah ini ada 103 orang dipastikan bukan menderita SARS. Dari 9 orang tersebut diperoleh 7 kasus suspect SARS terdiri dari 3 wanita dan 4 pria yang berusia antara 20 57 tahun dan 2 kasus probable SARS. Sebanyak 5 orang kasus suspect diantaranya pernah berkunjung ke Singapura dan 2 orang pernah berkunjung ke RRC. Mereka berdomisili di Jakarta, Depok dan Tangerang. Sedangkan 2 kasus probable SARS terdiri dari 2 pria masing masing berusia 47 tahun (WNA) berdomisili di Tangerang dan telah kembali ke Hongkong dan berusia 65 tahun (WNI) berdomisili di Medan, keduanya baru kembali dari Singapura saat menderita SARS. Sebanyak 6 kasus suspect SARS dirawat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta dan 1 kasus di RSUP Adam Malik Medan. Dari 2 kasus probable SARS seorang dirawat di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso dan seorang dirawat di RSUP Adam Malik Medan (DepKes RI 2003). Sampel darah dan usapan tenggorok dari pasien suspect SARS dan probable SARS, dikirim dan diperiksa di laboratorium CDC Atlanta dan semuanya menunjukkan hasil negatif untuk virus Corona. Selain dilakukan uji konfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium, dilakukan pula investigasi atau pelacakan kontak terhadap kasus suspect dan probable SARS serta kasus yang diduga SARS dan dilakukan manajemen kontak berupa penyuluhan dan surveilans (DepKes RI, 2003). II.3 TRANSMISI Cara penularan SARS-CoV yang utama adalah melalui kontak dekat

misalnya pada waktu merawat penderita, tinggal satu rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan sekret/cairan tubuh (mata, hidung, mulut) dari penderita suspect atau probable. Penyebaran utamanya diduga melalui percikan (droplets) dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat alat yang terkontaminasi atau secara faecal oral (Ibrahim dan Sudiro, 2003). Selain itu, berbagai prosedur aerosolisasi di rumah sakit (nebulisasi, intubasi, suction, dan ventilasi) dapat meningkatkan resiko penularan SARS oleh karena kontak secara tidak langsung melalui kontaminasi alat yang digunakan, baik droplet maupun materi infeksius lain seperti partikel feses dan urin (Chen & Rumende 2006). Pada penelitiannya, Ignatius et al. (2004) menemukan bahwa penyebaran virus SARS ternyata bisa diperantarai oleh udara ( airbone transmission), hal inilah yang menyebabkan community outbreak pada SARS di Hongkong dan Toronto (Kanada). Meskipun demikian, butuh kontak intens agar virus itu bisa menyebar. Misalnya saja berada dalam satu ruangan tertutup dalam waktu lama. Seorang ibu (penderita SARS) yang melahirkan bayi tidak akan menularkan SARS kepada bayinya saat melahirkan (Dewi, 2011). Periode aman dari sekelompok masyarakat yang terjangkit SARS adalah 14 hari setelah kasus terakhir dinyatakan sembuh (DepKes RI, 2003). Sampai saat ini reservoar virus SARS belum diketahui dengan jelas. Penelitian yang sering dilakukan di Provinsi Guangdong, Cina, menemukan coronavirus yang sama ditemukan pada spesies binatang tertentu yang dijual di pasar. Penyidikan terus dilakukan untuk mencari tahu apakah SARS yang disebabkan oleh virus corona tersebut bersumber dari bintatang. Roeder (2003) menyatakan bahwa tidak ada bukti asal virus corona dari hewan ternak (sapi, babi, unggas, dll) dan tampaknya tidak mungkin berasal dari hewan ternak, bahkan jika asal virus ini masih belum diketahui. Oleh karena tidak adanya bukti bahwa virus SARS menginfeksi ternak, dengan demikian, kehadirannya pada hewan dan produk makanan sangat jarang. Bahkan jika ada virus akan sangat mungkin benar-benar mati oleh pemasakan dan pengolahan. Pada akhirnya Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama-sama dengan Departemen Kesehatan Cina telah menemukan bukti yang kuat bahwa virus SARS memiliki kaitan sangat kuat dengan musang, setelah melakukan penelusuran ke pasar-pasar hewan dan restauran setempat yang menjual makanan hasil laut dan berbagai satwa liar. Hasil surveilans di Cina menunjukkan bahwa virus SARS berhasil diisolasi dari feses dan urin musang yang dipelihara dan diperjual-belikan di pasar-pasar hewan (CDC, 2004). Selain itu juga terdapat kemungkinan adanya virus pada kelelawar dan anjing. Kelelawar merupakan inang yang ideal bagi virus, kemungkinan manusia melakukan kontak dengan virusnya melalui kotoran kelelawar atau mereka mengkonsumsi binatang yang makanan utamanya kelelawar. Lewat cara inilah kemungkinan virus SARS di Asia melakukan lompatan kepada inang barunya, yakni manusia (Dorsten, 2011). II.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI SARS secara klinis lebih melibatkan saluran nafas bagian bawah dibandingkan dengan saluran nafas di bagian atas. Pada saluran nafas bagian bawah, sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena dibandingkan trakea maupun bronkus. Menurut Chen & Rumende (2006), patogenesis SARS terdiri dari 2 macam fase:

1. Fase Pertama Terjadi selama 10 hari pertama penyakit, pada fase ini melibatkan proses akut yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini dicirikan dengan adanya infiltrasi dari sel-sel inflamasi serta oedema dan pembentukan membran hialin. Membran hialin ini terbentuk dari endapan protein plasma serta debris nucleus dan sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak. Dengan adanya nekrosis sel-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam ruang alveolus (efusi). Namun masih belum dapat dibuktikan apakah kerusakan sel-sel paru tersebut diakibatkan karena efek toksik dari virus tersebut secara langsung atau kerusakan tersebut terjadi karena perantara sistem imun. Pada saat fase eksudatif ini dapat diamati dan diidentifikasi RNA dan antigen virus yang terdapat pada makrofag alveolar.

2. Fase Kedua Fase ini dimulai tepat setelah fase pertama selesai (setelah 10 hari). Fase ini ditandai dengan perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD yang terorganisir. Pada periode ini didapati metaplasia sel epitel skuamosa bronchial, bertambahnya ragam sel dan fibrosis pada dinding lumen alveolus. Pada fase ini juga tampak dominasi pneumosit tipe 2 dengan perbesaran nucleus dan nucleoli yang eosinofilik. Selanjutnya juga ditemukan adanya sel raksasa dengan banyak nucleus (multinucleated giant cell) dalam rongga alveoli. Sel raksasa tersebut diduga merupakan akibat langsung dari SARS-CoV, namun sumber lain mengatakan bahwa hal tersebut bukan karena SARS-CoV namun disebabkan karena proses inflamasi yang berat pada tahap DAD eksudatif

BAB III DIAGNOSIS

III.1

DEFINISI KASUS Secara proposional ada 2 definisi kasus SARS, yaitu suspect dan probable sesuai kriteria WHO. 1. Suspect SARS a. Adalah seseorang yang menderita sakit dengan gejala: - Demam tinggi ( > 38C), dengan - Disertai batuk, sesak nafas/kesulitan bernafas - Satu atau lebih keadaan berikut: Dalam 10 hari terakhir sebelum sakit mempunyai riwayat kontak erat dengan seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita SARS*) Dalam 10 hari terakhir sebelum sakit melakukan perjalanan ke tempat terjangkit SARS**) Penduduk dari daerah terjangkit. Keterangan: *) Kontak erat adalah orang yang merawat, tinggal serumah atau berhubungan langsung dengan cairan saluran pernafasan maupun atau jaringan tubuh seseorang penderita SARS. **) Tempat yang dilaporkan terjangkit SARS adalah sesuai dengan ketetapan WHO sebagai negara terjangkit pada tanggal 1 April: Kanada (Toronto), Singapura, Cina (Guangdong, Hongkong, Shanxi, Taiwan) dan Vietnam (Hanoi). b. Adalah seseorang yang meninggal dunia sesudah tanggal 1 Nopember 2002 karena mengalami gagal nafas akut yang tidak diketahui penyebabnya dan tidak dilakukan otopsi untuk mengetahui penyebabnya. Pada 10 hari sebelum meninggal, orang tersebut mengalami salah satu atau lebih kondisi dibawah ini, yaitu: 1. Kontak erat dengan seseorang yang telah didiagnosa suspect atau probable SARS. 2. Riwayat berkunjung ke tempat/negara yang terkena wabah SARS. 3. Bertempat tinggal/pernah tinggal di tempat/negara yang terjangkit wabah SARS. 2. Probable SARS Adalah kasus suspect ditambah dengan gambaran foto toraks menunjukkan tanda-tanda pnumonia atau respiratory distress syndrome atau seseorang yang meninggal karena penyakit saluran pernafasan yang tidak jelas penyebabnya, dan pada pemeriksaan otopsi ditemukan tanda patologis berupa respiratory distress syndrome yang tidak jelas penyebabnya.

III.2

LANGKAH DIAGNOSTIK 1. Gejala Klinis Gejala klinis pada manusia adalah: a. Gejala Prodromal Masa inkubasi SARS secara tipikal adalah 2-7 hari, meskipun demikian, beberapa laporan menunjukkan bahwa masa inkubasi ini bisa lebih panjang sampai 10 hari (Surjawidjaja, 2003). Gejala prodromal yang timbul dimulai dengan adanya gejala-gejala sistemik yang non spesifik, seperti: - Demam > 38C - Myalgia - Menggigil - Rasa kaku di tubuh - Batuk non produktif - Nyeri kepala dan pusing - Malaise Gejala-gejala tersebut merupakan gejala tipikal yang sering timbul pada penderita SARS, namun tidak semua gejala tersebut timbul pada setiap pasien. Pada beberapa kasus, demam muncul dan menghilang dengan sendirinya pada hari ke-4 hingga ke-7, namun terkadang demam muncul kembali pada minggu ke-2 (Chen & Rumende, 2006). b. Manifestasi Umum Meskipun SARS merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan namun beberapa kasus ditemukan penderita dengan gejala multiorgan. Manifestasi Pernafasan Penyakit paru adalah gejala klinis utama dari penderita SARS, gejalagejala utama yang timbul antara lain: - Batuk kering - Sesak nafas Pada tahap awal infeksi, gejala tersebut seperti pada infeksi saluran pernafasan pada umumnya. Namun gejala sesak makin lama akan semakin berat dan mulai membatasi aktifitas fisik pasien. Sebanyak 20-25% pasien mengalami progresi buruk ke arah acute respiratory distress syndrome (ARDS) akibat kerusakan pada pneumosit tipe 2 yang memproduksi surfaktan Gejala lain yang mungkin timbul adalah pneumotoraks dan pneumomediastinum, yang diakibatkan karena udara yang terjebak dalam rongga dada, hal ini dilaporkan 12% terjadi secara spontan dan 20% timbul setelah penggunaan ventilator di ICU (Chen & Rumende, 2006).

Gbr. 5: Histologi paru-paru penderita SARS Penyebab kematian tersering pada SARS adalah dikarenakan oleh ARDS berat, kegagalan multiorgan, infeksi sekunder, septicemia, serta komplikasi tromboembolitik.

Manifestasi Pencernaan Gejala yang timbul pada sistem pencernaan diduga disebabkan karena penularan SARS-CoV melalui oral. Gejala utamanya adalah diare. Pada kasus ini didapati sebanyak 20% pasien SARS mengalami diare pada kedatangan pertama dan 70% dari jumlah tersebut tetap mengalami gejala ini selama masa perjalanan penyakitnya. Diare yang ditimbulkan biasanya cair dengan volume yang banyak tanpa disertai darah maupun lendir. Pada kasus berat biasanya dijumpai ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi karena penurunan cairan tubuh akibat diare (Chen & Rumende, 2006) Pada beberapa kasus yang tidak disertai pneumonia, gejala diare ini adalah satu-satunya yang tampak, namun pada beberapa kasus lain dengan pneumonia, diare mulai tampak pada minggu ke-2 bersamaan dengan timbulnya demam dan perburukan pada paru. Manifestasi Lain - Sebanyak 25% pasien SARS mengalami peningkatan SGPT pada kedatangan pertama. Belum bisa dipastikan penyebab peningkatan enzim ini namun diduga disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi SARS-CoV pada tubuh manusia bukan karena infeksi spesifik CoV pada hepar. - Dari seri kasus di Hongkong, sekitar 50% pasien mengalami hipotensi selama masa perawatan di rumah sakit. Hipotensi ini menyebabkan rasa pusing pada pasien SARS. - Dari seri kasus di Hongkong didapati sekitar 40% pasien mengalami takikardi. Namun manifestasi kardiovaskuler pada SARS ini pada umumnya tidak memerlukan terapi spesifik.

Beberapa kasus dilaporkan adanya gejala epilepsi dan disorientasi pada pasien SARS, namun defisit neurologi fokal tidak pernah ditemukan. Meskipun demikian tetap harus diwaspadai terhadap kemungkinan manifestasi SARS pada sistem saraf mengingat adanya laporan kasus yang menunjukkan adanya status epileptikus pada pasien dengan disertai penemuan SARS-CoV pada CSS dengan jumlah yang cukup signifikan. Menurut Chen & Rumende (2006), SARS-CoV ini juga dapat mengakibatkan demielinisasi pada saraf otak.

2. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Para peneliti yang tergabung dalam jejaring kerjasama laboratorium WHO berusaha keras untuk mengembangkan tes-tes yang dapat digunakan untuk diagnosis SARS. Pada saat ini, ada 3 tes yang umumnya digunakan di laboratorium untuk mendeteksi SARS, yaitu: a. Uji serologi, yaitu dengan enzym liked immunosorbent assay (ELISA) dan immunofluorescence assay (IFA) b. Uji molekuler, yaitu dengan teknik RT-PCR c. Biakan jaringan (Ibrahim dan Sudiro, 2003; Surjawidjaja, 2003).

BAB IV TATALAKSANA MEDIK


Hal yang berperan dalam penanganan penderita SARS adalah status penderita. Pada kasus pasien suspect dan probable tindakan yang dilakukan adalah: a. Isolasi penderita di Rumah Sakit b. Pengambilan sampel (sputum, darah, serum, urin) dan foto toraks untuk menyingkirkan pneumonia yang atipikal c. Pemeriksaan leukosit, trombosit, kreatinin fosfokinase, tes fungsi hati, ureum dan elektrolit, C reaktif protein dan serum pasangan (paired sera). d. Pemberian antibiotikla selama perawatan untuk pengobatan pneumonia akibat lingkungan (community-aquired pneumonia) termasuk pneumonia atipikal. e. Pada SARS berbagai jenis antibiotika sudah digunakan namun sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, dapat diberikan ribavirin dengan atau tanpa steroid. f. Perhatian khusus harus diberikan pada tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya aerolization seperti nebulizer dengan bronkodilator, bronkoskopi, gastroskopi yang dapat mengganggu sistem pernapasan. Pengobatan dan vaksin penyakit ini belum ditemukan. Oleh karena itu penanganan penderita SARS yang dianggap paling penting adalah terapi suportif, yaitu mengupayakan agar penderita tidak mengalami dehidrasi dan infeksi sekunder. Sedangkan penggunaan antibiotik spektrum luas sendiri merupakan sebuah tindakan pencegahan (profilaksis) untuk mencegah infeksi sekunder (Ksiazek, 2003). Menurut DepKes RI (2004) pengobatan terhadap penyakit ini adalah sebagai berikut: 1. Kasus Suspect SARS a. Observasi 2 x 24 jam, perhatikan: - Keadaan umum - Kesadaran - Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, suhu) b. Terapi suportif c. Antibiotik: Amoksilin atai amoksilin+anti B laktamase oral ditambah makrolid generasi baru oral (roksitromisin, klaritromisin, azitromisin) 2. Kasus Probable SARS a. Ringan/Sedang 1. Terapi suportif 2. Antibiotik Golongan beta laktam + anti beta laktamase (IV) ditambah makrolid generasi baru secara oral, atau Sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3 (IV), atau Fluorokuinon respirasi (IV): moxifloksasin, levofloksasin, gatifloksasin.

b. Berat 1. Terapi suportif 2. Antibiotik Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas: i. Sefalosporin generasi ke-3 (IV) non pseudomonas ditambah makrolid generasi baru, atau ii. Fluorokuinon respirasi Ada faktor resiko infeksi pseudomonas: Sefalosporin anti pseudomonas (seftazidim, sefoperazon, sefipim)/karbapenem (IV) ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin)/aminoglikosida ditambah makrolid generasi baru. 3. Kortikosteroid. Hidrokortison (IV) 4 mg/KgBB tiap 8 jam 4. Ribavirin 1,2 gr oral tiap 8 jam atau 8 mg/KgBB IV tiap 8 jam.

BAB V PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT


Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit berupa public awareness melalui upaya advokasi dan sosialisasi, surveilans kasus berdasarkan informasi masyarakat atau rumah sakit, penyiapan sarana dan prasarana rumah sakit, peningkatan kemampuan pemeriksaan laboratorium, pengetahuan dan ketrampilan petugas dan penelitian tentang SARS (DepKes RI, 2003). Selain itu upaya pengendalian SARS menurut DepKes RI ditetapkan sebagai berikut: - Identifikasi dini kasus SARS, kontak dan kasus tambahan - Menetapkan besarnya masalah - Identifikasi daerah dan populasi berisiko tinggi - Mencegah transmisi di masyarakat - Melaksanakan prosedur pengamanan unit pelayanan (petugas dan pengunjung) - Penetapan prosedur pengamanan keluarga dan masyarakat - Penyebaran informasi epidemiologi SARS Sebagai penunjang dibuat juga pedoman tentang SARS, brosur, leaflet, serta hotline service untuk pelaporan penyakit. Adapun mekanisme sistem pelaporan SARS adalah sebagai berikut :

Sumber : DepKes RI (2003)

BAB VI PENUTUP
VI.1 KESIMPULAN SARS merupakan emerging diseases yang sangat infeksius. Penyakit ini disebabkan oleh virus corona (Coronavirus) yang menyebabkan infeksi saluran nafas akut berat pada jaringan paru-paru dengan sekumpulan gejala klinis yang sangat berat dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini menular melalui kontak langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia, manusia ke manusia. Pengobatan dan vaksin belum ditemukan sehingga pencegahan dan pengendalian penyakit lebih diutamakan. Pengobatan pada penderita merupakan terapi suportif untuk menghindari infeksi sekunder dan dehidrasi.

VI.2

SARAN Berdasarkan uraian bahasan Penyakit SARS, penyusun memberikan saran sebagai berikut: 6. Sosialisasi bahaya penyakit SARS kepada masyarakat sangat diperlukan. 7. Peningkatan kemampuan laboratorium, sarana dan prasarana serta pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan dalam menghadapi penyakit SARS sangat penting untuk penanganan dan pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). 2003. Cumulative Number of Reported Probable Cases of SARS. http://www.who.int/csr/sars/country/2003_07_02/en. (Diakses 18 Februari 2012). 2. World Health Organization (WHO) . 2003. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) . Weekly Epidemiological Record 2003; 78:81-3. (Diakses 18 Februari 2012). 3. Chen K, Rumende CM . 2006. SARS: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . FKUI. Jakarta. 4. Ibrahim F, Sudiro TM . 2003. Ulas Balik Coronavirus dan Sindroma Pernafasan Akut Berat. J Mikrobiol Indonesia 8 (2): 35-38. 5. Jawetz, Melnich, Adelberg . 1996. Mikrobiologi Kedokteran . EGC: Jakarta. 6. Surjawidjaja JE. 2003. Sindrom Pernafasan Akut Parah (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS): Suatu Epidemi Baru yang Sangat Virulen . J Kedokter Trisakti 22 (2): 76-82. 7. Drosten C, Gunther S, Preiser W. 2003. Identification of a novel coronavirus in patients with severe acute respiratory syndrome . N Engl J Med 2003; 348. (Diakses 19 Februari 2012). 8. Poutanen SM, Low DE, Henry B . 2003. Identification of severe acute respiratory syndrome in Canada . N Engl J Med 348. (Diakses 19 Februari 2012). 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DepKes RI) . 2003. PEDOMAN PENANGGULANGAN SARS . http://www.docstoc.com/docs/12942946/PedomanPenatalaksanaan-Kasus-SARS-DEPKES-RI. (Diakses 19 Februari 2012).

You might also like