You are on page 1of 34

1

BAB I PENDAHULUAN Sampai sekarang, Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan Bahasa Arab belum mempunyai identitas yang jelas. Di satu sisi, ketika ia berada di bawah payung besar Pendidikan, ia dianggap hanya menempel, tidak mempunyai peran yang tepat. Ia hanya menunggu titah dari Pendidikan untuk menjalankan kegiatan pendidikan kebahasaan. Selain hanya menempel, dalam bidang penguasaan materi pun masih diragukan. Karena di dalam tubuh Pendidikan, determinan. Di sisi lain, ketika Pendidikan Bahasa Arab berada di bawah instruksi bahasa, ia miskin pengetahuan tentang praktik dan perumus kebijakan pendidikan bahasa. Karena ia hanya mumpuni dalam bidang kebahasaan; baik dari segi keilmuan, maupun sebagai alat komunikasi. Taruhlah, ketika akan merancang bagaimanakah kurikulum pendidikan bahasa yang baik, bagaimana cara menghadapi peserta didik yang sangat sulit dalam menyerap materi? Ia pasti sangat memerlukan uluran pengetahuan dari Pendidikan. Kedua posisi di atas menjadikan Pendidikan Bahasa Arab selalu salah posisi. Ia bagaikan anak buangan, yang tidak diterima di kedua ranah. Karena kalaupun ia diterima di salah satu ranah, ia tetap tidak mampu mengesampingkan kebutuhan akan asupan pengetahuan yang mapan dari ranah yang lain. Di luar kedua paradigma tadi, ada yang mencoba menengahi dengan mencoba membuat keduanya saling bersua, melalui jembatan Linguistik Edukasional. Adalah JD Parera yang mencetuskan teorinya tentang penempatan yang tepat bagi Pendidikan Bahasa, khususnya Pendidikan Bahasa Arab. hanya teori dan praktik kependidikan secara umumlah yang lebih dominan. Sedangkan Bahasa kalah, dan

Pendapat Parera ini, tidak ada posisi yang paling dominan di antara keduanya. Yang ada hanyalah saling mengisi kekosongan yang ada. Misalnya, ketika Bahasa akan merumuskan kebijakan seputar pelaksanaan pendidikan bahasa Arab, maka ia meminjam teori perencanaan milik pendidikan. Begitu juga sebaliknya, ketika pendidikan akan mengaplikasikan metode pembelajaran, sudah tentu ia harus mempertimbangkan materi milik bahasa yang akan diajarkan. Memang, secara skimming -meminjam istilah dalam teknik membaca, yang berarti membaca secara cepat-, teori JD Parera dapat dijadikan alternatif untuk menyelamatkan muka Pendidikan Bahasa dari label tidak berpendirian. Namun lagi-lagi timbul masalah. Dikatakan bahwa jika sebuah rumpun keilmuan ingin dianggap mapan, maka ia harus mempunyai istilah teknis untuk menyebut berbagai kegiatan di dalamnya. Sedangkan Pendidikan Bahasa Arab masih bergantung kepada kedua wali asuhnya, Pendidikan dan Bahasa. Dengan kata lain, sudah tidak ada sekat lagi antara pendidikan dan bahasa, terlepas walaupun dengan adanya jembatan Linguistik Edukasional. Yang ada hanyalah Pendidikan Bahasa, yang bersifat mandiri, tidak ada aspek yang dominan maupun determinan. Secara bahasa gambar, perseteruan mengenai posisi Pendidikan Bahasa, apakah di dalam payung Pendidikan atau Bahasa, atau memakai alternatif Parera, atau bahkan bersifat integratif, adalah sebagaimana berikut: Gambar I: Pendidikan Bahasa yang Berada Di dalam Pendidikan

Dokumentasi: Penulis

Gambar II: Pendidikan Bahasa yang Berada Di dalam Bahasa

Dokumentasi: Penulis

Gambar III: Dialektika Pendidikan dan Bahasa Melalui Jembatan Linguistik Edukasional

Dokumentasi: Penulis

Gambar IV: Integrasi Pendidikan Bahasa

Dokumentasi: Penulis

Keempat versi di atas, belum ditambah dengan kenyataan bahwa setiap institusi pendidikan mempunyai paradigma yang berbeda dalam filsafat keilmuan. Misalnya Amin Abdullah yang mengusung jaring laba-laba1 sebagai falsafah ilmunya. Imam Suprayogo yang mencetuskan pohon ilmu 2 dalam memandang berbagai keilmuan yang ada. Tentunya dengan adanya perbedaan paradigma menjadikan Pendidikan Bahasa lebih bersifat variatif. Dan bahkan, lebih jauh, Pendidikan Bahasa hanya mengekor pada lembaga. Ironis memang, jika menghadapkan idealisme kepada pragmatisme institusi. Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, penulis tidak akan menengahinya. Bukannya membiarkan hal itu berlarut-larut, namun tanpa adanya perbedaan pendapat dan saling baku hantam, maka filsafat tidak akan hidup. Penulis hanya akan menambah daftar panjang usulan yang realitanya sudah tumpah ruah tak tertampung. Penulis akan memilih salah satu dari keempat macam paradigma yang ditawarkan, yang tentunya dianggap paling ideal, terlepas nantinya bahwa hasil idealisme malah
1 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 107 2 Taufiqurrochman, Imam al-Jamiah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo , (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 229

bertentangan dengan realita. Namun, begitulah konsekuensi yang harus diambil. Karena walaupun mencoba menengahi, suatu waktu akan ada kecenderungan yang lebih menguasai. Setelah memilih salah satu yang dianggap ideal, penulis akan membuat studi kasus mengenai perguruan tinggi yang membuka jalur Pendidikan Bahasa di dalamnya. Studi kasus ini bukan untuk mencerca sistem yang dipakai, namun sebagai uji coba pengejawantahan teori ke dalam situasi. Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya, bahwa adanya tulisan ini adalah untuk berkomitmen memilih salah satu dari 4 macam paradigma yang ditawarkan. Atau bahkan mungkin bisa saja menemukan paradigma baru bagi Pendidikan Bahasa. Agar statusnya tidak terkatung-katung, diombangambingkan oleh para ahli pendidikan maupun ahli bahasa. Dengan kata lain, penulis akan memaparkan paradigma ideal pendidikan bahasa di (baca: bagi) PTAI Indonesia. Term PTAI Indonesia ini diperjelas lagi dengan mengambil contoh secara acak untuk memperkaya pandangan tentang pelaksanaan Pendidikan Bahasa di PTAI tersebut. Agar sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang penulis ambil, maka tulisan ini akan mengangkat Paradigma Ideal Pendidikan Bahasa Arab (Bagi) PTAI di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN A. Landasan Teori Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan inkonsistensi pemakaian istilah, maka sebelum pembahasan tema, maka penulis akan memaparkan definisi istilah yang akan dipakai dalam tulisan ini. 1. Paradigma Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan paradigma adalah 1 daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut; 2 model dalam teori ilmu pengetahuan; 3 kerangka berpikir. Melihat definisi paradigma dari KBBI, maka definisi yang tepat dimasukkan dalam pembahasan ini adalah yang nomor 3, yaitu kerangka berpikir. Namun, Kamus Filsafat mendefinisikan paradigma tidak sesederhana itu. Di kamus filsafat diterangkan bahwa kata Paradigma berasal dari bahasa Inggris, Paradigm, dan berasal dari bahasa Yunani para deigma, dari para (di samping, di sebelah) dan dekynai (memperlihatkan; yang berarti: model, contoh, arketipe, ideal).3 Istilah Paradigma semakin penting karena karya ilmuwan bukunya Amerika yang Thomas berjudul Kuhn. The Menurut Kuhn of dalam dengan Structure selalu Scientific

Revolutions,

seorang

ilmuwan

bekerja

pradigma tertentu. Paradigma itu memungkinkan sang iluwan untuk memecahkan kesulitan yang muncul dalam rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tak

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 779-780

dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya, dan menurut revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.4 Sedangkan Moh. Anas dalam makalahnya yang berjudul Paradigma Keilmuan STAIMAFA, mendefinisikan paradigma tidak hanya sekedar sudut pandang dan cara berpikir. Ia mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara rasional dan logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan atau masalah yang dihadapi.5 Merujuk pendefinisian beberapa ahli, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara rasional dan logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, menjelaskan dan memecahkan kesulitan yang dihadapi oleh ilmuwan. 2. Pendidikan Karena menjadi hal pokok dalam kehidupan manusia, maka term pendidikan mempunyai banyak definisi, berdasarkan dari cara pandang dan pengalaman pendefinisi. Bahkan dalam buku Anas Salahuddin yang berjudul Filsafat Pendidikan, disebutkan bahwa definisi pendidikan sampai 23 definisi dari berbagai ahli6. Hal ini menunjukkan bahwa sebuah definisi tidak dapat dijadikan patokan secara pasti
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 43 5 Moh. Anas, Paradigma Keilmuan STAIMAFA. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathaliul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011. 6 Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 18-22
4

atas term yang dijelaskan. Karena dalam kenyataannya, definisi masih belum mampu mengakomodir dan membatasi. Namun, secara garis besar, pendidikan dapat dibagi menjadi 3; pendidikan seumur hidup, pendidikan sebagai usaha sadar dan pendidikan sebagai sistem. Yang dimaksud dengan pendidikan seumur hidup adalah sebagaimana yang dilakukan oleh setiap manusia. Pendidikan ini tidak hanya terpaku pada lembaga dan bangku sekolah, namun lingkungan dan pengalaman turut andil dalam mendidik. Maka memang pelakunya akan belajar sepanjang hayat.7 Adapun pendidikan sebagai usaha sadar adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses spiritual pembelajaran keagamaan, akhlak agar peserta didik diri, secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan pengendalian mulia, serta kepribadian, yang kecerdasan, keterampilan

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.8 Pendidikan sebagai sistem berbeda dengan sistem pendidikan. Kalau sistem pendidikan adalah satu keseluruhan terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya, untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan.9 Sedangkan pendidikan sebagai sistem adalah semua kesatuan komponen pendidikan yang diperlakukan dengan pendekatan sistem.10 Sistem yang dimaksud bukan berbentuk bundar,
7

yaitu

semua

komponen

sistem

berhubungan

Khabibi M. Luthfi, Filsafat Pendidikan Bahasa. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jumat, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathaliul Falah Pati 8 UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1. 9 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 2 10 Endang Soenarya, Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, hlm. 21

dengan berkesinambungan. Namun sistem di sini bersifat hirarki; masing.11 Melihat konteks di Indonesia, ketiga bentuk pendidikan ini berlaku secara luas. Pendidikan seumur hidup tentu telah dan akan diterapkan oleh masing-masing individu. Pendidikan sebagai usaha sadar telah diterapkan oleh berbagai institusi pendidikan, baik formal, non formal maupun juga informal. Sedangkan pendidikan sebagai sistem telah diterapkan oleh pemerintah melalui aturan umum, Sistem Pendidikan Nasional, yang tertuang dalam UU nomor 20 tahun 2003. Berdasarkan konteks ke-Indonesia-an dan juga dengan pertimbangan keumuman bentuk pendidikan, maka analisis tentang pendidikan, lebih tepat jika bentuk ketiga yang dianalisis, yaitu pendidikan sebagai sistem. Selain melihat pendidikan yang ditinjau dari bentuknya, juga perlu ditinjau dari orientasi lulusan yang masuk dalam ranah fakultas pendidikan. Orientasi ini dianggap perlu karena nantinya akan berhubungan dengan PBA. Kedua orientasi tersebut adalah sebagai perumus kebijakan dan praktisi di lapangan. 3. Bahasa Arab Pendidikan yang mempunyai banyak definisi, begitu pula dengan bahasa. Bahkan dalam buku Abdul Chaer yang berjudul Linguistik Umum, disebutkan bahwa bahasa mempunyai banyak dimensi untuk diteliti. Di antaranya ada pimpinan ada bawahan. Terdapat garis instruksional yang tegas, membatasi wilayah kerja masing-

Nimatin Khomsiyah dan Irza Anwar S., Sistem Pendidikan Bahasa. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jumat, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathaliul Falah Pati

11

adalah bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai lambang, bahasa adalah bunyi.12 Sementara yang dimaksud bahasa dalam tulisan ini adalah bahasa yang dilihat dari content yang dimiliki. Maksudnya adalah sesuatu yang berada di dalam bahasa itu sendiri, yaitu keilmuan bahasa dan kemampuan berbahasa. Yang dimaksud dengan keilmuan bahasa adalah seperangkat pengetahuan yang dipergunakan untuk mempelajari struktur dalam bahasa, atau dengan bahasa lain adalah ilmu tata bahasa. Sedangkan kemampuan berbahasa adalah memposisikan bahasa sebagaimana fungsi awal bahasa, yaitu sebagai sarana komunikasi.13 Dengan demikian, ketika penulis menyinggung tentang term bahasa, yang dimaksud adalah kedua ranah bahasa; keilmuan dan kemampuan. Namun, hal ini tidak serta merta menjadikan penulis condong untuk bersikap idealis dalam penguasaan kedua ranah ini. Karena dalam memutuskan sesuatu, tentu harus mempertimbangkan konteks yang ada. Terkait dengan bahasa Arab, ia adalah bahasa yang unik. Ia memiliki sistem gramatikal yang rumit. Berbagai perubahan di dalamnya, secara tidak langsung akan menjadikan seseorang menyangkanya sulit untuk dipelajari. Ia juga memiliki banyak sekali kata-kata yang mempunyai makna ganda, bahkan banyak. Misalnya perubahan susunan huruf

. Huruf-huruf ini dapat berubah menjadi , dengan masih adanya hubungan makna ( .14( bermakna berbicara, sedangkan
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 33-

12

56

13 Five Sulistiyani R., Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme. Dimuat dalam Al-Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga), hlm. 49 14 Muhammad bin Ibrahim, Fiqh Lugah: Mafhmuh, Maudhtuh, Qadhayh, (Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah, 2005). Hlm. 207

10

adalah memiliki. Ketika dicari benang merah di antara kedua kata tadi, maka makna intinya adalah memiliki kesempatan atau berkuasa. yang Karena dimiliki berbicara oleh pun merupakan ia tidak kekuasaan dibungkam. Melihat karakteristik bahasa Arab yang rumit, maka ketika bahasa Arab menjadi obyek untuk diajarkan, para pendidik tentu harus menguasai kesemua itu, agar mendapat pemahaman yang komprehensif. 4. Pendidikan Bahasa Setelah mendefinisikan dan memilih definisi dari pendidikan dan bahasa manakah yang lebih tepat untuk dicantumkan dalam tulisan ini, maka untuk selanjutnya pendefinisian term Pendidikan Bahasa. Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa yang dimaksud pendidikan dalam tulisan ini adalah pendidikan sebagai sistem, maka jika digabung dengan term bahasa akan memunculkan definisi usaha sadar dan sistematis dari berbagai lapisan masyarakat untuk mempersiapkan peserta didik agar mempunyai kompetensi berbahasa (berbicara, menulis, mendengarkan, menerjemahkan,membaca dan berfikir kritis) sebagai persiapan masa depan dengan cara pengajaran, bimbingan, dan latihan-latihan yang berada dalam naungan lembaga.15 5. Filsafat Pendidikan Philosophy is mother of science, begitulah slogan yang dimiliki filsafat. Terkesan arogan memang, namun
Khabibi M. Luthfi, Filsafat Pendidikan Bahasa. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jumat, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathaliul Falah Pati
15

manusia,

jika

11

demikianlah kenyataannya. Filsafat mampu masuk ke dalam berbagai keilmuan untuk berpikir secara radikal (ontologi) dan koheren untuk mendapatkan (epistemologi) hasil yang sesuai dengan kemaslahatan manusia (aksiologi). Melihat perannya yang sangat penting, maka pendidikan sebagai kebutuhan pokok manusia tentu tidak lepas dari visitasi dan koreksi dari filsafat. Di dalam filsafat pendidikan, terdapat banyak aliran. Setiap aliran merupakan tawaran untuk menyikapi konteks yang dihadapi oleh para filsuf. Misalnya filsafat pragmatisme, yang mengusung asas kemanfaatan adalah kritikan bagi pendidikan yang hanya berkutat pada bagian yang awangawang, tidak jelas. Namun, tidak setiap aliran akan selalu bertahan lama. Karena orientasi masyarakat dan juga zaman pasti berubah. Atas dasar inilah, maka bermunculan banyak aliran filsafat pendidikan hidup.16 Terkait dengan pemilihan salah satu aliran filsafat pendidikan dalam tulisan ini, tentu saja harus mengacu pada pemilihan aliran filsafat bahasa. Karena nantinya akan didialektika-kan antara keduanya. 6. Filsafat Bahasa Ciri filsafat adalah pemikirannya yang sampai mendalam, ke akar persoalan. Ia tidak berhenti pada permukaan saja. Karena terkadang permukaan bersifat semu. Misalnya saja, ketika ia masuk dalam ranah bahasa, maka ia akan mengorek berbagai keterangan seputar bahasa sampai mendalam. Namun, dikarenakan manusia bersifat perspektif,
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 96-171
16

guna

memberikan

alternatif

permasalahan

12

maka hasilnya pun subjektif, yang memunculkan berbagai aliran. Dalam buku Chaedar Alwasilah yang berjudul Filsafat Pendidikan dan Bahasa, dijelaskan bahwa aliran dalam filsafat bahasa ada 3. Yaitu Filsafat Atomisme Logis, Filsafat Positivisme Logis dan Filsafat Bahasa Biasa. Inti pemikiran filsafat atomisme logis adalah penunjukan satu objek dengan satu istilah. Karena selama ini masih banyak satu reference mempunyai banyak istilah. Sedangkan filsafat bahasa filsafat yang positivisme menolak logis adalah wilayah aliran yang adanya

transenden, ngawang dan metafisik. Karena yang menjadi dasar dari aliran ini adalah ranah empiris, yang mampu diindra. Adapun filsafat bahasa biasa adalah aliran filsafat yang mengusung pada penggunaan bahasa yang digunakan setiap hari, yang tentunya merujuk pada pemainam bahasa. Setelah mencermati aliran dari pendidikan dan bahasa, maka proses selanjutnya adalah mendialektikakan keduanya dan kemudian menentukan di mana posisi Pendidikan Bahasa (Arab), yang tentunya mempertimbangkan realitas pendidikan bahasa di Indonesia.

B. Realitas Pendidikan Bahasa di Indonesia Di Indonesia, sistem pendidikan bahasanya mempunyai dua kubu. Yang masing-masing mempunyai kebenaran yang tentunya bersifat lokalitas. Artinya kebenaran itu hanya ada pada lingkungan itu sendiri dan lingkungan lain yang seide dengannya. Kubu pertama adalah yang mengatakan bahwa pendidikan bahasa berorientasi pada mahrah, atau sarana berkomunikasi. Kubu kedua memandang pendidikan bahasa adalah pendidikan yang lebih menekankan pada aspek

13

penguasaan ilmu tata bahasa. Dengan bahasa lain, kubu pertama lebih beriorientasi pada belajar tentang bahasa (

(pembelajaran

bahasa), sedangkan kubu kedua lebih menekankan pentingnya

) .

Dikotomi orientasi ini, tidak hanya sekedar asumsi. Namun realita lapanganlah yang berkata demikian. Selain itu juga, walaupun dalam 1 lembaga mengusung kedua paradigma itu, namun tetap saja dalam pelaksanaannya akan ada kecenderungan untuk memilih salah satu. Misalnya saja pondok pesantren yang pendidikan (baca: pembelajaran) bahasanya mengusung kedua paradigma itu, namun ketika terjadi benturan atau kondisi yang mengharuskan memilih salah satu, ia pasti akan memilih paradigma kedua, belajar tentang bahasa. Karena orientasi pondok pesantren lebih condong kepada pemahaman teks Arab yang notabene sebagai pegangan umat Islam. Walaupun demikian, penulis tidak boleh langsung saja menjustifikasi untuk memilih salah satu yang dianggap paling benar. Karena keduanya pasti mempunyai argumen yang kuat untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Misalnya alasan kubu pertama beranggapan bahwa pendidikan bahasa Arab dikembalikan kepada fungsi bahasa itu sendiri, yaitu komunikasi. Selama komunikasi yang terjalin antara pembicara dan pendengar, maka kaidah atau tata bahasa bisa saja dinafikan. Sedangkan kubu kedua beranggapan bahwa dalam mempelajari keilmuan dan khazanah keislaman tentu tidak lepas dari tata bahasa Arab. Karena kebanyakan kitab tidak berharokat. Inilah yang menjadikan kubu kedua lebih mementingkan belajar tentang bahasa. Realitas seperti inilah yang menjadikan simalakama bagi pendidikan bahasa Arab. Ia tentu harus mampu mengakomodir

14

keduanya. Padahal untuk mewujudkan demikian, tentu bukan perkara yang mudah. C. Paradigma I: PBA di Payung Pendidikan Agak rumit untuk menjelaskan berbagai posisi PBA di bawah payung pendidikan. Karena secara sekilas, tidak akan tampak keanehannya. Namun, jika meneliti lebih dalam lagi, akan ditemukan banyak keganjalan di dalamnya. Adanya paradigma seperti ini, bermula dari arogansi yang dimiliki oleh pendidikan. Ia beranggapan bahwa semua keilmuan dapat dimasukkan dalam cabang keilmuannya. Karena untuk mentransfer dan memberikan pengetahuan, bukankah harus mengacu pada asas-asas pendidikan? Secara kasar, paradigma seperti ini akan memunculkan konsekuensi berupa munculnya keilmuan yang determinan dan dominan. Keilmuan yang determinan adalah bahasa, dan yang dominan adalah pendidikan. Hal ini dikarenakan pemahaman dan pematangan penguasaan keilmuan, hanya salah satu yang ditekuni secara mendalam. Gambar V: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Pendidikan

Dokumentasi: Penulis

Dengan adanya keilmuan yang dominan dan determinan itu, akan berbuntut pada permasalahan yang lain. Ketika pendidikan menjadi dominasi atas bahasa, maka dalam tataran konseptual dan praktis, bahasa. 15 sifat pendidikan ketika kurang dalam mempertimbangkan Misalnya,

pembelajaran mahrah qir`ah, pelaku hanya akan memikirkan strategi pembelajaran berupa active learning misalnya, tanpa memperkirakan karakteristik dan fase kemampuan yang ada di dalam qir`ah. Jadi, ia hanya memandang bahasa tidak lebih hanya label tempelan yang kurang perlu dipertimbangkan karakteristiknya.

D. Paradigma II: PBA di Payung Bahasa Berkebalikan dengan paradigma pertama, paradigma kedua ini menganggap bahwa pendidikan bahasa (Arab) berada di bawah naungan Bahasa. Hal ini disebabkan Bahasa-lah yang lebih mengerti tentang sifat-sifat dan karakteristik yang dimilikinya. bahasa. Gambar VI: Posisi Beberapa Keilmuan Di bawah Bahasa Maka, yang mempunyai otoritas untuk mengajarkannya kepada orang lain, hanya boleh dilakukan oleh

Dokumentasi: Penulis

Jika seperti ini, sebagaimana yang terjadi di paradigma pertama, maka akan ada keilmuan yang bersifat dominan dan determinan. Keilmuan yang dominan adalah bahasa, sedangkan yang determinan adalah pendidikan. Pelaku yang mengusung paradigma ini akan gagap di medan pembelajaran. Alasannya adalah ia tidak menguasai bagaimana perencanaan pembelajaran yang tepat, tidak mengetahui bagaimana cara menangani peserta didik yang beragam. 16

Contoh

konkritnya

adalah

ketika

dalam

sebuah

pembelajaran, pendidik memakai metode mubsyarah untuk mahrah takallum. Metode ini memandang semua anak adalah entitas yang sama, tidak ada karakter pembeda di dalamnya. Padahal realitanya adalah sebaliknya, setiap anak mempunyai karakter yang tentu penanganannya harus berbeda. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua paradigma awal ini tidak membuah kan hasil yang tepat untuk diterapkan di lapangan. Karena yang terjadi adalah adanya keilmuan yang dominan dan determinan. Dan ini berbuntut pada ketidak seimbangan konsep yang dimiliki untuk melaksanakan sebuah pendidikan. E. Paradigma III: Dialektika Pendidikan dan Bahasa Ketika 2 paradigma di atas tidak memenuhi syarat untuk menjadi ideal, JD Parera yang dalam bukunya yang H.H. berjudul Stern, Linguistik Edukasional mencoba menengahinya. Parera, yang mengistilahkan teori dicetuskan oleh memberikan alternatif untuk menempatkan PBA.17 Gambar VII: Skema Dialektika Pendidikan dengan Bahasa Dalam Linguistik Edukasional

JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, (Jakarta: Erlangga, 1987), hlm. 5

17

17

Dokumentasi: Penulis

Gambar di atas adalah pemikiran H.H. Stern tentang posisi PBA18. Paradigma ketiga ini, tidak terdapat keilmuan yang bersifat dominan maupun determinan. Kesemuanya berfungsi secara seimbang, dengan mengambil serpihan-serpihan dari keduanya, yang kemudian mengerucut ke jenjang praktik. Pada jenjang dasar, terdapat keilmuan-keilmuan dari pendidikan dan bahasa. Keilmuan pendidikan memuat tentang bagaimana perngorganisasian mata pelajaran, metode-metode pembelajaran secara umum, bagaimana menghadapi peserta didik yang beragam karakteristiknya, hingga ke hal yang lebih rigid, membuat urutan pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan keilmuan dari bahasa adalah tentang karakteristik yang dimiliki oleh bahasa yang akan diajarkan, budaya seperti bagaimanakah yang ada di pengguna asli bahasa tersebut, sampai bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Kesemuanya itu diramu dalam jenjang antara, untuk menghasilkan sintesis yang tepat. Kemudian diaplikasikan ke dalam jenjang praktik. Memang, paradigma seperti ini mampu menjembatani antara kedua domain utama, pendidikan dan bahasa. Namun, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa untuk menjadi keilmuan yang mapan, PBA tentu tidak lagi tergantung pada proses sintesa kedua ilmu. Bahkan ilmu yang mapan harus mempunyai istilah teknis sendiri untuk menyebutkan kegiatannya. Dan paradigma ketiga ini masih menggelayut pada pendidikan dan bahasa. Terlepas dari kesemua itu, paradigma

Model diagram H.H. Stern: Kebijakan dan Proses Pengajaran Bahasa dalam JD Parera, Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa, hlm. 2

18

18

ketiga ini merupakan model yang paling mungkin digunakan. Karena tidak terdapat dominasi di antara keduanya. F. Paradigma Ideal, Sebuah Konsekuensi Pertanyaan Indonesia, yang diajukan manakah dalam yang bab lebih ini tepat adalah, untuk paradigma manakah yang akan dipilih? Merujuk pada realitas di paradigma diaplikasikan? Menurut penulis adalah paradigma ketiga. Paradigma ketiga merupakan penengah dari paradigma pertama dan kedua. Ia memberikan solusi yang cerdas untuk menjembatani kedua keilmuan yang sama sekali berbeda. Dengan kemampuan dialektikanya, ia menciptakan jenjang antara yang mampu meracik dan meramu karakteristik dari masing-masing kedua keilmuan. ideal Hasilnya adalah Dari adalah jenjang praktik yang siap saji. Pembelajaran karakteristik yang diterapkannya pihak bahasa, masing-masing kompetensi. keilmuan.

menyumbangkan sifat-sifat bahasa, teori berkomunikasi, dan macam-macam kurikulum, Sedangkan dari pendidikan, bagaimana bermunculan konsep bagaimana merancang dan merencanakan bagaimana membuat silabus, bersosialisasi dengan peserta didik yang beragam, bagaimana seharusnya sikap pendidik dan apa sajakah kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik. Jadi, penerapan Linguistik Edukasional tidak hanya masuk dalam ranah pembelajaran. Memang, dengan memilih Linguistik Edukasional, keilmuan PBA belum mencapai tahap kemapanan. Karena kemapanan harus dicapai dengan adanya proses tesis, antitesis, sisntesis hingga berulang-ulang. Padahal untuk demikian, butuh waktu yang tidak sebentar. Maka, untuk sementara, yang mampu

19

dianggap

ideal

adalah

dengan

menerapkan

Linguistik

Edukasional.

G. Studi Kasus 1. PBA di STAI Mathaliul Falah (STAIMAFA) Pati STAI Mathaliul Falah, adalah salah satu PTAI yang berada di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Pati. Ia mengusung visi Menjadi Kampus Riset Berbasis Nilai-Nilai Pesantren dan dengan mencanangkan paradigma keilmuan Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah, yang biasa disebut Aswaja. Ia berpendapat bahwa semua paradigma keilmuan PBA yang ada, dapat diterapkan. Sebagaimana salah satu asas Aswaja, at-Tawassu yang bermakna berada di tengah, tidak miring ke kanan atau kiri. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Mustafied dalam tulisannya yang berjudul Paradigma Keilmuan STAIMAFA:
... Paradigma STAIMAFA merupakan refleksi keislaman ahlus sunnah wal-jamaah. Paradigma STAIMAFA bersifat normatif sekaligus historis, teoretis dan praksis, imanen dan transendental. Paradigma STAIMAFA merupakan paradigma yang hidup, yang tidak melakukan pemisahan antara ilmu dan amal, yang menyatukan teori dan praksis, yang enggan dengan berbagai rupa ekstremisme epistemologis. Paradigma STAIMAFA tidak berpijak pada pemisahan ontologis dunia akherat, tidak memisahkan kesalehan individu dan sosial, serta tidak meletakkan nilai-nilai agama semata-mata dalam ruang privat. Paradigma STAIMAFA terangkum dalam metode berfikir, bersikap, dan bertindak19

Melihat paradigma yang demikian, memang akan mendapatkan jalan aman untuk berpijak. STAIMAFA akan mengambil paradigma dengan bentuk yang bagaimanapun,

Mustafied, Paradigma Keilmuan STAIMAFA. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathaliul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009.

19

20

tidak

masalah.

Karena

sikap

tengah-tengah

yang

diusungnya merupakan solusi yang cerdas. Terkait dengan PBA, maka STAIMAFA akan mengambil semua paradigma; PBA berada di payung Pendidikan, PBA berada di payung Bahasa, dan Dialektika antara keduanya. Secara teoritis dan konseptual, ia akan mengambil ide-ide dari ketiganya. Ia mampu menyesuaikan berbagai paradigma dengan sistem kontekstualisasi, sesuai kebutuhan. Dengan kata lain, STAIMAFA telah membuat semi-integrasi bagi keilmuan PBA.

Gambar VIII: Paradigma Keilmuan STAIMAFA

Dokumentasi: Penulis

Dikatakan semi-integrasi karena STAIMAFA tidak serta merta menggabungkan ketika semua paradigma, konteks namun ia Jadi, merangkul semua. Selain itu, ia hanya mengambil apa yang diperlukan, menghadapi tertentu. keintegrasian STAIMAFA belum integrasi sempurna. Namun, menurut penulis, jika STAIMAFA mengambil kesemua paradigma tanpa adanya pemilihan salah satu, 21

maka ia sama saja menghidupkan bom waktu. Karena STAIMAFA akan terlihat mampu diombang-ambingkan oleh berbagai paradigma yang muncul. Memang, STAIMAFA terlihat anggun dengan kemampuannya berjalan di tengah berbagai paradigma. Akan tetapi, hal ini pula yang akan menjegalnya. Misalnya ketika menghadapi suatu pilihan, ia tidak akan mampu memutuskan mana yang lebih baik. Karena bukankah ia beranggapan bahwa semua paradigma itu baik? Contoh selanjutnya adalah ketika personil perumus kebijakan, yang tentunya mempunyai kecenderungan yang berbeda ketika memandang paradigma. Tentunya, STAIMAFA memiliki beberapa personil sebagai perumus. Maka, ketika STAIMAFA (secara global) tidak mempunyai pegangan 1 paradigma, ia akan mudah diombang-ambingkan oleh personil tersebut. Selain kedua keganjalan yang perlu dipertanyakan, ada 1 permasalahan lagi, dan menurut penulis, ini yang paling utama. Setiap paradigma keilmuan, pasti mempunyai 3 dimensi pokok, sebagai landasan untuk berpijak. Dimensi tersebut adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Proses dialektika dan interkoneksi atau bahkan pemilihan serpihanserpihan yang dikira mampu mengakomodir kebutuhan, akan menjadikan paradigma keilmuan STAIMAFA terlihat rapuh. Ia tidak mengambil sepenuhnya, dan nantinya ia dengan mudah akan diserang dari celah-celahnya. STAIMAFA semua bersikap sombong, dengan merangkul ketika paradigma. Contoh kecilnya adalah

merefleksikan cara berpikir yang sejalur dengan Aswaja, sebagaimana yang ditulis oleh Mustafied:
Secara kemutlakan epistemologis, STAIMAFA tidak rasionalisme-empirisisme, menganut idealisme-

22

materialisme, dhahiriah-batiniah. Rasionalisme terjebak pada pengagungan rasio, sedangkan empirisisme tidak menerima rasio sebagai sumber pengetahuan rasional. Idealisme terlalu mengabaikan kenyataan real, materialisme menganggap tidak bermakna kenyataan metafisik, tidak mengakui realitas yang ghoib. Sementara kaum dhahiriah jatuh dalam skripturalisme dan kaum batiniah seringkali menganggap enteng syariah. Berbagai posisi epistemologis tersebut tidak memungkinkan untuk memahami agama dan realitas social secara mendalam

Terlepas dari berbagai ganjalan dalam paradigmanya, STAIMAFA telah menentukan jalan hidup keilmuannya dengan memilih Aswaja. Dan Aswaja memang jalan aman untuk dapat merangkul semua pihak. Namun, sebagai catatan, STAIMAFA tentu harus tegas ketika memilih mana yang terbaik bagi kelangsungan hidup keilmuannya. 2. PBA di UIN Maliki Malang Lain ladang, lain ilalang. Lain perguruan tinggi, lain pula paradigma keilmuannya. Kalau STAIMAFA mengusung paradigma Aswaja, UIN Maliki mengusung paradigma pohon ilmu. Paradigma keilmuan Pohon Ilmu ini dicetuskan oleh rektor pertama UIN Malang, Imam Suprayogo. Gambar IX: Pohon Ilmu UIN Maliki Malang

23

Dokumentasi: http://www.uinmalang.ac.id

Pohon Ilmu memiliki beberapa bagian, yaitu akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah. Akar melambangkan keilmuan dasar yang harus dipelajari oleh manusia guna mampu mempelajari Alquran dan Hadis. Keilmuan tersebut adalah bahasa Arab, bahasa Inggris, Logika, Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sebagai alat, tentunya harus dikuasai sepenuhnya, sebelum beranjak mempelajari Alquran dan Hadis. Bagian kedua adalah batang, yang bermakna objek kajian Islam, yaitu Alquran dan Hadis, pemikiran Islam dan srah nabawiyah dan atau sejarah Islam lainnya yang lebih luas. Di UIN Maliki Malang, semua mahasiswanya, dengan berbagai jurusan, wajib mengambil mata kuliah yang berkaitan dengan keilmuan batang ini. Bagian selanjutnya adalah dahan, ranting dan daun yang jumlahnya banyak. Bagian-bagian ini melambangkan disiplin ilmu yang akan dipilih oleh setiap mahasiswa. Berbeda dengan keilmuan batang, keilmuan 24

ketiga ini hukumnya sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan mahasiswa. Bagian terakhir dari pohon ilmu adalah buah. Bagian ini bermakna hasil kegiatan kajian agama yang mendalam dan ilmu pengetahuan yang cukup, yaitu iman, amal soleh dan akhlaq karimah. Paradigma yang ditelurkan oleh Imam Suprayogo ini cenderung menyerupai pandangan Al-Ghazali. Bahwa mendalami ilmu agama wajib bagi semua orang ( fardh ain). Sedangkan untuk mempelajari ilmu umum seperti teknik, kedokteran dan perdagangan hukumnya fardh kifyah.20 Terkait dengan PBA, posisi di manakah ia, jika menganut pada paradigma Pohon Ilmu? Di bagian dahan paling atas, terdapat fakultas tarbiyah, yang tentunya menaungi PBA. Akan tetapi, jika ditelusuri sampai ke akar, maka pintu masuknya adalah bahasa, yang kemudian disowankan ke Alquran dan Hadis. Hal ini terjadi karena letak Bahasa Arab di akar, yang kemudian melewati al-Ulm al-Islmiyyah; Alquran, Hadis, Srah Nabawiyyah dan lainnya. Dan sudah pasti, di dalam batang akan terjadi filtrasi (penyaringan) dan reduksi besar-besaran. Setelah melewati akar dan batang, maka tibalah ia di dahan Tarbiyah. Di sana, ia merupakan ilmu yang independen. Namun, lagi-lagi di dalamnya masih rapuh. Jika yang dipilih adalah wacana integrasi, seharusnya setiap keilmuan mempunyai istilah teknis sendiri, karena dianggap sudah mapan. Akan tetapi, sebagaimana literatur yang ada di
20 Penulis tidak habis pikir dengan Taufiqurrochman. Dalam buknya, pada halaman 232 ia berpendapat bahwa metafora Pohon Ilmu ini sesuai dengan pandangan Al-Ghazali, yaitu pendikotomian keilmuan. Namun pada halaman 233-236, ia mencerca pendikotomian. Hal ini mengindikasikan 2 hal; apakah Pohon Ilmu ini masih sangat labil? Ataukah memang penulis yang bersifat inkonsistensi.

25

UIN Malang, kesemuanya masih mendasarkan pada induk Bahasa. 3. PBA di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Paradigma ketiga adalah Jaring Laba-laba Keilmuan yang dicetuskan corak oleh Amin Abdullah, dan kemudian Yang diterapkan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Paradigma ini mengusung Teoantroposentris-Integralistik. dimaksud dengan Teoantroposentris adalah gabungan antara sumber ilmu dari Tuhan yang berupa wahyu (Teo) dengan ilmu yang bersumber dari manusia (antropo), yang kemudian keduanya digabung-leburkan (integral).

Gambar X: Jaring Laba-laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik

Dokumentasi: http://iscdic.blogspot.com/2007/03/ penundukan-paradigma-teori-laba-laba.html

Gagasan keilmuan yang integratif dan interkonektif ini muncul dari sebuah kegelisahan Amin Abdullah terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian 26

pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Teknologi yang semakin canggih sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antar bangsa dan budaya, persoalan migrasi, revolusi IPTEK, genetika, pendidikan, hubungan antar agama, gender, HAM dan lain sebagainya. Perkembangan zaman mau tidak mau menuntut perubahan dalam segala bidang tanpa tekecuali pendidikan keislaman, karena tanda adanya respon yang cepat melihat perkembangan yang ada maka kaum muslitimin akan semakin jauh tertinggal dan hanya akan menjadi penonton, konsumen bahkan korban di tengah ketatnya persaingan global. Menghadapi tantangan era globalisasi ini, umat Islam tidak hanya sekedar butuh untuk survive tetapi Hal bagaimana ini bisa menjadi garda depan perubahan. kemudian dibutuhkan reorientasi

pemikiran dalam pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem kelembagaan. Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara ilmu dan agama dimana keduanya seolah menjadi entitas yang berdiri sendiri dan tidak bisa dipertemukan, mempunyai wilayah sendiri baik dari segi objek-formalmaterial, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan hingga institusi penyelenggaranya. Maka tawaran paradigma integratif-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi bertegus sapa satu sama lain.21 Berbeda dengan Pohon Ilmu Imam, Jaring Laba-laba Amin berangkat dari Alquran dan Hadis, yang kemudian dilingkupi
21

oleh

metode

dan

pendekatan.

Selanjutnya,

Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, . hlm. 92-93

27

keilmuan yang muncul adalah Trkh, Fiqh, Lugah, Kalm, Falsafah, Tasawuf dan Hads. Dan kemudian berkembang sangat luas, dan bersifat kontekstual. Terkait dengan PBA, ia tidak berangkat dari salah satu 3 paradigma yang penulis paparkan sebelumnya. Paradigma Amin berangkat langsung berangkat dari Alquran dan Hadis,22 yang notabene merupakan asas utama umat Islam. Kedua asas tadi kemudian didekati dengan pelbagai keilmuan, yang kesemuanya masuk pada lingkar selanjutnya. Memang, sebagai umat Islam, dalam merujuk segala keilmuan harus mengacu pada Alquran dan Hadis. Namun, di sini akan timbul persoalan lain lagi. Bukankah Alquran sangat multi tafsir? Dan pasti yang ada hanyalah tafsir subyektif. Selain itu, jika diandaikan PBA masuk dalam Jaring Laba-laba, maka ia akan masuk di lingkar lapis 2 bersama dengan Ethics, Archeology, History dan yang lainnya. Hal ini menunjukkan kesamaan berangkat dari Bahasa. Karena keilmuan Lugah berada di sebelum lingkar lapis 2. Walaupun demikian, menurut penulis, paradigma keilmuan yang integral masih belum mampu dicapai secara menyeluruh. Karena tetap pasti terdapat kecenderungan dan juga pemikiran yang bersifat subyektif. Lain daripada itu, pemilihan Alquran dan Hadis sebagai inti jaring merupakan sebuah konsekuensi yang tinggi. Karena walaupun ditafsiri dengan hermeneutik, seorang mufassir terkadang masih mempunyai kepentingan. Terlepas dari semua itu, pemikiran Amin Abdullah telah memberi sumbangan wacana paradigma keilmuan kepada masyarakat. Dan memang merupakan kelumrahan, jika
Penulis belum mengetahui jalur mana yang harus dilewati dahulu dalam labirin Jaring Laba-laba Amin. Karena memang tidak terdapat pintu masuk. Untuk inisiatif, sebagaimana biasanya, pengambilan garis start bermula dari tengah, yaitu Alquran dan Hadis.
22

28

sampai sekarang belum ditemukan titik yang tepat untuk merancang paradigma keilmuan. Karena filsafat pasti akan mati, jika menemukan jawaban. Sebab seterusnya tidak aka nada lagi dialog dialektika keilmuan. H. Contoh Penerapan Paradigma Ideal Linguistik

Edukasional dalam Pembelajaran Filsafat Bahasa Filsafat Pendidikan Filsafat Bahasa Biasa: Filsafat Filsafat Pendidikan yang lebih menekankan Pragmatisme: Filsafat penggunaan bahasa yang pendidikan yang merujuk pada sederhana, tidak berbelit-belit aspek kemanfaatan bagi umat dan tidak absurd. manusia Karena karakteristiknya yang Dengan bermadzhab pada lebih condong pada pemakaian pragmatisme, maka pengajaran bahasa yang sederhana, maka bahasa tentunya dilihat dari asas kemanfaatannya pun akan sudut pandang sejauh mana ia lebih banyak diperoleh. Karena bermanfaat bagi manusia. bukankah berbahasa adalah proses interaksi dengan yang lain?, yang tentunya berhasil akhir pada pemahaman antara kedua belah pihak. Maka, hasil dialektika seperti ini akan memunculkan: Pendekatan Sosiolinguistik dan antropolinguistik ; karena aspek kemanfaatan yang berujung pada penilaian manusia, tentu pendekatannya harus bersifat humanis, baik ditinjau dari interaksinya maupun budaya yang melingkupinya. Teori Lingua franca, kreol pijin dan bahasa menunjukkan budaya: agar nantinya tercipta kesepahaman dengan native, tentunya kita harus mengetahui seluk beluk bahasa native. Nah, dengan adanya bahasa resmi dan bahasa antara yang bersifat temporal, aspek kemanfaatan akan lebih tampak. Juga, jika kita ingin mengetahui budaya orang lain, maka dengan jendela bahasa, kita sudah bisa mengetahuinya. Strategi Active learning: agar membentuk para peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Karena bukankah tujuannya adalah aspek 29

Materi

Metode Model

Teknik Prosedur

kemanfaatan bagi peserta didik? Hiwr yaumiyyah, mufrodt miyah, yaitu adanya hari bahasa dan kewajiban untuk berkomunikasi dengan bahasa Arab. Selain itu juga, pembelajaran seperti ini akan difasilitasi dengan kartu bergambar Intiqiyyah, yaitu metode yang sangat fleksibel, tidak ada patokan utama Kartu bergambar. Karena dengan adanya kartu bergambar ini, peserta didik akan lebih terbantu dalam berkomunikasi. Dan tentunya kartu harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Membahas tema-tema yang diperlukan ketika penggunaan bahasa, dengan kata lain, tema yang tidak sesuai bisa dihilangkan. Inti dari prosedur ini adalah lebih didominasi oleh keaktifan peserta didik. Agar kemanfaatannya lebih terlihat.

30

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Upaya penyelamatan muka PBA yang dilakukan oleh JD Parera belum mampu membuatnya menjadi keilmuan yang mapan. Alasannya adalah untuk menjadi sebuah keilmuan yang mapan, harus memenuhi berbagai syarat. Bahkan hingga istilah teknis pun sudah tidak merujuk pada dua wali asuhnya, Pendidikan dan Bahasa. Namun, tidak menutup kemungkinan harus memilih salah satu dari 3 paradigma yang diajukan. Karena merupakan sebuah konsekuensi untuk menjalankan paradigma yang ideal, tentu harus melewati berbagai tahap dialog dialektika antara Pendidikan dan Bahasa. Akan tetapi, ketika paradigma ideal telah dipilih, masih terdapat halangan lagi untuk menerapkannya, paradigma keilmuan masing-masing institusi pendidikan. Tiap institusi pendidikan pasti mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai dengan tujuan dan visi misi yang diusungnya. Misalnya STAIMAFA yang mengusung paradigma keilmuan Aswaja, yang mampu merangkul semua paradigma. Namun sebenarnya hal ini juga yang akan membuatnya mudah terombang-ambing. Karena tidak terdapat pijakan yang kuat. Contoh lain adalah UIN Maliki Malang yang mencetuskan Pohon Ilmu sebagai paradigmanya. Paradigma ini berangkat dari bahasa, yang kemudian disaring oleh batang Alquran dan Hadis. Paradigma ini juga masih lemah. Karena integrasinya belum mencapai kemapanan. Dan studi kasus terakhir adalah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengusung paradigma Jaring Laba-laba Keilmuan. Wacana yang digaungkan oleh Amin Abdullah ini mengusung corak Teoantroposentris-Integralistik. Sebagaimana 31

Imam Suprayogo, Amin Abdullah juga berangkat dari Bahasa, untuk keilmuan PBA. Dan hal ini diperparah dengan memilih Alquran dan Hadis -yang masih multi tafsir- sebagai landasan dalam berpijak untuk menentukan arah keilmuan. Terlepas dengan berbagai kelebihan dan kekurangan paradigma yang yang diajukan oleh masing-masing tradisi dialog institusi dialek pendidikan, adanya pemikiran tersebut merupakan langkah inovatif untuk meneruskan interkoneksi dan integrasi dalam filsafat. Karena tanpa adanya itu, filsafat akan mati. B. Saran Setelah melewati berbagai fase dalam makalah, maka saran yang penulis ajukan adalah konsekuensi untuk memilih satu paradigma. Karena itu adalah merupakan suatu keniscayaan. Memang, ketika menjadi penengah, keilmuan akan lebih fleksibel dan leluasa dalam bergerak. Namun hal itu juga yang akan menjadi bom waktu dikemudian hari, ketika dihadapkan pada pilihan.

32

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Anas, Moh. Paradigma Keilmuan STAIMAFA. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathaliul Falah Tahun Akademik 2011/2012 pada tanggal 20 September 2011. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002. Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003. Ibrahim, Muhammad bin. Fiqh Lugah: Mafhmuh, Maudhtuh, Qadhayh. Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah. 2005. Khomsiyah, Nimatin dan Irza Anwar S., Sistem Pendidikan Bahasa. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jumat, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathaliul Falah Pati Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 2005. Luthfi, Khabibi M. Filsafat Pendidikan Bahasa. Power point disampaikan dalam kuliah Filsafat Pendidikan Bahasa pada hari Jumat, 14 Oktober 2011 di kampus STAI Mathaliul Falah Pati Mustafied, Paradigma Keilmuan STAIMAFA. Makalah disampaikan dalam Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus (OPAK) STAI Mathaliul Falah Tahun Akademik 2009/2010 pada tanggal 08 Oktober 2009. Parera, JD. Linguistik Edukasional: Pendekatan, Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga. 1987. R., Five Sulistiyani. Pendidikan Bahasa Arab: Antara Eksklusifisme dan Inklusifisme. Dimuat dalam Al-Arabiyah, Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, vol. 2, nomor 2, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2007. Salahuddin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.

33

Soenarya, Endang. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000. Taufiqurrochman. Imam al-Jamiah: Narasi Indah Perjalanan Hidup dan Pemikiran Prof. Dr. H. Imam Suprayogo . Malang: UIN Maliki Press. 2010. UU nomor 20 tahun 2003, tentang: Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 1. http://iscdic.blogspot.com/2007/03/penundukan-paradigma-teorilaba-laba.html http://www.uinmalang.ac.id

34

You might also like