You are on page 1of 6

BAB III PEMBAHASAN

A. Biografi Rabiah al-Adawiyah 1. Biografi Singkat Rabiah Al-adawiyah Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah AlQaisiyah.1 Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H717 M di suatu perkampungan dekat kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. 2 Ia di lahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakannya Rabiah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil . Konon pada saat terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga Atik daru suku Qais Banu Adwah.3 Dari sini ia di kenal Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan pada saat ia sedang beribadah.4 Setelah dimerdekakan tuannya, Rabiah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam Kemiskinan dan menolak segala

1 2

Disarikan dari diskusi mata kuliah sejarah naskah Tasawuf di Pascasarjana IAIN Syarf Hidayatullah Jakarta, 1995. Farid As-Sin Al-Arththar,Muslim Saints dan Mystic, terj.AJ.Arberry,Routledge dan Kegal Paul,1979.,hlm.39. 3 Abd Ar-Rahman Al-Badawi, Syahidat Asy-Syauq Al-Ilahi Rabiah Al-Adawiyyah,Al-Wakalat AlMathbuah,Kuwait, 1978,hlm. 13 4 Al-Aththar,op. cit., hlm. 42

bantuan materi yang di berikan oleh orang lain kepadanya. Bahakan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.5 Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabiah, menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabiah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk

menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabiah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabiah kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.6 2. Kehidupan Rabiah Al-Adawiyah Wanita ini terlalu banyak menangis dan selalu bersedih, Setiap kali mendengar neraka disebutkan, dia langsung pingsan pada waktu itu juga. Dia pernah mengatakan, Istigfar kita memerlukan istigfar lainnya, Dia selalu menolak pendirian orang padanya dan mengatakan, Aku tidak lagi memerlukan dunia. Pada saat usianya telah mencapai delapan puluh tahun, dia seolah- olah seperti sebuah geriba (wadah dan kulit) yang lusuh. Setiap kali berjalan, Dia terlihat sempoyongan seperti hampir terjatuh. Kafan yang akan membungkus jasadnya saat dia meninggal dunia, selalu dia letakan dihadapannya persis di depan tempat sujudnya. Tempat sujudnya sendiri seperti wadah air yang selalu tergenang air matanya. Suatu saat dia mendengar Sufyan Al-Tsauri mengaduh, Duh, betapa sedikitnya kesedihanku. Jika aku bersedih, maka tidak aka nada lagi kehidupan.

5 6

Ibid. Badawi, op. cit., hlm. 20-21

Rabiah berusaha mencintai Allah di atas segala-galanya. Tidak ada tempat di hatinya untuk mencintai yang lain, kecuali Allah. Hal inilah yang menyebabkan ia menolak lamaran semua orang yang ingin mempersunting dirinya sebagai istri. Di antara yang melamarnya tercatat Abd Wahid ibn Aid, seorang sufi besar sekaligus teolog, dai, dan ahli hokum. Demikian juga Muhammad ibn Sulaiaman Al-Hasyimi, seorang amir (penguasa) kota Basrah dari Dinasti Abbasiyah yang sempat menawarkan maskawin seratus ribu dinar.7 Pokok-pokok pikiran dan pengalaman spiritual Rabiah Al-Adawiyah banyak menjadi rujukan dan bahan perbincangan para sufi generasi sesudahnya. Di sisi lain sumber- sumber tasawuf banyak memberikat anekdot yang mengambarkan peristiwaperistiwa keramat yang terjadi pada dirinya.

B. Ajaran Tasawuf Rabiah Al-Adawiyah Pada perkembangan mistisisme dalam islam, Rabiah Al-Adawiyah tercatat sebagai figure peletak dasar tasawuf berdasarkan al-mahabbah (cinta) kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran askestisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabiah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabiah menyatakan doanya, Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api

Lihat Smith, 1974. hlm. 10; Al-Badawi. 1978. hlm.10.

neraka? Tiba-tiba terdengar suara, kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepda kami. 8 Di antara syairnya cinta Rabiah yang paling mahsyur adalah: Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.9 Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rabiah, yaitu hub Al-hawa dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hub Alhawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat- nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya hub disini bersifat hub indrawi. Walaupun demikian, hubb Al-hawa yang diajukan Rabiah ini tidak berubah-rubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabiah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat tersebut.10 Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi , tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapakan balasan apa-

Abu Qasim Al-karim Al-Qusyairiyah, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah fi ilm At-Tasawuf, Isa Al- Babi Al-Halabi, 1334, hlm. 328. 9 Abu Bakar Muhammad A l-Kalabazdi, At- Taaruf li Mazhab Ahl At- Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm.131. 10 Al-Badawi, op. cit, hlm. 67.

apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabiah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai. Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan syair tentang Rabiah sebagai berikut, Mungkin yang dimaksud oleh Rabiah dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disabdakan dalam hadis qudsi, Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terdengar telinga, dan tidak terbersit dalam kalbu manusia.11 Cinta Rabiah kepada Allah begitu mendalm dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya : Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.12 Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah tidak secara tulus ikhlas, Rabiah selalu mengangkat: Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta. Sungguh aneh gejala ini .

11 12

Al-Ghazali, ihya Ulum ad-Din, Musthafa bab Al-Halab , Kairo, 1334, hlm., Jilid III, hlm. 266-267. Ibid, hlm. 358.

Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu patuh dan bakti pada yang dicintai.13

Dalam kesempatan bermunajat, Rabiah kerapkali menyampaikan, Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang di cintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.14 Sewaktu fajar menyingsing, Rabiah berkata, Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih. Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat, Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, Karena cintaMu telah memenuhi hatiku.15

13

Abu Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 86 14 Ibrahim Basyuni, Nasyat at-Tashawwuf, Dar Al-Maarif,Mesir, t.t, hlm. 190. 15 Ibid.

You might also like