You are on page 1of 46

SISTEM RESPIRASI

LAPORAN PBL MEROKOK

OLEH : KELOMPOK I TUTOR: dr. NUR INDAH PURNAMASARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2013

SISTEM RESPIRASI

LAPORAN PBL

MEROKOK

OLEH :
KELOMPOK I

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2013

SKENARIO Seorang laki-laki 56 th datang ke rumah sakit karena batuk hebat & sesak napas. Ia memiliki riwayat sesak berulang sejak 3 tahun lalu dan semakin memburuk terutama selama 3 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan tanda vital: suhu 37oC, denyut nadi adalah 104x/mnt, dan pernafasan 34x/menit yang tampak terengah-engah pada pemeriksaan dada. Dokter melakukan tes spirometry dan hasilnya menunjukkan PEF 50% dari nilai prediksi. Tes yang oksimetri 84%. Dia adalah seorang perokok berat yang mulai merokok sejak ia berusia 15 tahun. Dia biasanya merokok 2 bungkus rokok per hari, tapi sejak gejala penyakitnya makin berat ia hanya merokok 1 bungkus per hari. KATA SULIT Spirometry Tes untuk mengukur aliran udara yang masuk dan keluar paru dan dicatat dalam grafik volume per waktu dengan menggunakan alat spirometer. Nilai normal >75%. PEF (Peak Ekspiration Flow) Pengukuran jumlah aliran udara maksimal yang dpat dicapai saat ekspirasi paksa Tes Oksimetri Tes untuk memantau saturasi oksigen arteri. Nilai normalnya >95%. KATA KUNCI Laki-laki 56 tahun Batuk hebat kronik Sesak napas Suhu normal Takikardi Takipneu PEF 50% Tes Oksimetri 84% Riwayat merokok berat PERTANYAAN 1. Sebutkan penyakit-penyakit apa saja yang secara umum dapat disebabkan dari merokok ? 2. Apa saja bahan yang terkandung dalam rokok serta hubungannya dengan penyakit respirasi? 3. Bagaimana patomekanisme gejala yang diakibatkan oleh rokok bardasarkan scenario diatas ? 4. Jelaskan mengapa efek baru dirasakan 3 tahun yang lalu dan memberat sekarang (3 bulan terakhir) ?

5. Apa indikasi dilakukan tes pemeriksaan respirasi pada scenario diatas ? 6. Mengapa perokok pasif lebih rentan untuk terkena penyakit respirasi akibat rokok dibandingkan perokok aktif ? 7. Jelaskan penyakit-penyakit yang mungkin diserita pasien sesuai skanario diatas ? 8. Jelaskan proses imunologi ? 9. Bagaimana pencegahan dan upaya penghentian yang dapat dilakukan ? ANALISIS PERTANYAAN 1. Berikut adalah beberapa penyakit yang secara umum dapat disebabkan oleh merokok ;

a. Penyakit paru: kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis paru, pneumonia, dan lain-lain oleh gas-gas oksidan yang ada pada asap rokok. b. Penyakit jantung: hipertensi dan penyakit jantung koroner oleh karena nikotin yang mempersempit pembuluh darah dan karbon monoksida yang mengambil tempat oksigen berikatan dengan Hb dalam darah. c. Gastrointestinal: zat-zat kimia rokok mengganggu keseimbangan pengeluaran asam lambung dan nikotin mengganggu pankreas dalam menetralisir asam di lambung dan usus yang menyebabkan terjadinya tukak atau perdarahan.

d. Reproduksi: disfungsi ereksi atau biasa disebut impoten biasa terjadi pada pria perokok akibat rokok yang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sperma dan mempengaruhi mobilitas sperma. e. Kulit: kanker kulit dan tampak tua dan keriput akibat zat-zat kimia rokok yang merusak jaringan elastis. 2. Setiap rokok atau cerutu mengandung lebih dari 4.000 jenis bahan kimia dan 400 dari bahan-bahan tersebut dapat meracuni tubuh sedangkan 40 dari bahan tersebut bisa menyebabkan kanker. Beberapa contoh zat berbahaya di dalam rokok yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: a. Nikotin Menyebabkan ketergantungan. Nikotin menstimulasi otak untuk terus bertambah jumlah nikotin yang dibutuhkan. Semakin lama, nikotin dapat melumpuhkan rasa dan otak, serta meningkatkan adrenalin, yang menyebabkan jantung diberi peringatan atas reaksi hormonal yang membuatnya berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras. Artinya, jantung membutuhkan lebih banyak oksigen agar dapat terus memompa. Nikotin juga menyebabkan pembekuan darah lebih cepat dan meningkatkan resikko serangan jantung. Secara perlahan-lahan nikotin akan mengakibatkan perubahan pada sel-sel otak perokok lebih banyak untuk mengatasi gejala-gejala ketagihan. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Di Amerika Serikat, rokok putih yang beredar di pasaran memiliki kadar 8-10 mg nikotin per batang, sementara di Indonesia berkadar nikotin 17 mg per batang. Kadar nikotin yang diisap akan menyebabkan kematian, apabila kadarnya lebih dari 30 mg. Setiap batang rokok mengandung 0,1-0,2 mg nikotin. b. Karbon monoksida Gas ini biasanya terdapat pada asap pembuangan mobil. Karbon monoksida menggantikan sekitar 15% jumlah oksigen yang biasanya dibawa oleh sel darah merah sehingga jantung si perokok menjadi berkurang suplai oksigennya. Karbon monoksida juga merusak lapisan pembuluh darah dan menaikkan kadar lemak pada dinding pembuluh darah yang dapat menyebabkan penyumbatan. c. Timbal (Pb) Timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis diisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. Bisa dibayangkan, bila seorang perokok berat menghisap rata-rata

2 bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke dalam tubuh. d. Tar Tar digunakan untuk melapisi jalan atau aspal. Tar adalah partikel penyebab tumbuhnya sel kanker. Sebagian lainnya, berupa penumpuk zat kapur, nitrosmine dan B-naphthylamine serta cadmium dan nikel. Tar mengandung bahan kimia yang beracun yang dapat merusak sel paru dan menyebabkan kanker. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernapasan, dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24 45 mg. e. Arsenic Unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga terdiri dari unsur-unsur : 1) Nitrogen Oksida Unsur kimia yang dapat mengganggu saluran pernapasan, bahkan

merangsang terjadinya kerusakan dan perubahan kulit tubuh 2) Amonium karbonat Zat yang bisa membentuk plak kuning pada permukaan lidah serta mengganggu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat pada permukaan lidah f. Amonia Amonia sangat mudah memasuki sel-sel tubuh. Saking kerasnya racun yang terdapat dalam zat ini, sehingga jika disuntikkan sedikit saja ke dalam tubuh bisa menyebabkan seseorang pingsan . g. Formic acid Zat tersebut menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut.

Bertambahnya zat itu dalam peredaran darah akan mengakibatkan penapasan menjadi cepat. h. Acrolein Zat tersebut sedikit banyak mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan. i. Hidrogen Cyanide Sedikit saja cyanide dimasukkan ke dalam tubuh, maka dapat mengakibatkan kematian. j. Nitrous oksida

Gas ini tidak berwarna. Jika zat ini terisap maka dapat menimbulkan rasa sakit. k. Formaldehyde Zat ini digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium l. Phenol Campuran yang terdiri dari destilasi beberapa zat orgaanik. Phenol terikat pada protein dan menghalangi aktivitas enzim. m. Acetol Hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat tidak berwarna yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol. n. Hydrogen sulfide Sejenis gas beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras dan menghalangi oksidasi enzim. o. Pyridine Cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama. p. Methyl chloride Campuran dari zat-zat bervalensi satu yang unsur-unsur utamanya berupa hidrogen dan karbon. q. Methanol Sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan terbakar dapat mengakibatkan kebutaan bahkan kematian. 3. Patomekanisme gajala pada scenario a. Batuk Batuk adalah salah satu cara tubuh membersihkan saluran napas. Serat afferent dari refleks batuk terletak di saraf trigeminus, saraf glossofaring dan vagus. Ujung saraf ini terdapat pada mukosa saluran pernapasan bagian atas sensitif terhadap bahan atau benda asing rangsangan taktil dan termal dan bahan-bahan kimia. Setelah itu dihantarkan pada medulla oblongata kemudian dihantarkan kembali ke serat saraf efferent yaitu n.reccurent yang menyebabkan penutupan glotis, pada N. frenicus yang menyebabkan kontraksi diagfragma dan saraf spinal yang menyebabkan kontraksi otot pernapasan yang lain untuk melawan atau membuka glotiss yang tertutup. Patofisiologi batuk: 1) Iritasi: masuknya iritan dan terjadi rangsangan reseptor oleh berbagai stimulus. 2) Inspirasi: Glottis secara refleks terbuka akibat kontraksi m.abductor, car. Arytaenoidea. Fase ini terjadi jika rangsangan reseptor di laring. Volume

paru besar - efisiensi mekanisme lebih baik - regangan otot ekspirasi meningkat elastisitas paru dan aktivasi slow adapting pulmonary stretch receptor - peningkatan usaha ekspirasi. 3) Kompresi: Menutupnya glotis - otot abdominal dan iintercostal kontraksi tekanan intrapleural dan tekanan alveolar meningkat (300mmhg). 4) Ekspulsi: Disini terjadi fase teerbukanya glotis secara refleks oleh N. Spinal. b. Sesak Penyumbatan (obstruksi) jalan napas, berkurangnya jaringan paru yang berfungsi, berkurangnya elastisitas paru (stifflung), meningkatnya kerja

pernapasan, gangguan transfer oksigen (difusi), ventilasi tak seimbang dalam kaitannya dengan perfusi (uneven ventilation), campuran darah vena (venosus asmixture) atau right to left shunting,cardiac output yang tidak memadai, anemia dan gangguan kapasitas hemoglobin dalam mengangkut oksigen. 4. Pada skenario dijelaskan bahwa pasien perokok berat mengalami keluhan batuk hebat dan sesak napas. Keluhan tersebut baru dirasakan sejak tiga tahun lalu dan semakin memburuk terutama selama 3 bulan terakhir. Pasien dengan riwayat perokok berat yang mulai merokok sejak ia berusia 15 tahun. Pada skenarioyang menjadi pertanyaan kelompok kami bhwa mengapa pasien baru merasakangejala tersebut padahak pasien telah merokok sejak usia 15 tahun. Berdasarkan hasil diskusi kelompok serta membaca beberapa referensi didapatkan kesimpulan bahwa terlebih dahulu kita harus menjabarkan efek patofisiologi dari merokok. Pasien melakukan aktivitas merokok secara berulang atau terjadinya paparan asap rokok kronis akan memberikan efek patofiologi secara bertahap kepada pasien, yaitu : a. Perubahan pada saluran napas sentral dan napas tepi. Hal yang terjadi adalah perubahan histology pada sel epitel bronkus : silia hilang (berkurang), hyperplasia kelenjar mucus, meningkatnya jumlah sel goblet. Penelitian lain melaporkan terjadinya transformasi struktur sel epitel bila aktivitas merokok terus menerus, yaitu perubahanbentuk sel epitel menjadi karsinoma bronkogenik invasive. Pada skenario pasien mengalaminya secara bertahap. Mula-mula yang dialami yaitu kekurangan silia pada saluran pernapasan sehingga silia yang tersisa harus bekerja lebih keras untuk menahan mikroorganisme yang masuk kemudian semakin hari pasien tidak berhenti merokok mengakibatkan silia hilang yang mengakibatkan hyperplasia kelenjar mucus. Berdasarkan hasil penelitian

perubahan yang dilami bergantung kembali pada kekerapan dan intensitas pada jumlah rokok yang dikonsumsi tiap harinya. b. Perubahan fungsi imunilogis Peningkatan jumlah leukosit pada sistem perifer. Peningkatan terjadi sebagai respon imun terhadap infeksi. Serta terjadi peningkatan jumlah oesinofil pada sistem perifer yang akan menghambat untuk proses inflamasi. Dan terjadi peningkatan IgE. Karena terjadi gangguan pada sistem penapasan dan sistem imun secara bertahap tersebut maka menyebabkan penderita menghasilkan gejala penyakit yang terjadi secara bertahap pula. Munculnya gejala penyakit tak lupa dipandng dari beberapa etiologi, yaitu 1) Gen Faktor endogen yaitu faktor yang berasal dari dalam, kerentanan bawaan / genetik. Hal ini dapat dilihat bahwa kepekaan host terhadap penyebabpenyebab suatu penyakit. Misalnya, kanker paru, pada skenario kelompok kami menyertakan diferential diagnosis tersebut akan tetapi kami melakukan tolak ukur bahwa kerentanan terhadap karsinogen tergantung lagi oleh p53. 2) Paparan Dilihat dari skenario bahwa pasien merupakan perokok berat yang merupakan penyebab terjadi perubahan secara bertahap pada saluran pernapasan sentral dan tepi secara bertahap. 3) Usia Pasien berusia 56 tahun menyebabkan pasien lebih cepat mengalami gejala penyakit dibandingkan pada masa produktivitasnya. Dikarenakan pertahanan tubuh paa saat tersebut masih baik. Pada masa produktivitas pasien, dia belum mengalami inflamasi yang begitu berat. 5. Tes pemeriksaan fungsi respirasi a. Spirometry Adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang digunakan disebut spirometer. Tujuan tes spirometri: 1) mengukur volume paru secara statis dan dinamik 2) menilai perubahan atau gangguan pada faal paru. Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume

capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin. 8 Sebelum dilakukan spirometri, terhadap pasien dilakukan anamnesa,

pengukuran tinggi badan dan berat badan. Pada spirometer terdapat nilai prediksi untuk orang Asia berdasarkan umur dan tinggi badan. Bila nilai prediksi tidak sesuai dengan standar Indonesia, maka dilakukan penyesuaian nilai prediksi menggunakan standar Indonesia. Volume udara yang dihasilkan akan dibuat presentase pencapaian terhadap angka prediksi. Spirometri dapat dilakukan dalam bentuk social vital capacity (SVC) atau forced vital capacity (FVC). Pada SCV, pasien diminta bernafas secara normal 3 kali (mouthpiece sudah terpasang di mulut) sebelum menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan secara maksimal. Pada FVC, pasien diminta menarik nafas dalam-dalam sebelum mouth piece dimasukkan ke mulut dan dihembuskan secara maksimal. Pengukuran fungsi paru yang dilaporkan : 1) Forced vital capacity (FVC) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi secara maksimal, diukur dalam liter. 2) Forced Expiratory volume in one second (FEV1) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam liter. Bersama dengan FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru. 3) FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat nilainya sekitar 75% - 80%. 4) Peak Expiratory Flow (PEF), merupakan kecepatan pergerakan udara keluar dari paru-paru pada awal ekspirasi, diukur dalam liter/detik. 5) FEF 50% dan FEF 75%, optional, merupakan rata-rata aliran (kecepatan) udara keluar dari paru-paru selama pertengahan pernafasan (sering disebut juga sebagai MMEF(maximal mid-expiratory flow). Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi):8 1. Gangguan restriksi: Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC < 80% nilai prediksi. 2. Gangguan obstruksi: FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi. 3. Gangguan restriksi dan obstruksi: FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.

Bentuk spirogram adalah hasil dari spirometri. Beberapa hal yang menyebabkan spirogram tidak memenuhi syarat: a. b. c. d. e. f. Terburu-buru atau penarikan nafas yang salah Batuk Terminasi lebih awal Tertutupnya glottis Ekspirasi yang bervariasi Kebocoran

Setiap pengukuran sebaiknya dilakukan minimal 3 kali. Kriteria hasil spirogram yang reprodusibel (setelah 3 kali ekspirasi) adalah dua nilai FVC dan FEV1 dari 3 ekspirasi yang dilakukan menunjukkan variasi/perbedaan yang minimal (perbedaan kurang dari 5% atau 100 mL).8

b.

Oksimetri Oksimetri atau pulse oximetri adalah sebuah tes yang cepat dan non invansif untuk mengukur kadar saturasi oksigen dalam darah. Alat ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengetahui cacat jantung bawaan. Pemeriksaan ini lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasound (USG) di mid-trimester atau pemeriksaan rutin setelah bayi lahir.

6. Dampak rokok terhadap paru dan Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Dikatakan merokok merupakan penyebab utama timbulnya PPOM, termasuk emfisema paru-paru, bronkitis kronis, dan asma.

Hubungan antara merokok dan kanker paru-paru telah diteliti dalam 4-5 dekade terakhir ini. Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok, terutama sigaret, dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru. Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren, dan uretan, dikenal sebagai bahan karsinogen. Juga tar berhubungan dengan risiko terjadinya kanker. Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbul kanker paru-paru pada perokok mencapai 10-30 kali lebih sering. Perokok Pasif adalah orang-orang yang tidak merokok, namun menjadi korban rokok karena turut mengisap asap sampingan(di samping asap utama yang dihembuskan balik oleh perokok). Ada dua macam asap rokok yang mengganggu kesehatan. Asap utama (mainstream), adalah asap yang dihisap oleh si perokok. Asap sampingan (sidestream), adalah asap yang merupakan pembakaran dari ujung rokok, kemudian menyebar ke udara Asap sampingan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, karena tidak melalui proses penyaringan yang cukup. Dengan demikian pengisap asap sampingan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan kesehatan akibat rokok. Perokok pasif memiliki resiko yang cukup tinggi atas kanker paru-paru dan jantung koroner, serta gangguan pernafasan. Bagi anak-anak di bawah umur, terdapat resiko kematian mendadak akibat terpapar asap rokok. Setidaknya tercatat 4000 kematian perokok pasif per tahun di US. Efek merokok pada perokok pasif adalah : Pada dewasa: a. Efek terhadap Otak dan Kejiwaan, Stroke b. Rambut berbau tidak sedap c. Mata berair, kebutaan d. Iritasi hidung e. Kanker paru, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Asthma, Emphysema f. Penyumbatan Pembuluh Arteri, Serangan jantung, Angina

g. Pada wanita hamil; Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), keguguran spontan, lahir mati, komplikasi saat melahirkan. Pada Anak-anak: a. Rambut berbau tidak sedap b. Berhubungan dengan tumor otak, yang berefek jangka panjang, dan berpengaruh terhadap kejiwaan c. Mata berair, kebutaan

d. Otitis Media Kronik e. Pneumonia, Asthma, gejala saluran pernafasan kronik, dan penurunan fungsi paru f. Menurunnya penyerapan oksigen

g. Meningkatnya penyerapan nikotin h. Berhubungan dengan limfoma (kanker kelenjar getah bening) 7. Penyakit-penyakit respirasi yang mungkin diakibatkan oleh rokok a. ASMA BRONKHIAL Asma bronkial merupakan suatu gangguan inflamasi pada jalan napas yang diperankan oleh banyak sel dan elemen sel khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel sel epitel. Pada individu yang peka, inflamasi ini menyebabkan episode berulang mengi, sulit bernapas, nyeri dada dan batuk terutama Etiologi Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan penting ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronchus (hiperreaktivitas bronchus). Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan factor autonom, imunologis , infeksi, endokrin dan psikologis. Epidemiologi Kira-kira 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Belum ada penyelidikan menyeluruh mengenai angka kejadian asma pada anak di malam hari dan dini hari. Inflamasi juga menyebabkan

hiperresponsivitas bronchial yang sudah ada terhadap berbagai stimulus.

Indonesia,namun diperkirakan berkisar antara 5-10%. Asma dapat timbul pada segala umur;30% penderita bergejala pada umur 1 tahun,sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertama sebelum umur 4-5 tahun. Patogenesis Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh

bronchokonstriksi,hipersekresi mucus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan desquamasi sel epitel serta sel radang. Salah satu sel yang memegang peranan penting pada patogenesis asma ialah sel mast. Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetus misalnya allergen,infeksi,exercise dan lain-lain. Sel ini akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan bermacam-macam mediator. Selain sel mast,sel basofil dan beberapa sel lain dapat juga mengeluarkan mediator. Bila allergen sebagai pencetus maka allergen yang masuk kedalam tubuh merangsang sel plasma atau sel pembentuk antibodi lainnya untuk menghasilkan antibody reagenik,yang disebut juga Imunoglobulin E (Ig E). Selanjutnya Ig.E akan beredar dan menempel pada reseptor yang sesuai pada dinding sel mast. Sel

mast yang demikian disebut sel mast yang tersensitisasi. Apabila allergen yang serupa masuk kedalam tubuh, allergen tersebut akan menempel pada sel mast yang tersensitisasi dan kemudian akan terjadi degradasi dinding dan degranulasi sel mast. Mediator dapat bereaksi langsung dengan reseptor di mukosa bronchus sehingga menurunkan siklik AMP kemudian terjadi bronkokonstriksi. Mediator dapat juga menyebabkan bronkokonstriksi dengan mengiritasi reseptor iritan. Permeabilitas peningkatan epitel aktivitas juga meningkat iritan. karena Mediator infeksi,asap dapat rokok dengan

reseptor

pula

meninggikan

permeabilitas dinding kapiler sehingga IgE dan Leukosit masuk kedalam jaringan ikat bronkus. Dapat juga terjadi reaksi komplek antigen-antibody kemudian terjadi kerusakan leukosit,lisosom keluar,kerusakan jaringan setempat dan pengeluaran prostaglandin serta mediator lainnya. Prostaglandin F2 (PGI F2) menurunkan siklik AMP dan terjadi bronkokonstriksi. Proses Imunologi pada pasien asma bronchial Allergen dihadapkan ske sisitem imun oleh mak4rofag menyebabkan teraktivasinya CD4 yg kemudian memproduksi interleukin, utamanya IL-2, interferon,IL-4, 5 dan 8. Sitokin ini mengaktivasi sel2 lain termasuk limfosit B, PMN, makrofag, dan eosinofil Sel B menghassilkan IgE yang melekat ke reseptor sel mast dan mengakibatkan degranulasi sel mast ; iritan dapat secara langsung menstimulasi sel mast. Degranulasi sel mast melepaskan berbagai mediator seperti hisstamin, prostaglandin, leukotrien, dan sel kemotaktan inflamassi yang

menyebsabkan inflamasi jalan napas yang berat. Inflamasi ini menyebabkan bronkokonstrikssi, sekresi mucus dan udem mukosa yang mengkibatkan serangan akut Eosinofil, limfossit, PMN dan makrofag menyebabkan cedera jaringan secara langsung dan menstimulasi pelepasan sneuropeptida toksik yang dapat menyebabkan deskuamasi lebih lanjut pada epitel bronchial smengakibatkan peningkatan hiperresponsivitas bronchial. Sitokin inflamasi juga mengubah fungsi resptor muskarinik mengibatkan speningkatan kadar asetilkolin yang menyebsakan kontraksi otot polos bronkus dan secresi mucus. Pada penyakit alergi, bias terjadi respon asmatik lambat. Eosinofil melepaskan sneuropeptida dan limfosit kemudian diaktivasi lebih lanjut

mengakibatkan kekambuhan bronkokonstriksi pada 4 sampai 12 jam steralah serangan awal Bukti menunjukkan bahwa asma yangs tidak ditangani dapatmenybabkan deskuamais jangka panjang pada epitel bronkus dengan meningkatkan hiperresponsivitas bronkus dan terjadinya jaringan parut pada jalan napas dengan obstruksi jalan napas permanen, yaitu remodeling jalan napas (osbstruksi jalan napas ksronis) Klassifikasi Asma No . Parameter klinis kebutuhan obat dan faal paru Asma jarang ringan) - Frek. Serangan 1 - Lama .serangan - Intensitas serangan 2 - Diantara . serangan - Tidur dan aktivitas 3 - Pemeriksaan . fisik diluar serangan . 5 . 6 . - Obat pengendali 7 (anti inflamasi) . - Uji faal 8 paru (diluar serangan) . - Variabilitas 9 faal paru (bila ada . serangan) Variabilitas 15% Variabilitas >30% > Tidak perlu PEV/FEV 1>80% Perlu,non steroid PEF/FEV 1 60-80% 4 <1x/> <> Biasanya ringan Tanpa gejala Tidak terganggu Normal episodic (asma Asma sering sedang) >1x/ bulan > 1 minggu Biasanya sedang Sering gejala Sering terganggu Mungkin terganggu ada episodic (Asma Asma Persisten (Asma berat) Sering Hampir sepanjang tahun tidak

ada remisi. Biasanya berat Gejala siang

dan malam Sangat terganggu Tidak pernah normal. Perlu,steroid PEF/FEV 1 <> Variabilitas 50% >

Diagnosis Serangan batuk dan mengi (jenis ronkhi kering yang terdengar lebih musical atau sonor dibanding dengan ronkhi kering lainnya) berulang yang lebih nyata pada malam hari atau bila ada beban fisik.

Batuk malam yang menetap dan tidak berhasil diobati dengan obat batuk dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator,sangat mungkin merupakan asma. Diagnosa Banding Korpus alienum Penyakit paru Kronik Bronkiolitis akut Bronchitis Pemeriksaan Penunjang 1) Uji faal paru. Uji faal paru dikerjakan untuk menentukkan derajat obstruksi,menilai hasil provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR,FEV 1,PVC,FEV 1/FVC. 2) Foto rontgen thoraks. Pada foto thoraks akan tampak corakan paru yang meningkat. 3) Pemeriksaan darah dan uji tuberculin. Eosinofil dapat ditemukan pada darah tepi,secret hidung dan sputum.Bila ada infeksi didapatkan pula leukositosis PMN. Uji tuberculin diindikasikan karena jika terdapat tuberculosis dan tidak diobati,maka asmanyapun akan sulit dikontrol. 4) Uji kulit alergi dan Imunologi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusukan.Alergen yang digunakan adalah allergen yang banyak terdapat didaerahnya. Komplikasi Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk thoraks yaitu

membungkuk kedepan dan memanjang. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara. Bila secret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai.Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi akan terjadi bronchopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa disebut status asmatikus. Pengobatan

Tujuan tata laksana 1) Pasien dapat menjalani aktivitas normal. 2) sedikit mungkin angka absensi sekolah. 3) Gejala tidak timbul siang atau malam hari. 4) Uji fungsi paru senormal mungkin. 5) Kebutuhan obat seminimal mungkin. 6) Efek samping obat dapat dicegah. Asma episodic jarang. Cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator B agonis hirupan kerja pendek bila perlu saja.bila obat hirupan tidak ada atau tidak dapat digunakan maka B agonis diberikan peroral. Asma Episodik Sering. Jika penggunaan B agonis hirupan sudah lebih dari 3 kali perminggu,atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan , maka penggunaan anti inflamasi sudah terindikasi. Anti inflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat 10 mg 2-4 kali/hari diberikan selama 6-8 minggu, kemudian evaluasi jika terkendali dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Asma persisten Asma berat. Steroid hirupan biasanya efektif dengan dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason arau budesonide dengan dosis 200 ug/hari,dosis yang masih dianggap aman adalah 400 ug/hari. Sebelum menaikkan dosis steroid hirupan, dapat dipertimbangkan penambahan salah satu obat seperti B agonis kerja panjang atau B agonis lepas terkendali,atau teofilin lepas lambat atau anti leukotrien. Asma sangat berat. Pertimbangkan penambahan salah satu obat : - B agonis kerja panjang. - B agonis lepas terkendali - Teofilin lepas lambat - Antileukotrien. Prognosis

Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. b. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu obstruktif saluran napas , perlambatan aliran udara ekspirasi, progresif lambat dan irreversible. disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. PPOM lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. PPOM juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang diturunkan. Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang, dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM. Angka kematian karena emfisema dan bronkitis kronis pada perokok sigaret lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian karena PPOM pada bukan perokok. Sejalan dengan pertambahan usia, perokok sigaret akan mengalami penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada bukan perokok. Semakin banyak sigaret yang dihisap, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru-paru. Penyebab Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara

dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap. Bronkitis kronis adalah batuk-batuk berdahak lebih dari 3 bulan minimal dua tahun berturut-turut. (batuk menahun yang menetap), yang disertai dengan pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui (misalnya kanker paru-paru). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara. Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan

menghasilkan enzim-enzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Merokok akan mengakibatkan

kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak selsel seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir ke mulut dan membantu mengeluarkan bahan-bahan beracun. Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada awal usia pertengahan (terutama pada perokok). Patogenesis Phatogenesis bronchitis kronik Iritasi bronkus (asap rokok, polusi)

paralisis

bronkospasme

hipertrofi, hyperplasia kelenjar mukus

statis mucus obstruksi saluran napas

produksi mucus bertambah

infeksi kuman (sekunder)

erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan mukosa

obstruksi saluran napas yang irreversible (stenosis) Phatogenesis emfisema

Asap rokok dan iritasi lainnya

Sel epitel

alveolar maghrophag

MCP-1

CD8+lymphosyte Neutrophil chemotactic factor, interleukin-8, leukotine B4 Neuthropil chemotactic factors, interleukin-8, leukotriene B4 Neutrophil

protein inhibitor

Proteases:

neutrophil

elastase,cat hepsins, matrix metalloproteinases alveolar wall destruction( emphysema ) Faktor Resiko Merokok Polusi udara Hiperresponsif saluran napas Jenis kelamin laki-laki > perempuan Ras : kematian pada kulit putih > status ekonomi Faktor pekerjaan Defisiensi alpha-1antitripsin Gejala Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan sering disalah-artikan sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi

nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi kuning atau hijau karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak

nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita menjadi malas makan. Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung. Pada

stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut. Diagnosis 1) Pemeriksaan fisis Ekspirasi memanjang Mengi Tanda hiperinflasi Ronki basah kasar Sianosis

Untuk menunjukkan adanya sumbatan aliran udara dan untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pengukuran volume penghembusan nafas dalam 1 detik dengan menggunakan spirometri.

Pada penderita PPOM akan terjadi penurunan aliran udara selama penghembusan nafas. Jika PPOM terjadi pada usia muda, dicurigai adanya kekurangan alfa-1-antitripsin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar afa-1-antitripsin dalam darah.

2) Pemeriksaan radiologi a) Radiologi bronchitis kronik b) Umumnya normal 21% corakan bronkoalveolar bertambah

Radiologi emfisema Stadium awal normal Stadium lanjut tanda-tanda hiperinflasi :

Pengobatan

Radiolusen Diafragma mendatar Iga mendatar,sela iga lebar Ruang retrosternal melebar Jantung pendulum eyedrop appearance Bullae multiple

Karena merokok sigaret merupakan penyebab paling penting dari PPOM, maka pengobatan utama adalah berhenti merokok. Menghentikan kebiasaan merokok pada saat penyumbatan airan udara masih ringan atau sedang, akan memperlambat timbulnya sesak nafas. Tetapi, berhenti merokok pada stadium manapun dari penyakit ini, pasti akan memberikan banyak keuntungan. Penderita juga harus mencoba untuk menghindari pemaparan terhadap bahan iritan lainnnya di udara. Unsur-unsur dari penyumbatan aliran udara yang bisa diperbaiki adalah kejang otot, peradangan dan peningkatan jumlah lendir. Perbaikan dari unsur-unsur tersebut akan mengurangi gejala-gejala. Kejang otot bisa dikurangi dengan

memberikan bronkodilator, termasuk agonis reseptor beta-adrenergik (albuterol inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat. Peradangan bisa dikurangi dengan memberikan corticosteroid, tetapi hanya 20% penderita yang memberikan respon terhadap corticosteroid. Tidak ada

pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer dan bening. Pada PPOM yang berat, terapi pernafasan bisa membantu menghilangkan lendir di dada. Terapi oksigen jangka panjang akan memperpanjang hidup

penderita PPOM yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah. Oksigen diberikan 12 jam/hari. Hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah, memperbaiki fungsi mental dan memperbaiki gagal jantung akibat PPOM. Terapi oksigen juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas. Program latihan bisa dilakukan di rumah. Program ini bisa meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian penderita, menurunkan frekuensi dan lamanya perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kemampuan berlatih meskipun fungsi paru-parunya belum pulih sempurna. Untuk melatih kaki bisa dilakukan latihan sepeda statis, naik-

turun tangga dan berjalan. Untuk melatih lengan bisa dilakukan latihan angkat beban. Untuk penderita dengan kekurangan alfa-1-antitripsin yang berat, bisa diberikan protein pengganti melalui pemberian protein melalui infus setiap minggu. Pencangkokan paru-paru bisa dilakukan pada penderita dibawah usia 50 tahun. Pada penderita dengan emfisema yang berat, bisa dilakukan pembedahan yang disebut operasi reduksi volume paru-paru. Prosedurnya rumit dan penderita harus berhenti merokok setidaknya 6 bulan sebelum pembedahan dan menjalani program latihan intensif. Pembedahan akan memperbaiki fungsi paru-paru dan kemampuan berlatih. Prognosis 30% penderita PPOM dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, dan 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa

disebabkan oleh kegagalan pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru), aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru). Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru. c. TB PARU Defenisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan taham asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Etiologi 1) Mycobacterium Tuberculosis Mycobacterium tuberculosis merupakan mikroorganisme yang

menyebabkan penyakit TB paru, berbentuk basil sedikit melengkung, dan sifatnya aerob. Kuman ini memiliki dinding sel dengan penyusun struktur dinding sel paling tinggi adalah lipid. Pada pengecatan gram, kuman ini resisten, namun dengan pegecatan fuchsin, kuman ini dapat menyerap warna dan tidak mudah diuraikan warnanya dengan asam-alkohol. Oleh karena itu, bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan asam. Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

Mycobacterium tuberculosis hidup dan berkembang biak pada tekanan O2 sebesar 140 mm H2O di paru dan dapat hidup di luar paru dalam lingkungan mikro aerofilik. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet yang berada di udara yang dihasilkan oleh orang yang terinfeksi dengan gejala TB pulmoner ataupun laryngeal, seperti batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi. Partikel tersebut, memiliki ukuran 1-5 micrometer, dapat tetap berada di udara pada waktu yang lama. 2) Cara Penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Epidemiologi Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 19831993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit, lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan demografi.

Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama dengan National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses penyelesaian. Survei ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak dari 20.000 rumah tangga di 30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru yang dapat digunakan untuk memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi, sehingga diperoleh perkiraan yang lebih akurat mengenai masalah TBC. Dari data tahun 1997-2004 [Attachment: Tabel Identifikasi Kasus 1997-2004 dan Tingkat Pelaporan 1995 2000] terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun. [Attachment : Age Specific Notification Rate 2004] Patogenesis 1) Tuberkulosis primer Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk pada paru-paru, hal ini akan menginisiasi sistem imun non-spesifik melalui sel efektor makrofag alveolar. Hal ini akan menimbulkan TB Paru primer. Dan kerentanan seseorang akan infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan oleh beberapa faktor, seperti status imun seseorang dan genetik. Pada beberapa orang dengan gen NRAMP-1 (Natural Resistance associated macrophage protein-1), akan memudahkan seseorang untuk terinfeksi dan menyulitkan terapi. Bakteri ini bermultiplikasi secara intraseluler di dalam makrofag jika sel imun tidak dapat menghancurkan atau tidak dapat menginhibisi bakteri tersebut. Proses ini terjadi secara berulang-ulang, dan pada akhirnya akan memasuki kelenjar limfe regional dan berlanjut pada kelenjar limfe hilus dan menyebabkan limfadenopati daerah hilus (Robins, 2004). Ketika sistem imun spesifik mulai

berkembang, efektivitas sistem imun untuk membatasi daerah infeksi maupun multiplikasi menjadi semakin baik. Makrofag yang telah

tersensitisasi akan berkembang menjadi histiosit epitelial. Histiosit dan sel T-Limfosit akan beragregasi menjadi gumpalan kecil sehingga akan membentuk granuloma. Di dalam granuloma, sel T-limfosit CD4 akan

mensekresikan sitokin, seperti Interferon-gamma, yang akan merangsang makrofag untuk lebih aktif dalam membunuh kuman. Sel T-limfosit CD8 juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis. Dapat pula terbentuk pusat nekrosis yang terjadi di dalam granuloma (Aditama, 2006). Pada tahap ini, pasien asimptomatik dan bisa menyembuh, namun beberapa basil yang mengalami masa dorman, dan dapat hidup selama bertahun-tahun, hal ini disebut TB latent yang dapat dideteksi dengan protein purified derivative tuberculin skin test atau melalui identifikasi kalsifikasi pada fokus infeksi maupun di limfonodus regional. 2) Tuberkulosis post-primer Kuman yang dormant kemudian pada tuberkulosis infeksi primer akan menjadi

munculbertahun-yahun

sebagai

endogen

tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer). Mayoritas reinfeksi menjadi 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun, seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus paru dan superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru (Sudoyo et al, 2007) Hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya nekrosis kaseosa yang sangat khas untuk gambaran TB Paru. Terjadinya hipersensitivitas ini menyebabkan matinya bakteri, namun juga menyebabkan kerusakan jaringan (Robins, 2004). Gejala Penyakit TB paru Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Gejala sistemik/umum: Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul Penurunan nafsu makan dan berat badan Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus: Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi,suara nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan

pemeriksaan serologi/darah. Diagnosis TB Paru Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). Pemeriksaan patologi anatomi (PA). Rontgen dada (thorax photo). Uji tuberkulin. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga

sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Uji Tuberkulin Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 6 jarum berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan Tween 80 (Alatas, 2007). Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas (Alatas, 2007) : a) Eritema karena vasodilatasi perifer b) Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibodi c) Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus. Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh sensitisi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini biasanya sementaraselama beberapa bulan sampai beberapa tahundan menghasilkan indurasi kurang dari 10 12 mm. Vaksinasi sebelumnya ( BCG ) juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 3 tahun kemudian pada penderitayang pada mulanya memiliki uji kulit positif. Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak anak dan tuberkulosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.

Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru: Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran. Pembesaran kelenjar paratrakeal. Penyebaran milier. Penyebaran bronkogen Atelektasis Pleuritis dengan efusi. Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya. Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kearah normal lagi. 2. Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan, tetapi kadang kadang tidak mudah untuk menemukan sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak anak. Pada pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti membutuhkan biaya yang banyak. Adapun bahan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah: Bilasan lambung Sekret bronkus Sputum Cairan pleura Liquor cerebrospinalis Cairan asites

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurang nya ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah aga tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah : 1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi 2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan. Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan.. Penyuluhan TB dilakukan berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku Masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan peranserta masyarakat dalam penanggulangan TB. Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk; 1) menyembuhkan penderita sampai sembuh, 2) mencegah kematian, 3) mencegah kekambuhan dan 4) menurunkan tingkat penularan. Prinsip Pengobatan Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan Regimen Pengobatan Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.

Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi. Angka 2 didepan seperti pada 2HRZE, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada 4H3R3 artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan). Sebagai contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya : Tahap awal/intensif adalah 2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu. Kategori 1 2HRZE/4H3R3 2HRZE/4HR 2HRZE/6HE Kategori 2 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2HRZES/HRZE/5HRE Kategori 3 2HRZ/4H3R3 2HRZ/4HR 2HRZ/6HE Paduan OAT Yang Digunakan Di Indonesia Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia : Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3. Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3. Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan

(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa pengobatan. Obat Paket Tuberkulosis ini disediakan secara gratis melalui Institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah, terutama melalui Puskesmas, Balai Pengobatan TB paru, Rumah Sakit Umum dan Dokter Praktek Swasta yang telah bekerja sama dengan Direktorat

Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Depkes RI. KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: Penderita baru TB Paru BTA Positif. Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif yang sakit berat Penderita TB Ekstra Paru berat KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu: Penderita kambuh (relaps) Penderita gagal (failure) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk: Penderita baru BTA negatif dan rntgen positif sakit ringan, Penderita TB ekstra paru ringan. OAT SISIPAN (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan

kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. d. KANKER PARU Etiologi Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti daripada kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, 1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru. Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang bersifat karsinogen terhadap beberapa organ tubuh. Etiologi laiin dari kanker paru yang pernah dilaporkan adalah: 1) Yang berhubungan dengan zat karsinogen, seperti: Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma Radiasi ion pada pekerja tambang uranium Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida

2) Polusi udara 3) 4) Genetik Teori onkogenesis, yaitu terjadinya kanker paru didasari dari tampilnya gen supresor tumor dalam genom (onkogen). 5) Diet Epidemiologi Prevalensi kanker paru sangat tinggi,di USA tahun 2002 dilaporkan terdapat 169.400 kasus baru (merupakan 13% dari dari semua kanker baru yang terdiagnosis) dengan 154.900 kematian (merupakan 28% dari seluruh kematian akibat kanker). Di inggris prevalensi kejadiannya mencapai 40.000/tahun, di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak. Di RS Dharmais Jakarta tahun 1998 kanker paru menduduki urutan ke-3 sesudah kanker payudara dan leher rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang lebih 1.000.000 penduduk tiap tahunnya karena system pencatatan kita yang belum baik prevalensi pastinya belum diketahui. Di negara berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat antara lain karena konsumsi rokok yang

berlebihan seperti di Cina yang mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru mengenai pria 65% life time risk: 1:13 dan pada perempuan 1:20. Patogenesis masa tumor dalam bronkus penyumbatan pendesakan

- hipersekresi kelenjar mukosa - bronkospasme

ventilasi terganggu

gangguan faal paru restriktif obstruktif perubahan alveoli Gejala klinis Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa : Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen) Batuk darah Sesak napas Suara serak Sakit dada Sulit / sakit menelan Benjolan di pangkal leher Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat. Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti : Berat badan berkurang Nafsu makan hilang Demam hilang timbul Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary

osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologis

Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan metastasis. a) Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan

menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja. Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai difollow up yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut. Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik. b) CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa

gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. c) Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan CTscan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut. Pemeriksaan histopatologi a) Bronkoskopi Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjolbenjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah.

Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus. b) Biopsi aspirasi jarum Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif. c) Transbronchial Needle Aspiration (TBNA) TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal. d) Transbronchial Lung Biopsy (TBLB) Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.

a. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB) Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan CTscan. b. Biopsi lain Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura. c. Torakoskopi medik Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi. d. Sitologi sputum Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalam formalin 4%. Pengobatan Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi nonmedisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan. 1) Pembedahan

Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combine modality therapy, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun

pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis. Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD) : Syarat untuk reseksi paru a) Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik, VEP1>60% b) Resiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%, VEP1 > 60% 2) Radioterapi Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif. Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak. Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor o o o Staging penyakit Status tampilan Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :

1. Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan 2. Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA) Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 6000 cGy, dengan cara pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu. Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah : 1. Hb > 10 g% 2. Trombosit > 100.000/mm3 3. Leukosit > 3000/dl Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni : 1. PS < 70. 2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan. 3. Fungsi paru buruk. 4. Kemoterapi Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dan 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat dilakukan. Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen kemoterapi adalah: 1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin) 2. Respons obyektif satu obat antikanker s 15% 3. Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO 4. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada penilaian terjadi tumor progresif. Regimen untuk KPKBSK adalah : 1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin) 2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid) 3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin 4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin 5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila penderita menunjukkan respons yang memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA

setelah pemberian (sikius) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian. Evaluasi dilakukan terhadap 3. Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal 4. Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat badan 5. Respons obyektif 6. Efek samping obat

Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan 1. Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor hilang 100% dan keadan ini menetap lebih dari 4 minggu. 2. Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi < 100%. 3. Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau mengecil > 25% tetapi < 50%. 4. Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan ukuran tumor > 25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di tempat lain. Imunologis Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua yaitu humoral dan seluler. 1) Sistem Imun Humoral Peranan sistem imun humoral terhadap sel kanker Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu :

a) Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Pada ADCC


antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak Antibodi yang sebagai dapat jembatan antara efektor dan target.

terikat

merangsang

pelepasan

superoksida

atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag,Lekosit PMN

(polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam

b) Complement Dependent Cytotoxicity, Di

sini

pengikatan

antibodi

ke

permukaan sel tumormenyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C' 1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C' akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgM dalam merangsang proses complement dependent citotoxicity 2) Sistem Imun Seluler Peranan sistem imun seluler sel kanker Pada pemeriksaan patologianatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung

menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK ,Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK. a) Sitotoksitas melalui sel T Sitotoksitas melalui sel T Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan

penyebab rusaknya membran. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul asel Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL). Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel NK menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target

tumor yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin yang terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette Guerin (BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester,

glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid. Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat tumbuh di bawah pengaruh IL-2. b) Sitotoksisitas melalui makrofag Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT.Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional makrofag. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan tumor dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor mungkin menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status

fungsional makrofag dalam tumor juga berperan selain jumlahnya. Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN akan menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik, biokimiawi dan fungsi sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi sitotoksik nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan. 8. Pencegahan dan upaya penghentian yang dapat dilakukan Terapi Henti Merokok Tujuan terapi henti merokok adalah mengusahakan agar supaya perokok aktif berhenti merokok saat ini juga, bagi yang belum meroko dan bekas perokok tidak merokok agar supaya paparan asap rokok pada individu perokok aktif maupun perokok pasif tidak terjadi lagi. Tujuan lanjut adalah membuat agar supaya asap rokok tidak menjadi polutan udara napas tiap-tiap individu untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PPOK dan penyakit-penyakit lain akibat merokok. Terapi henti merokok terdiri atas tiga tahapan :persiapan, intervensi, dan mempertahankan (maintenance). Tahap persiapan bertujuan untuk meningkatkan motivasi perokok-peroko agar dapat mencapai keberhasilan berhenti merokok. Tahap intervensi yaitu melakukan eberapa usaha (atau kombinasi usaha) untuk membantu perokok agar dapat berhenti merokok. Tahap mempertahankan tetap berhenti merokok, meliputi dukungan berbagai pihak, adanya undang-undang atau peraturan pelindung, misalnya peraturan untuk tidak merokok di tempat umum, dan contoh tidak merokok atau menjadi panutan untuk tidak merokok. Tahap terakhir amat penting untuk bisa behenti merokok permanen. Dalam kepustakaan dijelaskan ada berbagai metode berhenti merokok, yang dapa dilaksanakan oleh diri sendiri (perokok), organisasi sukarela, organisasi formal, klinik berhenti merokok dan sebagainya, yang telah banyak dilakukan di luar negeri. Di Indonesia terapi henti rokok masih terbatas dan dilakukan atas inisiatif perokok sendiri. Beberapa metode terapi henti rokok: Pengobatan mandiri (self-care). Perokok tentunya sudah ada keinginan untuk berhenti merokok, atas inisiatif sendiriatas hasil motivasi lingkungannya. Pihak lain hanya membantu dengan alat-alat bantu aar perokok berhenti merokok. Alat bantu

tadi misalnya: Sistem filter rokok, kit henti merokok, audiotapes, video dan program computer untuk diikuti perokok dan sebagainya. Metode klinik dan kelompok. Ini merupakan metode henti merokok secara formal, dilaksana oleh unit-unit tertentu, ada yang dasarya sukarela, dan ada yang melakukannya dengan program komersial. Peserta umumnya terdiri atas kelompokkelompok dan menjalani program henti merokok berdasarkan nprogram yang telah disiapkan dengan baik. Suatu contoh, di Amerika Serikat , ACS helping smoker quit clinic, merupakan klinik henti merokok menerapkan pendeatan adukasional

terstandardisasi dengan pemandu henti merokok khusus, petunjuk tercetak, film dan presentant terlatih sukarea. Metode Medikasi (pengobatan). Disini obat-obatan diperlukan untuk membantu perokok berhenti merokok dan mengatasi akibat merokok, Misalnya pengunaan obat Lobelin untuk henti merokok disertai dengan program edukasi atau kerjasama dengan klinik henti merokok tertentu. Lobelin adalah obat untuk substitusi nikotin dalam bentuk tablet, lozenges, permen atau injeksi. Pada metode ini yan terkenal adala nicotine replacement therapy. Terapi ini dipakai untuk mengatasi sementara akibat dari henti merokok (efek psikologis dan keterantngan nikotin). Contoh, Nicotine

polacrilex gum, obat berisi 2 mg nikotin yang dapat mengeluarkannikotin bertahap (show release of nicotine). Pengunaannya hanya dalam waktu 3 bulan. Bentuk obat lain yang mengeluarkan nikotin adalah : bentuk plester (pemberian transdermal),

nikotin hirup, nasal nicotine solution, dan sebagainya. Hendaknya pengguanaan nikotin ini atas petunjuk dokter erhubungan adanya indikasi ataupu keterbatasan (indikasi kontra). Terapi henti rokok dapat juga dengan menggunakan obat yang bernama Varenicline. Varenicline adalah obat tidak bernikotin pertama yang secara khusus diciptakan untuk berhenti merokok. Obat ini bekerja sebagai reseptor yang dapat mengurangi gejala kecanduan. Varenicline memiliki cara kerja yang unik dengan menghalangi nikotin yang menempel pada otak. Varenicline juga mampu mengurangi rasa nikmat yang ditimbulkan oleh rokok jika seorang pasien merokok kembali. Terapi ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu; untuk tahap awal, pasien diberikan dosis awal Varenicline sebanyak 0,5 mg selama beberapa hari. Setelah itu dilanjutkan dengan 1 mg Varenicline hingga dosis tetap Varenicline yang harus diminum dua kali sehari. Metode perilaku merokok. Terapi modifikasi perilaku merokok untuk

menghentikan merokok dengan mengubah perilaku merokok, yang dapat dilakukan oleh peroko sendiri (self-management technique). Contoh, misalnya perokok mengkonsumsi rokok dengan kandungan nikotin dikurangi bertahap : 30%, 60% dan

90% dalam jangka waktu 3 minggu, kemudian berhenti tidak merokok. Hasilnya kurng memuaskan. Nasehat oleh dokter. perokok diharapkan berhnti merokok dengan bantuan nasehat dokter, yaitu terhadap perokok-perokok yang kebetulan menjadi pasiennya. Dalam hal ini dokter selain mempunyai kemampuan juga motivasi untuk

mempengaruhi, mendidik pasiennya sehingga mau berhenti merokok. Selain itu, perawat, dokter gigi, farmasis, atau respiratory therapist juga dianggap mempunyai kemampuan membantu pasiennya untuk berhenti merokok. Metode program mass media dan komunitas. Ini merupakan cara yang penting untuk motivasi sejumlah besar perokok untuk berhenti meokok dengan bantuan radio dan televise, ataupun Koran. Anjuran bagi perokok dapat ditampilkan pada media tersebut. Program komunitas untuk mengajak para perokok untuk tidak atau berhenti merokok misalnya dilakukan dengan kampanye anti merokok, membuat larangan merokok di tempat umum dan kalau dilanggar terkena denda dan sebagainya.

You might also like