You are on page 1of 30

LAPORAN KASUS KELOMPOK

EPILEPSI

Oleh Sapto Sutardi Eka Kurniawan Muhammad Fadillah H1A 003 044 H1A 005 016 H1A 007 041

Pembimbing dr. I Wayan Gede Sugiharta, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA 2013

BAB I PENDAHULUAN
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penangani penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1

Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, terbukti dengan adanya istilah-istilah bahasa dikenal untuk penyakit ini seperti sawan, tapi pengertian akan penyakit ini masih kurang bahkan salah sehingga penderita digolongkan dalam penyakit gila, kutukan dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.2

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial,

maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3 Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.4,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 DEFINISI EPILEPSI Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.6 Epilepsi dapat didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.7 Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.6 2.2 EPIDEMIOLOGI Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000.3 Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.1,3,6
4

2.3 ETIOLOGI Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 8 Bila ditinjau dari faktor etiologis, epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok : 8 1. Epilepsi idiopatik Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan. Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik . 2. Epilepsi simtomatik Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.

2.3 PATOFISIOLOGI Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan. Terjadinya epilepsi sampai saat ini belum terungkap secara rinci.8 Beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, misalnya : 8 1. Gangguan pada membran sel neuron Potensial sel membran neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natrium yang rendah di dalam sel pada keadaan normal. Bila keseimbangan terganggu, sifat semipermeabel berubah, sehingga ion natrium dan kalium dapat berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan kadar potensial yang menyertainya. Semua konvulsi, apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel. 2. Gangguan pada mekanisme inhibisi presinap dan pascasinap Transmiter eksitasi (asetilkolin, asam glutamat) mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Gangguan sintesis GABA menyebabkan eksitasi lebih unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi

3. Sel Glia Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstrasel disekitar neuron dan terminal presinap. Pada keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstrasel dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstrasel dibanding intrasel dapat mendepolarisasi membran neuron. Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Bila sekelompok sel neuron tercetus maka didapatkan 3 kemungkinan : 8 1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti 2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, tetapi tidak melibatkan seluruh otak kemudian menjumpai tahanan dan berhenti 3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak kemudian berhenti

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi parsial, sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi bergantung kepada letak serta fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik berlebih serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik terjadi bila lepas muatan melibatkan daerah motor di lobus frontalis. Gangguan sensori akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat. Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan talamus. Sel neuron di serebelum, di bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak mampu mencetuskan bangkitan epilepsi.8 Saat terjadi bangkitan kejang, aktivitas pemompaan natrium bertambah, dengan demikian kebutuhan akan senyawa ATP bertambah, dengan kata lain kebutuhan oksigen dan glukosa meningkat, maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun bila kejang berlangsung lama, ada kemungkinan kebutuhan akan oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati. 8

2.5 KLASIFIKASI BANGKITAN EPILEPSI Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Againts Epilepsi, 1981 : 9,10 1. Kejang Parsial Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada satu bagian tubuh dan biasanya disertai dengan aura. Kejang parsial timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer otak atau salah satu bagian dari hemisfer otak. Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran 2. Kejang Umum Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik neuron yang terjadi pada seluruh hemisfer otak secara simultan Absens (Petit Mal) Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. Mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satau atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. Klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. Tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, pupil dilatasi.

Tonik Klonik (grand mall) Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik. Atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. 3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru lahir termasuk golongan ini. 2.7 DIAGNOSIS Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.5 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.11 Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:5 - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekuensi serangan - Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.5,11 3. Pemeriksaan penunjang Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila : 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal

10

gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.5 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.5,11

2.8 FAKTOR-FAKTOR RISIKO EPILEPSI Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.12 1. Faktor prenatal Umur saat ibu hamil Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

11

dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, penyulit persalinan dan partus lama.12,13 Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. 12,13 Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti placenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita epilepsi pada anak, mendapatkan angka penyebab karena eklamsia sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya epilepsi. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR. Keadaan ini dapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat berlanjut pada epilepsi di kemudian hari. Penelitian oleh Sidenvall R dkk, mendapatkan hasil bahwa hipertensi selama kehamilan merupakan faktor risiko epilepsi pada anak. 12,13 Kehamilan primipara atau multipara Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi. Insiden epilepsi ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan ( partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak ) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara ( kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera

12

karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya. 12 Pemakaian bahan toksik Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan epilepsi. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko kerusakan janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya epilepsi. 12,13 2. Faktor natal Asfiksia Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Berat badan lahir Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat

menyebabkan terbentuknya fokus epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat

13

mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi. Kelahiran Prematur atau Postmatur Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 Minggu dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dari 42 minggu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan plesenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tak stabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti : berat bayi lebih dari 4000 gram, kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria. Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik ) dan hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa epilepsi.

14

Partus lama Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II : 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa epilepsi. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, seksio sesaria ). Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan

subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau udem otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya. Perdarahan intrakranial Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid, intraventrikuler /

periventrikuler atau intraserebral. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang.
15

3. Faktor postnatal Kejang Demam Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anak-anak yang mengalami kejang demam tersebut tidak mengalami infeksi susunan pusat atau gangguan elektrolit akut. Umumnya anak yang mengalami kejang demam berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering usia 18 bulan. Berapa batas umur kejang demam tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan yang mengambil batas antara 3 bulan sampai 5 tahun, ada yang yang menggunakan batas bawah adalah 1 bulan. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Awitan di atas 6 tahun sangat jarang. Trauma kepala / cedera kepala Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental. Dampak yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa jaringan sikatrik, yang tidak memberikan gejala klinis awal namun dalam kurun waktu 3 - 5 tahun akan menjadi fokus epilepsi. Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3 golongan yaitu:
-

Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis dari jaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap kejang. Biasanya berhubungan dengan faktor genetik.

Bangkitan dini, timbul dalam 24 - 48 jam, pada cedera kepala hebat sebagai akibat dari udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi dan nekrosis. Bangkitan epilepsi biasanya bersifat kejang umum.

Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah cedera kepala, bangkitan berasal dari parut serebro-meningeal akibat trauma yang telah dibuktikan baik secara anatomis, maupun elektro-fisiologis.

16

Infeksi susunan saraf pusat. Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan epilepsi akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya epilepsi. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Epilepsi yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya ingat yang berat dan kombinasi epilepsi dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan defisit N. kranialis serta epilepsi. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2- 3 tahun kemudian menimbulkan epilepsi. Epilepsi akibat toksik Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang . Beberapa jenis obat dapat menjadi penyebab epilepsi, yang diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti epileptik, opium, obat anestetik dan anti depresan. Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12 24 jam setelah mengkonsumsi alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan menyebabkan serangan epilepsi.

17

Gangguan Metabolik Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium dan sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan epilepsi parsial. 2.9 DIAGNOSIS BANDING 1. Sinkope Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun mendadak, biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasuskasus terjadi akibat gangguan emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan dara rendah. Dengan diaringkan horizontal penderita segera membaik. 14,15 2. Hipoglikemia Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering. Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.14 3. Histeria Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita terutama antara 7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi. Timbulnya serangan sering berhubungaqn dengan stress. 14

18

2.10 TATALAKSANA Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.15 Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 16 Prinsip pengobatan epilepsi: 16 1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi 2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi 3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal 4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang. OAE pilihan pertama dan kedua : 16 1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder) OAE I OAE II : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin : Benzodiazepin, asam valproat

2. Serangn tonik klonik OAE I OAE II :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat : Benzodiazepin, asam valproat

3. Serangan absens OAE I OAE II : Etosuksimid, asam valproat : Benzodiazepin

4. Serangan mioklonik OAE I : Benzodiazepin, asam valproat

19

OAE II

: Etosuksimid

5. Serangan tonik, klonik, atonik Semua OAE kecuali etosuksinid

Syarat penghentian obat anti epilepsi: 16 1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan 2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan 3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama 2.11 PROGNOSIS Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah

20

mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur. 16 Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.17 Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 17

21

BAB III LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama Lengkap Umur Jenis kelamin Alamat Status dalam keluarga Identitas Keluarga : An. M : 7 tahun : Perempuan : Praya : Anak kandung : Ibu Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Masuk RS tanggal Diagnosis Masuk Keluar RS tanggal Lama Perawatan Keadaan saat KRS Ny. S. M. 40 th SD IRT : 12 Maret 2013 : Epilepsi : 12 Maret 2013 : 1 hari : atas persetujuan dokter Ayah Tn. M. H. T. 47 th Tidak tamat SD Wiraswasta

II. ANAMNESIS (tanggal 13 Maret 2013 diberitahu ibu pasien) Keluhan Utama : Kejang Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien dibawa ke IRD RSUD Praya dikeluhkan pernah kejang 2 kali sebelum MRS, kejang pertama dialami sekitar 6 jam sebelum MRS dengan, kejang berikutnya 2 jam setelah kejang pertama, lama kejang masingmasing selama 10 menit, sekali kejang biasanya berlangsung sampai 1 menit, saat kejang pada awalnya tangan dan kaki pasien menekuk serta

22

tubuh pasien ikut menekuk, beberapa saat kemudian kaki dan tangan pasien menjadi lurus dan kaku, mata pasien mendelik ke atas, keluar sedikit busa dari mulut pasien. Selama di IRD pasien mengalami kejang serupa selama 10 menit.Sebelum keluhan kejang ini pasien mengalami agak demam sejak 1 hari sebelumnya. Batuk, pilek, dan sesak disangkal. Nafsu makan dan minum tidak dikeluhkan, mual (-), muntah (-). BAB (+) normal, konsistensi lunak, frekuensi 1-2 kali sehari, darah (-), nyeri (-). BAK (+) warnajernih-kekuningan, frekuensi 3-4 kali sehari, darah (-), nyeri (-). Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien pernah mengalami kejang sebelumnya. Kejang pertama kali, ketika pasien berumur 1 tahun, dengan durasi sekitar 10 menit, sebanyak 1 kali, dan ditangani oleh dukun setelah itu diakui kondisi pasien membaik. Kejang ini diawali dengan demam tinggi. Kejang berikutnya dialami pasien ketika pasien berumur 2 tahun, dengan durasi sekitar 10 menit, sebanyak 1 kali, dan di rawat inap di RSUD Praya selama dua hari, setelah itu kondisi pasien membaik. Pada usia sekitar 3 tahun, pasien pernah mengalami kejang lagi setelah obat yang didapatkan dari RSUD Praya habis. Kejang yang ketiga ini tidak didahului oleh demam. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada dalam keluarga yang pernah mengalami keluhan yang serupa dengan pasien. Riwayat ayan dalam keluarga disangkal. Riwayat Pengobatan Saat pasien mengalami serangan ke dua, di RSUD Praya pasien mendapatkan obat Depakene sirup. Dokter meminta pasien meminum obat tersebut selama 2 tahun, dan pasien diharuskan mengontrol ke RSUD Praya setiap obat akan habis.

23

Riwayat Penyakit Sosial Pasien berasal dari keluarga menengah ke bawah.

Riwayat Keluarga (Ikhtisar) Pasien adalah satu-satunya anak dari ibu pasein.

Riwayat Pribadi 1. Riwayat Kehamilan dan persalinan Ibu pasien mengaku rutin melakukan ANC di Posyandu selama kehamilan.Ibu pasein mengaku tidak pernah sakit selam masa kehamilan.Pasien dilahirkan SC di RSUD Praya, langsung menangis, dan berat badan lahir 4.200 gram. 2. Riwayat Nutrisi Pasien mendapatkan ASI eksklusif sampai berusia 6 bulan. Pasien mendapat PASI setelah berusia 6 bulan, dan mulai makan nasi pada usia sekitar 1 tahun. Minum ASI terakhir samapai usia 2 tahun. 3. Pertumbuhan dan Kepandaian Samapai usia 7 tahun ini, pasien hanya bisa mengucapkan kata-kata saja, dan belum bisa membuat kalimat serta belum bisa mengerti ungkapan lawan bicaranya. 4. Vaksinasi Pasien selalu mendapat imunisasi sesuai jadwal yang dilakukan di Posyandu. 5. Sosial ekonomi dan lingkungan Pasien tinggal bersama orang tuanya.Penghasilan orang tua pasien penghasilannya sekitar Rp 800.000,- setiap bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 13Maret 2013, jam 09.00) o Kesan umum o Kesadaran o GCS o Fungsi Vital : Sedang : Compos Mentis : E4V5M6

24

Nadi Pernapasan T ax CRT Status Gizi

: 96 kali/menit, isi dan tegangan kuat, irama teratur : 26 kali/menit teratur tipe torakoabdominal : 37,7oC : < 2 detik

Berat Badan : 18 kg Panjang Badan: 115 cm Umur : 7 tahun BB/U TB/U = -2.26 (underweight) = -2.02 (pendek)

BMI/U = -1.39 (kurus) Status General : o Kepala dan Leher : 1. Bentuk : Normochepali

2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), pupil isokor, refleks pupil (+/+), edema palpebra (-/-). 3. THT : Telinga : struktur dan ukuran telinga normal, otorhea (-) Hidung : napas cuping hidung (-), rinorhea (-) Tenggorok : faring tampak hiperemis, tonsil tampak membesar T2/T2 4. Mulut : bibir sianosis (-), lidah dan mukosa mulut normal, struktur gigi atas dan bawah normal, palatum normal 5. Leher : Pembesaran KGB servikal (-), Pembesaran KGB Supraklavikula (-), Pembesaran KGB aksiler (-) o Thorax : 1. Inspeksi simetris : Retraksi intercosta (-), pergerakan dinding dada

25

2. Palpasi

: Pergerakan dinding dada simetris, fremitus vokal

sama antara kiri dan kanan 3. Perkusi 4. Auskultasi: Pulmo : vesikuler (+/+) , Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-) o Abdomen : 1. Inspeksi : distensi (-) 2. Auskultasi : BU (+) N 3. Perkusi: timpani 4. Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), hepar, lien dan ginjal tidak teraba, massa (-). o Anggota Gerak: Tungkai Atas Kanan Akral hangat Edema Pucat Kelainan bentuk Pembengkakan Sendi Pembesaran KGB Aksiler Axilla Inguinal + Kiri + Tungkai Bawah Kanan + Kiri + :Pulmo : sonor pada kedua lapang paru

o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (+) pada tangan, ruam bekas alergi obat pada dorsum manus dekstra dan antebrachial dekstra, sklofuloderma (-)

26

o Urogenital : flank mass (-), NT (-), nyeri .ketok CVA (-); genital tidak dilakukan pemeriksaan o Vertebrae : tidak tampak kelainan IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (12 Maret 2013): WBC : 12,0 RBC HB HCT : 4,02 : 11,6 : 34,0

MCV : 84,7 MCH : 28,9 PLT : 206

V. DIAGNOSIS KERJA : Observasi konvulsi e.c. susp. Epilepsi VI. DIAGNOSIS BANDING (-) VII. RENCANA AWAL a. Diagnostik i. ii. Laboratorium: GDS dan elektrolit Elektroensefalografi

b. Terapeutik O2 1-2 lpm (k/p), jika kejang. IVFD D5%1/2 NS 8 tpm Asam Valproat o 15~40 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis pemberian 15 = 285 mg/hari 95 mg/pemberian ~ 40 = 760 mg/hari 253 mg/pemberian. Pemberian: 1 sendok teh (5 ml) = 250 mg.

Inj. Diazepam IV bila kejang: o Dosis: 0,5 mg/kgBB/pemberian Pemberian: 0,5 mg x 19kg = 9,5 mg.

27

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus di atas, pasien perempuan berusia 7 tahun didiagnosis dengan observasi konvulsi ec susp.epilepsi. Epilepsi merupakan suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Bangkitan epilepsy terdiri dari dua tipe, tipe parsial dan tipe umum. Gambaran kejang yaitu awalnya tangan dan kaki pasien menekuk serta tubuh pasien ikut menekuk, beberapa saat kemudian kaki dan tangan pasien menjadi lurus dan kaku, mata pasien mendelik ke atas, keluar sedikit busa dari mulut pasien. sehingga dapat diklasifikasikan sebagai kejang generalisata tipe tonik klonik (grand mal) yang merupakan tipe bangkitan epilepsi yang paling sering terjadi. Faktor etiologi pada pasien ini kemungkinan adalah riwayat kejang demam sebanyak 3 kali yang dimulai sejak pasien berumur 1 tahun, serta ditambah dengan faktor predisposisi lainya yaitu riwayat kelahiran dimana pasien dilahirkan melalui tindakan seksio caesaria. Pada pemeriksaan fisik, neurologis, dan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan. Dari semua hasil yang didapatkan, maka ditegakkan diagnosis kerja pasien adalah suspect epilepsi. Namun untuk diagnosis pasti perlu dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pada pasien dilakukan penatalaksanaan Rawat inap untuk mengobservasi kejang, mengingat serangan kejang yang berulang. Pasien di pasangkan IVFD D51/2NS 8 tetes/menit : untuk memenuhi kebutuhan cairan dan glukosa yang menurun akibat kejang serta sebagai jalur untuk pemberian obat-obat parenteral. Jika kejang berulang diberikan obat anti epilepsi kerja cepat yaitu diazepam (9.5 mg/IV). Pasien disarankan untuk berobat jalan dengan memberikan depaken (asam valproat) sirup 3 x 1 CTH untuk dibawa pulang.

28

DAFTAR PUSTAKA

1.

World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 1997. Fact Sheet. URL http://www.who.int/inf-fs/ en/fact 168. html.

2.

Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-133.

3.

Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.

4.

Mardjono

(2003)

Pandangan

Umum

Tentang

Epilepsi

dan

Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148. 5. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma . 6. 7. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008 Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With andWithout Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34. 8. Lumbantobing SM. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam:

Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.197-203. 9. Ismael Sofyan. Klasifikasi Bangkitan Atau Serangan Kejang Pada Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.204-209. 10. Haslam Robert. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada Masa Anak. Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi-15. Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab Samik. Jakarta: EGC; 2000: h.20562060. 11. Chadwick D. Diagnosis of Epilepsy . Lancet. 1990; 336 : 291 - 295. 12. Bate L, Gardiner M. Moleculer Genetics of Human Epilepsies. 1999 URL http ://www.ermm.cbcu.cam.uk.

29

13. Lumbantobing.

Epilepsi

pada

Anak.

Naskah

Lengkap

Kedokteran

Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .1992 14. Soetomenggolo Taslim. Kelainan Menyerupai Epilepsi. Dalam:

Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.209-214 15. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113. 16. Lazuardi Samuel. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.226-241. 17. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.190-197.

30

You might also like