You are on page 1of 13

BAB 2 EKLAMPSIA 2.1. Definisi Preeklampsia merupakan komplikasi pada lebih dari 8% kehamilan.

Hal ini merupakan kondisi yang umum dapat dilihat oleh seorang anestesiolog obstetri dimana pasien yang sebelumnya sehat-sehat dapat berubah menjadi sangat kritis. Preeklampsia merupakan gejala yang timbul pada ibu hamil di atas usia 20 minggu, bersalin dan dalam masa nifas yang ditandai dengan adanya trias: hipertensi, proteinuria dan edema. Sedangkan seorang wanita dikatakan eklampsia bila memenuhi kriteria preeklampsia dan disertai dengan kejangkejang (yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis seperti epilepsi) dan atau koma.1,3,4 Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda di bawah ini:2 1. Tekanan darah dalam keadaan istirahat sistolik 160mmHg dan diastolik 110 mmHg 2. Proteinuria 5 gr/ jumlah urine selama 24 jam atau dipstick +4 3. Oliguria: produksi urine 400-500cc/24jam 4. Kenaikan kreatinin serum 5. Edema paru dan sianosis 6. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran kanan atas abdomen 7. Gangguan otak dan visus: perubahan kesadaran, nyeri kepala, scotomata, dan pandangan kabur 8. Sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme & Low Platelet ) 2.2. Etiologi Sampai saat ini penyebab eklampsia belum diketahui secara pasti dan belum dapat menjawab semua pertanyaan memuaskan. Zweifel (1916) menyebutkan bahwa preeklampsia adalah The disease of theories.3

Saat ini ada 4 hipotesis utama yang paling banyak diteliti : 1. Iskemik Plasenta Menurut kelompok Oxford, PE merupakan penyakit plasenta yang terdiri atas 2 tahap. Pada tahap pertama iskemik mempengaruhi arteri spiralis sehingga terjadi defisiensi aliran darah utero plasenta. Tahap kedua adalah merupakan kelanjutan iskemik plasenta baik pada ibu maupun janin. 2. VLDL versus aktivitas anti toksin Pada PE, asam lemak bebas sudah meningkat 15-20 minggu sebelum onset penyakit. Diantara asam lemak bebas ini, asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat meningkat sebesar berturut-turut 37%, 25% dan 25%. Inkubasi asam linoelat menurunkan kadar monofosfat guanosin siklik pada endotel sampai 70% sehingga kemampuannya untuk menginhibisi agregasi platelet sebesar 40%. Plasma albumin merupakan zat isoelektrik dengan kadar isoelektrik ISO (isoelectric point) pl 4,8 5,6. Semakin banyak asam lemak bebas terikat ke albumin maka pH 5,6 akan menurun menjadi 4,8 yang akan mengakibatkan toksisitas VLDL tidak tercegah dan terjadi PE. 3. Maladaptasi Imun Pada manusia, transplantasi organ akan ditolak bila terdapat perbedaan HLA donor resipien. Pada kehamilan normal tampak bahwa sel-sel trofoblas yang berhubungan dengan darah ibu tidak mengandung MHC kelas I dan kelas II alloantigen, sedang yang berhubungan dengan darah ibu mengandung adalah MHC kelas I positif. Sel-sel desidua banyak mengandung CD45 yang berasal dari sumsum tulang. Pada endometrium fase sekresi lanjut akan ditemukan CD 56 yang tidak umum dijumpai, suatu marker leukosit granul besar pada pembuluh darah perifer yang bersifat dominan. Leukosit ini sangat mirip dengan natural killer NK (penghancur alamiah) sel-sel walaupun tidak sekuat sel-sel NK pada pembuluh darah perifer.

4. Genetic Imprinting Cooper dan Liston meneliti bahwa penyakit PE dan E diwariskan melalui suatu gen tunggal. Hipotesa ini baru hanya sampai pada lambat berkembang mungkin disebabkan besarnya dana yang dibutuhkan serta teknologi dan peralatan yang sangat kompleks dan mahal yang dibutuhkan untuk membuktikan hipotesa ini. Namun menarik untuk diperhatikan bahwa salah satu predisposisi PE dan E yang kita kenal bukanlah lagi primigravida tetapi primi paternal. Walaupun seorang ibu multigravida, tetapi bila ia hamil dengan suami yang baru maka ia mempunyai kemungkinan yang sama besarnya untuk menderita PE/E dibanding dengan primigravida. Demikian juga kehamilan secara inseminasi buatan atau bayi tabung dengan menggunakan sperma donor. 2.3. Patofisiologi Eklampsia merupakan perkembangan dari preeklampsia berat menjadi kejang dan koma dan disangkakan sebagai ensefalopati hipertensi, edema vasogenik mengakibatkan iskemia, edema atau perdarahan dari korteks. Penyebab dari preeklampsia dan eklampsia masih belum jelas. Berbagai teori tentang etiologinya yaitu diantaranya adalah invasi trofoblas anormal, abnormalitas koagulasi, kerusakan endothel, maladaptasi kardiovaskular, fenomena imunologis, predisposisi genetik, serta defisiensi atau kelebihan diet. 5 Dipercaya bahwa terdapat aliran darah serebral abnormal pada saat hipertensi yang ekstrem. Mekanime kompensasi perfusi serebral terganggu. Pembuluh darah menjadi dilatasi dengan peningkatan permeabilitas dan terjadi edema serebral dan menyebabkan iskemik dan ensefalopati. Pada hipertensi yang ekstrem, kompensasi normal vasokonstriksi menjadi defektif. nekrosis fibrinoid dari dinding pembuluh darah. 5 Terdapat berbagai perubahan uterovaskular yang terjadi pada wanita yang hamil. Hal ini dipercaya oleh karena interaksi allograft antara fetal dan maternal dan menyebabkan perubahan vaskular sistemik dan lokal. Perubahan sistem ini Pada beberapa autopsi didapat temuan yang konsisten dengan adanya pembengkakan dan

berkontribusi pada pathologi otak pada eklampsia dengan menghambat regulasi perfusi serebral. 5 Banyak faktor yang berkontribusi pada fenomena ini. Disfungsi sel endothel terjadi pada pembuluh darah wanita dengan hipertensi. Faktor yang berhubungan dengan difungsi endothel adalah seperti cellular fibronectin, von Willebrand factor, cell adhesion molecule (seperi, P-selectin, vascular endothelial adhesion molecule-1 [VCAM-1], dan intercellular adhesion molecle-1 [ICAM1]), dan sitokin (seperti, interleukin-6[IL-6] dan tumor necrosis factor- [TNF-]) telah terbukti meningkat pada sirkulasi sistemik dari wanita yang menderita penyakit ini. Antiangioogenic factor seperti placental protein fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) dan activin A dipercaya berantagonis dengan VEGF. Peningkatan level dari protein-protein ini menyebabkan reduksi dari VEGF dan menginduksi terjadinya disfungsi endothel sistemik dan lokal. 5 Reactive oxygen species telah ditunjukkan berhubungan dengan banyak proses seluler seperti angiogenesis, pertumbuhan jaringan, dan differensiasi. Oxidative stress telah ditunjukkan menstimulasi produksi Activin A dan sekresi dari sel plasenta dan endothel. Peningkatan level dari activin A secara signifikan berhubungan dengan stress oksidatif. Selain itu, stress oksidatif juga dihubungkan dengan disfungsi endothel pada pasien preeklampsia. Penelitian pada model tikus hamil telah ditemukan bahwa terdapat disregulasi dari ROS signaling pathway. Bocornya protein dari sirkulasi dan edema anasarka merupakan sekuel dari disfungsi endothel dan merupakan salah satu faktor penentu pada preeklampsia dan eklampsia. 5 Dari penelitian juga ditemukan bahwa stress oksidatif, inflamsi, dan disfungsi sel endothel lebih lanjut akan dimediasi oleh peningkatan aktifitas leukosit sistemik. Penelitian histokimia menunjukkan adanya peningkatan infiltrasi neutrofil yang predominan pada pembuluh darah pada pasien dengan eklampsia. 5 Sebagian besar gejala yang berhubungan dengan preeklampsia, termasuk iskemia plasenta, vasokonstriksi sistemik, dan peningkatan aggregasi platelet, disebabkan oleh ketidakseimbangan produksi dari prostasiklin dan tromboksan.

Selama kehamilan normal plasenta memproduksi jumlah yang seimbang diantara kedua prostaglandin ini, namun pada kehamilan preeklampsia, terdapat 7 kali lebih banyak tromboksan daripada prostasiklin. Etiologi alternatif lainnya juga berhubungan dengan penghambatan migrasi normal trofoblas dari arteriol plasenta selama trimester kedua, sehingga menghambat sirkulasi plasenta dengan resistensi rendah dan aliran tinggi untuk berkembang. Kerusakan endothel juga menjadi sentral dari perkembangan preeklampsia dan terjadi oleh karena berkurangnya perfusi plasenta dan adanya produksi dan pelepasan substansia-substansia (kemungkinana lipid peroxidase). Fungsi endothel abnormal berkontribusi dalam peningkatan dari resistensi perifer dan abnormalitas lainnya pada preeklampsia melalui pelepasan dari fibronectin, endothelin, dan substansia lainnya. 6

Gambar 2.1 Perbandingan antara keseimbangan dari prostasiklin dan tromboksan pada kehamilan normal dengan ketidakseimbangan dari peningkatan tromboksan dan penurunan prostasiklin pada kehamilan preeklamsia.

Iskemia plasenta diakibatkan oleh pelepasan renin uterus dan peningkatan angiotensin. Vasokonstriksi arteriol yang luas terjadi, menyebabkan hipertensi, hipoksia, dan kerusakan endothel. Perlengketan platelet pada tempat kerusakan endothel dapat menyebabkan koagulopati. Peningkatan sekresi aldosteron yag dimediasi angiotensin dapat menyebabkan reabsorpsi dari sodium dan edema. Proteinuria juga dapat disebabkan oleh iskemia plasenta, dimana akan menyebabkan degenerasi jaringan lokal dan melepaskan tromboplastin sehingga menyebabkan deposisi dari fibrin pada pembuluh darah glomerular yanng konstriksi, dan selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas albumin dan protein plasma lainnya. Lebih lanjut, dipercaya bahwa penurunan produksi dari prostaglandin E, vasodilator poten yang diskresikan oleh trofoblas, yang secara normal akan menyeimbangkan efek hipertensi dari sistem renin-angiotensi. Sindroma HELLP yang merupakan bentuk khusu dari preeklampsia berat ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan emzim liver, dan jumlah platelet yang rendah (trombositopenia). Sebaliknya, peningkatan tekanan darah dan proteinuria dapat hanya ringan saja. 6

Gambar 2.2 Skema perubahan patofisiologis dari preeklampsia-eklampsia pada kehamilan.

Preeklampsia-eklampsia

berat

merupakan

penyakit

multisistem.

Peningkatan aliran darah serebral secara global tidak berkurang, namun hipoperfusi fokal dapat terjadi. Pemeriksaan postmortem menunjukkan adanya

nekrosis di bagian proksimal dari prekapiler yang mengalami trmbosis, menunjukkana adanya vsokonstriksi yang kuat. Edema serebral dan fokus kecil degeneratif dihubungkan dengan hipoksia. Perdarahan petekial adalah umum terjadi pada awal onset dari konvulsi. Gejala yang berhubungan pada perubahan ini seperti nyeri kepala, vertigo, kebutaan kortikal, hiperrefleksia, dan konvulsi. Peningkatan tekanan darah berhubungan buruk dengan insidensi kejang. Perdarahan dan edema serebral merupakan penyebab 50% dari kematian oleh karena preeklampsia-eklampsia. 6 Konstriksi arteriol okular yang kuat menyebabkan penglihatan yang kabur, bahkan kebutaan yang temporer. Gagal jantung dapat terjadi ppada kasus yang berat sebagai akibat dari vasokonstriksi perifer dan peningkatan viskositas darah sekunder akibat hemokonsentrasi. Hipertrofi ventrikel kiri, perdarahan subendokardial, cloudy swelling, dan degenarsi lemak dan hialin dapat terjadi. 6 Penurunan suplai darah ke liver dapat menyebabkan nekrosis periportal. Perdarahan subkapsilar dapat menyebabkan nyri epigastrium. Sangat jarang, dapat juga terjadi ruptur dari kapsul liver yang sangat teregang dan perdarahan masif ke dalam rongga abdomen. Mungkin terdapat juga peningkatan AST, LDH, ALP serum, namun bilirubin tidak berubah. 6 Di ginjal, terdapat pembengkakan sel endothel glomerulus dan deposis fibrin, menyebabkan konstriksi dari lumen kapiler. Aliran darah renal dan glomerular filtration rate berkurang, sehingga terjadi penurunan klirens dari asam urat, dan pada kasus yang berat, sehingga penurunan klirens dari ureum dan kreatinin. Oliguria dan proteinuria merupakan gejala khas dari preeklampsia berat. Tingkat keparahan dari keterlibatan ginjal ditunjukkan dari derajat proteinuria, yang dapat mencapai level nfrotik yaitu 10-15g/24 jam. 6 Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi pulmoner telah dilaporkan pada beberapa kasus berat. Hal ini dipercaya bukan merupakan msalah klinis yang penting karena tekanan parsial oksigen arteri yang msih dalam batas normal. Sebaliknya edema jalan nafas, yang dapat terjadi pada preeklampsia berat, merupakan hal yang menjadi perhatian karena hal ini dapat menyebabkan kesulitan respiratorik dan susah untuk melakukan intubasi trakeal. Edema

pulmoner terjadi pada sekitar 2% dari pasien preeklampsia sebagai hasil dari gagal jantung, overload sirkulasi, ataupun aspirasi dari isi lambung selama terjadi konvulsi. 6 Penurunan dari aliran darah interviloous dapat terjadi akibat vasokonstriksi atau perkembangan dari lesi oklusif pada arteri desidua, meskipun tekanan darah maternal tinggi. Pemeriksaan histologis pada plasenta menunjukkan adanya iskemia noduler dan berbagai tingkat infark. Nekrosis dari jaringan pendukung dapat menyebabkan ruptur dari pembuluh darah kotiledon dan terjadi perdarahan. Selanjutnya dapat juga meluas secara retroplasental, menyebabkan abruptio plasenta. Penurunan aliran darah plasenra dapat menyebabkan hipoksia janin kronis serta malnutrisi. Resiko untuk terjadi IUGR, kelahiran prematur, dan kematian perinatal adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan normal dan berkorelasi dengan keparahan dari preeklampsia. 6 Meskipun preeklampsia terjadi retensi air dan sodium, namun perpindahan dari cairan dan protein dari intravaskular ke dalam kompartemen ekstravaskular dapat menyebabkan hipovolemia, hipoproteinemia, dan hemokonsentrasi. Fenomena ini lebih lanjut di perberat dengan adanya proteinuria. Resiko dari hipoperfusi uteroplasental dan outcome fetal yang jelek berhubungan dengan pengurangan plasma dan protein maternal. 6 2.4. Penanganan2,4,7 Prinsip penatalaksanaan eklampsia sama dengan preeklampsia berat. Dengan tujuan utama menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah mengizinkan. Pada dasarnya pengobatan eklampsia terdiri pengobatan medikamentosa dan obstetrik. Prinsip penanganan eklampsia adalah: 1. Menghentikan dan mencegah kejang 2. Mengatasi hipertensi dan penyulit 3. Mengatasi oksigenasi jaringan/mencegah asidosis 4. Terminasi kehamilan keadaan ibu

Dasar-dasar pengelolaan eklampsia menurut Pedoman Pengelolaan Hipertensi di Batam 2005 : 1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada ibu a. Selalu diingat ABC (Airway, Breathing, Circulation) b. Pastikan jalan nafas atas tetap tebruka c. Mengatasi dan mencegah kejang d. Koreksi hipoksemia dan acidemia e. Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis f. Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat. 2. Perawatan kejang a. Tempatkan pendenta di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang b. Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi trendelenburg dan posisi kepala lebih tinggi c. Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna mencegah aspirasi pneumonia d. Sisipkan spatel lidah antara lidah dan gigi rahang atas e. Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur f. Rail tempat tidur harus terpasang dan terkunci dengan kuat. 3. Perawatan koma a. Derajat kedalaman koma diukur dengan "Glasgow-Coma Scale" b. Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka c. Hindari decubitus d. Perhatikan nutrisi 4. Pengobatan Medisinal a. MgSO4 1) Loading dose - MgSO4 20% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit - MgSO4 40% (4gr) dalam larutan 10 cc IV/bolus selama 5-10 menit 2) Maintenance dose

10

- IVFD RL + MgSO4 40% (12gr) 30 cc 14 gtt/i 3) Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 gram IV Diberikan sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Phenobarbital 3-5 mg/kgBb IV perlahan-lahan b. Antibiotika dengan dosis yang cukup c. Perawatan pada serangan kejang - Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang - Masukkan tongue spatel ke mulut penderita - Kepala direndahkan dan lendir dihisap dari daerah nasofaring - Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur - Pemberian oksigen - Pasang kateter menetap d. Perawatan pada penderita koma : - Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Pittsburg Coma Scale Skor Tanda Vital (STV) - Perlu diperhatikan pencegahan terhadap dekubitus - Pada koma yang lama (> 24 jam) diberikan makanan melalui naso gastric tube (NGT) sonde feeding e. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika terdapat edem paru, gagal jantung dan edema anasarka. Anti hipertensi bila setelah pemberian MgSO4 TD sistole 180 mmHg atau diastole 120 mmHg

Laju jantung fetus serta kontraksi uterus harus selalu di awasi. Bradikardia fetus merupakan hal yang sering ditemukan selama kejang eklampsia dan dilaporkan terjadi selama 30 detik sampai 9 menit. Interval waktu dari onset kejang sampai pada jatunya laju jantung fetus adalah sekitar 5 menit atau kurang. Takikardia transisional dapat terjadi setelah bradikardia. Setelah bradikardia inisial, selama fase pemulihan, laju jantung janin dapat menunjukkan hilangnya

11

variabilitas jangka pendek dan panjang dan juga terdapat deselerasi akhir. Kelainan ini disebabkan mungkin karena berkurangnya aliran darah uterus yang disebabkan oleh vasospasme kuat dan hiperaktivitas uterus selama kejang. Jika laju jantung janin tidak membaik setelah kejang, evaluasi lebih lanjut harus dilakukan. Janin dengan pertumbuhan terhambat dan prematur memerlukan waktu lebih lama untuk pulih setelah kejang. Abruptio plasenta dapat terjadi jika hiperaktivitas uterus masih ada dan bradikardia fetus menetap. 1 Terapi defenitif dari preeklampsia-eklampsia adalah melahirkan fetus dan plasenta setelah pasien telah stabil terlebih dahulu. Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Jangan melakukan usaha apapun untuk melahirkan bayi baik pervaginam maupun seksio cesarea sampai fase akut dari kejang ataupun koma telah dilewati. Cara melahirkan bayi harus berdasarkan indikasi obstetri namun tetap diingat fakta bahwa persalinan pervaginam lebih dipilih dari sudut pandang ibu. Steroid dapat diberikan untuk mengantisipasi persalinan emergensi jika kehamilan kurang dari 32 minggu. Betamethasone 12 mg intramuscular setiap 24 jam X 2 dosis atau dexamethasone 6 mg intramuskular setiap 12 jam X 4 dosis adalah direkomendasikan. Penanganan nyeri maternal pada saat persalinan adalah vital dan dapat diatasi baik dengan opioid sistemik maupun anestesia epidural. Jika tidak ada malpresentasi fetus ataupun distress fetus, oksitosin ataupun prostaglandin dapat diberikan untuk menginduksi persalinan. Seksio cesarea dapat dipilih pada pasien dengan serviks yang tidak bagus dan umur kehamilan 30 minggu atau kurang, dimana induksi pada keadaan ini akan menghasilkan fase intrapartum yang lebih lama dan seringkali tidak berhasil untuk mencegah seksio cesarea dengan tingginya komplikasi intrapartum yang terjadi. Komplikasi intrapartum yang dapat terjadi adalah seperti pertumbuhan janin terhambat, pola denyut jantung bayi yang buruk (30%), serta abrupsio plasenta (23%). Tanpa memandang umur kehamilan, induksi yang lama dengan perburukan klinis yang signifikan dari seksio cesarea. 1,4 kardiovaskular, hematologis, renal, hepatik, dan/atau status neurologi dari ibu adalah secara umum merupakan indikasi uuntuk dilakukan

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham F. Bary; Williams Obstetrics ; 21st edition; McGraw Hill, USA, 2001 in Hypertensive Disorders in Pregnancy ; 567 - 609. 2. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia; edisi kedua; 2005. 3. Winknjosastro H; Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta, 1994 dalam Preeklampsia dan Eklampsia; hal 281 301. 4. Mochtar Rustam; Sinopsis Obstetri; Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi; Edisi 5; 1995; Penerbit Buku Kedokteran EGC; halaman 218-230. 5. Braveman, F. R., Scavone, B. M., Wong, C. A., Obstetrical Anesthesia.Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C., Clinical Anesthesia 7th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2009.1149-1154. 6. Braveman, F. R., Pregnancy-Associated Diseases. In: Hines, R. L., Marschall, K. E., Stoeltings Anesthesia and Co-Existing Disease 5th Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone. 2008. 7. Arias Fernando. Preeklampsia and Eklampsia: Practical Guide To High Pregnancy and Delivery, 2nd ed, Mosby Year Book, 1993: 183-210

13

You might also like