You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40/1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain penyakit dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berhubungan langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit. Penyakit tersebut sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat penatalaksanaan yang cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Bayi-bayi yang beresiko tinggi salah satunya yaitu kuning atau ikterus (Nuchsan, 2000). Penelitian di dunia kedokteran menyebutkan bahwa 70% bayi baru lahir mengalami kuning atau ikterus, meski kondisi ini bisa dikategorikan normal namun diharapkan untuk tetap waspada (Anonim2, 2006). Sehingga tidak sampai terjadi hiperbilirubinemia pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar hiperbilirubin serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah (SDM) dan resorpsi lanjut dari bilirubin yang terkonjugasi dari usus kecil (Doenges, 2001). Salah satu penyebab ikterik adalah Inkompatibilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh kehamilan (Noortiningsih, 2003). Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang pada sangat awal secara misterius, sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil. Namun apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lainlain (Suryo, 2005). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama bayi dengan kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari hiperbilirubinemia (ikterus) pada bayi? 2. Bagaimana metabolisme bilirubin dalam tubuh? 3. Apa etiologi terjadinya hiperbilirubinemia? 4. Bagaimana patofisiologi penyakit hiperbilirubinemia?

5. Apa tanda dan gejala dari hiperbilirubinemia? 6. Bagaimana penatalaksaan pada kasus hiperbilirubinemia? 7. Apa konsep dasar dari hiperbilirubinemia? 8. Bagaimana cara kerja foto terapi hiperbilirubinemia? 9. Apa kriteria alat yang digunakan dalam foto terapi? 10. Bagaimana prosedur pemberian foto terapi? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengertian dari hiperbilirubinemia (ikterus) pada bayi 2. Mengetahui dan memahami metabolisme bilirubin dalam tubuh 3. Mengetahui etiologi terjadinya hiperbilirubinemia 4. Mengetahui patofisiologi penyakit hiperbilirubinemia 5. Mengetahui tanda dan gejala dari hiperbilirubinemia 6. Mengetahui penatalaksaan pada kasus hiperbilirubinemia 7. Mengetahui konsep dasar dari hiperbilirubinemia 8. Mengetahui cara kerja foto terapi hiperbilirubinemia 9. Mengetahui kriteria alat yang digunakan dalam foto terapi 10. Mengetahui dan memahami prosedur pemberian foto terapi BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukos, karena adanya penumpukan bilirubin akibat peningkatan kadarnya dalam darah.

Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin. 2.2 Metabolisme Bilirubin Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan

bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik. Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 2.3 Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain. 2.4 Patofisiologi Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi. 2.5 Tanda dan Gejala 1. Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek). 2. Anemia 3. Petekie 4. Perbesaran lien dan hepar 5. Perdarahan tertutup 6. Gangguan nafas 7. Gangguan sirkulasi 8. Gangguan saraf 2.6 Penatalaksanaan Tujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadangkadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki. 2.7 Indikasi Fototerapi Bayi kurang bulan Dimulai bila kadar bilirubin indirek > 10 mg% Setelah 24 jam terapi sinar : Bilirubin indirek > 12 mg % dilanjutkan terapi sinar 24 jam lagi dihentikan bila kadar bilirubin indirek < 10 mg % (maksimal terapi sinar 2 x 24 jam). Bilirubin indirek 10-12 mg istirahaM 2 jam dilanjutkan lagi selama 24 jam.

Bayi umur > 5 hari : bila kadar bilirubin tetap < 12 mg tetapi sinar tidak perlu diberikan. Bayi cukup bulan Dimulai terapi sinar bila : Bilirubin indirek > 15 mg (bayi umur < 96jam) Bilirubin indirek > l mg% (>96jam) Setelah 24 jam terapi sinar : Bilirubin indirek > 18 mg diteruskan s/d 15 mg %. Bilirubin indirek < 18 mg Istirahat 12 jam dilanjutkan lagi selama 24 jam. Bilirubin indirek 15 hari. 2.8 Cara Kerja 1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. 2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. 3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. 4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. 5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu 6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984). 7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin. 8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. 2.9 Kriteria Alat 1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. 2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. 3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. 4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes . 5.Penutup mata
1. 6.Tempat tidur bayi

2.10 Prosedur Pemberian Fototerapi

Persiapan Unit Terapi sinar 1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C. 2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik. 3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering): a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut. b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi. 4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi Pemberian Terapi sinar 1. Jarak bayi dengan lampu 40 cm. 2. Bayi telanjang bulat. 3. Mata bayi ditutup kain / bahan lain yang tidak tembus cahaya. 4. Dilakukan terapi sinar kontinyu selama 24 jam. 5. Diistirahatkan 12 jam kalau perlu dosis II 24 jam. 6. Sebaiknya tutup mata dibuka bila bayi minum / diangkat dari lampu. 7. Tiap 6 jam posisi dirubah : telentang miring kanan tengkurap miring kiri, dsb. 8. Buat Flow Chart yang cermat: Suhu dipertahankan 36 37 C (suhu tubuh diukur tiap 3 jam) hindari hipotermi / hipertermi. Catat berak (frekuensi & kualitasnya), diuresis 9. Monitor Hubungan kadar bilirubin (selama & sesudah terapi sinar) Hal-hal yang perlu diperhatikan: 1. Pastikan bayi diberi makan 2. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam 3. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata 4. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar

5. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar 6. Selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus 7. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar 8. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar 9. Selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus 10. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar . 11. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru) 12. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL 13. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

3.2 Saran Sebaiknya perawat harus waspada pada kasus hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir karena sangat berbahaya pada bayi. Perawat harus segera melakukan penatalaksanaan kusus jika menemui kasus tersebut dan berupaya untuk melakukan penolongan pada bayi.

DAFTAR PUSTAKA Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222. asukan Dr. Ali Usman, Sp

You might also like