You are on page 1of 1

Kehidupan Suami Istri Lansia & Faktor Budaya

Oleh : Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, MPsi. Jakarta, 26 Juni 2002


Kehidupan pasangan suami istri, tidak selamanya dan tidak semuanya dapat berjalan dengan mulus dan lestari. Memang harapan setiap pasangan hidup adalah perkawinan mereka dapat berjalan mulus sampai kaken-kaken dan ninen-ninen, seperti mimi lan mintuno (nasehat perkawinan setelah akad nikah orang Jawa). Kalau diartikan maka nasehat tersebut mengandung makna bahwa pernikahan itu diharapkan tidak terjadi perpisahan sampai tua, di ibaratkan seperti pasangan mimi mintuno, adalah hewan yang hidup di laut berpasangan sepanjang hidup, kalau mimi mati mintuno tetap setia hidup sendirian. Dalam kehidupan manusia, pasangan suami istri yang bertahan sampai lanjut usia, mungkin mayoritas, namun yang putus di tengan jalan juga tidak terhitung jumlahnya. Dalam kehidupan di masyarakat dan keluarga, pasangan suami istri lansia tersebut banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya, sehingga tidak jarang pada akhir kehidupannya terlihat lebih banyak menderita, khususnya dalam budaya Jawa dengan taraf pendidikan yang relatif rendah. Seolah-olah dalam benak pasangan lansia tersebut terpatri suatu pandangan bahwa orang yang sudah tua atau sudah menopause tak pantas lagi hidup mesra berdua, malu dilihat oleh cucunya atau anak-anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya seorang istri yang lansia setelah menopause cenderung menjauh dari suami dan lebih dekat dengan cucunya. Secara tradisi dan alami secara fisik masing-masing (suami atau istri) seolah-olah tidak mau diganggu dan tidak mau mengganggu. Kalau sebelumnya pasangan lansia ini hidup sekamar, ternyata kemudian kamarnya di tinggalkan. Sang istri tidur bersama cucucucunya, sang suami umumnya tidur di kamar yang terbuka, seolah-olah siapa saja boleh menemani. Keadaan itu umumnya berjalan secara evolusif dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ternyata banyak ditemui bahwa sang suami menjadi sering uring-uringan, banyak keluhan, sering masuk angin, dsb. Hal inilah yang sebenarnya menunjukkan adanya ketidakpuasan (masalah) dalam kehidupan suami istri lansia. Akhirnya banyak waktu yang tersita bagi sang istri untuk memijit, kerokan, membuat jamu, dsb, bagi sang suami. Jika ditelusuri lebih lanjut sumber masalah yang sebenarnya seringkali berawal dari ketidakpuasan karena kebutuhan biologis dan psikis suami tidak terpenuhi akobat kondisi di atas. Disisi lain mungkin terjadi konflik tradisi dan budaya dalam diri sang suami, ia merasa sudah tua dan tak pantas berduaan seperti dulu, namun ketahanan mentalnya ternyata rapuh sehingga jatuh dalam kondisi yang makin menderita. Dalam teori seksologi (Tobing, NL, 1990), sebenarnya hubungan suami istri pada lansia, termasuk hubungan seksual, seharusnya tidak perlu berubah, asal dilakukan dengan wajar dan teratur, karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup. Menyikapi masalah tersebut diatas, usaha positif yang perlu diusahakan agar kehidupan sehari-hari pasangan suami istri lansia tetap sehat dan produktif, adalah dengan tetap menjalankan kebiasaankebiasaan hidup secara teratur, seperti pada usia-usia sebelumnya. Hanya perlu diingat bahwa lansia perlu menyesuaikan kebiasaan tersebut dengan kondisinya. Hal terpenting adalah kebutuhan fisik, psikis, sosial dan religius dapat dipenuhi secara wajar. Disamping itu lansia tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu secara berlebihan dalam berbagai hal untuk memenuhi kebutuhannya. Pada prinsipnya kebutuhan-kebutuhan hidup harus tetap terjaga dan terpenuhi sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu. Memperhatikan tradisi dan budaya itu penting namun perlu diingat bahwa hal tersebut jangan sampai mengorbankan diri. Kiranya usaha-usaha kesehatan jiwa masyarakat perlu mensosialisasikan tentang menjaga kesehatan lansia agar tetap sehat dalam kehidupan suami istri sehingga mereka dapat menikmati hari tua dengan bahagia. ( jp)

You might also like