You are on page 1of 15

PROPOSAL PENELITIAN FAKTOR RESIKO INFEKSI ANKYLOSTOMADUODENALE DAN ASCARISLUMBRICOIDES PADA ANAK DI DESA SIDOWARAS

OLEH KELOMPOK B-20

Maria Elly Nobeta Hutabarat (1161050017) Safira Nadita Marsha (1161050085) Carol Wojtyla Petrus Advent Mere (1161050093) Christman Maruli Tua Sihite (1161050126) Christy Anggeline Jawiraka (1161050212) Rebekka Martina (1161050257)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TAHUN 2013

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... DAFTAR ISI ... BAB I. PENDAHULUAN ... 1. 2. 3. 4. BAB II. Latar Belakang Masalah .. Rumusan Masalah Penelitian. Tujuan Penelitian .. Manfaat Penelitian i 2 3 3 4 5 6 7 7 11 11 11 13 13 13 13 13 13 13 14 15

KERANGKA TEORITIS . 1. 2. 3. 4. Tinjauan Pustaka. ... Kerangka Pemikiran. ...... Kerangka Konsep ... Hipotesis.. ...

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Rancangan atau Desain Penelitian . Variabel dan pengukuran Penarikan Sampling. Prosedur Pengumpulan data Metode Analisa Lokasi dan Waktu Penelitian.. ................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ..

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam dua minggu terakhir ini didaerah Sidowaras mendapatkan peningkatan pasien anak-anak yang sakit akibat infeksi cacing

ankylostomaduodenale dan ascaris lumbricoides. Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian.Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan badan pasien kurus, perut membuncit dan rambut berwarna merah jagung serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya. Kejadian infeksi cacing tambang pada suatu wilayah biasanya saling menyertai antara 3 spesies cacing usus penyebabnya, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan

Ankylostomaduodenale 1)

B.

Rumusan Masalah

1. Masalah umum Apakah faktor-faktor lingkungan (fisik, biologi, kimia, sosial ekonomi, budaya) dan perilaku masyarakat merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun ? 2. Masalah khusus a. Apakah adanya lahan pertanian di lingkungan rumah tinggal merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun ? b. Apakah kondisi sanitasi rumah merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun? c. Apakah kondisi sanitasi lingkungan bermainan merupakan faktor risiko dalam infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun? d. Apakah keberadaan ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada tanah halaman merupakan faktor risiko terjadinya infeksi? e. Apakah jenis pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale? f. Apakah besarnya penghasilan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale? g. Apakah tingkat pendidikan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale? h. Apakah kebiasaan memakai alas kaki pada anak merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale? i. Apakah kebiasaan bermain anak di tanah menjadi faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Memperoleh informasi faktor resiko lingkungan (fisik, biologi, kimia, sosial ekonomi, budaya) dan perilaku masyarakat pada kejadian infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun . 2. Tujuan Khusus a. Membuktikan bahwa adanya lahan pertanian di lingkungan rumah tinggal merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak usia 2 sampai 10 tahun . b. Membuktikan bahwa kondisi sanitasi rumah merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak c. Membuktikan bahwa kondisi sanitasi lingkungan bermain merupakan faktor risiko ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak d. Membuktikan bahwa keberadaan cacing tambang pada tanah halaman merupakan faktor risiko terjadinya infeksi

ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak e. Membuktikan bahwa jenis pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak. g. Membuktikan bahwa besarnya penghasilan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak. h. Membuktikan bahwa tingkat pendidikan orang tua (bapak dan ibu) merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak. i. Membuktikan bahwa kebiasaan memakai alas kaki pada anak merupakan faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak

j. Membuktikan bahwa kebiasaan bermain anak di tanah menjadi faktor risiko infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale pada anak.

E. Manfaat Penelitian a. Bagi Dinas Kesehatan Sidowaras Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau masukan dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan serta penanggulangan ancylostomaduodenale Sidowaras. b. Bagi masyarakat desa Sidowaras Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya infeksi ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan melakukan upaya pencegahan. c. Bagi ilmu pengetahuan Sebagai sumber informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi ascarislumbricoides dan infeksi pada anak ascarislumbricoides khususnya diwilayah dan desa

ancylostomaduodenale, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di dalam Penanggulangan Penyakit Menular khususnya infeksi

ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale. d. Bagi Peneliti Sebagai penambah ilmu pengetahuan dan pengalaman khususnya untuk masalah-masalah infeksi ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak.

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Tinjauan Pustaka A.1 pengertian penyakit karena Cacing Penyakit karena cacing (Helminthiasis), banyak tersebar diseluruh dunia, didaerah tropis. Hal ini berkaitan dengan faktor cuaca dan tingkat sosio ekonomi masyarakat. Sebagian cacing memerlukan vertebrata atau invertebrate tertentu sebagai host, misalnya ikan, siput, serangga dalam siklus hidupnya. Penyebaran telur cacing keluar bersama feses penderita, tidak hanya berkaitan dengan cuaca, seperti hujan, suhu, dan kelembapan udara, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan tentang sanitasi lingkungan. Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging, atau sayuran. Bila didalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka siklus hidup cacing menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia 1)

A.2 Siklus Hidup Cacing Penyebab Infeksi Cacing Penyebab Penyakit Infeksi cacing salah satunya karena nematoda Usus yang termasuk dalam kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth). Siklus hidup nematode usus dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu : A.2.1 Tipe langsung : Dalam hal ini cacing dewasa langsung tumbuh dari telur cacing begitu sampai didalam tractus intestinum, misalnya Trychuris trichura dan Enterobius vermicularis. A.2.2 Modifikasi dari tipe langsung : Telur cacing yang berembrio yang masuk kedalam intestinum menetas menjadi larva. Larva menembus dinding intestinum

kemudian masuk kedalam aliran darah. Didalam paru-paru larva keluar dari system kapiler naik ke trachea, kemudian masuk ke oesophagus, tertelan, kelambung, dan lanjut ke intestinum dan menjadi cacing dewasa. Contohnya Ascarislumbricoides. A.2.3 Penetrasi kulit : Telur yang berasal dari feces penderita, pada tanah yang basah akan menetas menjadi bentuk rhabditia yang setelah beberapa waktu tumbuh menjadi bentuk filarial. Bentuk filarial ini dapat menembus kulit yang utuh kemudian masuk kedalam aliran darah sampai kekapiler paru-paru keluar menuju trachea, ke oesophagus, tertelan masuk ke intestinum dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Misalnya Ankylostomaduodenale. 2)

A.3 Morfologi cacing Askarislumbricoides dan Ankylostomaduodenale

A.3.1 Askarislumbricoides Cacing jantan panjangnya 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, habitat cacing ini dirongga usus jejunum,dan telur dikeluarkan bersama tinja kurang lebih 100.000-200.000 butir perhari yang berupa telur dibuahi dan tidak dibuahi. Ukuran telur 90 x 40 hidup di lingkungan sesuai,sesudah 3 minggu telur menjadi infektif. infeksi atau penularan jika tertelan telur infektif. A.3.1 Ankylostomaduodenale Cacing jantan panjangnya 8-11 mm dan diameternya 0,45 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-30 mm dan diameter 0,60 mm. cacing dewasa hidup dalam intestinum. Penularan penyakit terjadi bilamana larva cacing bentuk filarial menembus kulit.3) Cara

A.4.

Patogenesis

Infeksi

cacing

Askarislumbricoides

dan

Ankylostomaduodenale

Cacing ini memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan usus. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan usus ke dalam kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory faktor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna. Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa. Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan usus kronik yang terjadi perlahan-lahan. Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi cacing tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing dalam usus. Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih. 4)

A.5. Gejala Klinis. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, rasa gatal-gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Apabila lesi berubah menjadi vesikuler akan terbuka karena

garukan. Gejala ruam papuloentematosa yang berkembang akan menjadi vesikel. Ini diakibatkan oleh banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini disebut ground itch. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonia yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan darah. 1. Nekrosis jaringan usus, yang lebih diakibatkan dinding jaringan usus yang terluka oleh gigitan cacing dewasa. 2. Gangguan gizi, penderita banyak kehilangan karbohidrat, lemak dau terutama protein, bahkan banyak unsur besi (Fe) yang hilang sehingga terjadi malnutrisi. 3. Kehilangan darah, darah yang hilang itu dikarenakan dihisap langsung oleh cacing dewasa. Di samping itu, bekas gigitan cacing dewasa dapat menimbulkan pendarahan terus menerus karena sekresi zat anti koagulan oleh cacing dewasa/ tersebut. Anemia mikrositik hipokrom terjadi diakibatkan oleh infeksi cacing dewasa Askarislumbricoides dan

Ankylostomaduodenale, menyebabkan hambatan pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Pada wanita yang mengandung, anemia mikrositik hipokrom menyebabkan peningkatan mortalitas maternal, gangguan laktasi dan prematuritas, menyebabkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia yang bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau perut, bahkan edema anasarka. Anemia mikrositik hipokrom yang terjadi akibat infeksi cacing tambang selain memiliki gejala dan tanda umum anemia, juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah, telapak tangan berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi gagal jantung akibat penyakit jantung anemia. 5)

10

B. Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Hipotesis Kerangka teori dalam penelitian ini dirangkum berdasarkan tinjauan teori yang ada, khususnya mengenai hubungan antar satu faktor risiko dengan factor risiko yang lain yang mempengaruhi terjadinya infeksi

ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya infeksi cacing ascarislumbricoides dan ancylostomaduodenale adalah faktor karakteristik (meliputi : umur, jenis kelamin, imunitas), faktor lingkungan fisik (meliputi tekstur tanah, kelembaban tanah, adanya lahan pertanian/perkebunan, kondisi sanitasi sekolah, kondisi sanitasi rumah), factor biologis (meliputi : keberadaan cacing tambang pada kotoran anjing dan kucing, keberadaan cacing tambang pada tanah halaman rumah), faktor sosial ekonomi (meliputi : pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan), faktor perilaku (meliputi : kebiasaan tidak memakai alas kaki di sekolah, di rumah dan saat bermain, kebiasaan bermain di tanah, perilaku pengobatan mandiri), faktor budaya (meliputi : budaya pemeliharaan anjing/kucing, budaya bermain tanpa alas kaki, budaya defekasi di sembarang tempat) dan faktor lain, yaitu ada tidaknya program pemberantasan penyakit kecacingan pada anak sekolah. Kerangka teori dapat dilihat pada gambar B.1

11

Kejadian infeksi cacing

Gambar B.1 : Kerangka Teori

Hipotesis : Adanya hubungan antara keadaan lingkungan sekitar dan perilaku masyarakat dengan infeksi cacing ascarislumbricoides dan

ancylostomaduodenale pada anak.

12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan atau Desain penelitian Metode yang digunakan adalah metode kombinasi Interview dan observasi B. Variable dan pengukuran - Variabel Independen :dilihat dari perilaku masyarakat seperti kesadaran, pengetahuan, gizi, dan kesehatan. - Variabel dependen : dilihat dari keadaan lingkungan sekitar seperti budaya, tingkat ekonomi, pekerjaan, pengetahuan, sanitasi lingkungan. - Pengukuran : String C. Penarikan Sampling Populasi : Masyarakat Sidowaras Sampel : anak-anak umur 2-10 tahun yang menderita anemi mikrositik hipokrom. Teknik pengambilan sampel ; Stratified Random Sampling

D. Prosedur pengumpulan data Observasi partisipatif dan penelusuran dokumen E. Metode Analisis data Metode penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif F. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di desa Sidowaras dengan mengambil sampel anak usia 2-10 tahun yang berdomisili di Desa Sidowaras. Desa ini dipilih karena berdasarkan data yang diperoleh karena sudah sejak dua minggu RS.Sidowaras sering mendapatkan pasien anak-anak dengan badan kurus, perut membuncit, dan rambut berwarna merah jagung. Waktu yang dibutuhkan sekitar dari tanggal 19 Januari 2013 s/d 19 Juli 2013.

13

Daftar Pustaka

1. eprints.undip.ac.id. Faktor resiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/23985/1/DIDIK_SUMANTO.pdf . Diakses 28 Januari 2013. 2. Supali T, Margono SS. Epidemiologi Soil transmitted helminthes, Dalam: Parasitologi Kedokteran FK UI. Ed 4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Jakarta; 2008. 21 - 1 3. Juni, Tjahaya, Darwanto. Nematoda Usus, Dalam: Atlas parasitologi Kedokteran. Jakarta: PT gramedia pustaka utama; 2008. 30 - 2 4. Price SA, Wilson LM. Gangguan Sel Darah Merah, Dalam: Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Ed 6. Jakarta: Buku Kedokteran ECG; 2006. 260 17 5. Brown HW. Gejala Klinis Penyakit Infeksi Nematoda Usus, Dalam: Dasar Parasitologi klinis. Jakarta: PT Gramedia; 2006. 58 - 4

14

PROPOSAL PENELITIAN FAKTOR RESIKO INFEKSI ANKYLOSTOMADUODENALE DAN ASCARISLUMBRICOIDES PADA ANAK DI DESA SIDOWARAS

Diajukan Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sidowaras Sebagai Pengajuan Penelitian Penyakit Infeksi karena Cacing

Disusun Oleh : Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia 2011

Telah disetujui oleh Pembimbing 31 Oktober 2011

(dr.Mariana Salim,SpPk) NIP : 195809121990031003

Mengetahui,

Ketua Tim Penelitian (Prof Retno, Phd)

15

You might also like