You are on page 1of 30

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Syok sirkulasi berarti ketidakcukupan aliran darah di seluruh tubuh sehingga jaringan tubuh mengalami kerusakan akibat terlalu sedikitnya aliran, terutama karena terlampau sedikitnya oksigen dan makanan lainnya yang dikirimkan ke sel-sel jaringan. Bahkan sistem kardiovaskular itu sendiri otot jantung, dinding pembuluh darah, sistem vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya mulai rusak, sehingga syok, jika saja sekali terjadi, cenderung memburuk secara progresif (Guyton, 2007). Syok sirkulasi adalah definisi yang diberikan untuk kegagalan sirkulasi umum yang progresif, bersifat akut atau subakut, disertai oleh gangguan mikrosirkulasi, dan kurangnya perfusi organ vital. Dalam pengertian yang lebih luas, syok juga meliputi gangguan suplai dan penggunaan O 2 (yang diawali) dengan perfusi yang berkurang (Silbernagl, 2007). Syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik sel, biasanya sebagai akibat dari tekanan darah yang turun (Bresler dan Sternbach, 2007). Oleh karena itu, setiap keadaan yang menurunkan curah jantung di bawah normal, akan mungkin menyebabkan syok sirkulasi (Guyton, 2007). Hampir 70% dari seluruh volume darah diperkirakan berada di dalam sirkuit vena. Hubungan antara volume darah vena dan tekanan vena penting untuk diperhatikan, karena kenaikan tekanan inilah yang mengakibatkan terjadinya arus vena dan karena itu mendorong volume pengembalian darah vena ke jantung. Kehilangan darah mengakibatkan komponen kedua ini kehabisan darah vena, mengurangi tekanan vena, dan akibatnya adalah mengurangi pengembalian darah vena ke jantung. Volume darah vena yang dikembalikan ke jantung menentukan panjang serabut otot miokard setelah pengisian ventrikel pada akhir diastol. Panjang serabut otot berhubungan dengan sifat-sifat kontraktilitas otot miokard

menurut Hukum Starling. Kontraktilitas miokard adalah pompa yang menjalankan sistem ini. Afterload (beban sesudahnya) adalah tahanan pembuluh darah sistemik (perifer) atau dengan kata lain, tahanan terhadap arus darah ke perifer (American College of Surgeons, 2004). Ada dua macam faktor yang dapat memperberat penurunan curah jantung antara lain sebagai berikut (Guyton, 2007). a. Kelainan jantung yang menurunkan kemampuan jantung untuk memompa darah. Kelainan ini meliputi khususnya infark miokard tetapi juga keadaan toksik jantung, disfungsi katup jantung yang berat, aritmia jantung, dan keadaan lainnya. Syok sirkulasi yang disebabkan oleh penurunan kemampuan pemompaan jantung disebut syok kardiogenik. b. Faktor-faktor yang menurunkan aliran balik vena juga menurunkan curah jantung karena jantung tidak dapat memompa darah yang tidak mengalir ke dalamnya. Penyebab paling sering penurunan aliran balik vena adalah penurunan volume darah, tetapi aliran balik vena juga dapat berkurang sebagai akibat penurunan tonus vaskular, terutama pada saluran penampung darah vena, atau obstruksi aliran darah pada beberapa tempat di sirkulasi, terutama di lintasan aliran balik vena ke jantung (Guyton, 2007). Kadang-kadang, curah jantung besarnya normal atau bahkan melebihi normal, padahal pasien dalam keadaan syok sirkulasi. Hal ini dapat diakibatkan oleh (1) metabolisme tubuh yang berlebihan, sehingga bahkan curah jantung yang normal pun tidak mencukupi, atau (2) pola perfusi jaringan yang abnormal, sehingga sebagian besar curah jantung mengalir melalui pembuluh darah selain pembuluh yang menyediakan nutrisi bagi jaringan lokal (Guyton, 2007). Karena sifat-sifat khas syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan, syok dibagi dalam tiga tahap utama sebagai berikut (Guyton, 2007). a. Tahap nonprogresif (kadang-kadang disebut sebagai tahap kompensasi). Pada tahap ini, mekanisme kompensasi sirkulasi yang normal pada akhirnya akan menimbulkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar. b. Tahap progresif. Pada tahap ini, tanpa terapi, syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.

c. Tahap irreversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga semua bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong pasien, meskipun pada saat itu, orang tersebut masih hidup (Guyton, 2007). Ada empat kategori umum syok sebagai berikut (Bresler dan Sternbach, 2007). a. Syok hipovolemik, disebabkan oleh volume darah yang rendah (stroke volume, SV, turun) yang disebabkan oleh perdarahan atau dehidrasi. b. Syok kardiogenik, disebabkan oleh penurunan kontraktilitas jantung (SV turun), yang biasanya disebabkan oleh infark miokard (MI) masif. Gangguan irama juga dapat menyebabkan syok. Dengan menurunkan heart rate (HR), bradikardia langsung menurunkan cardiac output (C) dan kemungkinan juga tekanan darah arteri (TD). Meskipun takikardia adalah HR yang meninggi, efek ini mungkin lebih kecil daripada akan dikalahkan oleh penurunan SV yang cukup besar untuk menurunkan C sehingga menyebabkan hipotensi (takikardi mungkin tidak memberi cukup waktu untuk pengisian diastolik atau perfusi miokard). Dengan demikian, disritmia dapat menyebabkan syok, tetapi istilah kardiogenik biasanya menyatakan kegagalan pompa akibat MI masif. c. Syok distributif, disebabkan oleh hilangnya tonus arteri yang normal (resistensi pembuluh arteri perifer, PVR, turun) sehingga darah tidak dapat terdistribusi ke seluruh tubuh, misalnya sepsis, anafilaksis, transeksi medula spinalis, overdosis obat, defisiensi endokrin. d. Syok obstruktif, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi sentral dimana SV turun, misalnya emboli paru masif, tamponade perikardium, pneumotoraks tegang, tension pneumotoraks, atau diseksi aorta thorakalis, yang menurunkan SV efektif di sebelah distal tempat diseksi (Bresler dan Sternbach, 2007).

Tabel 1.1. Klasifikasi Syok Berdasarkan Mekanisme dan Etiologi Tersering Kategori Syok Mekanisme Etiologi Perdarahan Eksternal - Trauma Perdarahan - Perdarahan GIT (Syok Hemoragik) Perdarahan Internal - Hematoma - Hemotoraks atau hemoperitoneum Luka bakar Kehilangan Plasma Dermatitis eksfoliatif Eksternal Syok Hipovolemik - Muntah - Diare - Keringat eksesif - Hiperosmolar (ketoasidosis Kehilangan Cairan dan diabetikum, koma nonketosis Elektrolit hiperosmolar) Internal - Pankreatitis - Asites - Obstruksi saluran kemih Takiaritmia Bradiaritmia Syok Kardiogenik Infark miokard sekunder atau Kegagalan Pompa kardiomiopati lainnya Disfungsi Akut Katup Terutama lesi regurgitasi Ruptur Septum Ventrikular atau Tanpa Dinding Ventrikular Disritmia Tension Pneumotoraks Penyakit Perikardial Tamponade, Konstriksi Penyakit Vaskularisasi Emboli pulmonal masif Pulmonal Hipertensi pumonal Tumor Cardium Atrial Myxoma Trombus Atrial Mural Sinistra Stenosis Aorta Penyakit Obstruksi Katup Stenosis Mitral Syok Septik Syok Anafilaktik Syok Neuorgenik Obat Vasodilator Insufisiensi Akut Adrenal

Syok Obstruktif

Syok Distributif

Sumber: Morgan et al. (2006)

Tabel 1.2. Klasifikasi Klinis Syok Derajat Patofisiologi Penurunan perfusi organ perifer tertentu untuk Ringan menangani iskemi (< 20% kehilangan berkepanjangan (kulit, volume darah) lemak, otot, dan tulang. pH arteri normal. Sedang (20-40% kehilangan volume darah Penurunan perfusi organ sentral untuk toleransi hanya pada iskemi singkat (hepar, usus, dan ginjal). Terlihat asidosis metabolik. Penurunan perfusi jantung dan otak. Asidosis metabolik berat. Mungkin tampak asidosis respiratori.

Manifestasi Klinis Pasien mengeluh merasa dingin. Hipotensi postural dan takikardi. Kulit teraba dingin dan pucat, kolaps pada vena leher, dan urin pekat. Kehausan. Hipotensi supinasi dan takikardi (variabel). Oliguria dan anuria. Agitasi, konvulsi atau obtundasi. Hipotensi supinasi dan takikardi invariabel tampak. Respirasi cepat dan dalam.

Berat (> 40% kehilangan volume darah)


Sumber: Morgan et al. (2006)

Atas pertimbangan perdarahan merupakan penyebab paling sering terjadinya syok hipovolemik, dan perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi serta sebagai akibatnya menurunkan aliran balik vena sehingga curah jantung menurun di bawah normal dan dapat menimbulkan syok, maka pembahasan pada referat ini difokuskan pada penatalaksanaan anestesia pada kasus syok hipovolemik. 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada referat ini sebagai berikut. a. Apa yang dimaksud sebagai syok hipovolemik? b. Bagaimana tanda dan gejala syok hipovolemik? c. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik? d. Bagaimana penatalaksanaan anestesia pada syok hipovolemik? e. Apakah jenis cairan yang dapat digunakan untuk penanganan syok hipovolemik?

f. Kapan perlu dilakukan terapi cairan dan efek samping pada kasus syok hipovolemik? g. Bagaimana komposisi cairan dalam tubuh? h. Kapan diperlukan transfusi komponen darah pada penanganan kasus syok hipovolemik? i. Apa efek samping dari transfusi komponen darah pada penanganan kasus syok hipovolemik? j. Berapa kebutuhan kalori per hari pada pasien syok hipovolemik? k. Kapan dilakukan pemberian nutrisi parenteral atau enteral pada pasien syok hipovolemik? 1.3. Tujuan Adapun tujuan dari pembahasan pada referat ini sebagai berikut. a. Mengetahui definisi syok hipovolemik. b. Mengetahui tanda dan gejala syok hipovolemik. c. Mengetahui patofisiologi syok hipovolemik. d. Mengetahui penatalaksanaan anestesia pada syok hipovolemik. e. Mengetahui jenis cairan yang dapat digunakan untuk penanganan syok hipovolemik. f. Mengetahui waktu yang tepat untuk dilakukan terapi cairan dan efek samping pada kasus syok hipovolemik. g. Mengetahui komposisi cairan dalam tubuh. h. Mengetahui waktu yang tepat untuk pelaksanaan transfusi komponen darah pada penanganan kasus syok hipovolemik. i. Mengetahui efek samping dari transfusi komponen darah pada penanganan kasus syok hipovolemik. j. Mengetahui kebutuhan kalori per hari pada pasien syok hipovolemik. k. Mengetahui waktu yang tepat dilakukan pemberian nutrisi parenteral atau enteral pada pasien syok hipovolemik.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Akademis Bagi ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, dapat bermanfaat sebagai sumbangan pengembangan dari ilmu pengetahuan. 1.4.2. Praktis Penatalaksanaan anestesia yang tepat dan cepat pada pasien dengan kasus syok hipovolemik dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dengan mempertimbangkan kondisi pasien sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Syok Hipovolemik Hipovolemia berarti berkurangnya volume darah. Perdarahan adalah penyebab tersering syok hipovolemik. Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya, menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di bawah normal dan dapat timbul syok (Guyton, 2007). Penyebab hipovolemia dapat berupa perdarahan (syok hemoragik) atau beberapa bentuk lain kehilangan cairan yang keluar dari tubuh, seperti melalui saluran cerna (perdarahan hebat, muntah hebat, diare persisten), melalui ginjal (misalnya diabetes melitus atau insipidus, diuretik dosis tinggi, poliuri setelah gagal ginjal akut), atau melalui kulit (luka bakar yang luas, pengeluaran keringat yang banyak tanpa disertai masukan cairan). Perdarahan di dalam tubuh juga dapat menjadi penyebab timbulnya syok hipovolemik, seperti perdarahan ke jaringan lunak (misal fraktur, terutama pada paha dan pelvis, atau daerah retroperitoneum), ke rongga dada (misal, ruptur limpa), serta sekuestrasi sejumlah besar cairan pada ileus, peritonitis, sirosis hati (asites), atau pankreatitis akut (Silbernagl, 2007). Kehilangan plasma dari sistem sirkulasi, bahkan tanpa kehilangan sel darah merah, terkadang dapat cukup berat untuk mengurangi volume darah total secara nyata, yang menyebabkan syok hipovolemik khas yang hampir serupa dengan syok yang disebabkan oleh perdarahan. Syok hipovolemik yang timbul akibat hilangnya plasma mempunyai sifat-sifat khas yang hampir sama dengan syok akibat perdarahan, kecuali satu faktor komplikasi tambahan viskositas darah menjadi sangat meningkat akibat meningkatnya konsentrasi sel darah merah di dalam darah yang tersisa dan hal ini menimbulkan perlambatan aliran darah (Guyton, 2007).

Seringkali syok ditimbulkan oleh perdarahan karena trauma, tetapi juga dapat timbul tanpa perdarahan karena kontusio tubuh yang cukup luas dapat merusak kapiler sehingga terjadi kehilangan plasma yang berlebihan ke dalam jaringan. Ini menimbulkan pengurangan volume plasma yang sangat besar dengan akibat syok hipovolemik (Guyton, 2007). 2.2. Tanda dan Gejala Syok Hipovolemik Berikut pembagian tanda dan gejala syok hipovolemik berdasarkan sistem organ tubuh yang terkompensasi (Rifki, 1999). A. Sistem Kardiovaskuler a. Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. b. Nadi cepat dan halus. c. Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah. d. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik. e. CVP rendah. B. Sistem Respirasi Pernapasan cepat dan dangkal. C. Sistem saraf pusat Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena kesakitan. D. Sistem Saluran Cerna Bisa terjadi mual dan muntah. E. Sistem Saluran Kencing Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60 ml/jam atau 1/5 - 1 ml/kg/jam (Rifki, 1999).

Gambar 2.1. Mekanisme Kompensasi Bila Terdapat Risiko Syok Hipovolemik


Sumber: Silbernagl (2007)

10

Gambar 2.2. Penyebab, Gejala, dan Akibat Syok


Sumber: Silbernagl (2007)

Tabel 2.1. Tanda Kehilangan Cairan (Hipovolemia) Kehilangan Cairan (Menunjukkan % dari Berat Badan Tanda 5% 10% 15% Membran Mukosa Kering Sangat Kering Seperti Terbakar Kesadaran Normal Letargi Hilang Kesadaran Perubahan Ortostatik Nyata - Pada HR Tidak ada Muncul > 15 bpm - Pada BP > 10 mmHg Menurun Rasio Laju Urin Menurun Penurunan Drastis sedikit Normal atau Menurun > 100 Penurunan Drastis Nadi menurun bpm > 120 bpm Penurunan sedikit Tekanan Darah Normal dengan variasi Menurun pernapasan
Sumber: Morgan et. all (2006)

Untuk temuan klinis dari syok hipovolemik sebagai berikut (Bresler dan Sternbach, 2007).

11

a. Gejala subyektif kurang spesifik: cemas, gelisah, perasaan akan mati, mual, capek, lemah, dan haus (Bresler dan Sternbach, 2007). b. Temuan objektif pada pemeriksaan mencerminkan penurunan perfusi organ dan mekanisme kompensasi. 1. Takikardia, kecuali pada pasien yang mengkonsumsi obat penyekat-, dan pada transeksi medula spinalis di atas T10 yang memutus persarafan simpatis ke jantung. 2. Kulit yang dingin, pucat, dan lembab karena pengisian kapiler terlambat, kecuali pada syok distributif yang mekanisme primernya adalah ketidakmampuan mempertahankan tonus vaskular yang normal merata. Pada pasien hitam sekali, warna kulit dapat diperiksa pada kuku, telapak tangan, atau mukosa mulut. 3. Tekanan nadi kecil, hal ini terjadi sebelum tekanan darah turun sehingga tanda yang tersembunyi, tetapi penting untuk memperkirakan ancaman syok. Tekanan nadi mengecil pada permulaan syok bentuk non-distributif bersamaan dengan kompensasi vasokonstriksi -adrenergik yang menaikkan tekanan diastolik. 4. TD menurun, tekanan sistolik dapat dipertahankan pada tingkat yang normal sampai kehilangan volume darah 15% sampai 25% sehingga tekanan nadi di bawah 40 mmHg dapat menjadi petunjuk ancaman akan terjadinya hipotensi. 5. Status mental berubah, takipnea, dilatasi pupil. 6. Keluaran urin menurun, hal ini terjadi karena sebagai kompensasi volume, penurunan tekanan darah dan konstriksi arteriol akan mengurangi tekanan filtrasi kapiler efektif sehingga cairan interstisial akan mengalirkan ke dalam kompartemen darah. Reseptor tekanan atrium akan mengenali kekurangan volume sehingga akan menghambat sekresi atriopeptin dan secara refleks menyebabkan sekresi ADH (refleks Henry-Gauer). ADH bekerja sebagai vasokonstriktor dan meretensi air. Penurunan tekanan darah ginjal akan meningkatkan pelepasan renin sehingga semakin banyak angiotensin II yang dibentuk, selanjutnya angiotensin II akan merangsang rasa haus dan juga

12

memiliki efek vasokonstriktor. Selain itu akan meningkatkan sekresi aldosteron, yang selanjutnya menghambat pengeluaran garam dan air melalui ginjal (Sibernagl, 2007). c. Butir-butir klinis 1. Hipovolemia masif dapat ditutupi oleh kompensasi yang baik, terutama kepada orang muda sehingga tekanan darah sistolik untuk sementara masih adekuat. Takikardia, tekanan nadi di bawah 40 mmHg, dan pengisian kapiler yang terlambat dapat menjadi tanda awal hipovolemia. 2. Bayi dapat mengalami perdarahan cukup banyak di kepala sehingga cidera kepala sehingga menimbulkan syok hipovolemik karena kepalanya realtif besar dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya dan karena sutura-sutura yang masih terbuka memungkinkan perluasan. 3. Syok hipovolemik menyebabkan vena-vena leher kempis (Bresler dan Sternbach, 2007).

Gambar 2.3. Mekanisme yang Menyebabkan Syok Irreversibel


Sumber: Silbernagl (2007)

2.3. Patofisiologi Syok Hipovolemik

13

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh, sebagai contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot, dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) untuk menjamin arus darah ke ginjal, jantung, dan otak. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung. Hampir selalu takikardia akan merupakan gejala awal dari syok. Pelepasan katekolaminkatekolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi (pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin, beta-endorpin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah (American College of Surgeon, 2004). Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi hanya sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara konstraksi volume darah di dalam sistem vena, hal ini tidak banyak membantu memperbaiki tekanan vena sistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan cardiac output dan perfusi organ adalah dengan memulihkan pengembalian darah (venous return) ke batas normal dengan memperbaiki volumenya (American College of Surgeon, 2004). Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapat substrak esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, hal ini mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi dipertahankan integritasnya dan gradien elektrik normal hilang (American College of Surgeon, 2004). Pembengkakan rentikulum endoplasmik merupakan tanda ultrastruktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cidera mitokondria. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur

14

intraseluler lainnya. Natrium dan air memasuki sel dan terjadilah pembengkakan sel. Juga terjadi penumpukan kalsium intraseluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah cidera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan hipoperfusi (American College of Surgeon, 2004).

Gambar 2.4. Berbagai Jenis Umpan Balik Positif yang Dapat Berlanjut Menjadi Syok
Sumber: Guyton (2007)

2.4. Penatalaksanaan Anestesia pada Syok Hipovolemik Diagnosis dan terapi syok hipovolemik harus dilakukan secara simultan. Prinsip pengelolaan dasar harus dipegang adalah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume (American College of Surgeon, 2004).

A. Pemeriksaan Jasmani

15

Pemeriksaan

jasmani

diarahkan

kepada

diagnosis

cedera

yang

mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa antara lain tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran (American College of Surgeon, 2004). 1. Airways dan Breathing Prioritas pertama adalah menjamin airways pasien dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95% (American College of Surgeon, 2004). 2. Circulation Kontrol Perdarahan Termasuk dalam priorotas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. PASG (Pneumatic Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari fraktur pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh mengganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan (American College of Surgeon, 2004). 3. Disability Pemeriksaan Neurologi Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata, dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologis dan meramalkan pemulihan (American College of Surgeon, 2004). 4. Exposure Pemeriksaan Lengkap Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwa, seluruh pakaian pasien dilepaskan dan diperiksa secara keseluruhan sebagai bagian mencari cedera. Bila pakaian dilepaskan, sangat penting mencegah hipotermia.

16

Penggunaan penghangat cairan maupun cara penghangat internal maupun eksternal sangat bermanfaat (American College of Surgeon, 2004). 5. Dilatasi Lambung Dekompresi Distensi lambung membuat terapi syok hipovolemik menjadi sulit. Pada pasien yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan risiko yang fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan selang/pipa ke dalam perut melalui hidung atau mulut dan memasang penyedot untuk mengeluarkan isi lambung (American College of Surgeon, 2004). 6. Pemasangan Kateter Urin Kateterisasi memudahkan penilaian urin akan adanya hematuri dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin (American College of Surgeon, 2004). B. Akses Pembuluh Darah Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral. Kecepatan aliran berbanding lurus dengan empat kali radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya (Hukum Poiseulille). Karena itu lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dan cepat (American College of Surgeon, 2004). C. Terapi Awal Cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi cairan. Jenis cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volum vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke ruang interstisial dan intraseluler (Velanovich, 1990). 2.5. Jenis Cairan untuk Penanganan Syok Hipovolemik

17

Pada penanganan syok hipovolemik, perdarahan dibawah 20% misalnya, cairan infus yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum, misalnya cairan kristaloid dengan Ringer Laktat atau ringer asetat. Untuk bayi dan anak dengan perdarahan di atas 10% volume darah diperlukan transfusi komponen darah (Latief dkk., 2010). Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun cairan NaCl fisiologis merupakan cairan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik (American College of Surgeon, 2004). Tabel 2.2. Cairan Infus Kristaloid yang Tersedia di Pasaran dan Sering Digunakan Cairan Tonusitas Na K Ca Cl Glukosa Laktat Asetat Infus (mOsm/l) (mEq/l) (mEq/l) (mEq/l) (mEq/l) (gr/l) (mEq/l) mE1/l Plasma 282,6 (iso) 146 4,2 2,5 105 27 (bic) D5W* 253 (hipo) 50 NS* 308 (iso) 154 154 D5NS 561 (hiper) 154 154 50 D5 NS 330 (iso) 38,5 38,5 50 Darrow 314 (iso) 122 35 104 53 RL* 273 (iso) 130 4 3 109 28 D5RL 273 (iso) 130 4 3 109 50 28 Asering 273,4 (iso) 130 4 3 109 28
Sumber: Latief dkk. (2010) Keterangan : *D5W = Dekstrosa 5% in water *RL = Ringer Laktat *NS = Normal Saline (air garam fisiologis) *Asering = Asetat Ringer

Cairan kristaloid adalah jenis cairan yang banyak digunakan di Amerika, sedangkan koloid merupakan jenis cairan yang banyak digunakan di kalangan Eropa, namun keduanya memiliki hubungan relatif terhadap dua metode manajemen penggunaan yang kontroversial (Huskisson, 2006). Bagi para pendukung penggunaan koloid bersikeras bahwa tekanan osmotik intravaskular dari koloid harus disimpan dengan baik di atas tekanan hidrostatik kapiler atau setidaknya lebih besar dari 10 mmHg pada pasien kritis untuk mengurangi prognosis yang buruk. Sedangkan para pendukung kristaloid

18

mempertahankan opini bahwa koloid dapat merembes ke kapiler sehingga akan meningkatkan tekanan osmotik di interstisial yang akan merugikan dengan meningkatkan flukstasi cairan keluar dari kapiler (Huskisson, 2006). Solusi koloid memperluas ruang intravaskular lebih efektif dibandingkan dengan kristaloid dengan peningkatan curah jantung yang sama dengan volume yang lebih kecil dan dengan hemodilusi yang rendah (Huskisson, 2006). Ruang interstisial lebih mudah diisi setelah dilakukan resusitasi kristaloid. Karena itu volume cairan yang dibutuhkan adalah dua hingga tiga kali lebih besar dibandingakn ketika menggunakan koloid, yang mengakibatkan peningkatan risiko edema jaringan. Pendukung penggunaan kristaloid tetap mempertahankan bahwa hal ini tidak berbahaya meskipun faktanya bahwa edema jaringan memiliki kaitan dengan hipoksia jaringan dan telah telibat penundaan perbaikan anastomoses usus (Huskisson, 2006). Para resimen resusitasi berpendapat penggunaan yang paling tepat adalah melibatkan keduanya, koloid maupun kristaloid. Kriteria untuk volume administrasi terdiri atas takikardi, hipotensi, tekanan pengisian yang rendah, urin output yang kurang, asidosis metabolik, dan peningkatan derajat temperatur periferal sentral. Setiap individu pasien dengan kebutuhan cairan tetap berbasis pada etiologi dan deplesi volume, dan paling tepat adalah cairan yang digunakan harus memiliki volume yang adekuat (Huskisson, 2006). Berikut poin penting tentang resusitasi cairan (Paul, 2006). a. Cairan koloid lebih efektif pada seluruh darah, packed cell, dan kristaloid merupakan cairan untuk meningkatkan curah jantung. b. Konsentrasi eritrosit (packed cell) relatif tidak efektif dalam meningkatkan curah jantung, dan demikian tidak boleh digunakan secara sendiri untuk cairan resusitasi. c. Cairan koloid terutama untuk menambah volume plasma, sementara cairan kristaloid untuk menambah cairan interstisial. d. Untuk mencapai efek setara pada curah jantung, volume kristaloid diserap cairan paling tidak tiga kali lebih besar dibandingkan cairan koloid melalui infus. Meskipun keunggulan cairan koloid melebihi cairan kristaloid untuk

19

meningkatkan volume plasma, cairan kristaloid terus menjadi populer untuk resusitasi cairan (Paul, 2006). 2.6. Terapi Cairan dan Efek Samping pada Kasus Syok Hipovolemik Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interiur dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena (Latief dkk., 2010). Kemampuan setiap jenis cairan resusitasi untuk meningkatkan cardiac output ditujukkan pada Gambar 2.5. Grafik pada gambar ini menunjukkan efek dari infus satu jam cairan setiap pada output jantung. Volume infus darah utuh (1 unit = 450 mL), sel dikemas (2 unit = 500 mL), dan dekstran-40 (500 mL) setara, sementara volume infus Ringer Laktat (1 L) dua kali lipat dari cairan lainnya. Cairan koloid (dekstran-40) adalah paling efektif dalam darah, enam kali lebih efektif dibandingkan packed cell, dan delapan kali lebih efektif dari cairan kristaloid (Ringer Laktat). Keterbatasan kemampuan darah (whole blood atau packed cells) untuk meningkatkan curah jantung karena terdapat efeks viskositas eritrosit (Paul, 2006).

Gambar 2.5. Perbedaan Efektivitas Tipe Resusitasi Cairan pada Augmentasi Cardiac Output
Sumber: Paul (2006)

20

Jika peningkatan curah jantung merupakan prioritas utama dalam pengelolaan perdarahan akut, Gambar 2.5. menunjukkan bahwa darah bukanlah cairan pilihan untuk resusitasi volume awal kehilangan darah akut. Hal ini terutama terjadi pada kasus dengan konsentrasi produk eritrosit ( packed cell), yang sebenarnya dapat menurunkan curah jantung (Paul, 2006) Tabel 2.3. Estimasi Volume Resusitasi Penentuan Urutan 1. Estimasi Normal Volume Darah (BV) 2. Estimasi % Kehilangan Volume Darah

Persamaan BV = 66 mL/kg (laki-laki) BV = 60 mL/kg (perempuan) Kelas I : < 15% Kelas II : 15-30% Kelas III : 30-40% Kelas IV : > 40% VD = BV x % loss BV RV = VD x 1,5 (koloid) RV = VD x 4 (kristaloid)

3. Jumlah Kehilangan Cairan (VD) 4. Penentuan Volume Resusitasi (RV)


Sumber: Paul (2006)

Penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamis stabil dari orang yang hemodinamis stabil mungkin tetap ada takikardia, takipnea, dan oliguria, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamis normal adalah tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan kurang memadai. Pola respon yang potensial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu respon cepat, respon sementara, dan respon minimum atau tidak ada pada pemberian cairan (American College of Surgeon, 2004). 2.7. Komposisi Cairan Tubuh Kandungan air pada saat bayi lahir sekitar 75% berat badan, usia 1 tahun 65%, dewasa pria 60%, dan wanita 50%, sisanya ialah zat padat seperti protein, lemak, karbohidrat, dan lainnya (Latief dkk., 2010). Air dalam tubuh berada di beberapa ruangan intraselular 40%, ekstraselular 20%. Ekstraselular dibagi menjadi antarsel (interstisial) 15%, dan plasma 5%.

21

Cairan intrasel khusus disebut cairan transelular misalnya cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum, dan lainnya (Latief dkk., 2010). Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam. Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat lain sulit atau diperlukan proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam dan luar sel berbeda. Cairan intraseluler banyak mengandung ion K, ion Mg, dan ion fosfat, sedangkan ekstraseluler mengandung banyak ion Na dan Cl (Latief dkk., 2010). Plasma ialah darah dikurangi sel-sel darah seperti elektrolit, leukosit, dan trombosit. Serum adalah plasma darah dikurangi faktor-faktor pembekuan misalnya fibrinogen dan protrombin. Hematokrit ialah presentasi volume eritrosit dalam darah (Latief dkk., 2010). Tabel 2.4. Kandungan Air dalam Tiap Jaringan Jaringan Persentase Air Otak 84 Ginjal 83 Otot Lurik 76 Kulit 72 Hati 68 Tulang 22 Lemak 10
Sumber: Latief dkk., 2010

2.8. Transfusi Komponen Darah pada Kasus Syok Hipovolemik Idealnya, kehilangan darah harus diganti dengan larutan kritaloid atau koloid untuk mempertahankan volume intravaskular (normovolemia) sampai bahaya anemia melebihi risiko transfusi. Pada saat itu, kehilangan darah lebih lanjut gantikan dengan transfusi sel darah merah untuk menjaga konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit). Untuk sebagian besar pasien, titik yang sesuai dengan hemoglobin antara 7 8 g/dL atau hematokrit 21-24% (Morgan, 2006). Konsentrasi hemoglobin kurang dari 7 g/dL, dimana terjadi peningkatan curah jantung saat istirahat untuk mempertahankan pengiriman oksigen normal. Peningkatan lebih dari 10 g/dL umumnya digunakan untuk pasien usia lanjut dan orang dengan penyakit jantung atau paru yang signifikan. Batas yang lebih tinggi

22

dapat digunakan jika diperkirakan kehilangan darah terus dalam waktu yang cepat (Morgan, 2006). Dalam praktiknya, kebanyakan dokter memberikan larutan RL sekitar 3-4 kali dari volume darah yang hilang, atau koloid dalam rasio 1:1, sampai titik transfusi tercapai. Saat itu, darah digantikan dalam satuan unit seperti seberapa banyak yang hilang. Dengan dilarutkan dalam blood packed cell (Morgan, 2006). Jumlah transfusi dapat ditentukan sebelum operasi dari nilai hematrokit dan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematokrit yang normal umumnya harus ditransfusikan setelah kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah yang ada. Jumlah yang tepat didasarkan pada kondisi medis pasien dan prosedur operasi. Jumlah kehilangan darah yang diperlukan untuk hematokrit turun hingga 30% dapat dihitung sebagai berikut (Morgan, 2006). a. Estimasi volume darah pada Tabel 2.5. b. Estimasi Volume Sel Darah Merah (RBCV) pada hematokrit preoperatif (RBCVpreop). c. Estimasi RBCV pada hematokrit 30% (RBCV30%), diasumsikan volume darah normal dipertahankan. d. Jumlah seldarah merah yang hilangsaat hematokrit 30%; RBCVlost = RBCVpreop RBCV30%. e. Kehilangan darah yang ditoleransi RBCVlost x 3. Tabel 2.5. Rerata Volume Darah Usia Neonatus - Prematur - Cukup bulan Anak Dewasa - Pria - Wanita
Sumber : Morgan et. all (2006)

Volume Darah 95 mL/kg 85 mL/kg 80 mL/kg 75 mL/kg 65 mL/kg

Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan yang diberikan. Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki oxygencarrying capacity (Lucas et. al., 1996). Yang lebih baik ialah darah yang

23

sepenuhnya crossmatched. Namun prosesnya memerlukan 1 jam dihampir semua bank darah. Jenis darah spesifik dapat disediakan oleh hampir semua bank darah dalam waktu 10 menit. Darah ini sesuai dengan jenis darah ABO dan Rh. Bila darah tipe spesifik tidak ada, maka packed cell tipe O dianjurkan untuk penderita dengan perdarahan exsanguinating (American College of Surgeon, 2004). 2.9. Efek Samping Transfusi Komponen Darah pada Kasus Syok Hipovolemik Koagulopati dilusi dapat timbul pada pasien yang menerima transfusi masih karena darah simpanan tidak mengandung trombosit hidup dan faktor pembekuan V dan VIII. Meskipun hal ini jarang terjadi masalah pada fase perawatan di UGD, pemeriksaan pembekuan dasar harus diperoleh untuk memandu terapi penggantian lebih lanjut kalau diperlukan (Bresler dan Sternbach, 2007). Berikut komplikasi lainnya pada proses transfusi darah (Latief dkk., 2010). a. Reaksi hemolitik b. Infekis virus (hepatitis, HIV-AIDS, CMV) c. Infeksi bakteri (stapilokokus, yesteria, sitobakter) d. Infeksi parasit (malaria) e. Lain-lain seperti urtikaria, anafilaksis, edema paru non-kardial, pupura, intoksikasi sitrat, hiperkalemia, dan asidosis. 2.10. Kebutuhan Kalori pada Pasien Syok Hipovolemik Kebutuhan kalori pasien syok hipovolemik perhitungannya hampir sama saja dengan kebutuhan orang normal. Hanya saja kebutuhan kalori yang dibutuhkan lebih dipentingkan pada kestabilan pasien selama pemulihan. Untuk rumus hitung BMR pada pasien laki-laki, maupun perempuan sebagai berikut (Cooper et al., 2000). Respon metabolik terhadap trauma dibagi menjadi 2 fase, yaitu Fase Ebb dan Fase Flow. Fase ebb merupakan fase awal setelah trauma terjadi, yang dikenal sebagai fase syok yang berlangsung pendek sekitar 24-36 jam. Pada fase ebb terjadi aktivasi sistem saraf simpatis, kadar adrenalin tinggi, dan laju metabolisme

24

rendah. Sedangkan fase flow merupakan fase hiperdinamik atau hipermetabolik yang terjadi peningkatan laju metabolik dan katabolisme protein meningkat yang menyebabkan berat badan berkurang, mengecilnya, serta meningkatkan nitrogen dalam urin. Pada fase flow ini, nutri yang adekuat sangat dibutuhkan (BMK Nutrisi, 2008). Dalam keadaan syok, pasien belum tidak diperkenankan diberikan nutrisi karena pasien masih dalam fase ebb dengan kebutuhan kalori rendah dan dalam kondisi yang hiperglikemia sehingga pemberian nutrisi terutama enteral dapat ditunda sampai keadaan pasien stabil (1-2 hari pasca syok). Berikut rumus BMR menggunakan rumus Haris-Benedict. a. BMR (laki-laki) = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) (6,76 x umur); b. BMR (perempuan) = 655 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) (4,7 x umur) (Cooper et al. 2000). Untuk kalori tambahan memiliki persentase sebagai berikut. a. 30 50% = aktivitas banyak duduk; b. 55 60% = aktivitas ringan; c. 65 70% = aktivitas sedang; dan d. 75 100% = aktivitas berat (Cooper et al., 2000). Maka total kalori yang diperlukan per hari yaitu BMR + Kalori Tambahan (Cooper et al., 2000).. 2.11. Pemberian Nutrisi pada Pasien Syok Hipovolemik Pemberian nutrisi enteral belum dianjurkan bagi pasien syok hipovolemik dalam waktu 24 48 jam setelah trauma. Nutrisi parenteral dapat diberikan, dimana asupan enteral tidak dapat terpenuhi dengan baik dan diberikan sedini mungkin disesuaikan dengan kondisi dan stabilitas pasien (Burris et al., 1999).

25

Tabel 2.6. Perubahan Metabolik pada Fase Ebb dan Fase Flow Fase Ebb Fase Flow Hipometabolik Hipermetabolik Hipotermia Hipertermia Kebutuhan kalori rendah Kebutuhan kalori tinggi Produksi glukosa normal Produksi glukosa bertambah Katabolisme protein ringan Katabolisme protein tinggi Hiperglikemia Normal atau hiperglikemia Kadar katekolamin tinggi Katekolamin normal atau tinggi Glukokortikoid tinggi Glukokortikoid normal atau tinggi Kadar insulin rendah Kadar insulin tinggi Kadar glukagon tinggi Kadar glukagon normal atau tinggi Perfusi jaringan normal High cardiac debt Defisiensi perfusi jaringan Perfusi jaringan normal Suhu ekstremitas rendah Suhu ekstremitas tinggi Fase pre-reanimasi Fase recovery
Sumber : BMK Nutrisi (2008).

Refeeding syndrome merupakan kekacauan elektrolit yang sering terjadi pada pasien yang sakit akut, setelah diberikan larutan glukosa dan bentuk-bentuk lain dari nutrisi parenteral dan enteral. Pada saat starvasi atau kelaparan, sekresi insulin berkurang sebagai tambahan terhadap asupan karbohidrat yang rendah. Sebagai kompensasi, cadangan lemak dan protein dikatabolisme untuk menghasilkan energi. Ini mengakibatkan elektrolit intrasel terkuras, terutama fosfat. Cadangan fosfat intraseluler dari pasien malnutrisi bisa berkurang walaupun kadar fosfat serum normal. Ketika pasien mulai makan, pola metabolisme berubah dari lemak ke karbohidrat dan sekresi insulin meningkat. Ini merangsang ambilan fosfat ke dalam sel, dan bisa mencetuskan hipofosfatemia mencolok. Fenomena ini terjadi dalam beberapa hari setelah mulai makan. Fosfat dibutuhkan untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP) dari adenosin difosfat (ADP) dan untuk reaksi fosforilasi penting lainnya. Kadar fosfat serum kurang dari 0.50 mmol/l (kisaran normal 0.85-1.40 mmol/l) bisa menghasilkan gambaran klinis refeeding syndrome, yang terdiri atas rhabdomyolysis, disfungsi leukosit, gagal napas, gagal jantung, hipotensi, aritmia, kejang, coma dan mati mendadak. Penting diketahui bahwa gambaran klinis dini dari refeeding syndrome tidak spesifik dan mungkin tidak dikenali. Refeeding syndrome bisa terjadi dengan pemberian makan secara parenteral maupun enteral (Otsuka Indonesia, 2007).

26

Tanda khas refeeding syndrome adalah hipofosfatemia, namun hipokalemia dan hipomagnesemia juga lazim. Pasien dengan berbagai tipe keganasan memiliki risiko tinggi, tetapi jarang dibahas dikepustakaan onkologi, karena refeeding syndrome bisa menimbulkan komplikasi metabolik, kardiovaskular, hematologi dan neurologis, ahli onkologi perlu mengetahui patofisiologi, faktor-faktor risiko dan manifestasi klinik untuk bisa mendeteksi cepat kelainan metabolik penting dan berpotensi mematikan ini (Otsuka Indonesia, 2007). Faktor risiko independen untuk mengalami hipofosfatemia adalah malnutrisi bermakna yang diukur sebagai skor Nutrition Risk Screening (NRS) 3 atau lebih; kadar fosfat total dibawah 12 mmol/L pada hari pertama nutrisi parenteral; dan laju infus awal PN melebihi 70% dari kebutuhan yang dihitung (Otsuka Indonesia, 2007). Kaitan antara refeeding syndrome dan delirium memiliki makna khusus pada pasien lanjut usia, karena malnutrisi, perawatan rumah sakit dan delirium merupakan kejadian lazim pada populasi ini (Otsuka Indonesia, 2007). Kurang asupan kalori dan air menghasilkan penurunan berat badan. Hemokonsentrasi diamati dan pemberian makan harus dimulai dengan natrium rendah, cairan hipokalorik. Selama fase dini dari pemberian makan kembali, bisa terjadi hipofosfatemia, hemodilusi dan edema ringan. Vitamin B1, B12 dan B6 berkurang dalam serum, sementara kadar asam lemak serum, benda keton dan zink tinggi; kelainan fungsi hati berkembang dalam minggu pertama. Profil hormonal memperlihatkan kadar IGF-I dan insulin rendah, dan kadar IGF-binding protein-1 meninggi. Hormon pengatur napsu makan bisa sangat rendah (leptin dan ghrelin) atau tidak berbeda dari kelompok kontrol ( peptide YY, agouti-related peptide, alpha-melanocyte-stimulating hormone, neuropeptide Y dan proopiomelanocortin). Napsu makan rendah pada awal refeeding dan peningkatan sementara dari orexin dan resistin diamati sekaligus dengan meningkatnya rasa lapar (Otsuka Indonesia, 2007). Dari sisi pemberian kalori nonprotein dan asam amino untuk pasien malnutrisi berat, harus diawali dengan dosis sangat rendah dan dititrasi perlahanlahan. Larutan maintenance yang mengandung 30 g asam amino, 7.5% glukosa

27

yang dilengkapi dengan elektrolit dan mikromineral sangat dianjurkan sebelum beralih ke nutrisi parenteral dosis penuh. Larutan maintenance generasi baru adalah Aminofluid & B Fluid (Otsuka Indonesia, 2007).

BAB III KESIMPULAN

28

Hipovolemia berarti berkurangnya volume darah. Penyebab hipovolemia dapat berupa perdarahan (syok hemoragik) atau beberapa bentuk lain kehilangan cairan yang keluar dari tubuh, seperti melalui saluran cerna (perdarahan hebat, muntah hebat, diare persisten), melalui ginjal (misalnya diabetes melitus atau insipidus, diuretik dosis tinggi, poliuri setelah gagal ginjal akut), atau melalui kulit (luka bakar yang luas, pengeluaran keringat yang banyak tanpa disertai masukan cairan). Diagnosis dan terapi syok hipovolemik harus dilakukan secara simultan. Prinsip pengelolaan dasar harus dipegang adalah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.

DAFTAR PUSTAKA

29

American College of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support for Doctors. 7th Ed. Sain Clair st., Chicago, United States of America. Bresler M.J., Sternbach, G.L.; Suyono, Y.J. (alih bahasa). 2007. Manual Kedokteran Darurat. Ed. 6. EGC, Jakarta, Indonesia. Burris, D., Rhee, P., Kaufmann, C. et al. 1999. Controlled Resuscitation for Uncontrolled Hemorrhagic Shock. Journal of Trauma. Cooper, D.J., Walley, K.R., Wiggs, R.B., et al. 2000. Bicarbonate Does Not Improve Hemodynamic in Critically ill Patients Who Have Lactic Acidosis . Annals of Internal Medicine. Guyton, A.C.; Irawati dkk. (alih bahasa). 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. II. EGC, Jakarta, Indonesia. Huskisson, L. 2006. Intravenous Volume Replacement: Which Fluid and Why? Archives of Disease in Childhood, Nuffield Department of Paediatric Surgery, Institute of Child Health, London. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiaologi. Bagian Anestesiaologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia. Lucas, C.E., Ledgerwood, A.M. Saxe, J.M. 1996. Resuscitation from Hemorrhagic Shock. Philadelphia, United State of America. Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed. The McGraww-Hill Companies, Philadelphia, USA.

BMK Nutrisi. 2008. BMK Gizi. Wisma Hijau, Kalbe, Jakarta, Indonesia. Otsuka Indonesia. 2007. Pedoman Cairan Infus. Edisi IX. Otsuka, Jakarta, Indonesia. Rifki, AZ. 1999. Syok dan Penanggulangannya. Simposium Sehari: Beberapa Aspek Klinis Pemberian Cairan Parenteral Secara Rasional. PAPDI Cab. Padang, Indonesia.
Shann, F. 2008. Drug Doses. Intensive Care Unit, Royal Childrens Hospital, Parkville, Viktoria, Australia. Silbernagl, S., Lang, F.; Setiawan I. (alih bahasa). 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC, Jakarta, Indonesia. Velanovich V. 1990. Crystalloid Versus Colloid Fluid Resuscitation : A meta-analysis of Mortality. Surgery.

30

You might also like