You are on page 1of 16

Sinusitis Maksilaris

BAB I PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.1 Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.1 Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1 Yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.1 Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat dengan akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen.1 Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

Sinusitis Maksilaris

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


2.1 Hidung A. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior).1,8 Hidung luar dibentuk oleh kerangka kulit dan tulang rawan yang dilapisi oeh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), tepi anterior kartilago septum.1,8 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior.1 Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.1,8 Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1

Sinusitis Maksilaris

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.1,8 Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.1,8 Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus, yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1,8 BATAS RONGGA HIDUNG Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1,8 KOMPLEKS OSTEOMEATAL (KOM) KOM merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, frontal, dan etmoid anterior.1 PENDARAHAN HIDUNG

Sinusitis Maksilaris

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.1,8 Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.1,8 Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.1,8 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superiorm dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber perdarahan.1,8 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.1 PERSARAFAN HIDUNG Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dan n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus (N V1).1,8 Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.1 Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. maksila (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1 Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1,8 B. Fisiologi Hidung

Sinusitis Maksilaris

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : (1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara ( air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, (2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu, (3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, (4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, (5) Refleks nasal.1,8 FUNGSI RESPIRASI Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.1 Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.1 Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 oC. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.1 Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.1 FUNGSI PENGHIDU Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum.1 Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.1 FUNGSI FONETIK Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
5

Sinusitis Maksilaris

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.1 REFLEKS NASAL Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.1 2.2 Sinus Paranasal A. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu.Ada empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri.Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam tulang.Semua sinus mempunyai muara ( ostium ) kedalam rongga hidung.2,8 Secara embrologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal.Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterior- superior rongga hidung.Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2,5 SINUS MAKSILA Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar, saat lahir sinus maksilaris bervolume 6-8 ml, kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa.2,9 Sinus maksila berbentuk pyramid.Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posterironya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah

Sinusitis Maksilaris

prosesus alveolaris dan palatum.Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara kehiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.2,8,9 Yang perlu diperhatikan dari antomi sinus maksila adalah : Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar(M1 dan M2), dan gigi molar M3 bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit.Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.2 SINUS FRONTAL Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai berbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.2 Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak digaris tengah.Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontal tidak berkembang.2 Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini.2,8 Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak diresesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.2 SINUS ETMOID

Sinusitis Maksilaris

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya dibagian posterior.Ukurannya dari anterior keposterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm dibagian posterior.2 Sinus etmoid berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang mempunyai sarang tawon, yang terdapat didalam massa bagian lateral os etmoid yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.Sel-sel ini jumlahnya bervariasi .Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya didepan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak diposterior dari lamina basalis.2 Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid.Didaerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.2 Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita.Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.2 SINUS SFENOID Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid dibelakang sinus etmoid posterior.Sinus sfenois dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.Ukurang adalah 2cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1, 7 cm.Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml.Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid.2 Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosa dan a.karotis interna ( sering tampak sebagai indentasi ) dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2 B. Fisiologi Sinus Paranasal
8

Sinusitis Maksilaris

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.2 Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain : (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2 PENGATUR KONDISI UDARA (AIR CONDITIONING) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.2 Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyi vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa rongga hidung.2 PENAHAN SUHU (THERMAL INSULATORS) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita, dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinussinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.2 MEMBANTU KESEIMBANGAN KEPALA Sinus membantu keseimbagan kepala dengan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan menambah berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.2 MEMBANTU RESONANSI SUARA Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus ada hewan-hewan tingkat rendah.2 PEREDAM PERUBAHAN TEKANAN UDARA
9

Sinusitis Maksilaris

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.2 MEMBANTU PRODUKSI MUKUS Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.2

BAB III SINUSITIS MAKSILARIS


3.1 Definisi Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal, yang kalau mengenai sinus maksila (Antrum Highmore) disebut dengan sinusitis maksila atau sinusitis dentogen.3,7,9 Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terkena inflamasi. Hal ini disebabkan karena sinus maksila adalah sinus yang paling besar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan ostiumnya terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering tersumbat.7,9 Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.3,9 3.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
10

Sinusitis Maksilaris

anatomi seperi deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.3,4,5,6,7 Pada anak hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untung menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.3,7 Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.3,7 3.3 Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar ( mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.3,6 Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.3 Bila kondisi ini menetap sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.3 Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.3 3.4 Klasifikasi dan Mikrobiologi Menurut perjalanan penyakitnya, Adams (1978) membagi sinusitis menjadi : Sinusitis akut, berlangsung beberapa hari sampai minggu

11

Sinusitis Maksilaris

Sinusitis subakut, berlangsung beberapa minggu sampai bulan Sinusitis kronik, berlangsung beberapa bulan sampai tahun5,7 Konsensus internasional (1995) membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas

sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu.3 Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan, dan kronik jika lebih dari 3 bulan.3 Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada rinosinusitis akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophylus influenza (20-40%), dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%).3,7 3.5 Gejala Klinis Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorok ( post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik, seperti demam dan lesu.3,4,5,7 Pada sinusitis maksilaris terdapat nyeri pipi yang khas yang tumpul dan menusuk, kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.3,4,6,7 Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.3,4,5 3.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.3 Pada inspeksi, yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pada palpasi, nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila.1,4 Pemeriksan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius.1,3 Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Ada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.1,3,7
12

Sinusitis Maksilaris

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto polos dengan posisi Waters, PA, atau lateral akan memperlihatkan kelainan berupa adanya perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1,3,4,5,7 CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus paranasal, adanya penyakit hidung dan sinus paranasal secara keseluruhan dan perluasannya.1,3 Pemeriksaan transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal. Bila pada pemeriksaan trasiluminasi tampak gelap pada daerah infraorbita, mungkin berarti antrum berisi pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen akan tampak perselubungan berbatas tegas dalam sinus maksila.1,3,4,5,7 Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.3,4,5 Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.1,3 3.7 Diagnosis Banding Rinitis atrofi Karsinoma hidung Benda asing di rongga hidung7

3.8 Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotic. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.3 Kelainan Orbita Disebabkan oleh lokasi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan per kontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul adalah edema palpebral, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.3,4
13

Sinusitis Maksilaris

Mukokel Adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, paling sering pada sinus maksilaris. Sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Piokel adalah mukokel terinfeksi yang gejalanya hampir sama dengan mukokel tapi lebih akut dan lebih berat.4

Kelainan intracranial Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus.3

3.9 Terapi Tujuan terapi sinusitis ialah : (1) Mempercepat penyembuhan, (2) Mencegah komplikasi, dan (3) Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.3 Antibiotic dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotic yang dipilih adalah golongan penisilin, seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang.3,4,5,7 Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topical, pencucian rongga hidung dengan NaCL atau pemanasan (diathermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.3,4,5,7 Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.3 TINDAKAN OPERASI Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
14

Sinusitis Maksilaris

jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.3 Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis, serta sinusitis jamur.3

DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal : 118-122 2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Ilmu Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal : 145-149 3. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. Hal : 150-154 4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Sinus Paranasalis dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamentals of Otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. Hal : 240-259 5. Mangunkusumo E. Sinusitis dalam Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan TelingaHidung-Tenggorok. 2005. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 136-141 6. Cody TR, Kern EB, Pearson BW. Sinusitis dalam Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. 2002. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

15

Sinusitis Maksilaris

7.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Sinusitis Akut dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid Pertama. Edisi ke-3. 2001. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 102-104

8. 9. 10.

Ballenger JJ. Hidung dan Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. 2001. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 1-17 Cora Z. 2011. Kolerasi Tes Kulit Cukit dengan Kejadian Sinusitis Maksilaris Kronik Di Bagian THT FK USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011.

16

You might also like