You are on page 1of 93

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

ASET BERSEJARAH DALAM PELAPORAN KEUANGAN ENTITAS PEMERINTAH Aisa Tri Agustini1 Hendrawan Santosa Putra2 Abstrak: Masalah-masalah akuntansi banyak dihadapi entitas pelaporan dalam kaitannya dengan aset bersejarah, baik dari sisi pengakuan, pengukuran, penilaian, maupun penyajian. Artikel ini mencoba menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan akuntansi aset bersejarah pada entitas pemerintahan dengan pendekatan studi literatur. Dari hasil studi literatur dapat disimpulkan bahwa entitas pemerintah seharusnya memperlakukan sama antara non-operational heritage assets dengan operational hertitage aset, yaitu diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Namun, jenis non operational heritage assets yang dapat diakui dalam neraca adalah jenis aset tanah dan bangunan bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan. Aset bersejarah yang memiliki kos yang dapat diukur secara andal dapat disajikan dalam neraca. Kos yang andal dapat diperoleh dengan mendeteksi dari mana aset bersejarah itu diperoleh. Aset bersejarah harus dapat dinilai dengan metoda yang tepat sehingga menghasilkan informasi yang andal mengenai kos pada aset bersejarah yang disajikan dalam laporan keuangan. Adanya pengakuan aset bersejarah akan mendorong pengelolaan aset bersejarah yang baik oleh entitas pengendali. Kata kunci: Aset bersejarah, pengakuan, pengukuran, penilaian, penyajian

1. Latar Belakang Aset tetap negara merupakan salah satu sektor yang paling strategis dalam pengelolaan keuangan negara. Pada umumnya nilai aset tetap negara paling besar dibandingkan akun lain pada Laporan Keuangan. Selain itu, keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran roda penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen aset negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Termasuk di dalamnya adalah aset bersejarah yang memiliki nilai historis yang patut dijaga kelestariannya. Aset bersejarah tidak akan terlepas dengan tata kehidupan dan awal mula keberadaan masa kini yang diawali kisah-kisah sejarah di masa lampau, kemudian meninggalkan bukti sejarah yang bernilai. Proses pengakuan aset dalam neraca merupakan suatu permasalahan yang perlu diteliti lagi kebenarannya. Tidak semua aset pemerintah diakui dan dinilai dalam neraca. Pada kenyataannya ketika sebuah entitas membuat laporan keuangan, aset selalu dimunculkan dalam neraca. Namun tidak halnya dalam pengakuan aset
1 2

Alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember

JEAM Vol X No. 1/2011

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

bersejarah yang termasuk juga dalam kekayaan negara. Lazimnya, suatu aset tetap dikategorikan sebagai aset bersejarah jika mempunyai bukti tertulis sebagai barang atau bangunan bersejarah. Aset bersejarah memberikan manfaat bagi pemerintah misalnya ketika aset bersejarah tersebut digunakan untuk perkantoran pemerintah seperti Gedung Sate Bandung yang dimanfaatkan sebagai kantor gubernur dan pemerintahan, Candi Borobudur yang digunakan sebagai objek wisata yang dapat mendatangkan pendapatan sendiri bagi pemerintah, dan juga museum untuk menyimpan barang barang bersejarah. Perbedaan penggunaan aset bersejarah tersebut, membuat perlakuan atas pencatatan nilai asetnya juga berbeda. Jika digunakan sebagai perkantoran, maka aset bersejarah tersebut bisa di taksir harga perolehannya dan ditulis pada neraca. Jika aset bersejarah berupa objek wisata, barang-barang bersejarah lainnya sulit untuk menaksir harga perolehannya. Secara umum tidak semua aset bersejarah mampu dinilai. Beberapa hanya mampu mengartikannya dari segi evaluasi keuangan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah aset bersejarah seperti apa yang dapat diakui dan dinilai dan apa manfaat yang diperoleh atas pengakuan tersebut. Banyak tantangan yang harus dihadapi dalam pengakuan aset bersejarah yaitu apakah itu dinilai dari nilai historis (historical cost) atau pengorbanan yang dilakukan untuk memperolehnya. Aset bersejarah terdiri dari beberapa jenis baik yang mudah dipindahkan maupun yang berupa bangunan, yang dimiliki umum, yayasan atau milik pribadi. Dari aset tersebut juga banyak yang diperdagangkan, bahkan sering kali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sosial dan budaya. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi aset bersejarah itu sendiri yang dapat menjaga kelestarian budaya, pendidikan dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting bagi aset bersejarah untuk diakui dan dikelola dengan selayaknya. Kata kuncinya adalah layak yang seharusnya dapat diterapkan dengan baik dari segi pengakuan dan pengelolaannya. Karena dengan adanya aset bersejarah yang dilindungi dan dilestarikan pemerintah akan berdampak pula pada penerimaan pendapatan negara dari objek atau aset bersejarah tersebut, sehingga dengan adanya pendapatan yang diperoleh dan aset tersebut tidak diperoleh dengan cara pembelian atau pemerintah tidak mengeluarkan kos tersendiri untuk memperolehnya. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana perlakuan aset bersejarah tersebut dalam pelaporan keuangan pada entitas pemerintahan. Dapatkah akuntansi sebagai teknologi dapat memperlakukan aset bersejarah dengan lebih baik atau lebih tepat. Studi literatur dalam artikel ini akan menjelaskan dan mendeskripsikan perkembangan mengenai konsep aset bersejarah jika ditinjau dari perspektif pengakuan, pengukuran, penilaian, dan penyajian. 2. Karakteristik dan Pengertian Aset Bersejarah 2.1.Karakteristik Di Indonesia, yang termasuk karakteristik aset bersejarah menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24 tahun 2005, para. 64-65) adalah sebagai berikut: a. Nilai kultural, lingkungan, pendidikan, dan sejarahnya tidak mungkin secara penuh dilambangkan dengan nilai keuangan berdasarkan harga pasar; b. Peraturan dan hukum yang berlaku melarang atau membatasi secara ketat pelepasannya untuk dijual; JEAM Vol X No. 1/2011 2

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

c. Tidak mudah untuk diganti dan nilainya akan terus meningkat selama waktu berjalan walaupun kondisi fisiknya semakin menurun; d. Sulit untuk mengestimasikan masa manfaatnya. Untuk beberapa kasus dapat mencapai ratusan tahun. Namun jika kita bandingkan definisi aset bersejarah dengan definisi aset pada umumnya, maka bisa kita sebutkan bahwa aset bersejarah memilki karakteristik yang hampir sama dengan aset tetap pada umumnya. Adapun kesamaan antara aset bersejarah dan aset tetap adalah sebagai berikut: 1. Berwujud 2. Berharga atau bernilai 3. Keduanya memiliki manfaat ekonomik atau potensi jasa 4. Timbul atas kejadian masa lalu 5. Dikuasai atau dikendalikan entitas Dari beberapa persamaan karakteristik aset bersejarah, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik aset tetap yang tidak bisa kita temukan dalam karakteristik aset bersejarah. Karena aset bersejarah memiliki lingkup yang cukup luas, maka sebelum kita menentukan harga kita harus mengetahui penggunaan aset bersejarah itu sendiri. Pada aset tetap terdapat kos yang melekat pada objek tersebut sehingga mudah menentukan berapa jumlah rupiah yang terkandung dalam aset tetap tersebut. Penggunaan beberapa metoda bisa kita gunakan untuk menilai berapa rupiah nilai aset tetap tersebut. Namun tidak halnya pada aset bersejarah, kos yang dilekati sangat sulit untuk ditelusuri. Hal inilah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap aset bersejarah. Penggunaan aset bersejarah dan waktu pemerolehan aset bersejarah akan mempengaruhi perlakuan pengakuan aset dalam laporan keuangan. Karena kos tersebut akan berpengaruh juga terhadap atribut yang akan ditampilkan dalam laporan keuangan. 2.2.Pengertian Berdasarkan karakteristik aset bersejarah yang telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa aset bersejarah merupakan aset yang berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi pada masa lampau yang dianggap bernilai bagi masyarakat dan pemerintah. Aset bersejarah ini ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang terjadi pada kehidupan bangsa dan negara yang menyangkut jejak orang yang dianggap penting dan kejadian yang mempengaruhi kehidupan negara serta membawa pengaruh besar pada masa kehidupan selanjutnya. Karena alasan inilah, pemerintah senantiasa mempertahankan keberadaannya dan melestarikan untuk generasi berikutnya. Praktik perlakuan yang diberikan pada aset bersejarah besar kemungkinan tidak akan sama, akan tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melestarikan peninggalan nenek moyang. Berikut ini beberapa definisi aset bersejarah: a. Menurut Websters New Twentieth Century Dictionari (1983), kata heritage diartikan sebagai: something handed down from ones ancestors or the past, as a characteristic, a culture, tradition, etc b. ASBs Statement of Principles mendefinisikan aset sebagai: rights or other access to future economic benefits controlled by entity as a result of past transactions or events JEAM Vol X No. 1/2011 3

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

c. Rowles (1992) mendefiniskan bahwa aset bersejarah menunjukkan aset fisik yang dimaksudkan masyarakat untuk dilestarikan dalam waktu yang tidak terbatas karena hubungannya dengan budaya, sejarah, dan lingkungan. d. Oxford Advanced Learners Dictionary Edisi 7 (2005) mengartikan sebagai the history, traditions and qualities that a country or society has had for m any years and that are considered an important part of its character e. Menurut Requirements and Guidance for the Preparation of Financial Statements (2003), APS No. 3: Valuation of Non-Current Assets (2004), dan APS No.5 Heritage assets atau Culturel assets yang diterbitkan di Australia, mendefinisikan aset bersejarah sebagai aset yang memiliki atribut budaya, sejarah, geografi, pengetahuan dan atau lingkungan yang unik dan pemerintah bermaksud untuk melindungi dengan waktu yang tidak terbatas. Contoh dari aset bersejarah mencakup koleksi seni, museum, perpustakaan, bangunan bersejarah, monumen, tanah tertentu yang memiliki nilai intrinsik teritorial. f. Pemerintah Swedia belum menemukan definisi yang jelas mengenai aset bersejarah. Karena mereka beranggapan apakah penting membedakan perlakuan antara aset bersejarah dengan aset tetap pada umumnya. Maka dari itu, pemerintah Swedia tidak membedakan aset bersejarah dengan aset lainnya. Heritage Assets in Accrual Accounting Perspective yang diterbitkan oleh Swedish National Accounting Authoruty (Ekonomistyrningverket-ESV) (2003) di Swedia menyebutkan aset bersejarah atau heritage assets mencakup beberapa jenis yaitu koleksi seni, kastil, reruntuhan (ruins), monumen, benda-benda purbakala, taman nasional, lukisan, bangunan, mebel, peralatan, bahkan ada yang berupa aset tidak berwujud. Aset bersejarah tersebut dilindungi untuk mempertahankan warisan budaya, sejarah, dan lingkungan. g. Berdasarkan data dari Resource Accounting yang diterbitkan HM Treasury (2003/2004) di Inggris, aset bersejarah merupakan aset yang dimaksudkan untuk dilestarikan sebagai kepercayaan generasi masa depan karena hubungan dengan budaya, lingkungan, atau sejarahnya. h. Amerika Serikat melalui US Financial Statement (2003) dan State Administrative and Accounting Manual-State of Washington (2001) menjelaskan aset bersejarah merupakan aset yang dimiliki pemerintah dan dikuasai untuk kepentingan sejarah, budaya, pendidikan, atau artistik/karakteristik arsitektur lainnya yang signifikan. Contoh aset tersebut di Amerika Serikat yaitu Mount Rushmore National Memorial, Yosemite National Park, benda-benda museum yang dipajang di Smithsonian Institution, Declaration of Independency the US Constitution dan Bill dan sebagainya. i. Menurut Valuation Guidance for Cultural and Heritage Assets, Accounting Policies-Statement of Reporting Entity of Chrischurch City Council (2003) dan Financial Statement of the Government of New Zaeland for the Year Ended 30 June 2004 menjelaskan bahwa aset bersejarah merupakan aset-aset yang dimiliki selama umur fisiknya dikarenakan keunikan budaya, sejarah, geografi, ilmu pengetahuan, dan atau lingkungannya. Aset tersebut berfungsi sebagai penyediaan pelayanan masyarakat yaitu sebagai fungsi pendidikan, penelitian, dan pelestarian budaya. j. Di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2005 telah mengatur perlakuan aset bersejarah di Indonesia dalam Standar JEAM Vol X No. 1/2011 4

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Akuntansi Pemerintah (SAP). Dalam standar tersebut menyebutkan bahwa pemerintah tidak mengharuskan untuk menyajikan aset bersejarah atau heritage assets di neraca namun aset tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Dikatakan sebagai aset bersejarah karena aset tersebut menyediakan kepentingan publik dari aspek budaya, lingkungan dan sejarahnya. Misalnya bangunan bersejarah, monumen, situs-situs purbakala seperti candi dan karya seni (work of art). Berdasarkan beberapa definisi aset bersejarah di atas, maka aset bersejarah dapat didefinisakn sebagai berikut: barang publik yang berharga dan membawa atribut-atribut unik yang berkaitan dengan budaya, sejarah, pendidikan/pengetahuan, lingkungan yang dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya dalam waktu yang tidak terbatas Hal tersebut bisa kita lihat bahwa terdapat hubungan aset bersejarah tersebut dengan kehidupan di masa lampau. Mereka menganggap bahwa aset bersejarah memang seharusnya menjadi bagian dari aset pemerintah yang bernilai yang digunakan untuk pelayanan publik atau untuk kepentingan masyarakat selama hal tersebut tidak merugikan. Aset bersejarah ini tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan ataupun keuntungan. Aset bersejarah memiliki peranan penting dalam pengembangan budaya bangsa. Sehingga pelestarian aset bersejarah perlu dilakukan. 3. Jenis-Jenis Aset Bersejarah Penggunaan aset bersejarah akan berpengaruh pada pengukuran dan penilaian aset bersejarah itu sendiri. Meskipun suatu item dalam aset bersejarah memenuhi kriteria pengakuan aset tetap, tidak berarti bahwa semua aset bersejarah harus diakui dalam laporan keuangan. Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangakan dalam pengakuan aset bersejarah. Untuk mempermudah pengakuan aset bersejarah terdiri dari dua jenis yaitu: a. Operatinal Heritage Assets atau Aset Bersejarah untuk Kegiatan Operasional Aset bersejarah ini merupakan jenis aset yang memiliki fungsi ganda yaitu selain sebagai bukti peninggalan sejarah, aset ini juga memiliki fungsi sebagai tempat kegiatan operasi pemerintah sehari-hari. Misalnya digunakan sebagai perkantoran. Jenis aset bersejarah ini perlu dikapitalisasi dan dicatat dalam neraca sebagai aset tetap. Seperti yang telah diatur dalam PSAP No. 07 paragraf 70. b. Non-operational Heritage Assets Aset jenis merupakan aset yang murni digunakan karena nilai estetika dan nilai sejarah yang dimiliki. Berbeda halnya dengan aset bersejarah yang digunakan untuk kegiatan operasional, aset ini tidak memiliki nilai ganda. Di Amerika, jenis aset ini disebut heritage assets, sedangkan untuk aset yang digunakan utnuk kegiatan operatonal disebut multi-use heritage assets. Jenis non operational heritage assets dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Tanah dan Bangunan Bersejarah (Cultural Heritage Assets) 2. Karya Seni (Collection Type Heritage Assets) 3. Situs-situs Purbakala atau Landscape (Natural Heritage Assets) Di Indonesia jenis aset ini tidak perlu diakui dalam neraca akan tetapi cukup dilaporkan pada Catatan atas Laporan Keuangan. JEAM Vol X No. 1/2011 5

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Pengakuan aset bersejarah yang termasuk dalam non operational heritage assets, penulis berpendapat bahwa pemerintah Indonesia seharusnya memperlakukan sama antara non-operational heritage assets dengan operational hertitage aset. Yaitu diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Namun, jenis non operational heritage assets yang dapat diakui dalam neraca adalah jenis aset tanah dan bangunan bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan. Hal ini sejalan dengan pengakuan aset bersejarah bahwa dapat diakui sebagai aset tetap dalam neraca jika memiliki kos yang andal. Untuk menentukan kos yang andal maka diperlukan bukti yang menunjukkan berapakah kos yang dilekatkan pada suatu item tersebut. Selama ini alasan yang digunakan untuk tidak mengakui non operational heritage assets adalah sangat sulit untuk memperoleh nilai yang andal, hal ini dikarenakan : a. Tidak ada data atau catatan atau bukti yang menunjukkan harga perolehan sehingga entitas pemerintah sulit untuk menentukan kos yang dilekatkan pada objek atau aset bersejarah yang berumur tua. Keandalan untuk menentukan kos tersebut adalah dengan mengetahui ketepatan dalam mengestimasi harga atau nilai yang dimiliki aset bersejarah tersebut. b. Jika kita sulit untuk menentukan keandalan nilai pada objek tersebut maka aset bersejarah juga tidak bisa dicatat dalam neraca. c. Adanya pertimbangan biaya dan manfaat untuk memperoleh estimasi nilai wajar aset bersejarah yang diperoleh pada periode sebelumnya. Bukan hal yang mudah untuk menentukan kos yang dilekatkan pada suatu objek. Apalagi jika dikaitkan dengan nilai sejarah yang dimiliki. Butuh waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Nilai sejarah yang dikapitalisasi juga kurang berguna dan kurang dapat diperbandingkan dengan entitas lainnya karena ketidakmampuan mengukur aset bersejarah yang memiliki atribut yang unik untuk diperbandingkan dengan kos yang andal. 4. Pengakuan Aset Bersejarah Definisi yang dimiliki oleh masing-masing negara di dunia, akan berpengaruh terhadap proses pengakuan aset bersejarah. Namun, untuk diakui sebagai aset tetap haruslah berwujud dan memiliki kriteria sebagai berikut (PSAP no. 7 para. 16): a. Memiliki masa manfaat 12 bulan b. Biaya perolehan dapat diukur secara andal c. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas d. Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan. Praktik pengakuan aset bersejarah dalam laporan keuangan memiliki pola pemikiran yang berbeda-beda di setiap negara. Berikut ini merupakan praktik pengakuan aset bersejarah yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia. a. Australia Pengakuan aset bersejarah dicatat sebagai aset dalam laporan keuangan entitas. Aset diakui jika hanya manfaat ekonomis dari aset kemungkinan besar (probable) akan diperoleh di masa yang akan datang dan aset memiliki harga perolehan (cost) atau nilai lain yang diukur secara andal. Kebanyakan aset bersejarah di Australia memenuhi kriteria pengakuan. Jika terdapat aset yang tidak memenuhi kriteria pengakuan aset maka diperlakukan sebagai aset kontijensi. Aset kontinjensi adalah aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya suatu JEAM Vol X No. 1/2011 6

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas. b. Swedia Pengakuan aset bersejarah di Swedia berkaitan dengan potensi jasa dari aset bersejarah, meskipun tidak jarang aset bersejarah juga sering menghasilkan manfaat ekonomi, yang mungkin berupa tarif masuk (tiket masuk) dan sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah Swedia memandang aset bersejarah merupakan alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuannya dengan melindungi dan memelihara aset bersejarah yang bernilai. Dengan demikian, aset bersejarah sangat sesuai dengan definisi aset dan sebagai konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan sebagai aset. c. Inggris Aset bersejarah erat kaitannya dengan pemeliharaan sejarah. Dimana pemeliharaan tersebut terbagi menjadi non-operational heritage assets dan operational heritage assets. Keduanya diakui sebagai aset dalam laporan keuangan seperti dengan aset lainnya. Namun, karakteristik yang dimiliki non operational heritage assets tidak praktis atau tidak tepat, maka kategori ini tidak perlu dikapitalisasi, antara lain: - Koleksi Museum, Galeri, dan arsip lainnya yang per 31 Maret 2000 termasuk arsip nasional - Situs-situs purbakala, tanah pekuburan, reruntuhan, monumen dan patung. Bangunan dan tanah tetap dikapitalisasi meskipun manfaat dari informasi nilai akan datang berkurang jika manajer aset telah menerima informasi yang memadai mengenai kondisi aset dan rancangan pemeliharaan untuk memenuhi peran pengelolaannya (stewardship), dan manajer aset tidak dapat melepas aset. d. New Zaeland Aset bersejarah atau cultural assets merupakan aset yang digunakan secara terus-menerus dalam penyediaan jasa masyarakat. Menurut PPE (Property, Plan and Equipment) aset tetap adalah: are held by an entity for use in the production or supply of goods and services, for rental to others or for administrative purposes, and may include items held for the maintenance or repair of such assets and have been acquired or constructed with the intention of being used on a continuing basis Oleh karena itu aset bersejarah atau cultural assets yang memenuhi definisi diatas dapat diukur secara andal diakui dalam laporan keuangan entitas. e. Amerika Serikat Aset bersejarah yang hanya memiliki nilai sejarah tidak diakui dalam laporan keuangan. Sedangkan untuk aset bersejarah yang berfungsi ganda yaitu selain sebagai aset yang memiliki nilai sejarah namun juga untuk operasi sehari-sehari ( multiuse heritage assets ) dikapitalisasi sebagai Property, Plan, and Equipment (PP&E) dalam laporan keuangan pemerintah. Misalnya Gedung Putih ( White House ). Untuk aset bersejarah JEAM Vol X No. 1/2011 7

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

seperti koleksi seni, koleksi perpustakaan, koleksi museum yang bersejarah yang dianggap nilainya tidak akan menurun dari tahun ketahun maka tidak disyaratkan untuk dikapitalisasi dengan kondisi seperti: - Koleksi dimiliki untuk memajukan pelayanan publik, misalnya kemajuan pendidikan bukan untuk memperoleh keuntungan - Koleksi harus dilindungi dan dilestarikan - Koleksi merupakan subjek kebijakan pemiliknya (agen), dalam hal ini agen harus memberikan gambaran koleksi dan alasan koleksi tidak dikapitalisasi. Aset bersejarah yang tidak diakui dalam laporan keuangan dilaporkan secara terpisah dalam Stewardship Assets sebagai suplemen laporan keuangan. f. Indonesia Standar Akuntansi Pemerintah pada para. 66-67 menjelaskan aset bersejarah biasanya diharapkan untuk dipertahankan dalam waktu yang tidak terbatas. Aset bersejarah biasanya dibuktikan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pemerintah mungkin mempunyai banyak aset bersejarah yang diperoleh selama bertahun-tahun dan dengan cara perolehan beragam termasuk pembelian, donasi, warisan, rampasan, ataupun sitaan. Aset ini jarang dikuasai dikarenakan alasan kemampuannya untuk menghasilkan aliran kas masuk, dan akan mempunyai masalah sosial dan hukum bila memanfaatkannya untuk tujuan tersebut. Dalam SAP para 68-69 menyatakan aset bersejarah harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monumen, dalam Catatan atas Laporan Keuangan dengan tanpa nilai. Biaya untuk perolehan, konstruksi, peningkatan, rekonstruksi harus dibebankan sebagai belanja tahun terjadinya pengeluaran tersebut. Biaya tersebut termasuk seluruh biaya yang berlangsung untuk menjadikan aset bersejarah tersebut dalam kondisi dan lokasi yang ada pada periode berjalan. Aset bersejarah juga memberikan potensi manfaat lainnya kepada pemerintah selain nilai sejarahnya, sebagai contoh bangunan bersejarah digunakan untuk ruang perkantoran. Untuk kasus tersebut, aset ini akan diterapkan prinsipprinsip yang sama seperti aset tetap lainnya. Sedangkan untuk aset bersejarah lainnya, potensi manfaatnya terbatas pada karakteristik sejarahnya, sebagai contoh monumen dan reruntuhan (ruins) tidak diakui sebagai aset tetap. Pengakuan aset bersejarah berbeda-beda di masing-masing negara. Standar yang dijadikan pedoman dalam praktik pengakuan aset bersejarah juga disesuaikan dengan standar yang dimiliki oleh masing-masing negara. Hal ini juga berpengaruh pada pengunaan istilah aset bersejarah yang berbeda di masing-masing negara. Misalnya saja untuk menunjukkan aset tetap digunakan istilah Property, Plant and Equipment (PPE), Fixed Assets, Non-Current Assets, Capital Assets, dan sebagainya. Pada dasarnya, hampir semua negara menyepakati bahwa untuk aset bersejarah yang memiliki nilai atau kos yang dapat diukur secara andal harus tetap diakui sebagai aset tetap. Bagaimana pengakuan aset bersejarah tersebut jika dilihat dari jenis aset bersejarah. Untuk pengakuan aset bersejarah dalam laporan keuangan di beberapa negara akan di gambarkan dalam tabel berikut ini: JEAM Vol X No. 1/2011 8

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Tabel 1. Pengakuan Aset Bersejarah di Beberapa Negara Jenis Aset Bersejarah Perlakuan Pertukaran yang Berlaku moneter saat ini
Fair Value Fair Value Fair Value Fair Value Fair Value Diakui Tidak Diakui Cost Tidak berlaku Cost Cost Cost Cost Cost Cost Tidak berlaku

Pertukaran Non moneter


Fair Value Fair Value Fair Value Fair Value Fair Value Fair Value Tidak berlaku

Negara

Pengakuan
Diakui jika cost yang diukur dapat diandalkan (dapat ditentukan secara andal)

Australia Operational Non Operational (Tanah&Bangunan) Koleksi Situs Swedia Operational Non Operational (Tanah&Bangunan) Koleksi Situs Inggris Operational Non Operational

Tidak Diakui Tidak Diakui Diakui Diakui

Tidak berlaku Tidak berlaku Lower of DRC Lower of DRC or DRC

Tidak berlaku Tidak berlaku Cost Cost

Tidak berlaku Tidak berlaku Current Value Current Value

(Tanah&Bangunan) Koleksi Situs Amerika Operational Non Operational (Tanah&Bangunan) Koleksi Situs New Zaeland Non Operational (Tanah&Bangunan) Koleksi Diakui Fair Value Cost Fair Value Diakui Fair Value Cost Fair Value Operational Tidak Diakui Tidak Diakui Diakui Tidak berlaku Tidak berlaku Fair Value Tidak berlaku Tidak berlaku Cost Tidak berlaku Tidak berlaku Fair Value Diakui atas perolehan setelah 31 Maret 2000 Tidak Diakui Diakui Tidak Diakui Tidak berlaku Tidak berlaku Cost Tidak berlaku Cost Tidak berlaku Cost Tidak Berlaku Current Value Tidak berlaku Fair Value Tidak berlaku

JEAM Vol X No. 1/2011

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Situs Indonesia Operational Non Operational (Tanah&Bangunan) Koleksi Situs

Diakui Diakui Tidak Diakui

Fair Value Fair Value Tidak berlaku

Cost Cost Tidak Berlaku

Fair Value Fair Value Tidak berlaku

Tidak Diakui Tidak Diakui

Tidak berlaku Tidak berlaku

Tidak berlaku Tidak berlaku

Tidak berlaku Tidak berlaku

Tabel di atas menjelaskan bahwa untuk operational heritage assets atau aset bersejarah untuk kegiatan operasional harus diakui sebagai aset dalam laporan keuangan pemerintah. Karena dari operational heritage assets juga bisa kita lihat bahwa pemerintah jelas akan memperoleh potensi jasa atau manfaat ekonomi. Potensi jasa tersebut dilihat dari nilai sejarah yang terkandung dalam aset bersejarah tersebut sehingga membuat masyarakat terkenang akan kisah atau peristiwa yang terjadi (berfungsi untuk pelayanan publik) dan manfaat ekonomik juga diperoleh dari kegiatan operasi pemerintah sehari-hari. Dengan demikian, potensi manfaat tersebut akan diperoleh setelah periode akuntansi berjalan sehingga aset bersejarah memiliki perlakuan yang sama dengan aset tetap pada umumnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan yang ada dalam PSAP No. 7- paragraph 70 yang menyatakan: Beberapa aset bersejarah juga memberikan potensi manfaat lainnya kepada pemerintah selain nilai sejarahnya, sebagai contoh bangunan bersejarah digunakan untuk ruang perkantoran. Untuk kasus tersebut, aset ini akan diterapkan prinsip-prinsip yang sama seperti aset tetap lainnya. Sedangkan untuk non operational heritage assets atau aset bersejarah yang bukan digunakan untuk kegiatan operasi pemerintah tidak semua negara memperlakukan aset tersebut sama dengan aset tetap pada umumnya. Untuk non operational heritage assets terbagi menjadi tiga jenis yaitu: a. Tanah dan Bangunan Bersejarah b. Koleksi Benda Bersejarah c. Situs-situs bersejarah Dari tabel di atas untuk Australia, Inggris, dan New Zaeland mensyaratkan aset jenis tanah dan bangunan bersejarah diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Baik untuk aset bersejarah periode yang sudah dimiliki maupun yang diperoleh pada periode berjalan. Sedangkan Amerika, dan Indonesia sendiri tidak mengharuskan pengakuan tersebut dalam neraca. Untuk Swedia sendiri hanya mengakui aset jenis ini sebagai aset tetap jika aset bersejarah tersebut diperoleh pada periode berjalan yaitu dimulai dari Januari 2003. Jenis aset bersejarah yang tergolong koleksi benda bersejarah ini adalah misalnya koleksi museum, koleksi galeri biasanya memiliki nilai seni yang tingi, arsip nasional dan sebagainya. Aset jenis ini hanya New Zaeland dan Australia yang mengharuskan pengakuan di dalam neraca. Sedangkan Inggris mulai mengubah perlakuan atas jenis aset bersejarah ini mulai 31 Maret 2000. Inggris mulai mengakui aset bersejarah jenis koleksi benda bersejarah sebagai aset tetap dalam neraca sejak tahun tersebut. Swedia mengakui koleksi benda bersejarah hanya jika aset bersejarah tersebut diperoleh pada periode berjalan. Sedangkan Amerika dan Indonesia tetap tidak JEAM Vol X No. 1/2011 10

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

memperlakukan aset bersejarah tersebut sebagai aset tetap. Untuk situs-situs purbakala seperti candi Borobudur, monumen dan lain sebagainya hanya Australia dan New Zaeland yang mengakui aset bersejarah ini dalam neraca. 5. Pengukuran Aset Bersejarah Kriteria suatu benda dapat dikatakan pengakuan aset salah satunya adalah keterukuran (measureability) manfaat ekonomik yang akan datang. Pengukuran merupakan penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek aset pada saat terjadinya atau pada saat awal aset bersejarah diperoleh. Pengukuran kos pada aset bersejarah tersebut akan dijadikan data dasar untuk mengikuti aliran fisis objek tersebut atau kos yang dilekatkan pada setiap objek aset. Praktik pengukuran aset bersejarah memiliki persepsi yang berbeda. Persepsi ini akan berpengaruh juga terhadap proses penyajiannya dalam laporan keuangan. Adapun praktik pengukuran aset bersejarah di beberapa negara adalah sebagai berikut: a. Australia Aset bersejarah mempunyai dua nilai yaitu yang berkaitan dengan pasar dan estika, sosial atau lingkungan. Namun nilai estetika ini sulit sekali diukur nilainya sehingga informasinya ditampilkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ketentuan-ketentuan pengukuran aset bersejarah di Australia adalah sebagai berikut: o Jika kos suatu aset dapat di tentukan Aset bersejarah harus diukur dengan menggunakan kerangka nilai wajar. Kerangka yang sama diterapkan untuk aset fisik lainnya. Item yang unik biasanya tidak dapat dilakukan pengukuran. Potensi jasa yang dimiliki untuk kepentingan budaya dapat dibandingkan dengan item lain jika item tersebut memiliki tingkat potensi jasa atau kepentingan budaya yang sama. Misalnya, aset pakaian dari periode tertentu mungkin dapat diganti dengan pakaian pada periode yang sama. Namun jika pakaian tersebut dilihat atau dinilai dari orang yang memakai maka item penggantinya harus berkaitan dengan orang yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh penilaian pada biaya yang reasonable yang akurat secara material. Untuk mencapai tujuan ini, harus ditempuh tahap-tahap atau teknik random sampling untuk menilai koleksi lainnya. Yaitu dengan melibatkan sejumlah tahap, seperti sampel dan ekstrapolasi untuk menentukan nilai koleksi. Metoda ini sangat mempertimbangkan lokasi, cara penyimpanan aset, atau dimaksukkan dalam nilai aset basis baru revaluasi dan di buat penyusutannya selama sisa manfaatnya. o Jika kos suatu aset bersejarah tidak dapat ditentukan Dalam hal ini pemerintah Australia dapat memperkerjakan pengukur (appraiser) dari luar. Appraiser merupakan pihak yang memiliki keahlian untuk memperkirakan dengan tepat kos yang terdapat pada suatu objek. Pemerintah Australia memerlukan jasa penilai karena di dalam pemerintahannya sendiri jika tidak terdapat penilai yang ahli di bidang tersebut dan tidak terdapat objektivitas penilai internal. o Untuk Aset bersejarah yang tidak memiliki biaya atau nilai lain yang dapat ditentukan secara andal maka akan dilaporkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan dan dialokasikan masing-masing $1000. Metoda pengukuran aset bersejarah adalah dengan menggunakan nilai wajar. Australia mencatat nilai aset bersejarah di dalam neraca baik untuk operational heritage asset maupun non operational heritage assets. Metoda nilai wajar yang JEAM Vol X No. 1/2011 11

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

digunakan tidak berbeda jauh dengan apa yang telah diterapkan New Zaeland. Prosedur yang digunakan adalah: o Apabila terdapat pasar aktif dan likuid, maka nilai wajarnya adalah dengan menggunakan harga pasar o Apabila tidak terdapat pasar aktif dan likuid tetapi ada bukti pasar untuk aset serupa maka estimasi nilai wajarnya menggunakan bukti pasar (market evidence) o Apabila tidak terdapat pasar atau harga beli dan harga jual pasar berbeda secara material nilai wajar ditentukan dengan referensi harga beli pasar dari aset tersebut o Apabila harga pasar tidak ada atau tidak dapat diperoleh dari aktivitas pasar, nilai wajarnya ditentukan oleh apakah potensi jasa aset tersebut tergantung atau tidak pada perolehan arus kas masuk bersih. Apabila potensi jasa tidak tergantung pada perolehan arus kas masuk bersih, maka nilai wajarnya ditentukan dengan menggunakan written down current cost (jika aset akan diganti bila aset entitas hilang) atau market selling price (jika aset tidak akan mengganti bila aset entitas hilang). Penilaian non operational heritage assets di Australia menggunakan kerangka yang sama dengan operational heritage assets. b. Swedia Pemerintah Swedia mengimplemtasikan akuntansi akrual dan penggunaan biaya historis untuk mengukur kos aset bersejarah. Misalnya dalam penggunaan uang untuk pembelian aset bersejarah maka seharusnya dilaporkan sebagai perubahan aset bukan sebagai biaya dalam laporan keuangan kinerja (laporan operasi). Bagi Swedia, alokasi biaya merupakan hal yang sangat krusial. Namun, Swedia lebih memfokuskan pada laporan kinerja keuangan. Swedia menganggap bahwa biaya historis merupakan cara terbaik untuk mencerminkan kelangkaan dalam satuan uang. c. Inggris Operational heritage assets dinilai sama dengan pengukuran aset tetap berwujud lainnya. Aset tetap harus dinilai pada saat yang lebih rendah antara biaya penggantian dan nilai guna. Sedangkan non operatinal assets yang harus dikapitalisasi harus dinilai dengan basis berikut: o Jika ada pasar aset sejenis, aset dinilai pada masa yang lebih rendah o Jika tidak ada pasar aset sejenis, aset dinilai dengan depreciated replacement cost (biaya penggantian ) kecuali jika bangunan atau aset bersejarah tersebut tidak akan dibangun kembali secara fisik maka nilainya nol. d. Amerika Serikat Basis pengukuran terhadap aset bersejarah yang digunakan Amerika Serikat adalah harga perolehan. Jadi untuk mengakui aset bersejarah dapat dilakukan jika pemerintah mengetahui secara pasti dengan adanya bukti yang ditemukan di awal proses pengakuan berapa harga perolehan yang terdapat pada aset bersejarah disana. Namun, jika informasi mengenai penntuan nilai aset yang diperoleh pada periode sebelumnya tidak dapat diperoleh, maka Amerika Serikat tidak mengakui aset bersejarah tersebut dalam neraca. Standar yang berlaku di negara ini adalah hanya menyebutkan bahwa aset bersejarah yang termasuk multi-use heritage assets dapat diakui sebagai aset tetap dan tetap diakui sebagai aset di dalam neraca. Apabila jenis aset bersejarah yang JEAM Vol X No. 1/2011 12

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

tergolong heritage assets (non multi-use heritage assets) maka pemerintah tidak memberikan suatu bentuk akuntabilitas mengenai kos yang terkandung. Masyarakat telah mempercayakan kepada pemerintah untuk menjaga dan melestarikan aset bersejarah yang dimiliki sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Apabila dalam pemerolehan awal aset bersejarah diperoleh dari donasi maka tidak perlu diakui dalam laporan keuangan. Namun jika nilai wajarnya diketahui dan material maka perlu dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan dalam tahun yang bersangkutan. Jika tidak diketahui maka informasi lainnya dapat dicantumkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. e. New Zealand Aset bersejarah atau cultural assets pada saat pertama kali diakui adalah diukur dengan basis yang sama dengan aset tidak lancar fisik lainnya. Yaitu dicatat pada harga perolehan. New Zealand mengakui aset bersejarah sebagai aset tetap mereka, dan mereka dapat memperkirakan kos yang dilekatkan pada jenis aset bersejarah berdasarkan teknik-teknik yang mereka berlakukan di negaranya. Di New Zealand mereka menggunakan metoda nilai wajar untuk menilai aset bersejarah. Prosedur yang digunakan adalah sebagai berikut: o Jika terdapat pasar aktif untuk aset yang sama atau aset yang serupa ada, maka nilai wajar akan ditentukan dengan referensi harga pasar (market price) o Jika pasar aktif tidak ada, nilai wajar ditentukan dengan menggunakan bukti yang didasarkan pasar (market based evidence) o Jika nilai wajar tidak dapat ditentukan secara andal dengan menggunakan buktibukti yang didasarkan pasar, maka estimasi nilai wajar ditentukan dengan menggunakan biaya penggantian yang didepresiasikan (depreciated replacement cost). Pada dasarnya terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan nilai wajar (fair value). Suatu aset dan liabilitas yang dimiliki, dinilai berdasarkan seberapa bernilainya (worth) pos-pos dari elemen tersebut pada saat pelaporan. Seberapa bernilai ini artinya, entitas menampilkan nilai sesungguhnya dari entitas pada saat pelaporan, bukan nilai masa lalunya pada saat pelaporan. f. Indonesia Pengukuran aset bersejarah apabila memiliki karakteristik yang sama dengan aset dapat diperlakukan sama dengan aset tetap. Yaitu dengan menggunakan metoda tertentu untuk menentukan kos yang dilekatkan pada suatu objek. Misalnya dengan menggunakan historical cost atau pun nilai wajar pada saat pengukuran diawal pengakuan aset bersejarah. Dalam SAP para. 24 menyatakan barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset dan dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya perolehan. Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh. Apabila harga perolehan sudah tidak tepat untuk mengetahui kos yang andal maka nilai wajar dapat digunakan untuk mengestimasi berapa kos yang dilekatkan pada pada suatu item. Suatu aset tetap mungkin diterima pemerintah sebagai hadiah atau donasi. Sebagai contoh, tanah mungkin dihadiahkan ke pemerintah daerah oleh pengembang (developer) dengan tanpa nilai yang memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun tempat parkir, jalan, ataupun untuk tempat pejalan kaki. Suatu aset juga JEAM Vol X No. 1/2011 13

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

mungkin diperoleh tanpa nilai melalui pengimplementasian wewenang yang dimiliki pemerintah. Sebagai contoh, dikarenakan wewenang dan peraturan yang ada, pemerintah daerah melakukan penyitaan atas sebidang tanah dan bangunan yang kemudian akan digunakan sebagai tempat operasi pemerintahan. Untuk kedua hal di atas aset tetap yang diperoleh harus dinilai berdasarkan nilai wajar pada saat aset tetap tersebut diperoleh (para.26) Berdasarkan beberapa teknik pengukuran yan dilakukan di masing-masing negara, penulis menyimpulkan bahwa jika aset bersejarah memiliki kos yang dapat diukur secara andal maka aset bersejarah dapat diakui dalam neraca. Kos yang andal ini dapat diperoleh dengan mendeteksi dari mana aset bersejarah itu diperoleh. Penentuan kos tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metoda historical cost, nilai wajar, atau pun lelang jika tidak terdapat pasar aktif yang dapat digunakan untuk mengukur kos aset bersejarah. Apabila tidak ada metoda yang tepat untuk mengukur kos tersebut, maka pemerintah tidak bisa menampilkan aset bersejarah dalam laporan keuangan dengan menyertakan jumlah rupiah yang dapat mewakili nilai aset bersejarah. 6. Penilaian Aset Bersejarah Penilaian aset bersejarah merupakan suatu proses untuk menunjukkan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap elemen atau pos statemen keuangan pada saat penyajian. Setelah melalui proses pengukuran untuk pengakuan awal, suatu objek dapat saja mengalami perubahan nilai. Perubahan tersebut bisa menyebabkan bertambahnya kos yang dilekatkan pada suatu objek, atau membuat kos yang dilekatkan pada suatu objek semakin rendah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyusutan terhadap suatu objek, kerusakan pada objek akibat bencana sehingga membutuhkan renovasi, atau dapat pula disebabkan oleh adanya perbaikan rutin objek akibat termakan usia. Tujuan dari penilaian aset adalah untuk merepresentasi atribut pos-pos aset yang berpaut dengan tujuan laporan keuangan dengan menggunakan basis penilaian yang sesuai. Singkatnya, tujuan penilaian aset harus berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan. Berikut penulis sertakan teknik peneilaian yang dilakukan oleh beberapa negara di dunia. a. Australia Pada tahap penilaian, aset bersejarah dicatat nilainya berdasarkan besarnya biaya yang dikeluarkan selama masa penggunaan atau keberadaan aset bersejarah. Misalnya akibat adanya penyusutan aset bersejarah maka perlu dilakukan penilaian atas aset bersejarah. Karena dapat saja nilai atau kos yang dilekatkan pada objek akan berubah. Australia menerapkan metoda depresiasi untuk aset bersejarah yang memiliki masa manfaat yang terbatas. Sedangkan untuk aset bersejarah yang tidak terbatas masa manfaatnya maka tidak perlu adanya depresiasi karena nilai penyusutan pada aset bersejarah akan semakin tidak material. Metoda depresiasi yang dipilih harus mencerminkan pola terbaik dari penggunaan aset atau kerugian potensi jasa dan diterapkan secara konsisten dari satu periode akuntansi ke periode akuntansi berikutnya. Mengkapitalisasi pengeluaran aset bersejarah dan diakui dalam laporan keuangan sebagai non-cultural asset jika jumlah yang dikeluarkan tersebut material dan dapat kita telusuri apakah ada pengaruh dengan potensi jasa aset tersebut. Dimana peningkatan potensi jasa tersebut dapat diukur dengan mengindikasikan peningkatan masa manfaat atau perolehan JEAM Vol X No. 1/2011 14

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

pendapatan yang meningkat. Contoh dari pengeluaran tersebut yang dapat dikapitalisasi adalah pengeluran modal. Pengeluaran modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Sehingga perlakuan yang dilakukan adalah dengan mengkapitalisasi jumlah pengeluaran dalam laporan keuangan yaitu dengan menambahkan pada nilai buku aset atau dimasukkan dalam nilai aset basis baru revaluasi dan didepresiasikan sesuai dengan sisa masa manfaatnya. Biaya yang dikeluarkan selain penegeluaran modal adalah pengeluaran pemeliharaan. Pengeluaran pemeliharaan adalah pengeluaran yang dikeluarkan dan tidak menambah dan memperpanjang masa manfaat dan atau kemungkinan besar tidak memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja tetap dikategorikan sebagai belanja atau biaya pemeliharaan dalam laporan keuangan. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan diperlakukan sebagai beban periode berjalan Baik pengeleuaran modal maupun pengeluaran pemeliharaan keduanya akan mempengaruhi proses penilaian terhadap aset bersejarah. b. Swedia Pemerintah Swedia tidak mengkapitalisasi aset bersejarah yang sudah dimiliki dan mengkapitalisasi aset bersejarah tambahan. Ada beberapa basis penilaian yang digunakan untuk aset yaitu biaya historis, nilai pasar atau nilai penggantian selama aset bersejarah tersebut dimiliki. Alasan pemerintah Swedia tidak mengkapitalisasi aset bersejarah yang sudah dimiliki adalah karena untuk aset bersejarah sangat sulit untuk menentukan nilai aset yang umumnya sudah tua dan sesuai dengan kerangka konseptual, hanya aset yang dapat diukur saja yang secara andal dapat diakui. Pemerintah Swedia menggunakan biaya historis sebagai basis penilain aset bersejarah. c. Inggris Inggris adalah negara yang kaya akan seni dan aset bersejarahnya. Namun, hal tersebut tidak membuat negara ini acuh terhadap penguasaan dan pengawasan aset bersejarah tersebut. Inggris menggunakan metoda yang berbeda dari negaranegara lain. Yaitu dengan menggunakan mana yang lebih rendah antara biaya penggantian dengan jumlah yang dapat diperoleh kembali (Lower of Replacement Cost and Recoverable Amount). Biaya penggantian yaitu dilihat dari nilai penggunaannya (existing use value). Tidak semua aset memilki biaya penggantian yang mudah untuk diukur. Untuk aset bersejarah yang tidak memiliki pasar terbuka, biaya penggantiannya adalah Replacement Cost. Akan tetapi jika dimungkinkan aset bersejarah tersebut memiliki pasar terbuka maka nilainya ditentukan dengan menggunakan nilai pasar terbuka. Untuk jumlah yang dapat diperoleh kembali didefinisikan sebagaimana yang lebih tinggi antara nilai yang dapat direalisasikan bersih (net realizable value) dengan nilai guna (value in use). Nilai guna yang dimaksud paling tidak sama dengan biaya untuk mengganti potensi jasa aset. Penentuan nilai non operational heritage assets untuk JEAM Vol X No. 1/2011 15

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

jenis tanah dan bangunan bersejarah maupun koleksi benda bersejarah yaitu dengan mengunakan lower of depreciated cost and net realizable value. Jika aset tidak akan atau tidak dapat dibangun kembali secara fisik, maka nilainya sama dengan nol. d. Amerika Serikat Penilaian aset bersejarah di Amerika meliputi biaya-biaya yang digunakan pemerintah untuk tetap melestarikan aset bersejarah atau pengorbanan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendapatkannya. Misalnya biaya perolehan, rekonstruksi, dan biaya perbaikan multi-use heritage asset. Biaya-biaya tersebut dikapitalisasi sebagai general property, plant, and equipment (PP&E) dan didepresiasikan selama masa manfaat aset. Sedangkan selain biaya-biaya tersebut diperlakukan sebagai beban operasi umum periode berjalan dalam lampiran keuangan pemerintah. e. New Zealand Entitas pelaporan di New Zealand boleh menilai kembali aset bersejarah. Penilaian kembali (revaluasi) diperbolehkan asalkan entitas menggunakan nilai wajar. Adapun prosedur yang harus dilakukan untuk menilai kembali aset bersejarah antara lain : o Jika terdapat pasar aktif untuk aset yang sama maka harga pasarnya menjadi nilai wajarnya. o Jika tidak terdapat pasar aktif, maka nilai wajar tersebut harus ditentukan dengan menggunakan bukti yang didasarkan pada pasar lainnya (misalnya lelang). o Namun jika kedua hal tersebut tidak ada, maka digunakan Depreciated Replacement Cost (DRC). Tujuan untuk apa item tersebut dimiliki akan menentukan bentuk penggantian dan penilaian yang tepat. Penggunaan dari aset bersejarah juga akan menetukan perlu tidaknya dilakukan suatu pengukuran dan penilaian. Bangunan dan tanah dicatat berdasarkan nilai wajarnya setelah dikurangi akumulasi penyusutan sejak sejak 30 Juni 2004. Perlakuan tersebut juga berlaku untuk aset-aset fisik yang sulit diperoleh nilai pasarnya. Penerapan depresiasi ini dipraktikan di kota Christchurch untuk jenis bangunan bersejarah didepresiasikan antara 1%-4% dari penilaian sedangkan untuk asset bersejarah lainnya seperti koleksi buku, dan karya seni didepresiasikan sebesar 0,1% dari penilaian.

f.

Indonesia Metoda penilaian aset bersejarah di Indonesia saat ini adalah dengan menggunakan historical cost atau nilai wajar. SAP No. 24 menyatakan barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset dan dikelompokkan aset tetap pada awalnya harus diukur dengan biaya perolehan. Jika tidak, kita dapat menggunakan nilai wajar untuk menilai kos aset bersejarah tersebut. Teknik penilaian di Indonesia saat ini dterapkan untuk jenis operational heritage assets. Sedangkan untuk jenis non operational heritage assets tidak bisa diukur kos yang andal. Hal ini disebabkan oleh masih belum ditemukannya metoda yang tepat untuk menilai non operational heritage assets dan juga biaya yang besar serta waktu yang lama. JEAM Vol X No. 1/2011 16

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Dalam tahap penilaian aset bersejarah, pemerintah Indonesia melakukan proses ini dengan melihat adanya penyusutan dalam aset bersejarah. Aset bersejarah yang termasuk aset tetap dapat disusutkan sesuai dengan sifat dan karakteristik aset tersebut. Penyesuaian nilai aset tetap dilakukan dengan berbagai metoda yang sistematis sesuai dengan masa manfaat. Metoda penyusutan yang digunakan harus dapat menggambarkan manfaat ekonomik atau kemungkinan jasa (service potential) yang akan mengalir ke pemerintah. Masa manfaat aset tetap yang dapat disusutkan harus ditinjau secara periodik dan jika terdapat perbedaan besar dari estimasi sebelumnya, penyusutan periode sekarang dan yang akan datang harus dilakukan penyesuaian. Metoda penyusutan yang dapat dipergunakan antara lain: (a) Metoda garis lurus (straight line method); atau (b) Metoda saldo menurun ganda (double declining balance method) (c) Metoda unit produksi (unit of production method).(para54-57) Metoda depresiasi seperti yang sudah dijelaskan di atas memang tidak semua diberlakukan untuk semua jenis aset bersejarah. Sulitnya untuk menentukan besarnya depresiasi membuat penilai harus teliti dalam mengestimasi aset bersejarah. Jika tidak diperoleh estimasi yang terbaik maka informasi keuangan mengenai aset tersebut tidak dapat ditampilkan. Sehingga informasi lain yang relevan harus dilaporkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Misalnya informasi mengenai alasan ketidakmampuan memperoleh nilai yang andal, kuantitas, sifat dan fungsi aset serta signifikasi penggunaanya. Jika terdapat informasi mengenai biaya pemeliharaan juga dapat dimasukkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. 7. Metoda Penilaian Aset Bersejarah Penjelasan di atas menimbulkan rasa keingintahuan penulis akan pengakuan aset bersejarah terhadap metoda penilaian yang dilakukan oleh beberapa negara yang mengakui aset bersejarah sebagai aset tetap dan diakui dalam Laporan Keuangan. Metoda yang diterapkan di negara-negara seperti Australia dan New Zaeland dapat dipertimbangkan untuk penerapan metoda pengukuran aset bersejarah. Pada prinsipnya, untuk ke lima negara pada tabel 1 di atas mengakui operational heritage assets dalam laporan keuangan. Penilaian operational heritage assets yang diperoleh pada periode sebelumnya umumnya menggunakan kerangka nilai wajar. Nilai wajar merupakan konsep pengukuran yang memerlukan teknik pengukuran khusus dalam implementasinya. Teknik yang digunakan adalah tergambar sebagai berikut:

JEAM Vol X No. 1/2011

17

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

7.1.Penilaian Aset Bersejarah yang Diperoleh Pada Periode Berjalan Aset bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan maksudnya adalah peninggalan yang dibuat atau ditemukan pada periode berjalan karena adanya suatu peristiwa yang melatar belakanginya. Pemerintah dapat membuat batasan tahun dimana aset bersejarah jika dibuat setelah batasan tahun tersebut maka bisa diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Pengakuan aset bersejarah dalam periode berjalan akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai perubahan sumber daya entitas pemerintah kepada penyedia sumber daya atau pemakai laporan keuangan lainnya. Dengan demikian, akan mempermudah dalam menganalisa laporan keuangan, kinerja operasi dan pengelolaan aset bersejarah oleh entitas pemerintah dengan baik. Dan untuk menilai aset bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan lebih dapat diandalkan. Aset bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan dinilai dengan menggunakan atribut yang tepat sesuai dengan bagaimana cara perolehannya, apakah dengan membangun aset bersejarah tersebut akibat suatu peristiwa bersejarah, atau diperoleh dengan pertukaran moneter atau bahkan melalui pertukaran non moneter. JEAM Vol X No. 1/2011 18

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Biaya yang paling signifikan berkaitan dengan pengakuan perolehan periode berjalan adalah biaya pengukuran atribut yang dapat diverifikasi. Pengakuan terhadap pembelian aset bersejarah maksudnya dapat diukur dan atribut seharusnya dapat diperoleh dengan biaya paling sedikit. Jika perolehannya dari sumbangan pada periode berjalan memerlukan estimasi nilai wajar dari aset tersebut. Estimasi nilai wajar yang andal dapat diperoleh dari informasi yang digunakan untuk tujuan pajak, asuransi, atau penyelenggaraan catatan internal dengan sedikit tambahan biaya bagi organisasi, jika ada (Glazer dan Jeanicke, 1991). Tambahan biaya yang terjadi dalam memperoleh ukuran yang andal untuk perolehan aset bersejarah pada periode berjalan dapat dijustifikasi dengan manfaat substansial yang diperoleh dari informasi tersebut. Dengan informasi yang lebih lengkap mengenai perubahan sumber daya organisasi, penyedia sumber daya dan pemakai lainnya dapat menganalisa posisi keuangan, kinerja operasi dan pengelolaan aset bersejarah yang lebih baik. Misalnya jika perolehan periode berjalan diakui sebagai pendapatan atau keuntungan, pemakai memiliki informasi mengenai jumlah nilai uang dari kontribusi kas yang digunakan untuk membeli atau memperoleh aset bersejarah. Informasi tersebut dapat membantu pemakai laporan keuangan dalam membuat keputusan alokasi sumber daya yang lebih efektif dan efisien. Sehingga laporan keuangan lebih dapat dibandingkan antar entitas pelaporan. a) Aset bersejarah yang diperoleh melalui Pertukaran Moneter Apabila aset bersejarah diperoleh melalui transaksi yang wajar (arms length transaction) yang melibatkan aset atau kewajiban moneter, maka harga perolehan atau cost yang melekat pada aset bersejarah tersebut merupakan atribut yang paling relevan. Hal ini karena harga perolehan merupakan ukuran objektif dari aset bersejarah saat perolehan sehingga harga perolehan merupakan atribut yang logis untuk diukur ketika entitas pemerintah mengaki aset bersejarah dalam laporan keuangannya. b) Aset bersejarah yang diperoleh melalui Pertukaran Non Moneter Apabila sebaliknya aset bersejarah dperoleh melalui kegiatan non moneter seperti diperoleh melalui sumbangan, donasi, sitaan, rampasan, temuan dan sebagainya entiotas pastinya tidak memiliki bukti yang menunjukkan berpaka harga perolehan aset bersejarah tersebut sehingga harus menggunakan atribut pengukuran selain harga perolehan. Di beberapa negara berdasarkan penjelasan di atas atrbut pengukuran yang digunakan dalam kasusu seperti ini adalah melalui nilai wajar. Dengan demikian nilai wajar merupakan atribut yang digunakan dalam kasus ini. Penulis menggambarkan model pengakuan aset bersejarah untuk dapat dilaporkan dalam laporan keuangan adalah sebagai berikut:

JEAM Vol X No. 1/2011

19

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Gambar 2 Model Pengakuan Aset Bersejarah dengan Metode Nilai Wajar 7.2.Pemeliharaan Aset Bersejarah Aset bersejarah sesuai dengan tujuan pemerintah untuk melestarikan budaya lama atau peninggalan sejarah agar generasi masa mendatang tetap mengetahui bagaimana kisah sejarah ini terjadi maka perlu dilakukan pemeliharaan terhadap aset bersejarah. Pemeliharaan pada umumnya akan mengelauarkan biaya pemeliharaan dan renovasi yang cukup besar untuk mempertahankan aset bersejarah agar tetap dalam kondisi yang baik. Biaya pemeliharaan dikeluarkan secara rutin untuk merawat aset bersejarah agar tetap digunakan sebagaimana fungsinya. Sedangkan pengeluaran biaya renovasi akan meningkatkan kapasitas jasanya atau menambah masa manfaatnya. Oleh karena itu, pengeluaran biaya pemeliharaan harus dibebankan pada periode berjalan dan pengeluaran biaya renovasi harus dikapitalisasi sebagai aktiva tetap. Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan untuk aset bersejarah yang diakui dalam laporan keuangan dibebankan pada periode berjalan, tetapi harus tetap dikapitalisasi apabila jumlah dari biaya tersebut melebihi jumlah pengeluaran modal. Jumlah tersebut tergantung pada kebijakan akuntansi masing-masing entitas. Di Indonesia mensyaratkan bahwa pengeluaran biaya renovasi aset bersejarah harus JEAM Vol X No. 1/2011 20

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

dikapitalisasi sebagai aktiva tetap. SAP juga mensyaratkan bahwa masing-masing entitas pelaporan harus menetapkan kebijakan akuntansi berupa kriteria dan atau suatu batasan jumlah biaya tertentu untuk menetapkan kapitalisasi biaya. Hal ini dilakukan karena setiap entias pelaporan akan memiliki jumlah dan penggunaan aset tetap yang berbeda tergantung pada kondisi keuangan dan operasionalnya (PSAP No. 7 para 50-52) 7.3.Penyusutan Aset Bersejarah Penyusutan aset bersejarah adalah alokasi biaya perolahan aset selama masa manfaatnya. Mengingat aset bersejarah dilindungi oleh pemerintah dalam waktu yang tidak terbatas, nilainya meningkat terus meskipun kondisi fisiknya menurun, umur ekonomisnya sulit ditentukan, sehingga cenderung memiliki umur manfaat yang tidak terbatas pula. Dalam praktek di beberapa negara kecuali Swedia mensyaratkan adanya penyusutan terhadap aset bersejarah dengan syarat masa manfaatnya terbatas dan nilainya material. Swedia tidak menyusutkan aset bersejarah dengan pertimbangan aset tersebut biasanya memiliki umur ekonomis yang tidak terbatas. Sedangkan di Indonesia sendiri tetap mensyaratkan adanya penyusutan pada jenis operational heritage asset dan disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monumen, dalam Catatan atas Laporan Keuangan dengan tanpa nilai (SAP No. 7:PP No. 71 Tahun 2010). Penyusutan dalam entitas pemerintahan merupakan proses pendanaan aset, dengan beban yang dibuat sesuai dengan penyusutan yang telah ditentukan dengan pertimbangan jumlah yang diperlukan untuk mendanai penggantian aset, bukan sebagai ukuran potensi jasa yang dikonsumsi. Jika penyusutan merupakan proses pendanaan aset, pengakuan penyusutan hanya relevan jika aset tersebut diganti (Rowles,1992 hal.55). Perkembangan ilmu akuntansi saat ini mulai mengembangkan alternatif akuntansi penyusutan untuk mengukur biaya konsumsi jasa aset yaitu akuntansi pembaharuan (renewal accounting) dan pemeliharaan tertunda (deffered maintenance). Renewal Accounting disajikan dalam neraca dengan jumlah yang tetap dan perbaikan atau pemeliharaan yang berkaitan dengan aset tersebut dibebankan sebagai expense. Sedangkan untuk deffered maintenance memerlukan pencatatan di setiap periode pelaporan. Estimasi jumlah pengeluaran yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam aset. Kedua sistem tersebut berbeda dengan sistem penyusutan dimana beban ditentukan oleh referensi estimasi potensi jasa yang dikonsumsi (Rusdiyanto:2005). Menurut penulis, seharusnya untuk semua jenis aset bersejarah yang dapat diukur baik yang berfungsi sebagai operational heritage asset dan non operational heritage asset (misalnya tanah dan bangunan bersejarah) seharusnya dilakukan penyusutan. Meskipun pemerintah bermaksud untuk mempertahankannya dalam waktu yang tidak terbatas suatu bangunan tentunya memiliki daya tahan fisik yang terbatas. Informasi mengenai besarnya penyusutan dapat membantu pemerintah dalam memutuskan waktu perbaikan (renovasi), sehingga bangunan tersebut tetap dalam kondisi yang baik. Berbeda halnya pada jenis aset yang termasuk situs purbakala dan koleksi seni umumnya memiliki masa manfaat yang sangat lama dan nilai sisanya tinggi. Dengan demikian, nilai depresiasinya tidak material sehingga tidak perlu dilakukan penyusutan. Penyusutan aset bersejarah perlu dilakukan apabila masa manfaatnya terbatas dan nilainya material. Apabila tidak material, maka nilai JEAM Vol X No. 1/2011 21

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

aset bersejarah akan terus disajikan sebesar nilai perolehan awal dalam neraca entitas pelaporan pemerintah. Berdasarkan uraian-uraian di atas dan praktek perlakuan negara-negara lain terhadap aset bersejarah maka penulis menyimpulkan aset bersejarah yang dapat dinilai dengan metoda yang tepat sehingga menghasilkan informasi yang andal mengenai kos pada aset bersejarah yang disajikan dalam laporan keuangan. Bagi pemerintah Indonesia memang seharusnya untuk jenis aset bersejarah untuk kegiatan operasional pemerintah diakui dan dicatat dalam Laporan Keuangan. KSAP menetapkan suatu kebijakan akuntansi atau pedoman dalam menetapkan prosedur untuk menentukan nilai wajar operational heritage assets tersebut sehingga entitas pelaporan pemerintah Indonesia menggunakan atribut yang sama dalam penilaian aset bersejarah. Sehingga laporan keuangan antar entitas dapat diperbandingkan. Sedangkan untuk pengakuan non operational heritage assets menurut pendapat penulis sebaiknya untuk jenis aset bersejarah tanah dan bangunan bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan harus dinilai untuk kemudian diakui dalam neraca dengan tujuan pelaporan keuangan entitas pelaporan pemerintah. Karena pada dasarnya apabila aset bersejarah yang bernilai sering menjadi perhatian publik sehingga jika tidak dikelola dengan baik publik akan menilai entitas pemerintahan memiliki kinerja yang buruk. 8. Penyajian Aset Bersejarah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Tahap akhir dari beberapa proses pengakuan aset bersejarah adalah untuk melaporkan aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah. Pemerintah membuat laporan keuangan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan aset publik. Aset bersejarah merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh publik sehingga membutuhkan perhatian dari pemerintah agar tetap dalam keadaan yang baik. Pemerintah membuat laporan keuangan untuk memberikan informasi kepada publik, salah satunya adalah informasi akuntansi yang berupa laporan keuangan. Informasi keuangan berfungsi memberikan dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan dan merupakan alat untuk melaksanakan akuntabilitas pemerintah secara efektif. Dalam proses penyajian aset bersejarah, diharapkan aset bersejarah dapat disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi alasan ada/tidaknya aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah harus memiliki alasan yang pasti. Sehingga tidak timbul permasalahan publik. Praktik penyajian aset bersejarah merupakan akhir dari pengakuan aset bersejarah. Dalam penjelasan sebelumnya, beberapa negara memiliki persepsi yang berbeda mengenai aset bersejarah. Hal ini akan berdampak pula pada penyajian aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah. Seperti proses penyajian laporan keuangan di negara-negara berikut ini: a. Australia Pengklasifikasian aset di Australia didasarkan pada likuiditas yaitu current assets dan non-current assets. Aset bersejarah dimasukkan dalam Laporan Keuangan dengan klasifikasi non current assets dengan kategori Property, Plant, dan Equipment dalam seksi Heritage and Community Assets dan diungkapkan secara terpisah dalam catatan property, plan, dan equipment. Apabila entitas di Australia tersebut tidak mengakui aset bersejarah sebagai aset maka catatan atas laporan keungan harus mencakup deskripsi item tersebut, alasan tidak mengakui item, jumlah JEAM Vol X No. 1/2011 22

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

yang dikeluarkan untuk memperoleh item tersebut, dan jumlah dari pelepasan item selama tahun yang bersangkutan. b. Swedia Laporan konsolidasi pemerintah pusat, aset bersejarah tidak diungkapkan secara terpisah, tetapi dicatat sebagai Buildings, Land and other real estate. Karena pemerintah Swedia tidak membedakan suatu aset bersejarah dengan aset tetap lainnya. Di negara ini, aset bersejarah dikapitalisasi sebagai aset tetap sejak Januari 2003. Sedangkan sebelum Januari 2003 tidak dikapitalisasi. c. Inggris Aset bersejarah yang dikapitalisasi baik operational aset bersejarah maupun non-operational aset bersejarah, disajikan dalam tangible fixed assets sesuai dengan kategorinya masing-masing. Apakah itu dicatat sebagai bangunan, tanah, infrastruktur, alat transportasi, dan lain sebagainya. Pengungkapan atas kedua jenis aset tersebut harus dianalisis secara rinci, artinya baik non-operational assets maupun operational assets yang dikapitalisasi harus dimasukkan dalam judul asset yang sesuai. Untuk non operational asset yang tidak dikapitalisasi, maka pengungkapannya harus dimasukkan dalam Catatan atas Laporan Keungan sehingga rincian tersebut dapat memuat umur dan skala aset serta bagaimana aset tersebut diperoleh dan penggunaanya. d. Amerika Serikat Pemerintah Amerika Serikat melaporan aset bersejarah dalam Stewardship Assets sebagai informasi tambahan. Namun multi-use heritage assets dilaporkan sebagai General PP&E (general property, plant, and equipment) dalam neraca. Di Amerika informasi yang paling relevan adalah informasi non keuangan. Publik mempercayakan aset bersejarah ini kepada Pemerintah untuk menguasainya dan bertanggung jawab atas pemeliharannya. Pemerintah Amerika mengklasifikasikan aset bersejarah dalam Stewardship Assets Reporting menjadi tiga kategori yaitu: o Collection type Heritage Assets Collection type heritage assets meliputi objek-objek yang dikoleksi dan dipelihara di museum-museum atau perpustakaan. o Natural Heritage Assets Natural Heritage Assets meliputi pemandangan alami yang memiliki keindahan dan bias dijadikan objek wisata. Misalnya area hutan nasional, pemandangan yang indah, danau yang indah, sungai-sungai, natural landmark, grassland , dan sebagainya. o Cultural Heritage Assets Cultural Heritage Assets meliputi tempat-tempat bersejarah, tugu peringatan, monument, bangunan bersejarah nasional, dan tempat-tempat purbakala. e. New Zealand Aset bersejarah diklasifikasi PPE dalam neraca sesuai dengan kategori, tidak disajikan dengan judul cultural and heritage assets. Contohnya untuk bangunan JEAM Vol X No. 1/2011 23

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

bersejarah dicatat sebagi akun buildings, sedangkan koleksi aset bersejarah lainnya dicatat sebagai other assets. f. Indonesia Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) para. 64 tidak mengharuskan pemerintah menyajikan aset bersejarah dalam neraca, tetapi cukup dilaporkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Adapun aset bersejarah yang diakui dalam neraca adalah aset yang memiliki fungsi atau digunakan sebagai perkantoran. Selain dari nilai sejarah yang dimiliki, item ini juga digunakan sebagai operasional pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya pengakuan aset bersejarah dalam neraca. Untuk aset bersejarah yang tidak dgunakan sebagai operasional pemerintah maka di dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus memuat informasi-informasi yang terkait dengan objek tersebut. Aset bersejarah harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monument tanpa menggunakan nilai (para.68). Untuk biaya yang tekait dengan pemeliharaan atau rekonstruksi harus dibebankan sebagai belanja tahun terjadinya pengeluaran tersebut. Biaya tersebut termasuk seluruh biaya yang berlangsung untuk menjadikan aset bersejarah tersebut dalam kondisi dan lokasi yang ada pada periode berjalan. Penulis berpendapat bahwa, proses penyajian aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah merupakan final action dari tahap pengakuan, pengukuran, dan penilaian aset bersejarah. Apabila aset bersejarah lolos dalam tahap -tahap tersebut maka aset bersejarah harus disajikan dalam laporan keuangan. Misalnya aset bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan dan memiliki keterbandingan dan keterukuran dengan benda lain sehingga kos yang terkandung dalam aset bersejarah tersebut dapat merepresentatifkan kos yang melekat pada objek tersebut. Aset bersejarah yang dapat diakui sebagai aset tetap dalam neraca adalah Monumen Legian yang dibuat untuk mengenang kejadian pengeboman 2 Oktober 2002, selain itu pembuatan aset bersejarah lainnya yang memiliki kos yang andal untuk diakui. Adanya pengakuan aset bersejarah akan mendorong pengelolaan aset bersejarah yang baik oleh entitas pengendali. Apabila aset tersebut tidak diakui dalam laporan keuangan entitas pemerintah, publik tidak akan mengetahui perkembangan pengelolaan aset bersejarah yang berada dalam pengelolaan dan pengendalian pemerintah. 8.1.Standar Pelaporan Aset Bersejarah Berikut ini diuraikan standar akuntansi pelaporan aset bersejarah dari beberapa badan penyusun standar. a. International Public Sector Accounting Standard ( IPSAS)/International Accounting Standard Board (IASB) Pelaporan aset bersejarah diatur dalam IPSAS 17 tentang Property, Plant, and Equipment (PPE) paragraf 7-10. Standar tersebut tidak mengharuskan entitas untuk mengakui aset bersejarah yang memenuhi definisi dan kriteria pengakuan dari PPE. Jika entitas mengakui aset bersejarah, entitas harus menerapkan ketentuan pengungkapan dan ketentuan pengukuran. Aset disebut sebagai aset bersejarah karena signifikansi budaya, lingkungan atau sejarah. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa aset sejarah tersebut mencakup bengunan bersejarah, monumen, situs purbakala, daerah JEAM Vol X No. 1/2011 24

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

konservasi dan cagar alam serta karya seni. Ada beberapa karakteristik tertentu dari aset bersejarah yaitu : o Nilai budaya, lingkungan, pendidikan dan sejarahnya tidak mungkin tercermin penuh dalam nilai uang yang didasarkan pada harga pasar o Ketentuan hukum dan undang-undang yang melarang atau membatasi pelepasan dengan cara penjualan o Tidak mudah diganti nilainya dan terus meningkat sepanjang waktu meskipun kondisi fisiknya menurun o Sulit mengestimasi masa manfaatnya yang beberapa kasus dapat mencapai ratusan tahun. Aset bersejarah dimiliki oleh suatu entitas (pemerintah) biasanya diperoleh dengan cara pembelian, donasi, warisan, dan sitaan. Dan aset-aset bersejarah memang tidak dikeluarkan untuk menghasilkan arus kas masuk dan terdapat kendala hukum atau sosial jika menggunakan untuk tujuan tersebut. Beberapa aset bersejarah mempunyai potensi jasa selain nilai sejarah yang terkandung di dalamnya, misalnya bangunan bersejarah yang digunakan untuk perkantoran. Jika seperti itu bisa diakui atau diperlakukan sama seperti aset pada umumnya. Sedangkan untuk aset bersejarah yang potensi jasanya terbatas pada karakteristik sejarahnya, misalnya monumen dan reruntuhan, maka harus dicantumkan informasi yang berkaitan dengan aset tersebut. b. Statement of Federal Financial Accounting Standard (SFFAS)Federal Accounting Standard Advisory Boards (FASB) Aset bersejarah diatur dalam SFFAS No. 16 tentang Measurement and Reporting for Multi-use Heritage Assets yang merupakan amandemen dari SFFAS No. 6 dan 8 tentang Accounting for Property, Plant, and Equipment (PPE) dan Supplementary Stewardship Reporting. Aset bersejarah merupakan jenis PPE yang digunakan untuk kepentingan sejarah atau alam, kepentingan budaya, pendidikan dan keindahan, serta dapat pula digunakan untuk kepentingnya karakteristik arsitektur bangunan. Aset bersejarah pada umumnya diharapkan untuk dilindungi dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam beberapa kasus aset bersejarah digunakan untuk tujuan atau fungsi sejarah dan operasi pemerintahan umum. Dalam mencapai tujuan tersebut aset bersejarah dianggap sebagai multi-use heritage asset jika kegunaan utamanya adalah operasi pemerintahan umum. Biaya perolehan, perbaikan, atau rekonstruksi aset-aset tersebut harus dikapitalisasi seperti aset tetap lainnya dan disusutkan. Dimana biaya-biaya tersebut diakui pada statement of net cost untuk periode terjadinya biaya. Pelaporan informasi-informasi yang relevan mengenai aset bersejarah yang harus memuat hal-hal berikut ini: o Deskripsi setiap kategori utama aset bersejarah o Jumlah unit fisik yang ditambahkan dan dikeluarkan dari catatan aset bersejarah o Deskripsi metoda perolehan dan penarikan aset bersejarah o Kondisi aset kecuali kalau aset tersebut telah dilaporkan dalama Catatan Laporan Keuangan o Referensi ke catatan laporan keuangan jika deffered maintenance dilaporkan untuk aset.

JEAM Vol X No. 1/2011

25

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

9.

Simpulan Aset bersejarah merupakan aset yang dikuasai oleh negara dan harus dilestarikan untuk generasi mendatang. Berdasarkan karakteristik aset bersejarah, penulis menyimpulkan bahwa aset bersejarah merupakan barang publik yang berharga dan membawa atribut-atribut unik yang berkaitan dengan budaya, sejarah, pendidikan, pengetahuan, dan lingkungan yang dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya dalam waktu yang tidak terbatas. Jika ditinjau dari definisi, karakteristik, dan ciri-ciri dari aset bersejarah secara garis besar memiliki kesamaan dengan aset tetap. Karena aset bersejarah memiliki potensi jasa dan manfaat ekonomis masa depan. Pemerintah mengupayakan untuk melestarikan aset bersejarah tersebut dengan cara memelihara, merawat, dan mempertahankan nilainya untuk kepentingan pelayanan publik. Tujuan utama pemeliharaan ini bukan untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan sendiri bagi pemerintah, namun untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa sejarah juga tidak boleh terlupakan dan aset bersejarah merupakan bukti bahwa telah terjadi suatu kejadian penting yang mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara. Pada tahap pengakuan aset bersejarah dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya memperlakukan sama antara non-operational heritage assets dengan operational hertitage aset. Yaitu diakui sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Namun, jenis non operational heritage assets yang dapat diakui dalam neraca adalah jenis aset tanah dan bangunan bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan. Hal ini sejalan dengan pengakuan aset bersejarah bahwa dapat diakui sebagai aset tetap dalam neraca jika memiliki kos yang andal sehingga. Untuk menentukan kos yang andal maka diperlukan bukti yang menunjukkan berapakah kos yang melekati suatu item tersebut. Karena pada dasarnya apabila aset bersejarah yang bernilai sering menjadi perhatian publik sehingga jika tidak dikelola dengan baik publik akan menilai entitas pemerintahan memiliki kinerja yang buruk. Beberapa praktik akuntansi di beberapa negara mencoba menemukan apakah akuntansi dapat memperlakukan aset bersejarah dengan lebih baik. Penggunaan aset bersejarah dan waktu pemerolehan aset bersejarah akan mempengaruhi perlakuan pengakuan aset dalam laporan keuangan. Saat ini hanya Australia dan New Zaeland saja yang mengakui aset bersejarah sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Sedangkan di Amerika hanya mengakui operational heritage asset sebagai aset tetap dalam laporan keuangan. Sedangkan Swedia sendiri yang mengakui aset bersejarah yang diperoleh dalam periode berjalan. Tahap setelah proses pengakuan adalah proses pengukuran. Dalam proses ini kos yang dilekatkan pada objek atau suatu item harus dapat ditelusuri sehingga menghasilkan informasi yang andal. Terdapat beberapa teknik pengukuran aset bersejarah diantaranya adalah dengan menggunakan metoda historical cost, nilai wajar, atau pun lelang jika tidak terdapat pasar aktif yang dapat digunakan untuk mengukur kos aset bersejarah. Apabila tidak ada metoda yang tepat untuk mengukur kos tersebut, maka pemerintah tidak bisa menampilkan aset bersejarah dalam laporan keuangan dengan menyertakan jumlah rupiah yang dapat mewakili nilai aset bersejarah. Aset bersejarah yang memiliki kos yang dapat diukur secara andal maka aset bersejarah dapat diakui dalam neraca. Kos yang andal ini dapat diperoleh dengan mendeteksi dari mana aset bersejarah itu diperoleh. Penentuan kos tersebut dapat dilakukan. JEAM Vol X No. 1/2011 26

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Penilaian adalah tahap setelah proses pengukuran dilakukan. Aset bersejarah harus dapat dinilai dengan metoda yang tepat sehingga menghasilkan informasi yang andal mengenai kos pada aset bersejarah yang disajikan dalam laporan keuangan. Bagi pemerintah Indonesia memang seharusnya untuk jenis aset bersejarah untuk kegiatan operasional pemerintah diakui dan dicatat dalam Laporan Keuangan. Sedangkan untuk pengakuan non operational heritage assets, untuk jenis aset bersejarah tanah dan bangunan bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan harus dinilai untuk kemudian diakui dalam neraca dengan tujuan pelaporan keuangan entitas pelaporan pemerintah. Karena pada dasarnya apabila aset bersejarah yang bernilai sering menjadi perhatian publik sehingga jika tidak dikelola dengan baik publik akan menilai entitas pemerintahan memiliki kinerja yang buruk. Penyajian aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah merupakan final action dari tahap pengakuan, pengukuran, dan penilaian aset bersejarah. Apabila aset bersejarah lolos dalam tahap-tahap tersebut maka aset bersejarah harus disajikan dalam laporan keuangan. Penulis berpendapat bahwa, proses penyajian aset bersejarah dalam laporan keuangan pemerintah merupakan final action dari tahap pengakuan, pengukuran, dan penilaian aset bersejarah. Apabila aset bersejarah lolos dalam tahap-tahap tersebut maka aset bersejarah harus disajikan dalam laporan keuangan. Misalnya aset bersejarah yang diperoleh pada periode berjalan dan memiliki keterbandingan dan keterukuran dengan benda lain sehingga kos yang terkandung dalam aset bersejarah tersebut dapat merepresentatifkan kos yang melekat pada objek tersebut. Adanya pengakuan aset bersejarah akan mendorong pengelolaan aset bersejarah yang baik oleh entitas pengendali. Apabila aset tersebut tidak diakui dalam laporan keuangan entitas pemerintah, publik tidak akan mengetahui perkembangan pengelolaan aset bersejarah yang berada dalam pengelolaan dan pengendalian pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA Accounting Policy Team-New Zaeland Treasury.2002. Valuation Guidance for Cultural and Heritage Assets. Australian Government. Department of Finance and Administration. 2003.Requirement and Guidance for the Preparation of Finance Statements. Australia Australian Government, Department of treasury (2003), Accounting Policy Manual 2002-2003, Australia. Barton, Allan D.2000. Accounting for Public Heritage facilities-assets or liabilities of the Government, Auditing and Accountability Journal. Bradford. Chief Operating Officer and DVC. 2007. Heritage Assets: Valuation and Stocktaking Policy. The University of Sydney: Sydney Federal Accounting Standard Advisory Board.1999. Measurement and Reporting for Multi-Use Heritage Assets. Statement of Federal Financial Accounting Standards (SFFAS) No.16. Washington, DC:FASB

JEAM Vol X No. 1/2011

27

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Glazers, Alan S. dan Michael Henry R. Jaenicke. 1998. Government and NotFor_Profit Accounting: Concepts and Practices, John Willey & Sons, Ine: New York. International Federation of Accountants.2000. Government Financial Reporting Accounting Issues and Practices Public Sector Study 11. New York: Publik Sector Comitte. International Federation of Accountants.2003a. Handbook of International Public Sector Accounting Standards 2003 Edition. Januari. New York:IFAC International Federation of Accountants. 2006. Accounting for Heritage Assets Under the Accrual Basis of Accounting. New York. International Public Sector Accounting Standards Boards. 2006. Accounting for Heritage Assets Under the Accrual Basis of Accounting. International Federation of Accountants. Kingston University/RICS. (2007) Valuing our Heritage: a discussion document Kingston University/RICS. (2007) A Draft Summary Report on the Valuation of Heritage Assets. New Zealend.Government. Department of Treasury (2004). Financial Statement of the Government of New Zealand for the Year Ended 30 June 2004, www.treasury.govt.nz, Wellingtone Niswonger & Fees. (1977). Accounting Principles. Cincinnati, Ohio: South Western Publishing Co. Oxford Advanced Learners Dictionary.2005.7 Edition. England: Oxford University Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Standar Akuntansi Pemerintah No. 24 Tahun 2005. Jakarta Pallot, June.1990. The Nature of Public Assets: A Response to Mautz, Accounting Horizon. Pallot, June (1992), Elements of Theoritical Framework for Public Sector Accounting Accounting Auditing and Accountability Journal, Vol. 5, Bradford. RICS and Kingston University. 2009. Valuing Heritage Assets. London: 2009 Rusdiyanto.2005.Evaluasi Arah Kebijakan Akuntansi Bagi Heritage Assets dalam Akuntansi Pemerintah RI. Disertasi. Universitas Indonesia.Jakarta Rowles, Tom (1991).Financial Reporing of Infrastructure and Heritage Assets by Public Sector Entities. AARF Discussion Paper No. 17, Melborne. Rowles, Tom (1992), Infrastucture and Heritage Assets Acounting, Australian Accountant. Slavin, Albert dan Reynold, Isaac N. (1975). Basic Accounting. Third Edition. Rinehart and Winston, Inc. South Australia Goverment, Department of Treasury and Finance.2004. Accouting Policy Statement. Valuation of Non-Current Asset, Reissued. South Australia JEAM Vol X No. 1/2011 28

Agustini dan Putra, Aset Bersejarah dalam

ISSN: 1412-5366

Swedish National Accounting Authority (ekonomistyningsvervet).2003.Heritage Assets in Accrual Accounting Perspective. February,. Stockholm:ESV Thacker, Ronald J. (1979). Accounting Principles. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Internasional. United Kingdom Government. HM Trasury.2003.Resource Accounting Manual 2003/2004. United KIngdom Webters New Dictionary.1983.

JEAM Vol X No. 1/2011

29

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN KONSUMEN MENABUNG DI BANK SYARIAH (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Jember) Nurul Qomariah1 Abstract This research is done to know the influence of variable of marketing mix service to the decision making of consumer to save their money in Bank in Jember. The independent variable in this research are the marketing mix that include: product (X1), price (X2), place (X3), promotion (X4)). The dependent variable in this research is the decision making of consumer. Research methode was with regresion analysis. The population was all the consumer that save their money in BSM Jember . The amount of sample was 50 respondent. Research was done by conducted direct observation to the the consumer that save their money in BSM Jember tough questioner. The technique of intake of sample used purposive random sampling. Based on the analysis result, it is obtained that the variable of marketing mix that have direct influence to the decision making of consumer The regresion coeficient of each variables was product (0,192), price (0,235) place (0,528) and promotion (0,242). Key Words :Marketing, product, price, place, promotion, purposive random sampling. 1. PENDAHULUAN Perkembangan dunia usaha saat ini telah membawa para pelaku dunia usaha ke persaingan yang sangat ketat untuk memperebutkan konsumen. Berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapatkan simpati masyarakat baik melalui peningkatan sarana dan prasarana berfasilitas teknologi tinggi maupun dengan pengembangan sumber daya manusia. Persaingan untuk memberikan yang terbaik kepada konsumen telah menempatkan konsumen sebagai pengambil keputusan. Semakin banyaknya perusahaan sejenis yang beroperasi dengan berbagai produk/jasa yang ditawarkan, membuat masyarakat dapat menentukan pilihan sesuai dengan kebutuhannya. Perilaku konsumen merupakan suatu tindakan nyata konsumen yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kejiwaan dan faktor luar lainnya yang mengarahkan mereka untuk memilih dan mempergunakan barang/jasa yang diinginkannya. Perilaku konsumen suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keyakinan konsumen terhadap produk yang bersangkutan, keyakinan terhadap referen serta pengalaman masa lalu konsumen.

Dosen Jurusan Manajemen FE Unmuh Jember

JEAM Vol X No. 1/2011

30

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

Minat beli dapat ditingkatkan dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain faktor psikis yang merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri konsumen yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap, selain itu faktor sosial yang merupakan proses dimana perilaku seseorang dipengaruhi oleh keluarga, status sosial, dan kelompok acuan, kemudian pemberdayaan bauran pemasaran yang terdiri dari produk, harga, promosi dan juga distribusi. Perilaku konsumen pasca pembelian sangat penting bagi perusahaan. Perilaku konsumen dapat mempengaruhi ucapan-ucapan mereka kepada pihak lain tentang produk perusahaan. Bagi semua perusahaan, baik yang menjual produk maupun jasa, perilaku konsumen pasca pembelian, akan menentukan minat konsumen untuk membeli lagi produk/jasa perusahaan tersebut. Ada kemungkinan konsumen tidak akan membeli produk/jasa perusahaan lagi setelah merasakan ketidaksesuaian kualitas produk/jasa yang didapatkan dengan keinginan atau apa yang digambarkan sebelumnya. Bank Syariah Mandiri Cabang Jember merupakan salah satu perusahaan yang menyediakan jasa di bidang keuangan yang berprinsip syariah/bagi hasil terus berupaya mempertahankan konsumen yang sudah ada dan akan berusaha memperoleh konsumen yang baru. Hal ini dikarenakan Bank Syariah Mandiri Cabang Jember merupakan salah satu perusahaan yang sudah cukup lama bergerak dalam bidang usaha yang ditekuninya, yaitu jasa perbankkan syariah dengan prinsip bagi hasil, sementara itu ada beberapa perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama. Saat ini animo masyarakat terhadap bank syariah semakin meningkat, hal ini terlihat dari jumlah nasabah bank syariah yang makin lama makin bertambah. Sebagai salah satu bank yang berprinsip syariah di Kabupaten Jember di samping Bank BNI 1946 dan Bank Muamalat Indonesia serta BPR Syariah Asri, bank Syariah Mandiri juga memerlukan peran pemasaran untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pemasaran bertujuan mengetahui dan memenuhi kebutuhan, keinginan serta kepuasan konsumen. Konsumen adalah faktor penting dalam kegiatan pemasaran karena konsumen merupakan tujuan akhir dari pemasaran tersebut, mulai dari proses pemilihan hingga setelah pegambilan keputusan. Hal yang perlu diperhatikan salah satunya adalah faktor marketing mix. Yang meliputi produk (product),harga price, saluran distribusi (place) dan promasi (promotion). Permasalahannya adalah apakah variabel marketing mix yang terdiri dari : produk, harga, lokasi dan promosi secara individu maupun bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Cabang Jember dan apakah faktor harga merupakan faktor yang mempunyai pengaruh dominan terhadap keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Cabang Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor produk (X1), harga (X2), saluran distribusi (X3) dan promosi (X4) secara simultan dan parsial terhadap keputusan konsumen dalam menabung di Bank Syariah Mandiri Cabang Jember dan untuk mengetahui faktor yang dominan berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di Bank Syariah Mandiri Cabang Jember.

JEAM Vol X No. 1/2011

31

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Pemasaran Jasa Kotler (1998:9) mendifinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemasaran merupakan kegiatan usaha secara keseluruhan yang meliputi produk, harga, pendistribusian dan mempromosikan baik barang dan jasa yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan individu maupun kelompok yang dapat memuaskan. Pemasaran jasa menurut Kotler ( 1998 : 84 ) adalah suatu proses sosial dan manajerial dimana setiap tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Dari definisi tersebut diatas maka dapat ditarik dalam suatu kesimpulan bahwa mengenai kegiatan yang ditawarkan tidak berupa sesuatu yang tidak dapat dipegang atau dipindahkan. Oleh karena itu peran yang harus dikembangkan adalah harus menggambarkan pada ciri-ciri suatu jasa maka jenis kegiatan pamasaran jasa harus dapat mendekatkan konsumen atau pelanggan yang ada, mengkaji peluangpeluang pasar, menetapkan posisi jasa pada segmen pasar dan pasar sasaran atas dasar kebutuhan jasa tersebut. Untuk mengantisipasi persaingan maka yang harus dilakukan adalah peningkatan mutu pelayanan. Karakteristik jasa menurut Kotler (1998:85) adalah : a. Tidak berwujud ( Intangibility ) Yaitu jasa mempunyai sifat tidak berwujud karena tidak bisa dilihat, diraba, didengar, atau dicium sebelum ada transaksi.
b.

Tidak dapat dipisah-pisahkan ( Inseparability ) Suatu bentuk jasa tidak dapat dipisahkan dari bentuknya, apakah sumber itu merupakan manuasia atau mesin. Berubah-ubah ( Variability ) Bidang jasa sesungguhnya sangat mudah berubah-ubah karena jasa ini tergantung pada siapa yang menyiapkan, kapan dan dimana disajikan. Tidak dapat disimpan ( Perishability ) Hal ini tidak menjadi masalah bila permintaannya tetap karena mudah untuk menyiapkan untuk permintaan tersebut.

c.

d.

2.2 Marketing Mix Bauran pemasaran atau marketing mix adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran organisasi. Keempat unsur tersebut adalah penawaran produk, struktur harga, kegiatan promosi dan sistem distribusi. (P Kotler & G Amstrong, 2001 : 600) a. Produk Produk merupakan bagian dari marketing mix yang digunakan oleh produsen untuk mencapai tujuan melalui pemuasan kebutuhan dan keinginan konsumen. Berkaitan dengan produk perusahaan harus mampu menentukan produsen sesuai dengan pasar sasarannya dimana terdapat penggolongan barang yaitu variabel

JEAM Vol X No. 1/2011

32

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

kepuasan segera dan kesejahteraan konsumen jangka panjang serta barang berdasarkan tujuan pemakai termasuk didalamnya barang konsumsi dan barang industri. b. Harga Kebijaksanaan harga merupakan keputusan penting bagi produsen untuk menetapkan posisi produknya di pasar dan untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan. Berikut definisi harga. Yaitu jumlah uang (ditambah beberapa produk kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dan produk dan pelayanannya (Basu Swastha, 2001 : 241 ). c. Promosi Promosi merupakan salah satu variabel marketing mix yang sangat penting pengaruhnya untuk dilaksanakan oleh perusahaan dalam memasarkan hasil produksinya. Dengan promosi perusahaan yang sudah berjalan dengan baik dalam artian sudah berhasil menguasai pasaran, maka dengan promosi mengharapkan omzet penjualan dapat dipertahankan. d. Saluran Distribusi Saluran distribusi adalah suatu sarana untuk membawa produsen dan konsumen sasaran ke suatu tempat dan waktu dengan tujuan untuk memudahkan suatu pertukaran. Penggunaan saluran distribusi yang seksama dapat membuat programprogram lebih efisien dengan membagi biaya, mencapai skala ekonomi dengan membuatnya lebih efektif dengan sumber yang sangat sedikit, jumlah staff sedikit dan fasilitas terbatas. 2.3 Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah kegiatan-keegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan menggunakan barang-barang dan jasa-jasa termasuk didalamnya pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. (Basu Swastha, Hani Handoko, 2002: 3). Dari definisi di atas terdapat dua elemen penting dari arti perilaku konsumen yaitu proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik yang semua ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, dan mempergunakan barang dan jasa ekonomis.
Stimulasi Pemasaran Kualitas produk Harga Politik Distribusi Budaya Promosi Perilaku pembeli Sumber : Kotler (2001:222) Psikologis Keputusan pembeli Penentuan saat Pribadi Stimulasi lainnya Ekonomi Tehnologi Karakteristik pembeli Budaya Sosial Pencarian informasi Pilihan merek Pilihan pemasok Proses keputusan pembelian Pengenalan masalah Keputusan pembeli Pilihan produk kualitas

JEAM Vol X No. 1/2011

33

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

2.4 Prose Keputusan Pembelian Proses pembelian dimulai jauh sebelum adanya tindakan pembelian dan berlanjut lama sesudahnya. Dalam proses ini seorang pembeli akan melewati lima tahap dalam secara keseluruhan pada setiap pembelian. Tahapan tersebut adalah : Pengenalan Kebutuhan Proses membeli dimulai dengan pengenalan kebutuhan, dimana pembeli mengenali akan adanya masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan antara keadaan yang nyata dengan keadaan yang diinginkan. Kebutuhan dapat dipicu oleh bermacam rangsangan, baik internal maupun eksternal. Pada tahap ini pemasar harus meneliti konsumen untuk mengetahui kebutuhan atau masalah apa yang muncul, apa yang menarik mereka, dan bagaimana hal menarik itu membawa konsumen pada produk tertentu. (P. Kotler, G. Amstrong, 2001 : 162). Pencarian Informasi Konsumen yang sudah tertarik mungkin mencari lebih banyak informasi tetapi mungkin juga tidak. Pada tahap ini konsumen mungkin hanya mengalami peningkatan perhatian. Akan tetapi jika dorongan yang dimiliki besar konsumen akan melakukan pencarian informasi yang lebih aktif. Sebuah perusahaan harus merancang bauran pemasarannya untuk membuat calon pembeli menyadari dan mengetahui mereknya. Perusahaan harus cermat mengenali sumber informasi konsumen dan arti penting dari setiap sumber. Evaluasi Alternatif Setelah pencarian informasi tahap selanjutnya adalah evaluasi alternatif. Yaitu menggunakan informasi yang telah didapat untuk mengevaluasi merek alternatif dalam perangkat pilihan. Bagaimana konsumen mengevaluasi alternatif barang yang akan dibeli tergantung pada masing-masing individu dan situasi membeli spesifik. Dalam beberapa keadaan konsumen menggunakan perhitungan yang cermat, sementara di lain waktu konsumen yang sama hanya sedikit mengevaluasi atau tidak sama sekali. Keputusan Membeli Pada umumnya keputusan membeli konsumen adalah membeli merek yang paling disukai. Akan tetapi akan ada dua faktor yang akan muncul yaitu niat dan keputusan. Faktor pertama dapat dipengaruhi orang lain. Sedangkan faktor kedua adalah faktor situasi yang tidak diharapkan. Konsumen mungkin membentuk niat untuk membeli berdasarkan faktor-faktor seperti pendapat yang diharapkan. Akan tetapi peristiwa yang tidak diharapkan dapat mengubah niat pembelian.(P. Kotler, G. Amstrong, 2001 : 165). Tingkah Laku Pasca Pembelian Tugas pemasar tidak berakhir ketika produk sudah dibeli. Setelah membeli, konsumen akan terlibat pada tingkah laku pasca pembelian. Jawabanya ada pada hubungan antara harapan kosumen dan prestasi yang diterima dari produk. Bila produk memenuhi harapan konsumen akan puas, begitu juga sebaliknya.

JEAM Vol X No. 1/2011

34

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

2.5 Pengembangan Hipotesis Berdasarkan pada permasalahan dalam penelitian ini dan kerangka teoritis dapat diajukan hipoteis sebagai berikut :
a.

Diduga faktor produk (X1), harga (X2), saluran distribusi (X3) dan promosi (X4) berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap keputusan konsumen dalam menabung di Bank Syariah Mandiri Jember b. Diduga faktor harga berpengaruh dominan terhadap keputusan konsumen dalam menabung di Bank Syariah Mandiri Jember 3. Metode Penelitian 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian survei karena pada umumnya yang merupakan unit analisis pada suatu penelitian survei adalah individu. Dalam penelitian survei, informasi yang dibutuhkan dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner. Salah satu keuntungan utama penelitan survei adalah mungkinnya pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar sehingga peneliti perlu menentukan sampel penelitian dengan menggunakan teknik penentuan sampel yang tersedia. 3.2 Identifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu variabel bebas (independen) yang terdiri dari produk (X1), harga (X2) , tempat (X3), promosi (X4), dan variabel terikat (dependen) yaitu keputusan konsumen (Y). Menurut Indriantoro dan Supomo (2002) variabel bebas (independen) adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang lain, dan variabel terikat (dependen) adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel bebas (independen). 3.3 Definisi Operasional Variabel Variabel diartikan sebagai sesuatu yang akan dijadikan obyek pengamatan penelitian, atau faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Perumusan definisi operasional variabel sebagai berikut : a. Produk adalah sesuatu yang akan ditawarkan oleh Bank Syariah Mandiri Jember.kepada nasabah atau masyarakat, yang ditawarkan tersebut adalah berupa jasa dari bank , dengan indikator : macam produk yang ditawarkan, manfaat produk. Harga adalah biaya yang harus dipenuhi atau dibayar oleh nasabah pada Bank Syariah Mandiri Jember. Biaya tersebut digunakan demi kelancaran operasional bank, dengan indikator : harga atas dasar bagi hasil, harga yang ditetapkan bersaing. Lokasi adalah tempat dimana bank tersebut beroperasi, dengan indikator : aksesibilitas lokasi bank terhadap sarana transportasi, tempat strategi Promosi adalah kegiatan memperkenalkan Bank Syariah Mandiri Jember kepada masyarakat, dengan indiator: referensi dari nasabah, hadiah langsung berupa cinderamata, stiker di outlet-outlet bank syariah.

JEAM Vol X No. 1/2011

35

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

Keputusan konsumen dalam menabung (Y) yaitu tanggapan konsumen dalam menabung di Bank Syariah Mandiri Jember, dengan indikator : tanggapan konsumen tentang produk bank, tanggapan konsumen tentang harga yang ditetapkan bank, tanggapan konsumen tentang lokasi bank, tanggapan konsumen tentang promosi yang dilakukan bank. 3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis Regresi Linear Berganda Menurut Supranto (1991 : 204) analisis regresi lenear berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y), dimana rumus yang digunakan : Y= a+b1X1+b2X2+b3X3+ b4X4+e 3.4.2 Koefisien Determinasi Berganda Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya proporsi atau sumbangan variabel-variabel bebas (independent) yaitu produk, harga, saluran distribusi dan promosi secara bersama-sama terhadap variabel terikat (dependent) yaitu keputusan konsumen menabung di bank. R2 = b1X1Y1 + b2X2Y2 + b3X3Y3 Y2 3.4.3 Uji F Digunakan untuk mengetahui tingkat signifikansi antara variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (y) secara simultan (bersama-sama) (J. Supranto, 2001:260) Fhitung = R2/k 1-R2/(n-k-1) 3.4.4 Uji t Digunakan untuk mengetahui pengaruh tingkat signifikan antara variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) secara parsial (individual) dengan rumus (J. Supranto, 2001:247) t hitung = bi/sbi 3.5 Uji Asumsi Klasik 3.5.1 Uji Multikolinearitas Multikolinearitas terjadi jika ada hubungan linear yang sempurna atau pasti diantar beberapa atau semua variabel yang dijelaskan dari model regresi. Cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas adalah dengan melihat korelasi antar variabel bebas, jika melebihi 0,50 diduga terjadi multikolinearitas (Gujarati, 1999:339). 3.5.2 Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah suatu gangguan pada fungsi regresi yang berupa korelasi diantara faktor pengganggu (Algifari. 1997). Untuk melihat gejala autokorelasi dalam penelitian ini digunakan uji Durbin Watson Statistic.

JEAM Vol X No. 1/2011

36

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

3.5.3 Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah variabel pengganggu mempunyai variabel yang sama atau tidak. Apabila diperoleh uraian yang sama maka variabel pengganggu homoskedastisitas (penyebaran yang sama) dapat terpenuhi. Untuk menguji atau menganalisa ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dijelaskan dengan menggunakan scatter plot. 3.5.4 Uji Normalitas Adalah model regresi varibel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi datanya normal atau mendekati normal. Cara untuk mendeteksinya yaitu dengan melihat penyebaran data pada sumber diagonal pada grafik normal P. plot of regression standardized sebagai dasar pengambilan keputusannya. Jika menyebar sekitar garis dan mengikuti garis diagonal maka model regresi tersebut layak dipakai untuk memprediksi variabel bebas dan sebaliknya. 3.6 Hasil dan Pengujian Hipotesis 3.6.1 Analisis Regresi linear Berganda Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas yaitu produk,harga, saluran distribusi dan promosi terhadap variabel terikat yaitu keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember, digunakan Analisis Regresi Linear Berganda. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan diperoleh data persamaan Regresi Linear Berganda sebagai berikut : Tabel 1 : Rekapitulasi hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Y = -2,593 + 0,192X1 + 0,235X2 + 0,508X3 + 0,242X4 Dari persamaan tersebut diatas dapat diketahui pengaruh variabel produk, harga, saluran distribusi dan promosi terhadap variabel terikat yaitu keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember. Nilai koefisien yang positif (+) akan menunjukkan bahwa variabel Y akan berubah dengan perubahan berbanding lurus dengan variabel bebasnya. Begitu juga sebaliknya. Konstanta sebesar -2,593 dapat diartikan sebagai besarnya keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember apabila tidak dipengaruhi oleh variabel produk, harga, saluran distribusi dan promosi

JEAM Vol X No. 1/2011

37

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

3.6.2 Analisis Koefisien Determinasi Berganda (R2) Berdasarkan perhitungan pada lampiran SPSS maka dapat diketahui bahwa besarnya nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,420 (42 %). Besarnya nilai tersebut menunjukkan besarnya proporsi (prosentase) sumbangan yang dapat dijelaskan oleh variabel variabel produk, harga, saluran distribusi dan promosi secara bersama-sama terhadap variabel keputusan konsumen menabung di Bank. 3.6.3 Pengujian Serempak (Uji F) Pengujian ini digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel bebas X1, X2 dan X3 terhadap variabel terikat (Y) secara simultan atau bersama-sama. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan program SPSS maka diperoleh nilai F hitung adalah sebesar 8,132 sedangkan nilai F tabel adalah sebesar 2,8216. Karena F hitung lebih besar dari nilai F tabel (8,132 > 2,8216), maka H0 ditolak dan menerima Ha yang menyatakan ada pengaruh serentak variabel bebas (produk, harga, saluran distribusi dan promosi) terhadap variabel terikat (keputusan konsumen menabung di Bank). 3.6.4 Uji Secara Parsial (Uji t) Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan antara t hitung dengan t tabel. Diketahui nilai t tabel adalah sebesar 2,0154. Besarnya t hitung untuk variabel produk (X1) adalah sebesar 1,944. Nilai tersebut lebih kecil dari t tabel (1,944< 2,0154). Oleh karena t hitung lebih kecil dari t tabel, maka disimpulkan bahwa secara individu variabel produk (X1) berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap variabel terikat keputusan konsumen menabung di Bank (Y).Berdasarkan pada perhitungan diketahui bahwa besarnya t hitung untuk variabel harga (X2) adalah sebesar (1,276). Nilai tersebut lebih kecil dari nilai t tabel 1,276< 2,0154), oleh karena itu t hitung lebih kecil dari t tabel maka disimpulkan bahwa secara individu variabel harga (X2) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat keputusan konsumen menabung di Bank .Berdasarkan pada perhitungan diketahui bahwa besarnya t hitung untuk variabel Tempat (X3) adalah sebesar (2,338). Nilai tersebut lebih besar dari nilai t tabel 2,338> 2,0154), oleh karena itu t hitung lebih besar dari t tabel maka disimpulkan bahwa secara individu variabel tempat (X3) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat keputusan konsumen menabung di Bank (Y).Hipotesis kedua yang diajukan yaitu di duga bahwa harga merupakan faktor yang dominan pengaruhnya terhadap keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember ditolak. 3.6.5 Uji Asumsi Klasik Digunakan untuk memperoleh persamaan regresi linear berganda yang tepat dan memenuhi standar dimana pendugaan bagi parameter koefisien regresi harus memenuhi asumsi syarat BLUE (best linear unbiased estimate) yaitu memenuhi asumsi uji Multikoleniaritas, uji Autokorelasi, Uji Heteroskedastisitas, dan Uji Normalitas Uji Multikoleniaritas Berdasarkan hasil pengujian VIF pada lampiran menunjukkan bahwa model regresi berganda yang ada bebas dari multikoleniaritas dengan indikator VIF untuk JEAM Vol X No. 1/2011 38

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

masing-masing variabel berada disekitar angka 1 dan toleransi mendekati 1, untuk variabel X1(produk) nilai VIF=1,773, untuk variabel X2(harga) nilai VIF=3,185, untuk variabel tempat(X3) nilai VIF = 1,773 dan untuk varibel X4(promosi) nilai VIF=3,435 Uji Autokorelasi Berdasarkan perhitungan uji DW diketahui sebesar 2,830. Sesuai dengan kriteria yang telah tertulis pada bab sebelumnya , maka diambil kesimpulan bahwa dalam model regresi tersebut tidak ada autokorelasi. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dapat diketahui dari grafik scaterplot dengan melihat ada tidaknya pola tertentu dari grafik scaterplot. Berdasarkan scaterplot menunjukkan bahwa sebaran data dibawah dan diatas terpencar di sekitar titik nol. Serta tidak tampak adanya pola yang jelas pada sebaran data tersebut. Jadi dapat disimpulkan persamaan regresi linear berganda yang ada bebas dari heteroskedastisitas. Uji Normalitas Berdasarkan grafik P-Plot menggambarkan bahwa sebaran data tersebar disekitar garis diagonal (tidak terpencar). Hal ini menunjukkan bahwa nilai residual terdistribusikan secara normal. Jadi persyaratan normalitas terpenuhi.
N o r m a l P - P P lo t o f R e g r e s s io n S t a n d a r d iz e d R e s id u a l D e p e n d e n t V a r ia b le : P r o d u k t iv it a s ( Y )
1 .0 0

P ro b E x p e c te d C u m

.7 5

.5 0

.2 5

0 .0 0 0 .0 0 .2 5 .5 0 .7 5 1 .0 0

O b se rve d C u m P ro b

4. Pembahasan 4.1 Pengaruh Variabel Produk terhadap Keputusan Konsumen Menabung Di Bank Syariah Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel produk berpengaruh tidak significant terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah, dengan demikian hipotesis pertama (H1) yang menyatakan bahwa variabel produk berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah ditolak. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2003), Wahyudi (2005) yang menemukan bahwa variabel produk berpengaruh terhadap keputusan konsumen. Secara teoritis bahwa produk yang berkualitas yang sudah dikenal oleh masyarakat akan mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan. Hasil penelitian ini tidak berhasil mendukung teori tentang marketing mix perusahaan, yang menyatakan bahwa variabel produk dapat mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan .

JEAM Vol X No. 1/2011

39

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

4.2 Pengaruh Variabel Harga terhadap Keputusan Konsumen Menabung Di Bank Syariah Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel harga berpengaruh tidak significant terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah, dengan demikian hipotesis kedua (H2) yang menyatakan bahwa variabel produk berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah ditolak. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2003), Wahyudi (2005) yang menemukan bahwa variabel harga berpengaruh terhadap keputusan konsumen. Variabel harga disini adalah bagi hasil dan biaya lainnya yang harus dikeluarkan oleh nasabah dalam bertransaksi dengan pihak bank. Hasil analisis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya harga/biaya yang dikenakan oleh pihak bank tidak berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah. 4.3 Pengaruh Variabel Tempat terhadap Keputusan Konsumen Menabung Di Bank Syariah Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel tempat berpengaruh significant terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah, dengan demikian hipotesis ketiga (H3) yang menyatakan bahwa variabel tempat berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah diterima. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2003), Wahyudi (2005) yang menemukan bahwa variabel tempat berpengaruh terhadap keputusan konsumen. Tempat/lokasi bank yang strategis akan memudahkan dan mempercepat konsumen dalam bertransaksi di bank. Oleh karena itu nasabah akan mencari bank yang lokasinya mudah dijangkau dengan fasilitas apapun. Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi bank yang strategis akan memudahkan nasabah dalam melakukan transaksi di bank. 4.4 Pengaruh Variabel Promosi terhadap Keputusan Konsumen Menabung Di Bank Syariah Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel promosi berpengaruh significant terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah, dengan demikian hipotesis keempat (H4) yang menyatakan bahwa variabel tempat berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam menabung di bank syariah diterima. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2003), Wahyudi (2005) yang menemukan bahwa variabel promosi berpengaruh terhadap keputusan konsumen. Promosi yang dilakukan oleh perusahaan bertujuan agar produk perusahaan dikenal oleh masyarakat sehingga masyarakat tertarik dan akhirnya melakukan keputusan pembelian. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin perusahaan melakukan promosi dengan gencar semakin banyak masyarakat yang mengenal produk bank dan akhirnya memutuskan untuk melakukan keputusan pembelian.

JEAM Vol X No. 1/2011

40

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 1. Produk (X1), harga (X2), tempat (X3) dan promosi (X4) berpengaruh signifikan terhadap keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember . Hal ini terbukti dengan uji F, hasil dari uji F menunjukkan bahwa F hitung > F tabel ( 8,132 > 2,8216) yang berarti secara bersama-sama variabel produk (X1), harga (X2), tempat (X3) dan promosi (X4) berpengaruh terhadap keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember. Berdasarkan perhitungan analisis koefisien determinasi berganda diperoleh nilai R2 sebesar 0,42, yang berarti proporsi sumbangan dari variabel produk (X1), harga (X2), tempat (X3) dan promosi (X4) sebesar 42 % terhadap variabel terikat yaitu keputusan konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember dan sisanya sebesar 58 % dipengaruhi oleh faktor diluar model penelitian ini.

2.

5.2 Saran 1. Sebaiknya perusahaan tetap mempertahankan kebijakan tentang tempat dan promosi yang telah dilakukan selama ini, sebab dari hasil pembahasan dan kesimpulan diketahui bahwa tempat dan promosi mempunyai pengaruh yang significant. Dari hasil pembahasan dan kesimpulan diketahui pengaruh produk dan harga terhadap konsumen menabung di Bank Syariah Mandiri Jember tidak significan dibandingkan tempat dan promosi yang pengaruhnya significan. Oleh karena itu perusahaan perlu mengevaluasi kebijakan yang menyangkut strategi produk dan strategi harga.

2.

Daftar Pustaka Anwar Sanusi, 2003, Metode Penelitian Praktis, Buntara Media, Anggota IKAPI, Malang. Ahyari, Agus, Drs 1999, Manajemen Produksi Perencanaan Sistem Produksi, BPFE , Yogyakarata. Arikunto, Suharsimi, 1996, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Arifin, Bustanul, Dr. 2004. Formasi Strategi Makro-Mikro Ekonomi Indonesia. PT Ghalia Indonesia. Jakarta. Bambang P, Drs. Faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa kuliah di Universitas Trunojoyo, Thesis (2003),Universitas Jember. Barthos, Basir, Drs. 1998. MSDM Suatu Pendekatan Makro. PT. Bumi AKsara. Jakarta. Chengiz, Ekrem dan Erdogan, Y.H., 2007., The Effect of Marketing Mix On Positive Worth Mouth Communication: Evidence From Accounting Offices in Turkey, Innovative Marketing, Volume 3, Issue 4. Dajan, Anto. 1991. Pengantar Metoda Statistik. Jilid I. LP3ES. Jakarta.

JEAM Vol X No. 1/2011

41

Qomariah, Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

ISSN: 1412-5366

Engel, James.F. Blacwell, dan Paul Wirastawan, 1994, Perilaku Konsumen, Alih Bahasa Budioyanto, Jilid I, Bina Rupoa Aksara, Jakarta. F Tjiptono, 1994, Manajemen Jasa , Edisi Pertama, Andi Yogyakarta. Fawzeea Sembiring, B.K., 2008., Analisis Pengaruh Bauran pemasaran Terhadap Kualitas Jasa, Kepuasan Pelanggan Eksternal dan Keunggulan bersaing Perguruan Tinggi Swasta di Kota Medan, Disertasi PDIM Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang. Ghozali, Imam, 2001., Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Jaarsveld, C., dan Heerden, C.H., 2007., The Relatonship between Selected Marketing Mix Elements and Overall Customer Satisfaction in South African Banks, University of Pretoria, South Africa. Kotler, Philip, Amstrong, Gary, 1997, Dasar-dasar Pemasaran, Alih Bahasa: Alexander Sindoro, Prenhallindo, Jakarta. Kotler, Philip, Hoon Ang, Meng Leong dan Tiong Tan, 2000. Manajemen Pemasaran (Perspektif Asia) , Fandy Tjiptono (Penerjemah), Penerbit Andi Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1990, Metode Penelitian Bisnis, PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Loudon, DI. Dan Della Bitta, 1993, Customer Behaviour, Concepts and Application, Mc. GrawHill Book Company. Malhotra, Narest, K, 1996, Marketing Research, Applied and Orientation, Prentice Hall International, USA. Rajh, Edo, 2005., The Effect of marketing Mix Elements on Band Equity, Economic Trend and Economid Policy, No. 109, pp.30-59. Singarumbun, Masri dan Sofyan, Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta. Supranto, J. 1993. Statistik teori dan aplikasi. PT. Gelora Aksara Pratama Jakarta. Yarnest, 2004, Panduan Aplikasi Statistik, Dioma, Malang. Yazid, 1999, Pemasaran Jasa : Konsep Ekonesia FE UII, Yogyakarta. dan Implementasi, Edisi Pertama,

JEAM Vol X No. 1/2011

42

Winarno,Sebuah Kajian pada

ISSN: 1412-5366

SEBUAH KAJIAN PADA UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) Wahyu Agus Winarno1 Abstract Information technology gets essential role in trade and national economic growth to render social welfare. It in harmony with aim both of base and intent UU ITE which is developing commerce and national economics in order to increase people welfare But, in UU ITE that stills a lot of thing that need especially been added TI's exploit suitability in transactions electronics. There is a few things most overlooks that actually more have is focused deep UU ITE, for example spamming problem, well for email spamming and also personal data sell problem by banking, insurance, virus, worm computer (still implicit at Section 33) specifically for development and its broadcast, and type phising as typo pirates that makes not enjoy electronic commerce process. Keyword: UU ITE, e-commerce, information technology 1. Pendahuluan

Semakin berkembangnya penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai media untuk bertransaksi dan berkomunikasi elektronik, maka akan semakin menjadikan tia akan lebih mudah dan cepat. Di sisi lain, juga memunculkan dampak yang besar terhadap meningkatnya kejahatan di dunia cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam berbagai persoalan terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sesuai dengan penjelasan pada UU ITE, Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Sesuai dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus. Tia meliputi spam, penyalahgunaan jaringan teknologi informasi, open proxy (memanfaatkan kelemahan jaringan), dan carding. Data dari Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menunjukkan, sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (Ahmadjayadi, 2008). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan DPR pada 25 Maret menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat
1

Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember

JEAM Vol X No. 1/2011

43

Winarno,Sebuah Kajian pada

ISSN: 1412-5366

peranti hukum di bidang cyberspace law. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Esensi UU ITE melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik seperti komputer serta jaringan dan memiliki kekuatan hukum. UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia internet (cyber), termasuk didalamnya memberi hukuman terhadap pelaku cybercrime (Wahono, 2008). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE tidak semata-mata ditujukan kepada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan terhadap setiap orang sebagai penegasan frasa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang (Peranginangin, 2009). Upaya pemerintah untuk menjamin keamanan transaksi elektronik melalui UU ITE ini patut diapresiasi. Tetapi dalam praktiknya, banyak sekali protes maupun kecaman-kecaman dari beberapa komunitas pengguna internet. Jika dibaca sepintas tanpa menelaah lebih dalam, UU ITE ini terkesan hanya sebagai juru selamat bagi keamanan transaksi elektronik atau pornografi di internet, seperti yang selama ini banyak diberitakan media. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik (Suriyani, 2008). Pada bahasan ini, penulis mencoba untuk mengelaborasi dan melakukan reviu kritis dari berbagai segi yang terkait dengan UU ITE tersebut. 2. Pembahasan

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terdiri dari 13 bab dan 54 pasal, terdiri dari beberapa bagian yang dirangkum sebagai berikut: Informasi dokumen, dan tanda tangan elektronik tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas). Penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia. Transaksi elektronik Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat dan para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya serta Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual dan perlindungan hak pribadi. Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37): o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan) JEAM Vol X No. 1/2011 44

Winarno,Sebuah Kajian pada

ISSN: 1412-5366

o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan) o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti) o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking) o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi) o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia) o Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS)) o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising)) Penyelesaian sengketa Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian atau secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peran Pemerintah dan Peran Masyarakat Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan ketentuan dalam UU ITE dan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan Pidana.

Ulasan tersebut diatas merupakan ringkasan dari pembahasan yang ada pada UU ITE. Ada beberapa hal yang dapat penulis kritisi terkait dengan UU ITE ini, yaitu:
Pasal Krusial Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2.a Ayat 1: Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya. Ayat 2: Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya meliputi: a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak. Reviu Kritis Pada pasal 12 (1) disebutkan bahwa ada kewajiban untuk memberikan pengamanan, dan terkait dengan pasal 2.a pengamanan sekurang-kurangnya meliputi sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak. Ada ketidakjelasan mengenai batasan kewajiban terhadap pengamanan tanda tangan elektronik. Kalau diinterpretasikan, maka kewajiban tidak terbatas berlaku untuk orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik tersebut, supaya system tidak dapat diakses orang lain yang tidak berhak. Permasalahan akan muncul jika pengamanan dapat dibobol pihak lain, tentu pihak yang dirugikan atas tanda tangan elektronik tersebut akan menuntut pihak pemilik tanda tangan. Kata andal dan aman dalam pejelasan diartikan sebagai: Andal artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Kata sesuai dengan

Pasal 15 ayat 1 dan 3 Ayat 1: setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggungjawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana

JEAM Vol X No. 1/2011

45

Winarno,Sebuah Kajian pada mestinya. Ayat 3: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik

ISSN: 1412-5366 kebutuhan penggunanya masih banyak menimbulkan interpretasi yang berbeda bagi setiap pembaca UU ITE ini. Seharusnya dijelaskan lebih rinci mengenai spesifikasi yang dapat memenuhi kebutuhan pengguna, sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi. Aman artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan nonfisik. Kata penjelas terlindungi secara fisik dan nonfisik juga harus dijelaskan lebih detail mengenai apa yang dimaksud terlindungi secara fisik dan nonfisik. Ayat 2 menyatakan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya hal ini tidak berlaku jika dapat dibuktikan terjadi keadaan memaksa, kesalahan dan/atau kelalian pihak pengguna elektronik. Maksud dari keadaan memaksa, kesalahan dan/atau kelalian pihak pengguna elektronik perlu diberikan tambahan penjelasan dalam penjelasan atas UU ITE. Sedangkan pada penjelasan UU ITE pasal 15 ayat 3 sendiri sudah ditulis sudah jelas. Padahal kata kata tersebut belum ada batasan yang jelas antara keadaan memaksa, kesalahan dan/atau kelalian pihak pengguna elektronik.

Pasal 23 ayat 2 dan 3 Ayat 2: Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain. Ayat 3: Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.

Disebutkan bahwa didasarkan pada itikad baik, tidak melangar prinsip persaingan usaha secara sehat dan tidak melanggar hak orang lain, hal tersebut masih sebatas pada penggunaan nama domain untuk tujuan busines atau persaingan usaha dan perlu diatur juga bagaimana untuk menunjukkan bahwa pemiliknya tersebut memang benar-benar berdasar pada itikad baik. Karena pada pasal ini tidak secara eksplisit mengatur terkait dengan pemilikan nama domain yang dengan sengaja bertujuan untuk itikad yang tidak baik, seperti yang terjadi pada kasus klik BCA tahun 2001, yaitu pemilikan domain yang mirip dengan situs milik BCA yang dimiliki Steven Haryanto yang menyesatkan para pengguna situs www.klikbca.com. Meskipun pada pasal 3, dalam penjelasan disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan penggunaan Nama Domain secara tanpa hak adalah pendaftaran dan penggunaan Nama Domain yang semata-mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat Orang lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama produknya, atau untuk mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan konsumen. Tapi bagaimana kita bisa meyakinkan kalau pemilikan domain itu ketika proses pendaftaran hanya ditujukan untuk menghambat atau mendompleng reputasi orang atau menyesatkan konsumen? Perlu ada tambahan ayat yang menyatakan bahwa

JEAM Vol X No. 1/2011

46

Winarno,Sebuah Kajian pada

ISSN: 1412-5366 dengan adanya pendaftaran nama domain yang serupa tidak menjadikan pengguna tersesat dalam pemakaian domain yang lain. Pasal 27 ayat 1 dan 3 UU ITE terminologi melanggar muatan kesusilaan perlu ada penjelasan khusus apa itu yang disebut pelanggaran kesusilaan, karena mengingat apa yang menjadi definisi porno itu sendiri masih abu-abu. Pada ayat 3: memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan terminologi yang sangat luas. Tia adalah klausa yang sangat subyektif dan multitafsir. Penghinaan dan pencemaran dalam UU ITE ini juga akan menabrak seluruh konsep dan doktrin hukum pidana dalam KUHP yang telah dijadikan acuan saat ini. Karena dalam KUHP penghinaan di jelaskan dengan bermacam-macam kategori dan ancaman yang berbeda, ITE mencampur adukkan seluruh doktrin itu dan memberikan ancaman yang jauh lebih berat tanpa kategori yakni penjara 6 tahun dan denda 1 miliar rupiah. Selain itu pasal tersebut tidak memberikan pembenaran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembelaan kepentingan umum. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 27 ayat 1 dan 3 Ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ayat 3: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 28 ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Padahal kadang kala blog itu adalah tempat pemiliknya untuk bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Mungkin cerita itu mengandung cerita-cerita yang tidak enak untuk dibaca bagi agama/suku/kelompok/orang tertentu. Berati seharusnya dibuat spesifikasi penggunaan fasilitas internet dan web yang diperbolehkan untuk diakses setiap orang atau web untuk pribadi. Sehingga dengan hal ini tidak membatasi kebebasan orang untuk berekspresi dan melekatkan cerita pribadi dalam suatu situs.jika hal ini tidaksegera ditindak lanjuti, maka ancaman bagi para blogger, forum komunitas untuk siapsiap masuk penjara 6 tahun dan atau denda 1 miliar. Pasal ini sebenarnya mengatur secara global terkait dengan tindakan yang dapat menjadikan sistem tidak dapat bekerja. Namun baru secara implisit pasal ini mengatur tentang Virus dan worm komputer, perlu dijelaskan lebih jauh lagi terkait terutama untuk pengembangan dan penyebarannya.

Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

JEAM Vol X No. 1/2011

47

Winarno,Sebuah Kajian pada

ISSN: 1412-5366

3.

Simpulan

UU ITE merupakan undang-undang yang dibuat untuk menindak lanjuti penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai sarana bertransaksi dan berkomunikasi secara elektronik. Dalam undang-undang tersebut masih banyak hal yang perlu ditambahkan terutama kesesuaian dengan paragaraf menimbang huruf e yaitu bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan tujuan kedua dari asas dan tujuan UU ITE yaitu mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terkait hal tersebut, hanya sedikit pasal yang mengatur demi terciptanya kelancaran perdagangan secara elektronik, seperti aturan-aturan yang harus dipatuhi bagi pelaku perdagangan elektronik. Isi dari UU ITE yang paling krusial adalah justru menekankan pada perbuatan-perbuatan yang tidak bersinggungan langsung dengan perdagangan elektronik, seperti pasal 27 ayat 1 dan 3, pasal 28 ayat 2, dan pasal 29 yang cenderung menekankan masalah sosial seperti asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan, berita bohong dan menyesatkan, berita kebencian dan permusuhan, ancaman kekerasan dan menakut-nakuti.masalah tersebut jauh dari tujuan pasal 4 ayat 2 yang telah disebutkan diatas. Ada beberapa hal yang terlewatkan yang sebenarnya harus lebih difokuskan dalam UU ITE, antara lain masalah Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, Virus, worm komputer (masih implisit di Pasal 33) terutama untuk pengembangan dan penyebarannya, dan jenis-jenis phising seperti typo pirates yang membuat tidak nyaman proses perdagangan elektronik. Masalah-masalah tersebut adalah juga krusial yang seharusnya secara eksplisit diatur dalam UU ITE, karena menyangkut juga demi terciptanya kelancaran transaksi elektronik khususnya perdagangan elektronik. Daftar Pustaka Ahmadjayadi. 2008. UU ITE Mengancam Para Pengguna Internet, http://www.rumahtulisan.com/06/12/2008/pikiran/uu-ite-mengancam-parapengguna-internet.html. Wahono, Romi Satria. 2008. Analisa http://romisatriawahono.net/2008/04/24/analisa-uu-ite/. UU ITE,

Peranginangin, Kasiman. 2009. Menyoal Ketidakpastian Hukum Dalam UU ITE, http://kasiman.wordpress.com/2009/02/13/menyoal-ketidakpastianhukum-dalam-uu-ite/. Suriyani, Luh De. 2008. UU ITE Mengekang Kebebasan Informasi dan Berekspresi, http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2008/05/11/uu-itemengekang-kebebasan-informasi-dan-berekspresi.html. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Th 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

JEAM Vol X No. 1/2011

48

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

TERJADIKAH UNDERPRICING HARGA PENAWARAN UMUM PERDANA SAHAM? (Studi atas Harga Penawaran Umum Perdana Saham PT Krakatau Steel) Whedy Prasetyo1 Abstract Initial Public Offering PT. Krakatau Steel (KARS) stock prices at government decision for Initial Public Offering determine to price under boundary Rp. 850,00 per stock string indication information confer underpricing, at matter with three indication. This paper is explane at underpricing phenomenon Initial Public Offering, and Initial Public Offering process to PT. Krakatau Steel, with support for research Rock (1986) and, Ritter and Welch (2002). The process writing objective paper is idea suggest at prices determine per stock principal be based on study at PT. Krakatau Steel Initial Public Offering prices should didnt based for number calculate, however moment for intangible advantage calculate. Finally this paper to answer the question what the Initial Public Offering underpricing stock prices can be happened? Keywords: Initial Public Offering (IPO), and underpricing. 1. Latar Belakang

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemegang saham PT. Krakatau Steel (KARS) bersama penjamin pelaksana emisi memutuskan penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) dilaksanakan tanggal 2 sampai 4 November 2010, adapun pencatatan dan perdagangan perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 10 November 2010. Diawali oleh pertanyaan: Mengapa perusahaan-perusahaan melakukan penjualan saham kepada publik pertama kalinya (Initial Public Offering (IPO))? Penawaran Umum Perdana (IPO) saham merupakan penawaran pertama saham perseroan kepada publik. Menurut Penulis bahwa fenomena IPO hampir selalu merupakan kesempatan bagi investor dan kapitalis ventura yang ada untuk meraih keuntungan besar, karena untuk pertama kali saham mereka akan mendapatkan nilai pasar yang mencerminkan harapan untuk pertumbuhan masa depan perusahaan. Atau dengan pengertian yang sama yaitu upaya perusahaanperusahaan untuk memperoleh dana segar baik untuk kepentingan modal kerja perusahaan maupun untuk membuka pasar publik dimana para pendiri dan pemegang saham lainnya dapat mengkonversikan kepemilikan mereka ke dalam bentuk uang tunai di masa depan (Ritter dan Welch, 2002). Kondisi yang menimbulkan dampak bahwa pelaksanaan penawaran umum perdana harga saham suatu perusahaan sangat diminati masyarakat, hal ini menurut Penulis disebabkan pada masa penawaran awal (book building) permintaan akan saham meningkat. Respon yang selalu berhubungan
1

Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember

JEAM Vol X No. 1/2011

49

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

dengan jumlah permintaan yang lebih banyak daripada jumlah saham yang tersedia, sehingga akan meningkatnya selalu harga saham pada penawaran perdananya. Kondisi yang harus diperhatikan di dalam perjanjian pertanggungan atau penjaminan (underwriting agreement) baik oleh Kementerian BUMN sebagai pemegang otorisasi kebijakan publik atas perseroan PT. Krakatau Steel (KARS) dengan perusahaan sekuritas yang menjadi penjamin atau penanggung pelaksana emisi (underwriter) penawaran umum perdana saham PT. Krakatau Steel, yaitu Bahana Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Danareksa Sekuritas di dalam penentuan harga saham perdana PT. Krakatau Steel (KS) tersebut. Kegiatan underwriting atau penjamin pelaksana emisi efek, yaitu suatu bentuk kegiatan usaha untuk memberi jaminan atau menanggung penjualan efek yang diterbitkan emiten. Maksud dan tujuan penjaminan emisi saham yaitu menjamin terserapnya penjualan efek yang diterbitkan perusahaan pada saat menawarkan perdana sahamnya waktu go public. Kebijakan penentuan harga saham perdana merupakan perjanjian antara pihak penjamin emisi dengan emiten yang pada prinsipnya merupakan perjanjian untuk pembelian saham pada pasar perdana. Dengan demikian kebijakan yang melibatkan antara Kementerian BUMN dan penjamin atau penanggung pelaksana emisi (underwriter) yang bertanggung jawab atas penentuan harga saham perdana PT. Krakatau Steel (KS). Kebijakan penentuan harga saham perdana PT. KS telah ditentukan sebesar Rp. 850,00 dengan alokasi saham perdana yaitu 3,155 miliar saham atau 20 persen (%) saham PT. KS yang akan dilepas ke publik, sebanyak 65 persen (%) dialokasikan kepada investor domestik dan sisanya kepada investor asing. Dari jumlah 65 persen (%) tersebut, sebanyak 80 persen (%) ditujukan kepada investor institusi dan 20 persen (%) kepada investor ritel atau perorangan, dengan total perolehan dana IPO bagi PT. KS sebesar Rp. 2,681 triliun. Penentuan harga saham perdana sebesar Rp. 850,00 telah ditetapkan, walaupun respon dari pengamat ekonomi dan pasar modal serta pelaku pasar saham dalam negeri menyatakan, bahwa harga saham perdana PT. KS sebesar Rp.850,00 terlalu murah atau mendekati batas bawah harga indikatif yang ditetapkan, antara Rp. 800,00 dan Rp. 1.150,00 per saham, sehingga harga ideal saham perdana PT. KS seharusnya minimal Rp. 1.000,00 per saham. Namun atas informasi tersebut, baik Kementerian BUMN dan penjamin pelaksana emisi penawaran umum perdana saham PT. Krakatau Steel (KARS), yaitu Bahana Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Danareksa Sekuritas tetap memutuskan penentuan harga saham perdana PT. Krakatau Steel (KARS) tetap ditentukan sebesar Rp. 850,00 (Kompas, 2 November 2010). Penetapan harga Rp. 850,00 per saham PT. Krakatau Steel (KARS) tersebut telah didasarkan pada tiga tahapan, yaitu; Tahapan Pertama, proses pre-marketing. Dalam tahap ini, investor memberikan kisaran harga berdasarkan informasi yang disampaikan PT. Krakatau Steel (KARS). Dari informasi awal ini, investor memberi kisaran harga saham KARS antara Rp. 700,00 sampai Rp.1.100,00 per saham. Kemudian, penjamin emisi dan manajemen KS sepakat mengeser kisaran harga menjadi Rp. 800,00 sampai Rp. 1.150,00 per saham, dengan tujuan perolehan KARS bisa lebih besar. Tahapan Kedua, public expose. PT. Krakatau Steel (KARS) mengumumkan kisaran harga saham tersebut dengan melakukan perbandingan harga ke luar negeri dan dalam negeri pada 80 investor.

JEAM Vol X No. 1/2011

50

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Tahapan Ketiga, bookbuilding. Investor memberikan tanggapan pernyataan berminat membeli dengan memberikan harga penawaran. PT. Krakatau Steel (KARS) menganalisis dan memilih investor yang ingin berinvestasi dalam jangka panjang, antara tiga sampai lima tahun (firsttier investor). Ketiga tahapan tersebut, memberikan hasil penetapan harga Rp. 1.000,00 per saham, permintaan yang masuk satu kali target. Pada harga Rp. 950,00, permintaan yang masuk naik menjadi 1,06 kali. Selanjutnya pada penawaran harga Rp. 900,00 permintaan naik menjadi 1,38 kali. Sementara pada harga Rp.850,00, permintaan melonjak menjadi 1,8 kali. Penjamin emisi sepakat memilih harga Rp. 850,00 karena permintaan yang masuk mendekati standar wajar IPO, yaitu dua kali pemesanan. Proses terakhir, PT. Krakatau Steel menganalisis dan membandingkan harga penetapan tersebut dengan perusahaan yang hampir mirip, yaitu Pohang Iron and Steel Corporation (Posco) dari Korea Selatan dan Tata Steel dari India. Dengan harga Rp.850,00 per lembar saham, Price Earning Ratio (PER) tahun 2011 PT. Krakatau Steel (KARS) adalah 9,9 kali, sehingga penetapan harga tersebut pada Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana sudah premium (Arief,dkk: Kontan, Edisi 8-14 November 2010). Penentuan harga perdana saham mendasarkan pada stock options (opsi saham), yaitu hak untuk menentukan (membeli dan atau menjual) suatu saham pada tingkat harga tertentu dalam suatu periode waktu yang telah ditentukan. Opsi menjadi sarana investasi yang diminati, karena menawarkan kesempatan untuk mencegah risiko posisi dalam surat berharga lain, untuk berspekulasi dalam saham dengan nilai investasi yang relatif kecil, serta mengkapitalisasikan perubahan nilai pasar dari kontrak opsi tersebut. Suatu kontrak yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli sejumlah tertentu saham suatu perusahaan dari penjual opsi pada harga pembelian tertentu selama periode waktu tertentu. Nilai dari opsi call pada waktu jatuh tempo adalah: Payoff = Sr X ; apabila Sr > X 0 ; apabila Sr < X Dimana, Sr: nilai saham pada waktu jatuh tempo, dan X: harga eksekusi. Formula ini menekankan pada opsi karena penerimaan (payoff) tidak bisa bernilai negatif. Artinya, opsi dieksekusi hanya apabila Sr > X. Apabila Sr < X, eksekusi tidak akan terjadi dan opsi jatuh tempo dengan nilai nol. Kerugian bagi pemilik opsi dalam persoalan ini menyamai harga perdana yang dibayar atas hak tersebut dengan membeli pada harga eksekusi. Dengan demikian, keuntungan bagi pemilik opsi merupakan nilai opsi pada waktu jatuh tempo dikurangi harga pembelian perdana saham. 2. Fenomena Penawaran Umum Perdana Saham (IPO): Underpricing

Penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering (IPO)) merupakan penjualan pertama saham umum sebuah perusahaan kepada investor umum, dan atau kegiatan penawaran efek yang dilakukan emiten untuk menjual efek kepada masyarakat (publik) melalui pasar modal. Aktivitas IPO merupakan aktivitas penawaran perdana saham kepada masyarakat dengan mengikuti proses sesuai Undang-Undang Pasar Modal. Masyarakat bisa membeli saham perusahaan tersebut melalui perusahaan sekuritas yang mempunyai periode penawaran. Perusahaan yang ingin melakukan penawaran saham kepada publik meminta persetujuan kepada pemegang saham yang ada

JEAM Vol X No. 1/2011

51

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk penentuan harga pelaksanaan proses IPO perusahaan tersebut. Penentuan harga IPO ditentukan oleh perusahaan sekuritas dan perusahaan yang ingin IPO, yaitu dilakukan dengan book-building. Harga IPO biasanya diminta dengan harga yang tinggi oleh perusahaan yang ingin go public dan perusahaan sekuritas selalu meminta dengan harga yang lebih rendah dengan berbagai alasan, baik hasil book building maupun yang lain. Alasan utama diminta harga rendah karena perusahaan sekuritas tidak menginginkan investornya mengalami kerugian ketika berinvestasi pada saham tersebut pada saat munculnya IPO perusahaan lain, maka investor tersebut ikut berpartisipasi untuk membeli saham. Perlukah investor melakukan investasi pada saham yang sedang IPO. Beberapa pihak investor yang mempercayai bahwa setiap ada IPO atas penjualan hari pertama saham tersebut ditransaksikan akan selalu mengalami keuntungan minimum 5 % (persen) dan jangka waktu atas investasi tersebut tidak lebih dari dua minggu. Artinya, investor tersebut telah memperoleh tingkat pengembalian yang cukup tinggi apabila disetahunkan mencapai 250 % (persen). Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Rock (1986) bahwa semua saham yang ditawarkan pada saat IPO mempunyai harga yang rendah sehingga investor akan mengalami keuntungan ketika diperdagangkan pada hari pertama. Lebih lanjut menurut Francis (1991: 68), menyatakan bahwa investor akan selalu memberikan respon yang positif atas aktivitas penawaran umum perdana saham (IPO) sebagai upaya untuk mendapatkan keuntungan dari investasi saham pada primary market. Aktivitas IPO mempunyai perbedaan jika dibandingkan dengan pembukaan perdagangan saham biasa yang telah diperdagangkan baik di primary maupun secondary market. Perbedaannya adalah: 1) IPO hanya memiliki offer price (harga penawaran) untuk dijadikan benchmark dan tidak ada catatan perdagangan historis dimana hal ini menimbulkan information gap yang cukup signifikan antara perusahaan penerbit dengan calon investor, 2) pihak lead underwriter, yang membawa perusahaan untuk go public, mempunyai tanggung jawab atau peranan penting sebagai market maker di pasar modal, 3) perdagangan IPO dapat dimulai sewaktu-waktu selama jam kerja di bursa saham sesuai dengan kehendak dari lead underwriter. Underwriter yang menjamin penawaran perdana akan menanggung risiko untuk menjual saham tersebut, sehingga emisi (underwriter) cenderung untuk menjualnya dengan harga yang murah (undervalued) supaya mengurangi risiko tidak laku terjual. Investor yang dapat kesempatan untuk membeli sekuritas yang undervalued ini akan menikmati abnormal return. Akan tetapi jika pasar modal sifatnya adalah efisien, abnormal return yang ada hanya terjadi dengan waktu yang cepat dan tidak berkepanjangan. Ini berarti bahwa investor yang membeli beberapa saat setelah pengumuman IPO sudah tidak akan memperoleh abnormal return lagi, karena harga sekuritas sudah mencapai keseimbangannya yang baru (Sindelar dan Ritter (1988) dalam Hartono, 2003: 420-421). Periode harga penawaran saham lamanya sekitar 3 (tiga) hari untuk mendapatkan pembeli atas saham tersebut. Pada saat ini akan diketahui siapa sebenarnya pembeli saham tersebut. Jika harga saham tersebut dianggap murah dan berkualitas, saham tersebut menjadi hot issue sehingga permintaan meningkat. Investor yang melihat fenomena ini, akan melipatgandakan pesanannya dan sebaliknya yang tidak memahaminya akan terpengaruh untuk ikut membeli saham

JEAM Vol X No. 1/2011

52

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

tersebut. Namun, apabila saham tersebut biasa saja, pembelinya hanya akan memahami tidak mendapatkan prioritas untuk mendapatkan saham-saham yang hot issue, seperti saham IPO PT. Krakatau Steel (KS) dengan kode KARS. Menurut hasil penelitian Ritter dan Welch (2002) bahwa tuntutan hak perusahaan atas harga saham yang lebih tinggi harganya pada saat Initial Public Offering (IPO) akan berbanding terbalik dengan keinginan underwriter yang bertujuan untuk menarik minat para investor atau setidaknya untuk membuat pasar bergairah kembali-leave money on the table. Saham perusahaan yang pertama kali ditawarkan ke publik lewat bursa tidak ada jaminan untuk mendapatkan dividen yang cukup, kecuali suatu harapan adanya capital gain. Capital gain ini dapat berupa dalam dua bentuk, yaitu kenaikan harga saham atau kenaikan nilai saham. Apabila dividen rendah menyebabkan harga saham turun, maka pemegang saham minoritas dirugikan dan sementara itu pemegang saham mayoritas yang menguasai manajemen menahan diri untuk tidak menjual sahamnya karena mengetahui nilai saham yang sebenarnya. Dengan kata lain, bila informasi ekonomis tidak tersedia cukup di bursa saham maka pemegang saham mayoritas mengetahui nilai saham dan harga saham. Lebih lanjut Rock (1986) beragumentasi bahwa underpricing di perusahaan IPO diperlukan untuk mengkompensasikan investor yang tidak memiliki informasi (uninformed investor) dengan pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak. Adanya kelebihan informasi yang dimiliki menyebabkan informed investor cenderung menginginkan harga yang underpriced untuk mendapatkan initial return di pasar sekunder. Di lain pihak, uninformed investor karena tidak mempunyai informasi yang cukup akan berusaha memperoleh saham tanpa melakukan banyak pilihan. Untuk itu agar uninformed investor tetap berpartisipasi dalam pasar maka harga saham harus cukup underpriced. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa, secara rata-rata initial return adalah lebih besar dibandingkan premium risiko wajar yang diharapkan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perusahaan penerbit dan penjamin emisi secara sengaja meng-underprice harga IPO mereka. Ibbotson (1975) dan Ritter (1984), memberikan bukti yang menyakinkan bahwa IPO, secara rata-rata terjadi underpricing. Ritter (1984), melaporkan bahwa dari jumlah sekitar 5000 perusahaan yang go-public selama 1960-1982 di AS, nilai rata-rata IPO-nya diperdagangkan pada harga 18,8 % (persen) lebih tinggi dari harga penawaran perdananya. McGuinnes (1992) meneliti fenomena underpricing terhadap 80 IPO periode 1980-1990 di Hongkong. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya return positif yang signifikan pada hari pertama perdagangan saham di pasar sekunder dan mulai menghilang sesudah hari pertama. Analisis terhadap return positif tersebut juga menunjukkan adanya tingkat underpricing sebesar 18 % (persen). Ritter (1991), meneliti kinerja saham untuk jangka pendek dan jangka panjang terhadap 1256 sampel IPO periode 1975-1984 di AS. Hasil penelitiannya mencatat kinerja saham perdana dalam jangka pendek sebesar 14,32% (persen) dan jangka panjang sebesar 29,13% (persen). Hanafi (1997) mengemukakan adanya underpricing sebesar 15 % (persen) pada saat saham pertama kali diperdagangkan pada hampir semua emisi saham perdana selama tahun 1989-1994 di Bursa Efek Jakarta (dalam Ali dan Hartono (2003)). Berdasarkan kajian tersebut, dukungan teoritis yang menjelaskan argumentasi timbulnya underpricing pada saat IPO, adalah:

JEAM Vol X No. 1/2011

53

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

1. Teori Assymetric Information. Teori ini menjelaskan bahwa kondisi underpricing merupakan refleksi dari kondisi ketidakmerataan informasi antara pihak-pihak yang melakukan transaksi, sehingga memungkinkan terjadinya abnormal gain. Dari sisi penjual, pihak penjamin (underwriters) merasa takut terhadap potensi timbulnya kondisi negative cascade, sehingga mereka cenderung untuk menurunkan harga penawaran saham IPO di bawah harga pasar. Di lain pihak, para investor juga memberikan sinyal daya beli yang lebih rendah dari yang sesungguhnya dengan tujuan agar dapat membeli saham tersebut dengan harga yang lebih murah. 2. Teori Agency Conflict. Teori ini menjelaskan bahwa kondisi underpricing lebih disebabkan oleh strategi dari pihak penjamin untuk secara sengaja memberikan insentif (leave money on the table) kepada para investor tertentu (terutama para investor skala besar) sebagai tanda niat baik sekaligus untuk membina hubungan jangka panjang. Tidak menutup kemungkinan bahwa untuk jangka pendek melalui sesi transaksi yang bagus dengan volume yang tinggi akan juga bisa memberikan pendapatan sampingan bagi pihak penjamin melalui bentuk komisi transaksi jual beli saham. Hal ini tentu merupakan kerugian bagi pihak perusahaan yang melakukan IPO karena tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya sebagai akibat strategi pihak penjamin tersebut. Penyebab terjadinya underpricing pada saat IPO, menjelaskan bahwa penentu kekuatan harga saham terletak pada informasi yang diperoleh pihak penjamin saat mereka melakukan perbandingan harga (atau disebut book building strategy) kepada calon pembeli skala besar (blockholders). Jika dari hasil melakukan perbandingan harga (road show) tersebut terdapat indikasi kuat akan terjadi permintaan lebih besar dari penawaran (oversubscribe) saham, maka diduga bahwa teori Agency Conflict akan memegang peranan yang lebih besar di dalam menjelaskan perilaku pasar pada saat tersebut. Fenomena IPO pada saat kondisi IPOs underpricing, didukung Lowry dan Schwert (2002) dalam penelitian mereka mengenai IPO dan fenomena underpricing di dalam jurnal penelitian mereka IPO Market Cycles: Bubbles or Sequential Learning? melakukan studi statistik deskriptif terhadap IPO initial return yang dikalkulasi dari selisih IPOs offer price dengan closing price on the first day of trading. Dengan menggunakan data sampel dari tahun 1985 sampai dengan 1997 diperoleh mean rata-rata dari initial returns sebesar 13,9 % (persen) dengan mean rata-rata perusahaan yang melakukan IPO sebesar 29,4 % (persen) perusahaan per bulan selama periode sampel penelitian tersebut. Fenomena underpricing adalah sangat merugikan bagi emiten, sehingga perusahaan yang memiliki risiko rendah berusaha untuk menunjukkan karakteristik risiko rendah mereka kepada pasar, sehingga dengan adanya underpricing akan merugikan bagi perusahaan penerbit saham IPO, dan perusahaan yang memiliki karakteristik risiko yang rendah akan berusaha untuk menunjukkannya pada pasar (Sharpe, Alexander dan Bailey, 1995:77). 3. IPO PT. Krakatau Steel (KARS) Harga perdana saham PT. Krakatau Steel (berkode KARS) senilai Rp.850,00 per lembar saham di hari pertama perdagangannya di Bursa Efek Indonesia (tanggal 10 Nopember 2010) dengan yang bertindak sebagai penjamin emisi yaitu Bahana Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Danareksa Sekuritas, sedangkan Credit Suisse dan

JEAM Vol X No. 1/2011

54

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Deutsche Bank bertindak selaku agen penjualan internasional menunjukkan 16.593 pemesan saham dengan jumlah pesanan 4,874 miliar lembar dibandingkan dengan penjatahan total saham 3.155 miliar saham (setara 20 persen total saham), sehingga menunjukkan jumlah yang melebihi saham yang ditawarkan dengan kenaikan harga sahamnya yang mencapai 49,41 % (persen) dalam sehari. Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) perdagangan perdana KRAS, investor asing tercatat melakukan penjualan bersih sebanyak 316,12 juta saham senilai Rp. 378,6 miliar dengan harga jual rata-rata Rp.1.198,00 per lembar saham. Sementara tiga perusahaan sekuritas yang menjadi penjamin emisi IPO KRAS, yaitu Bahana Sekuritas, Mandiri Sekuritas, dan Danareksa Sekuritas masih mencatatkan penjualan bersih. Bahana Sekuritas tercatat melakukan penjualan bersih saham KRAS 74 juta saham senilai Rp. 101,2 miliar. Mandiri Sekuritas sebanyak 10,25 juta saham senilai Rp. 13,9 miliar dan Danareksa Sekuritas sebanyak 3,26 juta saham senilai Rp. 4 miliar. Selanjutnya tercatat juga atas minat masyarakat terhadap kepemilikan saham KRAS yang cukup tinggi, yaitu ditunjukkan terangkatnya (terkoreksi) harga saham KRAS dari Rp. 850,00 menjadi Rp. 1.270,00 sampai Rp. 1.340,00 atau naik 5,5 % (persen), juga ditunjukkan dari nilai perdagangan saham KRAS yang mencapai Rp. 2,52 triliun (yang mampu menempatkan KRAS sebagai saham yang paling banyak diperjualbelikan di BEI) (Kompas, 12 Nopember 2010). Fenomena yang memberikan informasi bahwa keputusan pemerintah menetapkan harga perdana (Initial Public Offering (IPO)) pada batas bawah penawaran senilai Rp.850,00 per lembar saham memberikan petunjuk terlalu rendah (underpricing), terbukti pada hari pertama tersebut terjadi kenaikan harga saham mendekati 50 persen (49,41 %), bahkan pada hari kedua masih terjadi kenaikan lagi hingga Rp. 1.340,00 per lembar sahamnya pada harga penutupan. Namun dengan mendasarkan pada kondisi riil tersebut Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan bahwa penetapan harga saham sesuai prosedur. Penetapan harga suatu saham mencerminkan nilai perusahaan. Nilai selembar saham adalah sama dengan nilai sekarang dari seluruh pendapatan perusahaan yang diperkirakan akan diberikan. Pendapatan yang diberikan oleh saham adalah dividen yang akan dibayarkan hingga waktu yang tidak terbatas (Arifin, 2007: 148). Perusahaan yang berkembang berarti sahamnya bernilai tinggi dan sebaliknya. Nilai perusahaan tercermin pada nilai kekayaan bersih yang dimilikinya. Kekayaan bersih (net worth) yaitu selisih antara total aktiva dengan total utang atau pinjaman. Kekayaan bersih di dalam laporan neraca terlihat dalam kelompok permodalan, dalam kelompok permodalan terinci; yaitu modal disetor, laba sebelum bunga dan pajak, agio saham, selisih penilaian kembali aktiva tetap, dan selisih nilai ganti persediaan. Kekayaan bersih ekonomis Nilai perlembar saham = Lembar saham yang beredar Nominal saham adalah jumlah yang tertera di atas lembaran saham. Jika saham terbagi dalam beberapa kelompok nominal, maka nilai per lembar saham di atas dicari equivalennya. Nilai nominal saham bersifat statis, sedangkan nilai saham bersifat dinamis, tergantung perubahan nilai kekayaan bersih pada suatu saat.

JEAM Vol X No. 1/2011

55

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Kekayaan bersih dinilai secara ekonomis dan bukan berdasar harga historis. Oleh karena itu, semua aktiva perusahaan harus diberi nilai baru yang berlaku pada saat menghitung nilai kekayaan bersih. Selisih antara nilai baru dan harga beli (historis), yaitu dijelaskan dalam perkiraan selisih penilaian kembali aktiva tetap dan selisih nilai ganti persediaan dalam kelompok permodalan. Jika informasi mengenai nilai saham yang dihitung menurut rumus di atas dapat diperoleh setiap saat, maka harga saham di pasar tidak akan jauh berbeda dengan nilai saham. Harga saham yaitu harga yang terbentuk di pasar jual beli saham. Kebanyakan harga saham berbeda dengan nilai saham, makin sedikit informasi yang bisa diperoleh untuk menghitung nilai saham, makin jauh perbedaan tersebut. Terlalu sedikitnya informasi yang mengalir ke bursa saham cenderung harga saham dipengaruhi oleh tekanan psikologis penjual atau pembeli (tindakan irasional). Tindakan irasional ini mengakibatkan satu pihak untung besar dan pihak lain rugi besar, hal demikian bisa terjadi di bursa saham dan tidak salah menurut hukum. Untuk mencegah hal tersebut di atas sebaiknya perusahaan yang go public memberi informasi yang cukup setiap saat sepanjang informasi itu berpengaruh terhadap harga saham, dan secara periodik bulanan atau triwulan menerbitkan informasi rutin. Untuk menghitung harga atas penerbitan saham dapat menggunakan analisis; (1) analisis fundamental dan (2) analisis teknik. Analisis fundamental yaitu analisis yang didasarkan pada informasi-informasi yang diterbitkan oleh perusahaan yang go public ataupun oleh administratur bursa saham dengan menggunakan beberapa teknik pendekatan. Tiga teknik pendekatan yang umum dikenal dalam analisis fundamental yaitu; (a) pendekatan deviden, (b) pendekatan laba, dan (c) pendekatan kekayaaan bersih. Analisis teknik yaitu analisis yang didasarkan pada informasi atau kejadian-kejadian yang timbul di luar lingkungan perusahaan tetapi berdampak terhadap kegiatan perusahaan. Misalnya; (a) kebijakan pemerintah tentang deregulasi, devaluasi, perubahan politik, (b) masuknya pesaing baru, (c) bencana alam, dan lain-lain. Penerbitan saham perdana di bursa efek (IPO) sangat ditentukan pada penetapan harga. Menurut Penulis bahwa analisis penetapan harga perdana saham KARS terlalu rendah, hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya dua indikasi, adalah: 1. Indikasi yang pertama, yaitu kenyataan bahwa pemesanan saham perdana mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe) sampai sembilan kali lipat. 2. Indikasi yang kedua, yaitu penetapan harga sebesar Rp. 850,00 per lembar menurut Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertujuan untuk memberikan keuntungan modal (capital gain) kepada investor. Permasalah penetapan harga merupakan masalah utama IPO atas saham PT. Krakatau Steel (KARS) yang dijual kepada publik dengan harga Rp. 850,00 per lembar berdasarkan metode akuntansi seperti di atas. Untuk sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi market leader di dalam negeri, seharusnya nilai perusahaan berada jauh di atas nilai bukunya. Posisi strategis PT. Krakatau Steel dalam pasar baja nasional sudah menjadi kenyataan, sehingga nilai pasarnya tidak hanya bisa dihitung secara akuntansi saja. Aset strategis yang jarang dimiliki oleh perusahaan baja lainnya di seluruh dunia, yaitu kepemilikan pelabuhan yang cukup dalam dengan arus laut yang sangat kondusif untuk dilakukannya aktivitas bongkar muat, dan pangsa pasar domestik yang mendekati 65 % (persen), sehingga dalam jangka panjang posisi strategis seperti ini menjadi sangat sulit untuk

JEAM Vol X No. 1/2011

56

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

dikalahkan, dan bahkan kemungkinkan dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan pasar ekspor (Sugema, 10 Nopember 2010). Posisi strategis ini didukung juga dengan peristiwa, bahwa sebelum IPO PT. Krakatau Steel telah menjalin kerja sama (joint venture) dengan perusahaan besi dan baja dari Korea Selatan yaitu Pohang Iron and Steel Corporation (Posco) untuk membangun pabrik baja dengan kapasitas sebesar 3 juta ton per tahun. Kerja sama dibuat lewat Memorandum of Agreement (MOA) bulan Desember 2009, yaitu Posco akan memberikan manajemen, teknologi, permesinan, dan modal kerja, sedang PT. Krakatau Steel memberikan aset berupa tanah dan perolehan dana. Kerja sama ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan harga jual dalam saham PT. Krakatau Steel sesungguhnya. Nilai investasi yang terlibat di dalamnya adalah sebesar 2,8 miliar dollar Amerika Serikat dengan kapasitas sekitar 2,5 juta ton, maka biaya penggantian (replacement cost) PT. Krakatau Steel adalah sekitar 2,4 miliar dollar AS. Kalau saham yang dijual kepada publik atau masyarakat yaitu sebesar 20 % (persen), maka penerimaan uang yang seharusnya masuk ke negara sebesar Rp. 480 juta dollar AS atau sekitar Rp. 4,2 triliun. Sementara itu, penawaran saham perdana hanya menghasilkan Rp. 2,681 triliun saja. Dana sebesar Rp. 2.681 triliun atas hasil penawaran saham perdana tersebut, rencananya akan digunakan untuk: 35,8 % (persen), yaitu sebesar Rp. 900 miliar sampai 1,3 triliun digunakan untuk investasi memodernisasi pabrik dan meningkatkan kapasitas produksi baja lembaran menjadi 3,5 juta ton, 25 % (persen), yaitu sebesar Rp. 631 sampai 907 miliar digunakan untuk membiayai pematangan lahan seluas 288 ha yang akan digunakan untuk membangun pabrik baja terpadu KS dan Posco, 24,2 % (persen), yaitu sebesar Rp. 610 sampai 880 miliar digunakan untuk membeli bahan baku iron ore pellet, scrab, billet slab dan bahan baku lainnya, 15 % (persen) yaitu sebesar Rp. 378 sampai 544 miliar digunakan untuk penyertaan pada anak usaha PT. Krakatau Bandar Samudera (KBS) dan PT. Krakatau Daya Listrik (KDL). Penggunaan metode akuntansi, akan ditunjukkan terjadinya kerugian negara. Apabila penentuan harga saham ditentukan atas rasio harga terhadap laba bersih per saham (Price-Earning Ratio/PER) yang digunakan, yaitu perbandingan harga suatu saham dengan pendapatan atau laba per saham. Menurut Arifin (2007: 152) Price Earning Ratio (PER) merupakan cerminan rupiah yang berani dibayar investor untuk setiap rupiah laba. Dengan pendekatan PER, harga saham suatu perusahaan diestimasi dengan mengkalikan laba per lembar saham dengan rata-rata PER. Lebih lanjut Arifin (2007: 152) menjelaskan bahwa pendekatan PER cukup bermanfaat untuk pedoman penetapan harga perdana sebuah saham yang akan diterbitkan oleh suatu perusahaan. Hasil penilaian pendekatan yang juga dapat dijadikan sebagai proksi nilai pasar saham perusahaan yang akan menawarkan sahamnya. Pendekatan PER ini sudah mempertimbangkan ekspektasi laba di masa yang akan datang perusahaan. PER bisa menggunakan laba atau keuntungan yang dilaporkan dari tahun terakhir (disebut trailing P/E), atau menggunakan perkiraan laba tahun mendatang dari seorang analis (disebut forward P/E). Rasio harga terhadap laba, disebut juga dengan Price-Earnings Multiple, yaitu memberikan gambaran kepada investor jumlah yang harus dibayar para investor untuk kekuatan laba suatu perusahaan, dan karena itu pertumbuhan laba yang diharapkan investor.

JEAM Vol X No. 1/2011

57

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Saham dengan P/E tinggi, yaitu dengan multiple di atas 20, umumnya yaitu perusahaan-perusahaan baru yang go public tumbuh dengan cepat. Saham perusahaan seperti ini lebih berisiko untuk diperdagangkan daripada saham yang memiliki P/E rendah, karena lebih mudah untuk menyimpang dari perkiraan pertumbuhan yang tinggi dari pada perkiraan pertumbuhan rendah. Saham ber P/E rendah cenderung berada pada industri yang matang atau dominan (dewasa) atau industri dengan pertumbuhan rendah, dalam kelompok saham yang tidak disukai, atau dalam perusahaan mapan, dan memiliki saham unggulan dengan catatan stabilitas laba dan deviden berkala yang panjang. Saham dengan P/E rendah pada umumnya mempunyai hasil penyerahan yang lebih tinggi daripada saham dengan P/E tinggi, yang seringkali tidak membayarkan deviden sama sekali. Penentuan atas rasio harga terhadap laba bersih per saham pada penentuan harga perdana saham PT. Krakatau Steel (KARS), yaitu menghasilkan keputusan penetapan harga sebesar Rp. 850,00 per saham kurang lebih sama dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham sepuluh kali. Ini membuktikan bahwa rasio harga terhadap laba bersih per saham yang relatif rendah di antara perusahaan-perusahaan sejenis di seluruh dunia, misal; Nippon Steel memiliki rasio harga terhadap laba bersih per saham 12,1 kali atau sangat dekat dengan PT. Krakatau Steel. Akan tetapi, perusahaan tersebut memiliki struktur biaya yang relatif tinggi karena jauh dari sumber energi dan sumber bahan baku. Perusahaan sejenis di Australia dan China memiliki rasio harga terhadap laba bersih per saham antara 24 sampai dengan 30. Apabila menggunakan penentuan rasio harga terhadap laba bersih per saham 15, maka penetapan harga saham PT Krakatau Steel seharusnya Rp. 1.300,00 per saham. Penetapan harga sebesar Rp. 1.300,00 per saham juga didasarkan pada analisis atas keberadaan PT. Krakatau Steel yang dikategorikan sebagai aset strategis nasional sebagai pasar baja nasional yang dalam jangka panjang sangat sulit digantikan untuk menjadi modal dasar bagi pengembangan pasar ekspor. Selanjutnya keunggulan yang tidak kentara (intangible) yaitu budaya organisasi, jaringan pemasaran, keunggulan sumber daya manusia meskipun adanya perubahan paradigma dalam melakukan privatisasi BUMN yang biasanya lahir dari kebijakan negara. PT. Krakatau Steel yang pendiriannya pada masa Orde Lama dan diposisikan sebagai industri hulu yang disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi, sehingga dengan kondisi yang dimilikinya PT. Krakatau Steel menjadi pemain dominan di dalam negeri dan sekaligus memiliki kinerja keuangan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan baja (sejenis) di seluruh dunia. Akhirnya dengan mendasarkan dan belajar pada kondisi PT. Krakatau Steel inilah, ide Penulis dalam paper ini hendaknya pada saat penjualan aset strategis nasional lewat Penawaran Umum Perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) tidak hanya didasarkan pada perhitungan angka saja, namun saatnya juga untuk memperhitungkan keunggulan yang tidak kentara (intangible) dalam penentuan harga perdana saham, sehingga dengan mendasarkan pada kedua perhitungan ini lebih sebagai upaya untuk memaksimumkan perolehan negara. 4. Simpulan

Permasalahan penetapan harga merupakan masalah utama IPO atas saham PT. Krakatau Steel (KARS) sebagai aset strategis nasional yang didukung dengan keunggulan ketara dan tidak ketara serta telah menjalin kerja sama dengan Pohang Iron and Steel Corporation (Posco) yang dijual kepada publik dengan harga

JEAM Vol X No. 1/2011

58

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Rp.850,00 per lembar di hari pertama perdagangannya di Bursa Efek Indonesia (tanggal 10 Nopember 2010). Analisis atas penetapan harga Rp.850,00 tersebut terlalu rendah, hal ini ditunjukkan dengan adanya tiga indikasi adalah: 1. Indikasi yang pertama, yaitu kenyataan bahwa pemesanan saham perdana mengalami kelebihan permintaan (oversubscribe) sampai sembilan kali lipat. 2. Indikasi yang kedua, yaitu penetapan harga sebesar Rp. 850,00 per lembar menurut Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertujuan untuk memberikan keuntungan modal (capital gain) kepada investor. 3. Indikasi yang ketiga, yaitu terangkatnya (terkoreksi) harga saham KRAS dari Rp. 850,00 menjadi Rp. 1.270,00 sampai Rp. 1.340,00 atau naik 5,5 % (persen). Mendasarkan pada fakta tersebut, penetapan atas harga perdana saham PT. Krakatau Steel (KARS) yang mendasarkan rasio harga terhadap laba bersih per saham seharusnya sebesar Rp. 1.300,00 per saham. Penetapan nilai yang dihasilkan dengan menggunakan perhitungan perbandingan atas rasio harga terhadap laba bersih per saham 15. Penetapan yang didasarkan pula atas dukungan keunggulan kentara dan tidak kentara yang dimiliki PT. Krakatau Steel sebagai aset strategis nasional. Akhirnya dengan tulisan paper ini diharapkan pada saat penjualan aset strategis nasional lewat Penawaran Umum Perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) tidak hanya didasarkan pada perhitungan angka saja, namun saatnya juga untuk memperhitungkan keunggulan yang tidak kentara (intangible) dalam penentuan harga perdana saham, dengan mendasarkan pada kedua perhitungan ini lebih sebagai upaya memaksimumkan perolehan negara. Daftar Pustaka Anonim. 2010. IPO Krakatau Steel Tetap Jalan: Investor Besar Tolak Harga Saham Dinaikkan. Harian Kompas. 2 November. Anonim. 2010. Asing Balik Beli Saham: Nilai Perdagangan Saham Krakatau Steel Rp. 2,52 Triliun. Harian Kompas. 12 November. Ali, Syaiful dan Hartono, Jogiyanto. 2003. Pengaruh Pemilihan Metode Akuntansi terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 6 No.1. 41-53. Arief, A. dkk. 2010. Penjualan Saham Raja Baja Menjelma jadi Rumor Panas. Kontan Mingguan Bisnis dan Investasi. No. 7-XV. Edisi 8 14 November, hal. 36-37. Arifin, Zaenal. 2007. Teori Keuangan dan Pasar Modal. Edisi Pertama. Cetakan Kedua. Penerbit EKONISIA. Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta Francis, Jack C. 1991. Investments: Analysis and Management 5th edition. Mc Graw-Hill International Editions. New York. Hartono, Jogiyanto. 2003. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketiga. Penerbit BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta. Lowry, Michelle dan Schwert, G. William. 2002. IPO Market Cycles: Bubbles or Sequential Learning?. The Journal of Finance. Vol. LXVII No. 3. Ritter, Jay R dan Welch, Ivo. 2002. A Review of IPO Activity, Pricing, and Allocations. The Journal of Finance. Vol. LVII No. 4. JEAM Vol X No. 1/2011 59

Prasetyo,Terjadikah UnderPricing

ISSN: 1412-5366

Rock, K. 1986. Why New Issues Are Underpriced. Journal of Financial Economics. (January/February). 187-212. Sharpe, William F, Alexander, Gordon J and Bailey, Jeffery V. 1995. Investments. Fifth Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey. Sugema, Imam. 2010. Polemik IPO PT Krakatau Steel. Kompas 10 Nopember

JEAM Vol X No. 1/2011

60

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE DAN PENGUNGKAPAN SUKARELA PADA LIKUIDITAS SAHAM: STUDI EMPIRIS DI BEI Retno Yuni Nur Susilowati1 Abstract This research aims to get empirical evidences that there is influence of both corporate governance practices and voluntary disclosure on the firms stock liquidity. Samples used in this research are nonfinancial companies listed in the Indonesia Stock Exchange (IDX) that participated in the CGPI (corporate governance perception index) surveys in the periods 2003-2008 performed by IICG (the Indonesian Institute for Corporate Governance). The hypotheses are tested by using multiple regression analysis. The results indicate that corporate governance and voluntary disclosure have positive effects on stock liquidity. It means the better the corporate governance and voluntary disclosure practices, the higher the stock liquidity is. This matter generates conclusion that investors notice corporate governance and voluntary disclosure practices conducted by companies. Keywords: corporate governance, voluntary disclosure, stock liquidity I. LATAR BELAKANG Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika prinsipal/pemilik perusahaan memekerjakan agen/manager untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Manager, sebagai agen yang berperan sebagai pengelola perusahaan, lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan dengan pemilik. Oleh karena itu, ia berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Namun, informasi yang disampaikan oleh manager kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini, yang merupakan suatu masalah keagenan, dikenal sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri informasi sebagai suatu masalah keagenan, menciptakan kebutuhan akan corporate governance untuk memonitor manager dan melindungi investor dari masalah keagenan (Jensen dan Meckling, 1976; Fama dan Jensen, 1983). Corporate governance merupakan suatu cara untuk menjamin bahwa managemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan stakeholders. Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh bukti empiris apakah corporate governance dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) berpengaruh positif pada likuiditas saham. Penelitian ini dilandasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Goh et al. (2008), yang menunjukkan secara empiris adanya pengaruh corporate
1

Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Lampung

JEAM Vol X No. 1/2011

61

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

governance pada likuditas saham dengan melalui variabel adverse selection2, pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) dan ulasan analis (analyst following). Likuiditas saham merupakan suatu kondisi ketika investor mudah memperjualbelikan dan menetapkan harga bagi sekuritasnya. Pada kondisi likuiditas saham tinggi, kos ekuitas (cost of equity capital) menjadi lebih rendah (Amihud dan Mendelson 1986; Acharya dan Pedersen, 2005). Investor sangat memerhatikan likuiditas saham perusahaan-perusahaan, selain aspek return dan risiko saham. Saham yang likuid memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk meraih gain dibandingkan saham yang likuiditasnya rendah. Tia juga lebih mencerminkan faktor fundamental perusahaan. Selain itu, perubahan atau fluktuasi harga lebih stabil, tidak melonjak-lonjak dan likuiditasnya bersifat kontinus (Handa dan Schwartz, 1996).. Keefektifan pengelolaan sumber daya perusahaan oleh managemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Dengan kata lain, reaksi pasar merupakan sinyal terhadap keefektifan praktik corporate governance. Khomsiyah (2005) menyatakan bahwa likuiditas saham merupakan mekanisme pengawasan eksternal oleh investor pada kinerja perusahaan. Penelitian yang menguji hubungan antara corporate governance internal dan likuiditas telah dilakukan oleh Chung et al. (2009). Hasilnya menunjukkan bahwa corporate governance yang semakin baik akan mempersempit spreads, mempertinggi indeks likuiditas pasar, dan memperkecil kemungkinan terjadinya perdagangan berbasis informasi orang dalam (inside information). Beberapa peneliti lain, dengan menggunakan data U.S., juga meneliti hubungan corporate governance dan likuiditas, meskipun dengan pengesetan yang berbeda. Hal ini misalnya dilakukan oleh Becht (1999), Brockman dan Chung (2003), Attig et al. (2004), LaFond et al. (2007), dan Chen et al. (2007). Penelitianpenelitian tersebut memberi bukti empiris bahwa corporate governance berhubungan dengan likuiditas. Artinya, apabila perusahaan menerapkan praktik governansi yang baik maka likuiditas sahamnya akan meningkat. Sedangkan dugaan bahwa semakin banyak pengungkapan sukarela akan meningkatkan likuiditas ditunjukkan oleh Hong dan Huang (2005) yang menyajikan sebuah model, yang di dalamnya manager melakukan aktivitas menarik investor untuk meningkatkan likuiditas saham perusahaan dengan biaya tinggi. Frost et al. (2006) menguji hubungan antara pengungkapan pasar modal dan perkembangan pasar di antara 50 bursa efek internasional. Mereka menemukan bahwa kuatnya sistem pengungkapan (aturan pengungkapan, pemonitoran, dan undang-undang) secara positif berhubungan dengan perkembangan pasar, yang merupakan ukuran komposit yang mencakup dua ukuran likuiditas. Hasil ini menyarankan bahwa pengungkapan yang lebih besar akan menyebabkan pasar makin aktif karena investor bersedia aktif di dalamnya. Dengan mereplikasi model penelitian yang dilakukan oleh Goh et al. (2008) maka penelitian ini bermaksud untuk menguji adanya pengaruh corporate governance dan pengungkapan sukarela pada likuiditas saham. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena apabila hipotesisnya terdukung maka hasilnya memberikan
2

Adverse selection merupakan kemungkinan terjadinya perdagangan oleh pedagang berinformasi (informed traders), yaitu pedagang yang memeroleh informasi privat selain informasi publikasian. Adverse selection terjadi ketika penjual/pembeli memiliki asimetri informasi sehingga justru lebih mungkin memilih hasil atau produk yang buruk (Goh et al., 2008).

JEAM Vol X No. 1/2011

62

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

implikasi bahwa penerapan praktik-praktik corporate governance dan pengungkapan sukarela akan dapat memengaruhi tingkat likuiditas saham. II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Corporate governance Corporate governance didefinisi sebagai seperangkat aturan dan prinsipprinsip, yaitu keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas/per-tanggungjelasan (accountability), dan pertanggungjawaban (responsibility), yang mengatur hubungan antara pemegang saham, managemen perusahaan (direksi dan komisaris), pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta stakeholders lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi seluruh stakeholders dalam perusahaan. Adanya nilai tambah bagi stakeholders ini akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan yang bersangkutan (Daniri, 2004). Pengertian corporate governance menurut Surat Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No.23/MPM/BUMN/2002 tentang pengembangan praktik corporate governance yang baik (good corporate governance) dalam perusahaan perseroan (persero) adalah prinsip korporasi yang sehat, yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan, yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan. Berdasarkan definisi di atas maka dapat dikatakan bahwa corporate governance merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya secara baik sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Ada empat prinsip dasar corporate governance yang baik, yaitu: 1) Keadilan (fairness), meliputi: (a) perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham; dan (b) perlakuan yang sama bagi para pemegang saham. 2) Transparansi (transparency), meliputi: (a) pengungkapan informasi yang bersifat penting; (b) informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas; serta (c) penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien. 3) Akuntabilitas/pertanggungjelasan (accountability), meliputi pengertian bahwa: (a) anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham; (b) penilaian yang bersifat independen terlepas dari managemen; serta (c) adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu. 4) Pertanggungjawaban (responsibility), meliputi: (a) menjamin dihormatinya segala hak pemegang kepentingan; (b) para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka; (c) dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan; serta (d) Jika diperlukan, para pihak

JEAM Vol X No. 1/2011

63

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan. Dan prinsip tambahan, yaitu: 5) Independensi untuk auditor eksternal. B. Pengungkapan Sukarela Tidak terdapat definisi berterima umum maupun landasan teoretis untuk pengungkapan sukarela. (Adina dan Ion, 2008) menyatakan bahwa pengungkapan sukarela merupakan penawaran informasi tambahan dalam kaitan dengan regulasi nasional yang berbeda maupun referensi internasional akan pelaporan bisnis. Pengungkapan tersebut tidak diwajibkan dalam aturan, namun menjadi sukarela melalui publikasi. Tia merupakan informasi yang tergantung pada pilihan perusahaan, di luar tekanan pasar modal, analis keuangan, perusahaan konsultan maupun faktor-faktor kultural. Tujuan umum pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat untuk membantu pengambilan keputusan bagi pihak-pihak pengguna laporan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan emiten dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib adalah informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu negara. Di Indonesia, pengungkapan wajib dalam laporan tahunan diatur berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006 (Peraturan X.K.6). Sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku. Perusahaan memiliki keleluasaan dalam melakukan pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan sehingga menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas pengungkapan sukarela antar perusahaan. C. Likuiditas Saham Likuiditas merupakan merupakan sebuah keadaan yang di dalamnya investor mudah melakukan jual beli dan bahkan mudah menentukan harga sekuritas (Goh et al., 2008). Likuiditas saham merujuk pada aktivitas perdagangan saham di bursa efek. Acharya dan Pedersen (2005) menyatakan bahwa kos ekuitas akan lebih kecil pada kondisi pasar yang semakin likuid. Likuiditas maksimal ketika pedagang dapat bertransaksi tanpa ada penundaan waktu maupun ketidakpastian harga. D. Saluran yang menghubungkan corporate governance dan likuiditas Penelitian yang menguji hubungan antara corporate governance internal dan likuiditas telah dilakukan oleh Chung et al. (2009). Hasilnya menunjukkan bahwa corporate governance yang semakin baik akan mempersempit spreads, mempertinggi indeks likuiditas pasar, dan memperkecil kemungkinan terjadinya perdagangan berbasis informasi dalam (inside information). Chung et al. (2009) menyatakan bahwa

JEAM Vol X No. 1/2011

64

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

corporate governance memengaruhi likuiditas pasar saham karena governansi yang efektif akan meningkatkan transparansi keuangan dan operasional, yang akan mengurangi asimetri informasi antara investor dalam (pemegang saham mayoritas) dan investor luar (spekulan/liquidity providers). Beberapa peneliti lain, dengan menggunakan data U.S., juga meneliti hubungan corporate governance dan likuiditas, meskipun dengan pengesetan yang berbeda. Attig et al. (2004), dengan menggunakan data bursa efek Kanada, memberi bukti empiris bahwa saham dengan pemisahan yang besar antara hak kendali (control right) dan hak pemilikan (ownership right), memiliki komponen asimetri informasi bid-ask spread yang makin lebar. Chen et al. (2007) menguji pengaruh pengungkapan dan mekanisme corporate governance pada likuiditas ekuitas dan memberi bukti bahwa perusahaan yang kurang transparan dan sedikit melakukan praktik pengungkapan akan mengalami asimetri informasi. Penelitian-penelitian tersebut memberi bukti empiris bahwa corporate governance berhubungan dengan likuiditas. Artinya, apabila perusahaan menerapkan praktik governansi yang baik maka likuiditas sahamnya akan meningkat. Berdasarkan bukti-bukti empiris tersebut maka penelitian ini mengajukan hipotesis bahwa semakin bagus praktik corporate governance akan meningkatkan likuiditas saham. Hipotesis tersebut dinyatakan sebagai berikut: H1a: Corporate governance berpengaruh positif pada likuiditas saham.

E. Saluran yang menghubungkan pengungkapan sukarela dan likuiditas Dugaan bahwa semakin banyak pengungkapan sukarela akan meningkatkan likuiditas ditunjukkan oleh Hong dan Huang (2005) yang menyajikan sebuah model, yang di dalamnya manager melakukan aktivitas menarik investor untuk meningkatkan likuiditas saham perusahaan dengan biaya tinggi. Frost et al. (2006) menguji hubungan antara pengungkapan pasar modal dan perkembangan pasar di antara 50 bursa efek internasional. Mereka menemukan bahwa kuatnya sistem pengungkapan (aturan pengungkapan, pemonitoran, dan undang-undang) secara positif berhubungan dengan perkembangan pasar, yang merupakan ukuran komposit yang mencakup dua ukuran likuiditas. Hasil ini menyarankan bahwa pengungkapan yang lebih besar akan menyebabkan pasar makin aktif karena investor bersedia aktif di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini menduga makin besar pengungkapan sukarela, makin tinggi likuiditas saham. H2a: Pengungkapan sukarela berpengaruh positif terhadap likuiditas saham. Sedangkan untuk model penelitian digambarkan sebagai berikut:

JEAM Vol X No. 1/2011

65

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

Pengungkapan Sukarela

H2
Corporate Governance

Likuiditas Saham

H1

III.

METODA PENELITIAN

A. Data dan sampel Penelitian ini menggunakan basis data keuangan yang tersedia di OSIRIS, laporan keuangan perusahaan, dan informasi keuangan lain yang tersedia di ICMD untuk variabel likuiditas saham dan pengungkapan sukarela. Sedangkan data skor CGPI diperoleh dari IICG (Indonesian Institute for Corporate Governance). Sampel yang digunakan adalah perusahaanperusahaan nonkeuangan yang terdaftar di BEI dan sahamnya aktif diperdagangkan dari perioda tahun 2003-2008. Sampel tidak mengkhususkan pada sektor tertentu, misalnya pemanufakturan, karena penelitian ini tidak bermaksud menginvestigasi fungsi tertentu. Metoda penyampelan yang digunakan adalah metoda penyampelan bersasaran (purposive sampling). B. Variabel dan pengukuran Corporate governance: Penelitian ini menggunakan Corporate Governance Perception Index (CGPI), hasil pemeringkatan penerapan corporate governance yang dilaporkan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Alasan penggunaan indeks ini disebabkan oleh keterbatasan data tentang penelitian penerapan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Indeks tersebut merupakan salah satu indeks publikasian dari hasil penelitian pada perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan menggunakan instrumen yang telah disesuaikan dengan ketentuanketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia (Khomsiyah, 2005). Komponen indeks tersebut adalah prinsip-prinsip corporate governance yang telah dikembangkan oleh OECD, yaitu keadilan, akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi. Prinsip tersebut telah dijabarkan sesuai dalam 7 bagian: komitmen, dewan komisaris, dewan direksi, komite fungsional, hak pemegang saham, responsibilitas, dan transparansi. Indeks ini menggunakan skala interval 0 100. Pengungkapan Sukarela: Variabel dependen yang diuji dalam model penelitian ini adalah indeks pengungkapan sukarela (DSCORE). Indeks pengungkapan sukarela adalah suatu skor yang diberikan pada suatu laporan tahunan sebagai ukuran terhadap luas pengungkapan sukarela perusahaan. Ada dua tahapan terkait dengan indeks pengungkapan sukarela:

JEAM Vol X No. 1/2011

66

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

1. Mengembangkan daftar item pengungkapan sukarela. Item pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan dikembangkan berdasarkan penelitian Meek dkk. (1995), Choi dan Mueller (1992) dalam Wulansari (2009). Selanjutnya, penelitian ini membandingkan antara daftar item pengungkapan sukarela dengan daftar item informasi pengungkapan wajib dalam laporan tahunan yang dikeluarkan melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006 (Peraturan X.K.6). Setelah mengeluarkan semua item informasi pengungkapan wajib dari daftar item pengungkapan sukarela maka diperoleh daftar item pengungkapan sukarela yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan prosedur tersebut diperoleh 23 item informasi yang dapat diungkapkan secara sukarela oleh managemen dalam laporan tahunan. Item-item informasi sukarela tersebut adalah sebagai berikut: 1) Informasi mengenai proyeksi jumlah penjualan tahun berikutnya, dapat secara kualitatif atau kuantitatif (a dan b). 2) Informasi mengenai proyeksi jumlah laba tahun berikutnya, dapat secara kualitatif atau kuantitatif (a dan b). 3) Informasi mengenai proyeksi jumlah aliran kas tahun berikutnya, dapat secara kualitatif atau kuantitatif (a dan b). 4) Informasi mengenai pesanan-pesanan dari pembeli yang belum dipenuhi dan kontrak-kontrak penjualan yang akan direalisasi di masa yang akan datang (a dan b). 5) Informasi mengenai analisis pesaing, dapat secara kualitatif atau kuantitatif (b). 6) Statemen perusahaan atau uraian mengenai pemberian kesempatan kerja yang sama; tanpa memandang suku, agama dan ras (b). 7) Uraian mengenai kondisi kesehatan dan keselamatan dalam lingkungan kerja (b). 8) Uraian mengenai masalah-masalah yang dihadapi perusahaan dalam recruitment tenaga kerja dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut (b). 9) Informasi mengenai level fisik output atau pemakaian kapasitas yang dicapai oleh perusahaan pada masa sekarang (a). 10) Uraian mengenai dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan hidup dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk memelihara lingkungan (a dan b). 11) Informasi mengenai managemen senior, yang meliputi nama, pengalaman dan tanggung jawabnya (b). 12) Uraian mengenai kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk menjamin kesinambungan managemen (a). 13) Uraian mengenai pembagian tanggung jawab fungsional di antara dewan komisaris dan direksi (a). JEAM Vol X No. 1/2011 67

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

14) Ringkasan statistik keuangan yang meliputi rasio-rasio rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas untuk 6 tahun atau lebih (a). 15) Laporan yang memuat elemen-elemen diperbandingkan untuk 3 tahun atau lebih (a). 16) Laporan yang memuat elemen-elemen diperbandingkan untuk 3 tahun atau lebih (a). rugi-laba neraca yang yang

17) Informasi yang memerinci jumlah yang dibelanjakan untuk karyawan; yang dapat meliputi gaji dan upah, tunjangan dan pemotongan (a). 18) Informasi mengenai nilai tambah; dapat secara kualitatif atau kuantitatif (b). 19) Informasi mengenai biaya yang dipisahkan ke dalam komponen biaya tetap dan variabel (a). 20) Uraian mengenai dampak inflasi terhadap aktiva perusahaan pada masa sekarang dan atau di masa yang akan datang (b). 21) Informasi mengenai tingkat imbal hasil (return) yang diharapkan terhadap sebuah proyek yang akan dilaksanakan oleh perusahaan (a). 22) Informasi mengenai litigasi oleh pihak lain terhadap perusahaan di masa yang akan datang (c). 23) Informasi mengenai pihak-pihak yang mencoba memperoleh pemilikan substansial terhadap saham perusahaan (c). Keterangan: a. Susanto (1992) dalam Wulansari (2008) b. Meek, Robert dan Gray (1995) dalam Wulansari (2008) c. Choi dan Mueller (1992) dalam Wulansari (2008) 2. Mengukur luas pengungkapan sukarela terhadap laporan tahunan. Daftar item yang dikembangkan tersebut kemudian digunakan untuk mengukur tingkat luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan sampel. Indeks pengungkapan untuk setiap perusahaan sampel diperoleh dengan cara sebagai berikut: a. Pendekatan untuk penentuan skor pengungkapan pada dasarnya bersifat dikotomi: sebuah item diberi skor satu (1) jika diungkapkan dan nol (0) jika tidak diungkapkan. Prosedur dikotomi diterapkan untuk item-item yang dipertimbangkan relevan dengan perusahaan tertentu berdasarkan pertimbangan setelah membaca seluruh isi laporan tahunan (Suripto, 1999 dalam Wulansari, 2008). b. Menggunakan model pengungkapan yang tidak diberi bobot sehingga memperlakukan semua item pengungkapan secara sama.

JEAM Vol X No. 1/2011

68

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

c. Luas pengungkapan secara relatif setiap perusahaan diukur dengan indeks, yaitu rasio total skor yang diberikan kepada sebuah perusahaan dengan skor yang diharapkan dapat diperoleh perusahaan tersebut. Dengan demikian semakin banyak item informasi dalam daftar yang dimuat dalam laporan tahunan maka semakin besar indeks luas pengungkapan sukarela perusahaan yang bersangkutan dan sebaliknya. Likuiditas saham: Penelitian ini menggunakan ukuran frekuensi perdagangan saham (trading frequency) dengan beberapa alasan. Pertama, kriteria yang selama ini digunakan untuk menetapkan 45 saham terlikuid (LQ45) setiap enam bulan adalah volume dan frekuensi transaksi. Artinya, semakin besar volume dan frekuensi transaksi maka semakin tinggi likuiditas. Di samping itu, penelitian yang dilakukan oleh Febrian dan Herwany (2008), yang menguji ketiga ukuran likuiditas (bid-ask spread, frekuensi perdagangan dan rasiorasio likuiditas) dengan menggunakan model GARCH, menyediakan bukti empiris bahwa frekuensi perdagangan dengan data bulanan merupakan ukuran yang paling tepat untuk mengukur likuiditas saham di BEI. Hal ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Fleming (2003) dan Huang et al. (2002), yang menyediakan bukti empiris bahwa frekuensi perdagangan memiliki tingkat signifikansi paling tinggi dibandingkan kedua variabel yang lain. C. Pengujian hipotesis Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah corporate governance dan pengungkapan sukarela memengaruhi likuiditas. Analisis yang digunakan untuk menguji pengaruh tersebut adalah dengan uji regresi berganda (multiple regression) atau biasa dinyatakan dalam ordinary least square (OLS). Cohen dan Cohen (1983) menyatakan bahwa untuk menguji kecukupan (adequacy) model regresi maka residual (residuals) dari nilai regresi estimasian harus diuji. Oleh karena itu, sebelum menguji hipotesis dilakukan pengujian untuk memastikan bahwa asumsi mendasar pada model regresi terpenuhi. Tes dilakukan terhadap normalitas residual, homogenitas variansi residual, dan ketepatan model linear. Untuk memastikan terpenuhinya asumsi mendasar pada model regresi maka keberadaan multikolinearitas diuji dengan uji toleransi (tolerance test) dan uji VIF (variance inflation factor) untuk masing-masing model regresi. IV. Analisis dan Pembahasan Sampel penelitian adalah perusahaan nonkeuangan peserta survei CGPI, yang terdaftar di BEI, yang datanya tersedia untuk menghitung variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini. Perioda penelitian adalah tahun 2003 sampai dengan 2008. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 50 perusahaan nonkeuangan yang terdaftar dalam CGPI (corporate governance perception index). Alasan hanya menggunakan sektor nonkeuangan adalah karena perbedaan sifat industri antara JEAM Vol X No. 1/2011 69

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

sektor keuangan dan nonkeuangan. Alasan lain adalah ketatnya regulasi yang berlaku pada sektor keuangan yang mungkin berpengaruh terhadap hasil pengujian. a. Statistik Deskriptif Sebelum melakukan pengujian hipotesis maka statistik deskriptif masingmasing variabel yang diuji dalam penelitian ini akan dianalisis terlebih dahulu. Statistik deskriptif variabel yang menjadi fokus penelitian ini digambarkan pada Tabel I. Tabel I. Statistik Deskriptif Variabel GP DSCORE LS N 50 50 50 Minimum 56,38 0,173913043 1 Maksimum 87,4 0,521739130 2099,5 Mean 76,55942857 0,334492754 295,0421818 Deviasi Standar 6,645995231 0,093462091 374,6778079

Tabel I memerlihatkan nilai mean dari variabel corporate governance (CG) sebesar 76,56, sedangkan nilai tertinggi GP adalah 87,4 dan nilai terendahnya adalah sebesar 56,38, dengan deviasi standar sebesar 6,65. Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata perusahaan yang menjadi sampel penelitian telah memiliki praktik corporate governance yang baik, meskipun terdapat variansi nilai praktik corporate governance yang cukup besar. Nilai mean variabel pengungkapan sukarela (DSCORE) sampel observasian adalah 0,334492754. Nilai tertinggi DSCORE adalah 0,521739130 sedangkan nilai terendah adalah 0,173913043 dengan deviasi standar sebesar 0,093462091. Data tersebut menunjukkan bahwa secara statistis perusahaan sudah melakukan pengungkapan sukarela, meskipun koefisien pengungkapan sukarela tidak besar. Deviasi standar yang mendekati nol menunjukkan bahwa variabilitas data terhadap mean tidak besar. Nilai mean likuiditas saham (LS) sampel observasian adalah 295,04. Nilai tertinggi LS adalah 2099,5 sedangkan nilai terendah adalah 1 dengan deviasi standar sebesar 374,678. Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa terjadi variansi yang sangat besar atas nilai likuiditas saham perusahaanperusahaan publik di Indonesia yang menjadi sampel pada penelitian ini. Data tersebut menunjukkan bahwa ada saham perusahaan sampel yang sahamnya tidak secara aktif diperdagangkan di lantai bursa, dan ada pula perusahaan sampel yang sahamnya sangat aktif diperdagangkan. Hal ini terlihat aneh ketika dibandingkan dengan nilai praktik corporate governance sampel yang rata-rata menunjukkan nilai yang baik. b. Pengujian Asumsi Klasik Pengujian atas hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple regression). Teknik estimasi JEAM Vol X No. 1/2011 70

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

variabel dependen yang melandasi analisis regresi disebut ordinary least squares (OLS). Menurut Gujarati (2003), terdapat sepuluh asumsi utama yang mendasari model regresi linier klasik dengan menggunakan model OLS. Dari sepuluh asumsi tersebut, terdapat tiga asumsi yang penting untuk diperhatikan pada penelitian ini, yaitu normalitas, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variansi dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji heteroskedastisitas White menunjukkan nilai p sebesar 0,459711, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu distribusi data. Pengujian normalitas pada penelitian ini menggunakan uji normalitas chi-square. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa distribusi data pada kedua pengujian regresi adalah normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0,00000 baik pada pengujian pertama maupun kedua. Salah satu asumsi model regresi linear adalah bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas antara variabel independen yang masuk dalam model penelitian. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah multikolinearitas adalah dengan melihat nilai VIF (variance inflation factors), bila nilai VIF kurang dari 10 dan nilai toleransi (tolerance value) di atas 0,10 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas yang berbahaya dan begitu pula sebaliknya. Dari hasil pengujian, diperoleh hasil bahwa nilai VIF sebesar 1,139. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas pada variabel corporate governance dan pengungkapan sukarela. c. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat signifikansi statistis masing-masing variabel independen. Apabila signifikansi statistis (p-value) yang diperoleh lebih kecil dari 0,05 maka H0 dapat ditolak (=5%). Hasil pengujian menghasilkan nilai p, yang secara statistis signifikan pada =1%, sebesar 0,0005 untuk variabel corporate governance dan <0,0001 untuk variabel pengungkapan sukarela (Tabel II). Artinya, baik corporate governance maupun pengungkapan sukarela memengaruhi likuiditas saham. Koefisien variabel corporate governance bernilai positif, artinya corporate governance secara empiris berpengaruh positif pada likuiditas saham. Nilai koefisien pengungkapan sukarela bernilai positif, yang menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela secara empiris berpengaruh terhadap likuiditas saham. Artinya, makin besar pengungkapan sukarela, makin tinggi likuiditas. Penjelasan yang mungkin dari hasil ini adalah bahwa investor mencermati informasi-informasi yang diungkapkan secara sukarela dalam laporan tahunan perusahaan sehingga peningkatan pengungkapan sukarela direspon dengan meningkatkan likuiditas saham.

JEAM Vol X No. 1/2011

71

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

Tabel II. Hasil pengujian regresi Coefficient Std. Error t-ratio p-value

Const -1821,24 438,702 -4,1514 0,00023*** CGPI 5,96202 4,7074 0,00005*** 28,0657 DSCORE 175,117 5,2415 917,868 <0,00001*** ***signifikan pada =1% Tabel II juga menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas. Data menunjukkan bahwa nilai VIF adalah sebesar 1,139 (nilai VIF<10,0) sehingga disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas. Pengujian ini juga menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, yang ditunjukkan dengan nilai p pada pengujian chi-square sebesar 0,00000. V. Simpulan, Keterbatasan dan Implikasi Penelitian

a. Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh bukti empiris apakah corporate governance dan pengungkapan sukarela berpengaruh positif pada likuiditas saham. Penelitian ini bermaksud mereplikasi penelitian yang dilakukan oleh Goh et al. (2008) dengan menyediakan bukti empiris hubungan antara corporate governance, pengungkapan sukarela, dan likuiditas saham. Sampel penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan nonkeuangan peserta survei CGPI tahun 2003-2008. Pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression). Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut: pertama, terdapat bukti empiris bahwa corporate governance secara statistis berpengaruh positif pada likuiditas saham. Bukti empiris ini mendukung penelitian Chung et al. (2009), yang menyatakan bahwa corporate governance memengaruhi likuiditas saham. Hasil kedua menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela secara statistis berpengaruh positif terhadap likuiditas saham. Hal ini menunjukkan bahwa investor merespon pengungkapan sukarela yang ditunjukkan dengan peningkayan likuiditas saham. Hasil ini juga mendukung penelitian oleh Goh et al. (2008), yang menyatakan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh secara positif terhadap likuiditas saham. b. Keterbatasan Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: pertama, perioda pengamatan yang tidak menggunakan keseluruhan perioda survei CGPI, yaitu tahun 2001-2008. Keterbatasan ini diakibatkan oleh adanya keterbatasan data, baik data skor peserta CGPI publikasian maupun data laporan keuangan yang disediakan oleh Osiris dan PDBE. Tia mungkin akan memengaruhi generalisasi hasil penelitian. Kedua, terbatasnya peserta survei CGPI-IICG, yang rata-rata per tahun hanya sekitar 27 perusahaan untuk survei 2003-2008. Secara rata-rata, peserta survei CGPI adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki praktik corporate governance yang baik dengan skor minimal 56,38 (skor cukup

JEAM Vol X No. 1/2011

72

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

terpercaya). Sampel yang digunakan dapat menimbulkan bias bertahan (survivorship bias). Sayangnya, penelitian ini tidak dapat mengontrol kemungkinan terjadinya bias tersebut. c. Implikasi dan Saran Penelitian Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan perioda pengamatan secara keseluruhan. Di samping itu penelitian selanjutnya juga disarankan untuk menginvestigasi variabel lain yang mungkin memengaruhi likuiditas saham. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menguji variabelvariabel yang berpengaruh terhadap likuiditas saham pada perusahaanperusahaan keuangan untuk menginvestigasi adanya perbedaan pada kedua jenis industri. Selain itu, sebaiknya penelitian selanjutnya membedakan antara sampel berdasarkan skor CGPI yang diperoleh untuk menghilangkan bias bertahan (survivorship bias). REFERENSI Acharya, V., dan L. H. Pedersen. 2005. Asset Pricing with Liquidity Risk. Journal of Financial Economics 77: 375-410. Adina, P. dan P. Ion. 2008. Aspects Regarding Corporate Mandatory and Voluntary Disclosure. Working Paper. Diunduh dari http://steconomice.uoradea.ro. Amihud, Y., and H. Mendelson. 1986. Asset Pricing and the Bid-Ask Spread. Journal of Financial Economics 17: 223-249. Attig, N., W.M. Fong, Y. Gadhoum dan L.H.P. Lang. 2004. Effects of Large Shareholding on Information Asymmetry and Stock Liquidity. Working Paper. SSRN. Brockman, P., dan D. Y. Chung. 2008. Investor Protection, Adverse Selection, and the Probability of Informed Trading. Review of Quantitative Finance and Accounting 30: 111-131. Chen, K.Y., R.J. Elder, dan Y.M. Hsieh. 2007. Corporate Governance and Earnings Management: The Implications of Corporate Governance Best-Practice Principles for Taiwanese Listed Companies. Working Paper. SSRN. Chung, K.H., J. Elder, dan J-C. Kim. 2009. Corporate Governance and Liquidity. Journal of Financial and Quantitative Analysis (forthcoming). Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied Multiple Regression/Correlation Analysis for the Behavioral Sciences (2nd Ed.). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Daniri, M.A. 2004. Good Corporate Governance: Pengertian dan Konsep Dasar. Makalah (takterpublikasi). Fama, E. F., dan M. C. Jensen. 1983. Agency Problems and Residuals Claims. Journal of Law and Economics 26: 327-349. Febrian, E. dan A. Herwany. 2008. Liquidity Measurement Based on Bid-Ask Spread, Trading Frequency, and Liquidity Ratio: The Use of GARCH Model on Jakarta Stock Exchange (JSX). Working Paper. SSRN. JEAM Vol X No. 1/2011 73

Susilowati, Pengaruh Corporate Governance

ISSN: 1412-5366

Fleming, M.J. 2003. Measuring Treasury Market Liquidity. Economic Policy Review. Federal Reserve Bank of New York. Frost, C.A., E. A. Gordon, and A. F. Hayes. 2006. Stock Exchange Disclosure and Market Development: An Analysis of 50 International Exchanges. Journal of Accounting Research 44: 437-483. Goh, B.W, J. Ng, dan K.O. Yong. 2008. Corporate Governance and Liquidity: An Exploration of Voluntary Disclosure, Analyst Coverage and Adverse Selection as Mediating Mechanism. Working Paper. SSRN. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics, 4th ed., Boston, McGraw-Hill Handa, P. dan R.A. Schwartz. 1996. Limit Order Trading. Journal of Finance 51 (5). Hong, H., and M. Huang. 2005. Talking Up Liquidity: Insider Trading and Investor Relations. Journal of Financial Economics 14: 1-31. Huang, R.D., J. Cai dan Xiaozu Wang. 2002. Information Based Trading in the Treasury Note Interdealer Broker Market. Journal of Financial Intermediation 11 (3): 269-96. Jensen, M., dan W. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3: 305-360. Khomsiyah. 2005. Hubungan Corporate Governance dan Pengungkapan Informasi: Pengujian secara Simultan. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. LaFond, R., M. H. Lang, dan H. Ashbaugh-Skaife. 2007. Earnings Smoothing, Governance and Liquidity: International Evidence. Working Paper. MIT. SSRN. Leuz, C., dan R. Verrecchia. 2000. The Economic Consequences of Increased Disclosure. Journal of Accounting Research 38: 91-124. Meek, Gary K., Clare B. Roberts, Sidney J. Gray. 1995. Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosure by U.S., U.K. and Continental European Multinational Corporations. Journal of International Business Studies 26(3): 555-572. Surat Keputusan Menteri Negara BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 Tanggal 1 Agustus 2002. Diunduh dari http://www.iicg.org. Surat Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006 (Peraturan X.K.6) tentang Penyampaian Laporan Keuangan. Diunduh dari http://www.bapepam.go.id. Wulansari, F. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan. Skripsi. Universitas Islam Indonesia.

JEAM Vol X No. 1/2011

74

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

ANALISIS PENGARUH BIAYA BUNGA, BIAYA KEAGENAN, RISIKO BISNIS,UKURAN PERUSAHAAN, TERHADAP KEBIJAKAN UTANG DAN KEMAMPULABAAN PERUSAHAAN JASA DI BURSA EFEK INDONESIA Yulinartati1 Abstract Purpose of this research is to test influence cost of interest, agency cost, business risk, company size to debt directly and indirect of service firm in Indonesian Stock Exchange and test influence of capital sructure influential to profitability of service firm in Indonesian Stock Exchange. This research is including explanatory research explaining the relation of causal between independent variables to variable dependen. Population applied in this research is service firm which listed in Indonesian Stock Exchange (BEI) time line 2006 up to 2008. Data analytical method applied by data normality test and SEM. Result of this research indicates that cost of interest, agency cost, businnes risk and company size influential signifikan to policy of service firm debt in Indonesian Stock Exchange. Cost of interest, agency cost, business risk, company size influential signifikan directly and indirect to profitability of service firm in Indonesian Stock Exchange. Policy of debt influential signifikan to profitability of service firm in Indonesian Stock Exchange. Conclusion from this research is influence cost of interest, agency cost, business risk, company size to policy of debt either directly and also indirect is signifikan at service firm in Indonesian Stock Exchange. Key Word : cost of interest, agency cost, business risk, company size, debt directly and profitability

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya perusahaan membutuhkan dana, pemenuhan dana tersebut dapat berasal dari sumber intern maupun sumber ekstern. Namun umumnya perusahaan cenderung menggunakan modal sendiri sebagai modal permanen daripada modal asing yang hanya digunakan sebagai pelengkap apabila dana yang diperlukan kurang mencukupi. Oleh karena itu, para manajer keuangan dengan tetap memperhatikan cost of capital perlu menentukan struktur pendanaan dalam upaya menetapkan apakah kebutuhan dana perusahaan dipenuhi dengan modal sendiri atau dipenuhi

Dosen Jurusan Manajemen FE Unmuh Jember

JEAM Vol X No. 1/2011

75

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

dengan modal asing. Menurut Weston dan Copeland (1997:19), struktur pendanaan atau struktur keuangan adalah cara perusahaan dalam membiayai aktivanya. Utang merupakan salah sumber pembiayaan utama bagi perusahaan, untuk mendukung ekspansi dan jika sumber pendanaan internal sudah tidak dapat di optimalkan. Walaupun demikian, utang juga menimbulkan permasalahan jika tidak dikelola dengan baik, misalnya dapat mengakibatkan kebangkrutan usaha. Pada perusahaan terbuka, atau perusahaan yang saham-sahamnya telah dimiliki oleh masyarakat. Operasionalisasi perusahaan akan mempengaruhi tingkat kemampulabaan (profitabilitas) atau kinerja keuangan. Struktur pendanaan merupakan salah satu keputusan penting dari manajer pendanaan dalam meningkatkan profitabilitas bagi kemakmuran pemilik perusahaan. Dimana kemakmuran para pemegang saham diperlihatkan dalam wujud semakin tingginya harga saham yang merupakan pencerminan dari keputusan investasi, pendanaan dan kebijakan deviden. Oleh karena itu, kemakmuran para pemegang saham dapat dijadikan sebagai dasar analisis dan tindakan rasional dalam proses pembuatan keputusan sehingga dapat meningkatkan kemakmuran pemilik. Perusahaan dapat menunjukkan kemampuan modal yang digunakan dalam mendanai aktivitasnya untuk menghasilkan laba bersih sebagai hasil akhir dari aktivitas perusahaan. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Apakah biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis, ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia? 2. Apakah biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis, ukuran perusahaan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap kemampulabaan perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia? 3. Apakah kebijakan utang berpengaruh terhadap kemampulabaan perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia? 2. KAJIAN TEORITIS 2.1. Struktur Pendanaan Struktur pendanaan adalah masalah sumber dan penggunaan dana. Dana dapat dipenuhi dari sumber intern ataupun sumber ekstern perusahaan. Dana tersebut dialokasikan untuk membelanjai aktiva-aktiva perusahaan. Menurut Martin (1999:385) dalam Ghozali dan Idrus (2001), struktur keuangan atau disebut juga struktur pendanaan merupakan kombinasi segenap pos yang masuk ke dalam sisi kanan neraca pendanaan perusahaan (sisi passiva) yang terdiri dari utang jangka panjang, utang jangka pendek dan modal pemegang saham. Menurut Weston dan Copeland (1996:3) mengartikan struktur pendanaan adalah cara bagaimana perusahaan membiayai aktivanya. Sedangkan Weston dan Brigham (1991:174) struktur pendanaan diartikan sebagai cara aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai/dibiayai yang merupakan bagian kanan neraca yang merupakan rasio antara total utang dengan modal sendiri. Dengan demikian, struktur pendanaan merupakan pencerminan cara suatu perusahaan untuk membiayai aktivanya dari komposisi sumber modal yang terdiri dari utang jangka panjang, utang jangka pendek, dan modal pemegang saham.

JEAM Vol X No. 1/2011

76

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Pendanaan Menurut Weston dan Copeland (1996:20) ada beberapa variabel yang mempengaruhi struktur pendanaan perusahaan yaitu : 1. Tingkat Pertumbuhan Penjualan 2. Stabilitas Arus Kas 3. Karakteristik Industri 4. Struktur aktiva 5. Sikap manajemen 6. Sikap pemberi pinjaman 2.3. Risiko Menurut Atmaja (1999:225), risiko merupakan variabilitas dari keuntungan atau pendapatan yang diharapkan terjadi. Keputusan pendanaan investasi difokuskan pada pembagian arus pendapatan yang disebabkan oleh (1) keterbukaan perusahaan terhadap risiko bisnis, dan (2) keputusan perusahaan yang menimbulkan risiko finansial. Ada tiga jenis risiko yang harus dipertimbangkan oleh investor dalam melakukan investasi di pasar modal yaitu: 1. Risiko Sistematis Risiko sistematis menurut Sharp dalam (Fabossi, 1999:96) merupakan tingkat minimum risiko yang dapat diperoleh bagi suatu portfolio melalui diversifikasi sejumlah aktiva yang dipilih secara acak. Risiko Sistematis merupakan risiko yang berasal dari kondisi ekonomi dan pasar secara umum yang tidak dapat didiversifikasi. Risiko Sistematis disebut juga risiko pasar. atau risiko yang tidak dapat dibagi. 2. Risiko Tidak Sistematis Risiko ini disebut juga sebagai risiko dapat didiversifikasi, risiko unik, risiko residual atau risiko khusus perusahaan. Risiko ini merupakan risiko yang unik bagi perusahaan seperti pemogokan kerja, tuntutan hukum atau bencana alam. 3. Risiko Bisnis Risiko bisnis merupakan gabungan antara risiko sistematis dan risiko yang tidak sistematis. Risiko bisnis juga dapat diartikan sebagai suatu ketidakpastian dalam proyeksi perusahaan atas tingkat pengembalian di masa yang akan datang. Risiko bisnis ini berpengaruh pada insolvency, rate of return yang diharapkan dan struktur modal. Risiko bisnis yang semakin besar akan meningkatkan kemungkinan bangkrut suatu perusahaan sehingga dengan kemungkinan bangkrut yang semakin besar mengakibatkan rate of return yang diisyaratkan oleh investor ekuitas semakin besar pula. 2.4. Biaya Modal Konsep cost of capital (biaya penggunaan modal atau biaya modal) merupakan konsep yang sangat penting dalam pembelanjaan perusahaan. Konsep ini dimaksudkan untuk dapat menentukan besarnya biaya yang secara riil harus ditanggung oleh perusahaan untuk memperoleh dana dari suatu sumber. Menurut Sartono (1998:217), Biaya modal adalah biaya yang harus dikeluarkan atau harus di bayar untuk dapat mendapatkan modal, baik yang berasal dari utang, saham preferen, saham biasa maupun laba ditahan untuk membiayai investasi perusahaan. Dengan demikian konsep cost of capital tersebut dimaksudkan untuk dapat menentukan besarnya biaya riil dari penggunaan modal dari masing-masing sumber dana, untuk

JEAM Vol X No. 1/2011

77

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

kemudian menentukan biaya modal rata-rata (average cost of capital) dari keseluruhan dana yang digunakan di dalam perusahaan. 2.5. Masalah Keagenan (Agency Problem) Perusahaan merupakan pusat perjanjian antara berbagai pihak, yaitu pemegang saham, manajer, pemasok dan pihak-pihak lainnya termasuk karyawan dan pekerja. Mendahukan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan orang lain (self interested behavior) merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sifat inilah yang memicu timbulnya masalah keagenan (agency problem). 2.6. Ukuran Perusahaan (Company size) Ukuran Perusahaan (Company size) merupakan ukuran perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian. Semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar kemungkinan perusahaan untuk menggunakan pendanaan jangka panjang. Perusahaan besar diprediksi relatif stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan kecil pada umumnya mempunyai efisiensi yang lebih rendah dan mempunyai laverage financial yang tinggi. Semakin besar perusahaan berarti semakin efisien dan semakin rendah laverage financialnya sehingga risiko perusahaan semakin kecil. Menurut Husnan (1996:337), ukuran perusahaan dapat diukur menggunakan total asset, sales dan equity. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Hipotesis Berdasarkan pokok permasalahan dan penelitian-penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini dapat diuraikan beberapa hipotesis, yaitu: H1 : Biaya bunga berpengaruh terhadap kebijakan utang pada Perusahaan Jasa. H2 : Biaya keagenan berpengaruh terhadap kebijakan utang pada Perusahaan Jasa H3 : Risiko bisnis berpengaruh terhadap kebijakan utang pada Perusahaan Jasa. H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan utang pada Perusahaan Jasa. H5 : Biaya bunga berpengaruh terhadap kemampulabaan pada Perusahaan Jasa. H6 : Biaya keagenan berpengaruh terhadap kemampulabaan pada Perusahaan Jasa. H7 : Risiko bisnis berpengaruh terhadap kemampulabaan pada Perusahaan Jasa. H8 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap kemampulabaan pada Perusahaan Jasa. H9: Kebijakan utang berpengaruh terhadap kemampulabaan pada Perusahaan Jasa. 3.2. Definisi Operasional Variabel dan Skala Pengukuran Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penelitian, maka definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Eksogen (independen) Dalam penelitian ini variabel eksogen adalah: 1) Biaya Bunga (BIUT) Biaya bunga menunjukkan berapa biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan karena perusahaan menggunakan dana yang berasal dari pinjaman. Biaya bunga ditentukan berdasarkan bunga yang dibayarkan oleh perusahaan, dinyatakan dalam jutaan rupiah dan diukur tiap tahun selama periode 2006 sampai dengan 2008 (Sawir, 2004 : 26). 2) Biaya keagenan (TATO)

JEAM Vol X No. 1/2011

78

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

2.

Biaya keagenan merupakan biaya yang digunakan untuk meminimalisir terjadinya agency problem yang merupakan konflik kepentingan antara pihak manajemen dengan pemegang saham/obligasi. Penelitian ini mengacu pada penelitian Ang, et. Al (1996), Singh dan Davidson (2003) serta Florackis dan Ozkan (2004). Dalam hal ini variabel agency cost merupakan variabel laten yang diukur berdasarkan asset utilization yang diproksi dengan asset turn over: Total Assets Turn Over (TATO) digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan aktiva oleh manajer (Faisal, 2004). Variabel ini mengukur biaya keagenan berdasarkan tingkat perputaran aktiva (assets turn over) dan sebagai proksi dari asset utilization. Semakin tinggi ratio ini berarti semakin produktif aktiva tersebut digunakan untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham. TATO yang rendah menurut Florackis dan Ozkan (2004) mengindikasikan keputusan investasi yang buruk, upaya yang tidak optimal, serta pengeluaran konsumsi yang tinggi untuk kepentingan pribadi manajer, serta pengeluaran lain yang kurang produktif. TATO rendah menunjukkan biaya keagenan yang tinggi antara manajer dan pemegang saham. Total sales TATO Total Assets TATO dinyatakan dalam persentase (%) dan dihitung tiap tahun selama periode 2006 sampai dengan 2008. 3) Risiko bisnis (RISK) Risiko bisnis didefinisikan sebagai ketidak pastian dalam proyeksi perusahaan atas tingkat pengambilan (laba) atau ekuitasnya dimasa mendatang. Risiko bisnis dihitung berdasarkan dengan standar deviasi dari perubahan net operating income: Risiko Bisnis = Standar deviasi dari {NOI t-3, NOI t-2,NOI t-1, NOI t} 4) Ukuran perusahaan (SIZE) Ukuran perusahaan ditentukan berdasarkan nilai buku dari total aset perusahaan, dinyatakan dalam jutaan rupiah dan diukur tiap tahun selama periode 2006 sampai dengan 2008 (Sawir, 2004 : 33). Variabel endogen Variabel endogen terdiri dari variabel intervening berupa kebijakan strukutr modal dan variabel endogen (dependen) terdiri dari kemampulabaan. 1) Variabel intervening Variabel intervening yaitu variabel kebijakan utang merupakan bentuk dari penggunaan utang yang dilakukan perusahaan dan menunjukkan seberapa besar kebutuhan dana yang ada didalam perusahaan dibelanjai dengan utang. Variabel ini diproxikan dengan rasio debt to total asset. Rasio debt to total asset (DAR) menunjukkan perbandingan nilai buku total hutang terhadap total aktiva perusahaan, dari data neraca perusahaan pada akhir tahun tertentu. Variabel ini digunakan untuk mengukur prosentase besarnya dana utang dari keseluruhan aktiva perusahaan (Sutrisno, 2001:247). Variabel dependen Variabel dependen adalah kemampulabaan yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan laba baik per unit asset maupun penjualan. Semakin besar rasio ini maka semakin besar laba

JEAM Vol X No. 1/2011

79

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

yang diperoleh perusahaan. Variabel ini diproxikan dengan variabel Net Profit Margin adalah rasio laba bersih setelah pajak dibandingkan dengan volume penjualan. 3.4. Metode Analisis Data 2.4.1. Model Persamaan Structural Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis model persamaan structural (structural equation model). Model ini dipilih karena penulis ingin menganalisis pengaruh biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis, ukuran perusahaan terhadap kemampulabaan perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia secara langsung maupun secara tidak langsung melalui kebijakan utang. Persamaan struktural dari model diagram jalur pada kerangka pikir konseptual dinyatakan sebagai berikut: HUT = 1 BIUT + 2 TATO + 3 RISK + 4 SIZE + z1 ............................(1) KMPL = 1 BIUT + 2 TATO + 3 RISK + 4 SIZE + 5 HUT + z2 .........(2) Keterangan : Variabel endogen/dependen HUT = Kebijakan utang KMPLK = Kemampulabaan Variabel eksogen/independent BIUT = Biaya bunga TATO = Biaya keagenan RISK = Risiko bisnis SIZE = Ukuran perusahaan
B IU T

T AT O

D AR

NPM

ZE TA 2

R IS K

S IZE

Gambar 3.1. Model Analisis

ZE TA 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan jasa yang listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2006 sampai dengan 2008. Metode yang digunakan untuk menentukan sampel yaitu Purposive Sampling.

JEAM Vol X No. 1/2011

80

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Tabel 1. Jumlah Perusahaan Jasa yang Listed di Bursa Efek Indonesia


No Sub Sektor Populasi Perusahaan 1 Advertising, Printing dan Media 2 Restaurant, Hotel dan Tourims 3 Investment Company 4 Computer Service 5 Others Jumlah 8 21 4 10 7 50 % 16% 42% 8% 20% 14% 100% Sampel Perusahaan 8 15 4 8 3 38 % 21% 39% 11% 21% 8% 100%

Sumber : Indonesian Capital Market Directory Tahun 2009, diolah 4.1.1. Statistik Deskriptif Variabel- Variabel Penelitian Tabel 2 Deskriptif Statistik Variabel Penelitian Tahun 2006-2008 (dalam satuan persen dan jutaan rupiah) N = 114
Keterangan Variabel Penelitian Kemampulabaan (NPM dalam %) Kebijakan utang (DAR dalam %) Biaya bunga (dalam jutaan rupiah) Biaya Keagenan (TATO dalam %) Risiko bisnis (dalam jutaan rupiah) Firm Size (Ln) 108,69 43.541,65 12,62 -702,21 37,47 6,87 1.538 432.041,63 17,05 Rata-Rata 9,37 89,76 36.730, 38 Minimum 81 2 0 Maksimum 619,46 834 672.124

4.1.2. Analisis Data Setelah dilakukan analisis deskriptif maka langkah selanjutnya adalah pengembangan model empiris dengan melakukan tahap pengolahan data yang meliputi uji normalitas data dan hipotesis. Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan terlebih dahulu merumuskan hipotesis nol (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha) untuk menguji pengaruh biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis dan ukuran perusahaan terhadap kemampulabaan pada perusahaan jasa yang listed di BEI periode 2006 sampai dengan 2008 Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji normalitas data dan analisis SEM. 4.1.2.1. Uji Normalitas Uji normalitas dapat disimpulkan memiliki distribusi normal jika nilai absolute Critical Ratio Skewness lebih besar dari 2. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa nilai C.R pada tiap variabel memiliki nilai lebih dari 2. Sehingga dengan demikian dapat dinyatakan bahwa data tiap variabel dalam penelitian ini memiliki distribusi normal. 4.1.2.2. Uji Multikolinieritas

JEAM Vol X No. 1/2011

81

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Hasil pengujian multikolinieritas memberikan nilai determinat of sample covariance matrix sebesar 30,273. Nilai ini jauh dari angka nol sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas dan singularitas pada data yang dianalisis. 4.1.2.3. Uji Outliers Hasil uji outliers pada penelitian nampak pada Malahnobis distance atau Mahalnobis d-squared. Untuk menghitung nilai Malahnobis distance berdasarkan nilai Chi squares pada derajat bebas 24 (jumlah variabel indikator) pada tingkat p < 0,05 (2 0,05) adalah sebesar 96,23 (berdasarkan Tabel distribusi 2). Jadi data yang memiliki jarak Malahnobis distance lebih besar dari 96,23 adalah multivariaate outlier. Hasil uji outlier menunjukkan bahwa tidak ada satupun kasus yang memiliki nilai Malahnobis distance lebih besar dari 96,23 maka dapat disimpulkan tidak ada multivariate outlier dalam data penelitian. 4.1.3. Analisis Structural Equation Modeling (SEM) Sebelum mengetahui hasil pengujian hipotesis dalam penelitian ini perlu ditelaah terlebih dahulu kecukupan model atau goodness of fit dalam model analisis ini. 1. Uji Kesesuaian Model (Goodnes of Fit Test) Pengujian model pada SEM bertujuan untuk melihat kesesuaian model. Adapun hasil pengujian kesesuaian model dalam penelitian ini adalah seperti disajikan pada Tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 3 : Indeks Kesesuaian SEM Kriteria Nilai Cut-Off Hasil Perhitungan Keterangan Chi Square Diharapkan kecil Prob. > 0,05 0,05 0,08 0,90 0,90 2 atau 3 0,90 0,90 33,043 Prob.= 0,080 0,080 0,071 0,930 0,935 1,377 0,911 0,974 Baik

Significance Probability RMSEA GFI AGFI CMIN/DF TLI CFI

Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Berdasarkan tabel 3 ini, diketahui bahwa dari delapan kriteria yang digunakan untuk menilai layak/tidaknya suatu model dalam analisis ini ternyata seluruh kriteria terpenuhi. Dengan demikian dapat dikatakan model dapat diterima, yang berarti ada kesesuaian antara model dengan data. 2. Hasil Analisis Jalur Analisis jalur berkaitan dengan studi ketergantungan suatu variabel endogen pada satu variabel eksogen dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel eksogen terhadap variabel endogen.

JEAM Vol X No. 1/2011

82

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

3.

Model Analisis Jalur Setelah diketahui bahwa model dalam analisis ini telah fit maka analisis selanjutnya adalah mengetahui tingkat hubungan dan signifikansi atau kebermaknaan hubungan antar variabel yang ada dalam penelitian ini. Selengkapnya hasil analisis hubungan antara variabel-varaibel tersebut dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini. Model Analisis Jalur (Path Analysis) yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan dalam persamaan struktural berikut: Z = -0,036BIUT 0,300TATO + 0,005RISK 0,027SIZE + ZETA1 Y = -0,038 BIUT + 0,002TATO- 0,079 RISK + 0,038 SIZE + 0,038 DAR + ZETA2
C h i s q u a re = 3 3 .0 4 3 p = 0 .0 8 0 d f = 2 4 C m in /d f = 1 .3 7 7 G F I = 0 .9 3 0 A G F I = 0 .9 3 5 T L I = 0 .9 1 1 R M S E A = 0 .0 7 1

B IU T
-0 .0 3 8 -0 .0 3 6 0 .0 0 2

T A T O

-0 .3 0 0

D A R
0 .0 3 8

N P M

0 .0 3 4

Z E T A 2

R IS K

0 .0 0 5 -0 .0 7 9

-0 .0 2 7 0 .0 2 1

S IZ E

0 .0 3 8

Z E T A 1

Gambar 3 Hasil Analisis jalur Setelah diketahui gambaran hubungan antara variabel-variabel penelitian ini maka selanjutnya akan dipaparkan hasil pengujian hipotesis. Dalam hal ini akan disajikan nilai koefisien jalur antar variabel berikut signifikansi hasil uji hipotesis pada tabel 4. sebagai berikut: Tabel 4 : Hasil Analisis Jalur Variabel Koefisien Jalur C.R Keterangan X1 Z -0,036 -2,342 Signifikan X2 Z -0,300 -3,210 Signifikan X3 Z 0,005 2,113 Signifikan X4 Z -0,027 -2,176 Signifikan ZY 0,038 2,993 Signifikan X1 Y -0,038 -2,431 Signifikan 3,222 Signifikan X2 Y 0,002 -3,000 Signifikan X3 Y -0,079 2,934 Signifikan X4 Y 0,038 Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang. Hasil ini dibuktikan dengan nilai CR lebih besar dari nilai kritis yang disyaratkan sebesar 2. Pengaruh Antar Variabel Penelitian a) Pengaruh Langsung Antar Variabel Penelitian JEAM Vol X No. 1/2011 83

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Hubungan langsung terjadi antara variabel eksogen Biaya bunga,biaya keagenan, risiko bisnis dan ukuran perusahaan dengan variabel endogen intervening Kebijakan utang dan variabel endogen Kemampulabaan. Tabel 5 menyajikan hasil langsung yang terjadi diantara variabel-variabel eksogen dan endogen. Tabel 5 : Pengaruh Langsung Variabel Penelitian Variabel Endogen Pengaruh Langsung Kebijakan utang Kemampulabaan Biaya bunga -0,036 -0,038 Biaya keagenan -0,300 0,002 Variabel Eksogen Risiko Bisnis 0,005 -0,079 Ukuran perusahaan -0,027 0,038 b) Pengaruh Tidak Langsung Antar Variabel Penelitian Hubungan tidak langsung terjadi antara variabel eksogen biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis dan ukuran perusahaan terhadap kemampulabaan. Tabel 4.7 menyajikan hasil pengaruh tidak langsung yang terjadi diantara variabel-variabel eksogen dan endogen. Tabel 6 : Pengaruh Tidak Langsung Variabel Penelitian Variabel Endogen Pengaruh Tidak Langsung Kebijakan utang Kemampulabaan Biaya bunga 0,0000 -0,001 Biaya keagenan 0,0000 -0,011 Variabel Eksogen Risiko Bisnis 0,0000 0,000 Ukuran perusahaan 0,0000 -0,001 c) Pengaruh Total Antar Variabel Penelitian Hubungan total terjadi antara variabel biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis dan ukuran perusahaan dengan variabel kemampulabaan secara langsung dan tidak langsung melalui kebijakan utang. Tabel 7 : Pengaruh Total Variabel Penelitian Total Pengaruh Biaya bunga Biaya keagenan Risiko Bisnis Ukuran perusahaan Kebijakan utang Variabel Endogen Kebijakan Kemampulabaan utang -0,036 0,040 -0,300 -0,009 0,005 0,078 -0,027 0,037 0,000 0,038

Variabel Eksogen

Tabel 8. Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis No Hipotesis Penelitian 1 Biaya bunga berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan jasa

Keterangan Diterima negatif dan signifikan

JEAM Vol X No. 1/2011

84

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

2 3 4 5 6 7 8 9

Biaya keagenan berpengaruh kebijakan utang perusahaan jasa Risiko bisnis berpengaruh terhadap utang perusahaan jasa Ukuran perusahaan berpengaruh kebijakan utang perusahaan jasa Biaya bunga berpengaruh kemampulabaan perusahaan jasa Biaya keagenan berpengaruh kemampulabaan perusahaan jasa Risiko bisnis berpengaruh kemampulabaan perusahaan jasa Ukuran perusahaan berpengaruh kemampulabaan perusahaan jasa Kebijakan utang berpengaruh kemampulabaan perusahaan jasa

terhadap kebijakan terhadap terhadap terhadap terhadap terhadap terhadap

Diterima negatif dan signifikan Diterima Positif dan signifikan Diterima negatif dan signifikan Diterima positif dan signifikan Diterima negatif dan signifikan Diterima Positif dan signifikan Diterima Positif dan signifikan Diterima Positif dan signifikan

4.2. Pembahasan 4.2.1. Pengaruh Variabel Biaya Bunga, Biaya Keagenan, Risiko Bisnis dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan utang. 1. Pengaruh Variabel Biaya Bunga terhadap Kebijakan Utang Biaya bunga mempunyai koefisien jalur sebesar -0,036. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penurunan dari biaya bunga sebesar 0,036 akan meningkatkan kebijakan utang yang diproxikan dengan DAR sebesar 0,036. Arah pengaruh negatif antara variabel biaya bunga terhadap variabel kebijakan utang menunjukkan bahwa semakin rendah biaya bunga maka kebijakan utang akan semakin tinggi. Arah hubungan ini sesuai dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis. Dengan demikian, arah hubungan dari hasil penelitian ini sejalan dengan teori static trade off yang memprediksikan bahwa laverage akan menurun sejalan dengan biaya bunga. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh negatif tingkat bunga pinjaman terhadap utang menunjukkan bahwa kebijakan penggunaan utang dalam struktur modal berpengaruh terhadap tingkat bunga pinjaman. Penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Ismiyanti (2006) yang menyatakan bahwa biaya bunga tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan. 2. Pengaruh Variabel Biaya Keagenan terhadap Kebijakan Utang Biaya keagenan yang diproxikan dengan TATO memiliki koefisien jalur sebesar -0,030. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan tingkat pertumbuhan biaya keagenan sebesar 0,030 akan menurunkan kebijakan utang sebesar 0,030. Arah hubungan negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi biaya keagenan maka kebijakan utang akan semakin rendah. Arah hubungan dari hasil penelitian ini tidak searah dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis. Dengan demikian hasil pengujian pada penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prowse (1990), Mackie-Mason (1990), Smith dan Watts (1992) dan Jensen, et al (1992) akan tetapi konsisten dengan penelitian Ismiyanti (2006).

JEAM Vol X No. 1/2011

85

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

3.

Pengaruh Variabel Risiko Bisnis terhadap Kebijakan Utang Risiko bisnis mempunyai koefisien jalur sebesar 0,005. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan tingkat pertumbuhan risiko bisnis sebesar 0,005 akan meningkatkan tingkat pertumbuhan utang (kebijakan utang) sebesar 0,005. Risiko bisnis memiliki pengaruh terhadap kebijakan utang. Variabel risiko bisnis memiliki tanda yang positif terhadap kebijakan utang. Implikasinya adalah semakin tinggi risiko bisnis perusahaan, perusahaan justru lebih meningkatkan penggunaan hutangnya. Hasil pengujian pada penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Myers dan Majluf (1984) yang mengemukakan teori pecking order dimana perusahaan memiliki pendanaan sesuai dengan urutan risiko, Prowse (1990), Homaifar, et al (1994) dan Bathala, et al (1994) yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang memiliki risiko bisnis yang tinggi cenderung memiliki kebijakan utang yang rendah. Akan tetapi arah hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Strock dan Travios (1990) yang menyatakan bahwa risiko mempunyai arah hubungan positif terhadap utang, karena dengan risiko yang tinggi dan cenderung menggunakan utang maka perusahaan akan menikmati transfer kemakmuran dan debtholder pada shareholder. Namun demikian, koefisien positif yang ini signifikan mengindikasikan bahwa risiko perusahaan tidak berhubungan dengan kebijakan utang perusahaan. Selain itu penelitian ini juga tidak searah dengan Ravid (2006) yang menyatakan risiko bisnis mempunyai pengaruh positif terhadap utang. 4. Pengaruh Variabel Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Utang Ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dan mempunyai koefisien jalur sebesar -0,027. Hal ini berarti bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang negatif signifikan terhadap kebijakan utang dan setiap kenaikan tingkat pertumbuhan ukuran perusahaan sebesar 0,027 akan menurunkan pertumbuhan kebijakan utang sebesar 0,027. Arah hubungan negatif pada hasil penelitian ini tidak sejalan dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis penelitian. Temuan ini berarti bahwa semakin besar perusahaan jasa di BEI mempunyai kebijakan utang dengan proporsi utang yang akan lebih rendah. Kebijakan utang dengan proporsi pendanaan dari utang yang lebih rendah dapat mengakibatkan risiko keuangan perusahaan juga lebih rendah, sehingga perusahaan jasa di BEI mampu terhadap gejolak krisis financial global yang berdampak pada financial distress. Hasil penelitian ini tidak mendukung dan konsisten terhadap Pecking order Theory oleh Myers (1984). Hasil penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ferri dan Jones (1979), Homaifar (1994), Thies dan Klock (1992), Titman dan Wessels (1988) yang mengemukakan bahwa perusahaan yang besar seharusnya menggunakan tingkat laverage yang tinggi serta penelitian Wahidahwati (2002) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan dengan debt ratio perusahaan. Penelitian ini konsisten dengan Ariyanto (2002) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif terhadap keputusan utang perusahaan. 4.2.2. Pengaruh Variabel Biaya Bunga, Biaya Keagenan, Risiko Bisnis dan Ukuran Perusahaan terhadap Kemampulabaan Perusahaan 1. Pengaruh Variabel Biaya Bunga terhadap Kemampulabaan Perusahaan

JEAM Vol X No. 1/2011

86

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Biaya bunga, berpengaruh negatif signifikan terhadap kemampulabaan dan mempunyai koefisien jalur sebesar -0,001. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penurunan dari biaya bunga sebesar 0,001 akan meningkatkan kemampulabaan yang diproxikan dengan Net Profit Margin sebesar 0,001. Arah pengaruh negatif antara variabel biaya bunga terhadap variabel kemampulabaan menunjukkan bahwa semakin rendah biaya bunga menyebabkan kemampuan mendapatkan laba semakin tanggi. Arah hubungan ini sesuai dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis. Dengan demikian, arah hubungan dari hasil penelitian ini sejalan dengan teori static trade off yang memprediksikan bahwa laverage akan menurun sejalan dengan biaya bunga. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh negatif tingkat bunga pinjaman terhadap kebijakan utang, yang menunjukkan bahwa kebijakan penggunaan utang dalam struktur modal berpengaruh terhadap tingkat bunga pinjaman. Penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Ismiyati (2006) yang menyatakan bahwa biaya bunga tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan. 2. Pengaruh Variabel Biaya Keagenan terhadap Kemampulabaan Perusahaan Biaya keagenan yang diproxikan dengan TATO memiliki koefisien jalur sebesar -0,011. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penurunan tingkat pertumbuhan biaya keagenan sebesar 0,011 akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba sebesar 0,011. Arah hubungan negatif menunjukkan bahwa semakin rendah biaya keagenan maka kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba akan semakin tinggi. Arah hubungan dari hasil penelitian ini searah dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis penelitian. Dengan demikian hasil pengujian pada penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prowse (1990), Mackie-Mason (1990), Smith dan Watts (1992) dan Jensen, et al (1992) akan tetapi konsisten dengan penelitian Ismiyati (2006). 3. Pengaruh Variabel Risiko Bisnis terhadap Kemampulabaan Perusahaan Risiko bisnis mempunyai koefisien jalur yang positif. Hal ini berarti bahwa risiko bisnis berpengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian setiap kenaikan tingkat pertumbuhan dari risiko bisnis akan meningkatkan tingkat kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba. Implikasinya adalah dengan semakin tinggi risiko bisnis perusahaan, maka perusahaan justru akan semakin besar kemampuannya untuk mendapatkan laba, hal ini sesuai dengan konsep hight risk hight return. Hasil pengujian pada penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Myers dan Majluf (1984) yang mengemukakan teori pecking order dimana perusahaan memiliki pendanaan sesuai dengan urutan risiko, Prowse (1990), Homaifar, et al (1994) dan Bathala, et al (1994) yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang memiliki risiko bisnis yang tinggi cenderung memiliki kebijakan struktur modal yang rendah. Akan tetapi arah hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Strock dan Travios (1990) yang menyatakan bahwa risiko mempunyai arah hubungan positif terhadap utang, karena dengan risiko yang tinggi dan cenderung menggunakan utang maka perusahaan akan menikmati transfer kemakmuran dan debtholder pada shareholder. Namun demikian, koefisien positif ini signifikan mengindikasikan bahwa risiko perusahaan berhubungan dengan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba. Selain itu penelitian ini juga searah dengan Ravid (2006) yang menyatakan risiko bisnis mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan perusahaan untuk

JEAM Vol X No. 1/2011

87

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

mendapatkan laba. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan obyek penelitian, waktu penelitian, dan pengukuran variabel penelitian yang digunakan. 4. Pengaruh Variabel Ukuran Perusahaan terhadap Kemampulabaan Perusahaan

Ukuran perusahaan mempunyai koefisien jalur dengan tingkat signifikan sebesar -0,001 terhadap kemampulabaan. Hal ini berarti bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba, ini berarti setiap kenaikan tingkat pertumbuhan ukuran perusahaan sebesar 0,001 akan menurunkan tingkat kemampuan untuk mendapatkan laba sebesar 0,001. Arah hubungan negatif signifikan pada hasil penelitian ini konsisten dengan arah hubungan yang diharapkan pada hipotesis. Hasil penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ferri dan Jones (1979), Homaifar (1994), Thies dan Klock (1992), Titman dan Wessels (1988) yang mengemukakan bahwa perusahaan yang besar seharusnya menggunakan tingkat laverage yang tinggi serta penelitian Wahidahwati (2002) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh signifikan dengan debt ratio perusahaan. Penelitian ini konsisten dengan Ariyanto (2002) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan struktur modal perusahaan. 4.2.3. Pengaruh Kebijakan Utang terhadap Kemampulabaan Perusahaan Kebijakan utang berpengaruh positif signifikan terhadap kemampulabaan dan mempunyai koefisien jalur sebesar 0,038. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan kebijakan utang sebesar 0,038 akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba sebesar 0,038. Implikasinya adalah semakin tinggi kebijakan penggunaan utang yang dalam hal ini diproxikan dengan utang, maka kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba juga akan semakin tinggi. Akan tetapi Modigliani dan Miller (1958) dalam Ismiyati dan Hanafi (2005) membantah hasil penelitian ini. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 38 perusahaan jasa selama periode 2006 sampai dengan 2008 diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis,dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian ini kosisten dengan hasil penelitian penelitian Ismiyanti (2006), Strock dan Travios (1990) dan Ariyanto (2002) namun tidak konsisten dengan hasil penelitian Prowse (1990), Mackie-Mason (1990), Smith dan Watts (1992) dan Jensen, et al (1992) Ravid (2006) dan Ferri dan Jones (1979), Homaifar (1994), Thies dan Klock (1992), Titman dan Wessels (1988) yang merupakan kajian empiris penelitian ini 2. Biaya bunga, biaya keagenan, risiko bisnis,dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan secara langsung dan tidak langsung terhadap kemampulabaan perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Ismiyanti (2006) Strock dan Travios (1990) dan Ariyanto (2002) yang merupakan kajian empiris dari penelitian ini.

JEAM Vol X No. 1/2011

88

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

3.

Kebijakan utang berpengaruh signifikan terhadap kemampulabaan perusahaan jasa di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Wahidahwati (2002) yang menyatakan bahwa kebijakan utang berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan.

5.2. Saran Berdasarkan pada hasil pembahasan dan kesimpulan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Penelitian ini dilakukan pada populasi perusahaan jasa dengan kriteria-kriteria tertentu sehingga hasil analisis data tidak dapat dipergunakan untuk generalisasi seluruh perusahaan jasa di Indonesia. Untuk penelitian selanjutnya peneliti dapat memperluas populasi untuk seluruh perusahaan di Indonesia dan juga menambah periode penelitian supaya diperoleh hasil penelitian yang akurat dalam jangka panjang. 2. Perusahaan jasa yang menjadi populasi tidak diklasifikasi kondisi keuangannya. Perusahaan jasa yang mengalami tekanan keuangan dan yang sehat tentu memiliki perbedaan motivasi dan kebijakan yang dipilih. Rivest (1999) menyatakan bahwa pengukuran kebijakan akuntansi perusahaan perlu memisahkan antara perusahaan yang sehat dan perusahaan yang ada dalam tekanan keuangan. Penelitian mendatang dapat mengklasifikasi keadaan perusahaan jasa untuk memastikan perbedaan kebijakan utangnya. 3. Pengukuran biaya keagenan menggunakan proxi Total Sales to Total Asset (TATO). Proxi TATO ini mungkin tidak secara penuh merefleksikan penetuan biaya keagenan. Pengujian mendatang perlu untuk melakukan pembandingan formula ini dengan model pengukuran lain seperti pengukuran biaya untuk dewan komisaris yang ditentukan jumlahnya berdasarkan jumlah dewan komisaris karena dewan komisaris bertugas dalam menjembatani kepentingan antara manjemen dan pemegang saham dan pengukuran biaya untuk administrasi dan umum karena dalam biaya keagenan timbul biaya konsumsi rapat dalam menyamakan tujuan antara manajemen dan pemegang saham. 5.3. Keterbatasan Penelitian Peneliti Studi ini memiliki keterbatasan-keterbatasan yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari studi secara keseluruhan. Keterbatasan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan dan memiliki implikasi perbaikan penelitian berikutnya. Beberapa keterbatasan studi ini adalah sebagai berikut. a. Variabel penelitian hanya menggunakan variabel yang mengukur kondisi internal perusahaan sehingga faktor-faktor di luar perusahaan kurang dipertimbangkan dalam penelitian ini. b. Populasi penelitian hanya terbatas pada satu sektor jasa saja sehingga tidak ada perbandingan dengan sektor lain.

DAFTAR PUSTAKA

JEAM Vol X No. 1/2011

89

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Almilia, Luciana Spica, 2006. Analisis Kebijakan Dividen dan kebijakan Leverage Terhadap Prediksi Kepemilikan Manajerial Dengan tehnik Analisis Multinomial Logit. Jurnal Akuntansi dan Bisnis. ISSN . 1412-0852. Allayannis, George, Gregory W. Brown dan Leora F. Klapper. 2005. Capital Structure and Financial Risk : Evidence From Foreign Debt Use In East Asia. The Journal og Finance. 58 (6).pp 2667-2709 Brigham, Eugene F., dan Joel F. Houston. 2000. Manajemen Keuangan. Edisi Kedelapan, Jakarta Erlangga Cristiawan, Yulius Yogi dan Tarigan, Josua. 2005. Kepemilikan Manajerial: Kebijakan Hutang, Kinerja dan Nilai perusahaan. Jurnal Akuntasi dan Keuangan. Puslit Petra. Surabaya. Dwenger, Nadja dan Steiner, Viktor. Financial Leverage and Coorporate Taxation Evidence From German Corporate Tax return Data. Journal Real Estate Finance and Economic. Vol.3 No. 1 Emery, DR dan Finnerty, Joh.D.1997. Principles of Financial Management, Prentice Hall, New Jersey Gujarati, Damodar. 1995. Ekonometrika Dasar. Terjemahan Suwarno Zain. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Husnan, Suad. 1996. Manajemen Keuangan Teori dan Penerapan (Keputusan Jangka Panjang). Buku I. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Ismiyanti, Fitri dan Hanafi. 2005. Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Utang dan Kebijakan Deviden : Analisis Persamaan Simultan. Simposium Nasional Akuntansi Vi. Hal. 260 277 Istaitich, Abdul Aziz, 2003. Financial Leverage Interction with Firms Strategic Behavior:An Empirical Analysis. Journal Real Estate Finance and Economic. Vol.5 No. 2 Keown, Arthur J, David F Scott Jr. John D Martin. J William Petty. 1996. Dasardasar Manajemen Keuangan. Terjemahan Chaerul D. Djakman dan Dwi Sulustyorini (2000). Jilid 2. Jakarta: Salemba Empat Martin, John.D. 1999. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Edisi 5.PT. Raja Grafi Indo Persada.Jakarta Ghozali, Maskin, dan Idrus, M.S. 2001. Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Struktur Pendanaan dan Pengaruhnya Bersama Beban Bunga, Return On Asset Terhadap Rentabilitas Modal Sendiri. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Jember Miguel, Alberto de, dan Julio Pindado. 2001. Departements of Capital Structure: New Evidence From Spanish Panel Data. Journal of Corporate Finance. 7 (2001).pp 77 79 Modigliani F, dan Miller MH.1958. The cost of Capital, Coorporate Finance and Theory of investmen, American Economic Review, Vol. XLVII, No.3, pp.261297 JEAM Vol X No. 1/2011 90

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Riyanto, Bambang. 2001. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Sabardi, Agus. 1994. Manajemen Keuangan dan Aplikasinya. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Santoso, Singgih. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. PT Gramedia. Jakarta Sartono, Agus. 1998. Manajemen Keuangan. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta Saunders, A. Strock E dan Travlos, N.G.1990. Ownership Structure Deregulations and Bank Risk-Taking, The Journal of Finance, Vol. XVL, No.2, June, pp.643654 Sawir, Agnes. 2004. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Setyawan, Ignatius R. 2001. Simultanitas Keputusan Deviden Dan Struktur Modal: Suatu Tinjauan Teoritik. Usahawan No.01 Th XXX Januari 2001. Hal. 17 20 Sharpe, William F. 1995. Investasi. Terjemahan Henry Njooliangtik dan Agustiono. Jilid 1. Jakarta: Prenhalindo Solimun. 2002. Metode Kuantitatif Untuk Bisnis. Graha Ilmu. Yogyakarta Sudjana, 1996, Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi, Bagi Para Peneliti, Tarsito, Bandung. Supranto, J. 1993. Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta: Erlangga Sutrisno, 2001. Manajemen Keuangan, Teori, Konsep dan Aplikasi. Penerbit Ekonisia, Yogyakarta Syamsuddin, Lukman. 1994. Manajemen Keuangan Perusahaan Konsep Aplikasi Dalam Perencanaan, Pengawasan Dan Pengembalian Keputusan. Edisi Baru. Cetakan Keempat. Penerbit Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tandellin, Eduardus.1997. Determinant of Systematic Risk: The Experience of Some Indonesia Common Stock. Kelola.No. 16/IV.pp.101-115 Tjiptono, Darmadji, dan M.Fakhrudin,Hendy, 2001, Jakarta: Salemba Empat. Pasar Modal di Indonesia.

Utama, Chintia A. 2002. Tiga Bentuk Masalah Keagenan (Agency Problem) dan Alternatif Pemecahannya. Bagian 1. Usahawan No.01 Th XXXI Desember 2002. Hal. 14 20 Van Hone, C. James dan Wachowicz, M John, 1998. Prinsip-prinsi manajemen Keuangan. Terjemahan Heru Sutojo (1998). Edisi kesembilan. Buku Dua. Jakarta: Salemba Empat Wahidahwati. 2002. Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional Pada Kebijakan Hutang Perusahaan : Sebuah Perspektif Theory Agency. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.5 No.1. Januari 2002. Hal. 1 16 JEAM Vol X No. 1/2011 91

Nartati, Analisis Pengaruh Biaya Bunga

ISSN: 1412-5366

Warsono. 1998. Penentuan Cost of Capital Manajemen IndonesiaNo.01 Th XXX Januari 2001. Hal. 21 26

dan

Usahawan

Weston, J.F. dan Copeland, T.e. 1996. Manajemen Keuangan. Edisi Kedelapan. Cetakan Keempat. PT. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Weston, J. Fred dan T.E Copeland. 1997. Manajemen Keuangan. Terjemahan A. Jaka Warsana. Jakarta: Binarupa Aksara Weston, J. Fred dan Eugene F. Brigham. 1991. Manajemen Keuangan. Terjemahan Alfonsus Sirait. Jakarta: Erlangga.

JEAM Vol X No. 1/2011

92

You might also like