You are on page 1of 24

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK PEMERIKSAAN SPERMA BLOK LIFE CYCLE

ANGGOTA KELOMPOK PENDAMPING dr. WAHYU SISWANDARI, Sp.PK

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN 2010 I 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkembangan seorang manusia diawali dengan pembuahan , yaitu suatu proses dimana spermatozoa dari pria dan oosit dari wanita bergabung membentuk suatu organisme baru yaitu zigot (Sadler , 2002). Spermatogenesis disebut juga sebagai tahap poliferasi atau perbanyakan. Proses pembentukan gamet (sel kelamin) disebut gametogenesis. Proses pembentukan spermatozoa (sel kelamin jantan) berlangsung di dalam testis yang terdapat di scrotum (Campbell, 1996).

Testis adalah alat kelamin utama yang berjumlah sepasang, terletak di dalam scrotum, suatu kantung di luar rongga tubuh. Pada awal pertumbuhan, testis berada dalam rongga abdomen, kemudian turun ke scrotum. Ketika turun, testis ikut terbawa lapisan rongga tubuh (peritoneum) bersama otot dinding abdomen. Testis menghasilkan gamet berupa spermatozoa. Spermatozoa yang dihasilkan oleh testis, bersama sedikit plasma semen disalurkan keluar tubuh lewat saluran yaitu: tubulus rectus, rete testis, ductus efferen, epididimis, vas deferens, dan urethra. Epididimis adalah simpanan dan tempat pematangan (maturasi) spermatozoa. Vas deferens menampung spermatozoa yang sudah matang dalam epididimis beserta cairan semen yang dihasilkan prostat dan vesicular seminalis. Urethra adalah pipa kemih luar yang juga menyalurkan semen keluar tubuh. Di pembuluh ini juga bermuara dua kelenjar kecil yang juga menghasilkan cairan mani, yaitu: bulbourethralis dan littre. Penis adalah alat penghantar semen ke genital wanita. Bagian ujung urethra berada dalam penis. Semen, yang diejakulasikan selama aktivitas seksual pria, terdiri atas cairan dan sperma yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan semen), cairan dari vesikula seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%), dan sejumlah kecil cairan dari kelenjar mukosa, terutama kelenjar bulbouretralis. Jadi, bagian terbesar semen adalah cairan vesikula seminalis, yang merupakan cairan terakhir yang diejakulasikan dan berfungsi untuk mendorong sperma keluar dari duktus ejakulatorius dan uretra. pH rata-rata dari campuran semen mendekati 7,5 cairan prostat yang bersifat basa menetralkan keasaman yang ringan dari bagian semen lainnya. Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan dari vesikula seminalis dan dari kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental. Juga, enzim pembeku dari cairan prostat menyebabkan fibrinogen cairan vesikula seminalis membentuk koagulum yang lemah, yang mempertahankan semen dalam daerah vagina yang lebih dalam, tempat serviks uterus. Koagulum kemudian dilarutkan 15 sampai 20 menit kemudian karena lisis oleh fibrilosin yang dibentuk dari profibrinolisin prostat. Pada menit pertama setelah ejakulasi, sperma masih tetap tidak bergerak, mungkin karena viskositas dari koagulum. Sewaktu koagulum dilarutkan, sperma secara simultan menjadi sangat motil. (Guyton, 1997)

Sehingga, untuk mengetahui apakah seseorang pria infertil ataupun fertil peranan analisa semen sangatlah penting. Semen yang akan dipergunakan dalam analisa semen diambil setelah abstinensia minimal 48 jam sampai maksimal 7 hari dengan cara masturbasi. Oleh sebab itu, pemakaian kondom tidak dianjurkan karena dikhawatirkan mengandung spermatisida.

1.2

Tujuan

1.2.1 1.2.2 1.2.3

Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan analisis sperma Mahasiswa mampu mengenal prosedural pengujian kesuburan seorang pria Mahasiswa mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan sperma

II

DASAR TEORI Analisa semen dapat dilakukan untuk mengevaluasi gangguan fertilitas

(kesuburan) yang disertai dengan atau tanpa disfungsi hormon androgen. Dalam hal ini hanya beberapa parameter ejakulat yang diperiksa (dievaluasi) berdasarkan buku petunjuk WHO Manual for the examination of the Human Semen and Sperm-Mucus Interaction (WHO, 1999). Semen merupakan cairan yang pada saat orgasmus diejakulasikan dan mengandung sperma, sekret vesica seminalis, prostat, kelenjar cowperi, serta mungkin pula kelenjar uretra. Volume semen dan sperma jumlahnya berkurang dengan cepat dengan ejakulasi yang berulang (Ganong, 1983). Semen diejakulasikan selama aktifitas seksual pria, dengan cairan dan sperma yang berasal dari cairan vesikula seminalis (60%), cairan kelenjar prostat (30%), vas deferens (lebih kurang 10 % dari keseluruhan semen), dan sejumlah kecil cairan kelenjar mukosa, terutama kelenjar bulbouretralis. Jadi bagian terbesar semen adalah cairan vesikula seminalis, yang merupakan cairan terakhir yang diejakulasikan dan berfungsi mendorong sperma melalui duktus ejekulatorius dan uretra. pH semen sekitar 7,2. Sifat basa Cairan prostat, menetralkan keasaman ringan dari bagian semen lainnya. Cairan prostat ini juga menjadikan semen terlihat seperti susu, sedang vesikula seminalis dan kelenjar mukosa membuat semen menjadi agak kental. Selain itu, enzim pembekuan dari prostat menyebabkan fibrinogen cairan vesikula seminalis membentuk koagulum fibrin yang lemah, yang menahan semen di daerah vagina yang lebih dalam, tempat serviks uteri berada. Koagulum akan larut selama 15-30 menit kemudian terjadi lisis oleh fibrinolisin yang dibentuk dari profibrinolisin prostat (Guyton, 1997). Spermatogenesis Peralihan dari bakal sel kelamin yang aktif membelah ke sperma yang masak serta menyangkut berbagai macam perubahan struktur yang berlangsung secara berurutan. Spermatogenesis berlangsung pada tubulus seminiferus dan diatur oleh hormone gonadtotropin dan testosterone (Wildan yatim, 1990).

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu : 1. Spermatocytogenesis Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi spermatosit primer. Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi (membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan mengalami meiosis. Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel anak, yaitu spermatosit sekunder. 2. Tahapan Meiois Spermatosit I (primer) menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan segera mengalami meiosis I yang kemudian diikuti dengan meiosis II. Sitokenesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi masih berhubungan sesame lewat suatu jembatan (Interceluler bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap. 3. Tahapan Spermiogenesis Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu fase golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Hasil akhir berupa empat spermatozoa masak. Dua spermatozoa akan membawa kromosom penentu jenis kelamin wanita X. Apabila salah satu dari spermatozoa ini bersatu dengan ovum, maka pola sel somatik manusia yang 23 pasang kromosom itu akan dipertahankan. Spermatozoa masak terdiri dari :
1)

Kepala (caput), tidak hanya mengandung inti (nukleus) dengan kromosom dan bahan genetiknya, tetapi juga ditutup oleh akrosom yang mengandung enzim hialuronidase yang mempermudah fertilisasi ovum.

2)

Leher (servix), menghubungkan kepala dengan badan.

3)

Badan (corpus), bertanggungjawab untuk memproduksi tenaga yang dibutuhkan untuk motilitas.

4)

Ekor (cauda), berfungsi untuk mendorong spermatozoa masak ke dalam vas deferens dan ductus ejakulotorius.

Ada beberapa faktor hormonal yang merangsang spermatogenesis. Faktor hormonal memainkan peranan penting dalam spermatogenesis. Beberapa diantaranya adala sebaga berikut, 1) Testosteron, yang disekresikan sel sel leydig yang terletak di interstisium testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel sel germinal testis, yang merupakan tahap pertama pembentukan sperma. 2) Luteinizing hormone, yang disekresikan olh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel sel leydig untuk menyekresi testosteron. 3) Hormon perangsang folikel (FSH), yang juga disekresikan oleh sel sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel sel sertoli; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

III 3.1

ALAT DAN BAHAN Alat

3.1.1 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.1.6 3.1.7

Mikroskop Pipet tetes Pipet leukosit Objek glass Cover glass Bilik hitung Neubauer Improved (NI) Gelas/tabung ukur kaca

3.2

Bahan

3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4 3.2.5

Semen NaCl fisiologis Aquadest Larutan fiksasi etanol 95% : eter ( 1:1 ) Cat Giemsa

IV

CARA KERJA

4.1

Pemeriksaan makroskopis

4.1.1

Warna Mengamati warna sediaan, dengan kategori; 1) Normal, jika berwarna putih kelabu homogen, kadangkala didapatkan butiran seperti jeli yang tidak mencair. 2) Abnormal, jika; a. Jernih, yang menandakan jumlah sperma yang sedikit b. Merah kecoklatan, (dimungkinkan) adanya sel darah merah c. Kuning, (misalnya) pada penderita ikterus atau minum vitamin

4.1.2

Bau Menghidu bau sediaan, dikatakan; 1) 2) Normal, jika bau khas bunga akasia Abnormal, jika bau busuk karena infeksi

4.1.3 Likuefaksi 1) Sediaan diamati pada suhu kamar dan dicatat waktu pencairan 2) Normal, jika mencair dalam 60 menit, rata-rata 15 menit. 4.1.4 Volume 1) Diukur dengan tabung/gelas ukur dari kaca 2) Normal, jika volume > 2 ml 4.1.5 Konsistensi

Dilakukan dengan cara; 1) Mengambil sampel dengan pipet atau ujung jarum, kemudian dibiarkan menetes 2) Mengamati benang yang terbentuk dan sisa sampel di ujung pipet/jarum 3) Dikatakan normal, jika benang yang terbentuk < 2 cm atau sisa sampel di ujung pipet atau jarum hanya sedikit. 4.1.5 pH Dilakukan dengan cara; 1) 2) sampel diteteskan pada kertas Ph meter Membaca hasil setelah 30 detik dengan membandingkan dengan kertas standar Normal : pH 7,2 7,8 pH > 7,8 pH < 7 infeksi pada semen azoospermia perlu

diperkirakan kemungkinan disgenesis vas deferens, vesika seminal, atau epididimis

4.2 Pemeriksaan Mikroskopis

4.2.1 Pemeriksaan estimasi jumlah sperma Dilakukan dengan cara; 1) Meneteskan 1 tetes sampel ko objek glass, kemudian menutupya dengan cover glass

2)

Memeriksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x ( 40 x lensa objektif, 10 x lensa okuler ), kondensor diturunkan dan cahaya minimal. Pemeriksaan dilakukan pada beberapa lapang pandang, pada suhu kamar

3) 4)

Jumlah rata-rata sperma yang didapat dikalikan 106 Jumlah sperma yang didapat, juga digunakan sebagai dasar pengenceran saat penghitungan dengan bilik hitung Neubauer Improved (NI)

Tabel 1. Pengenceran berdasarkan estimasi jumlah sperma. Jumlah sperma / lapang pandang (400x) < 15 15 40 40 200 200 Pengenceran 1:5 1 : 10 1 : 20 1: 50

4.2.2 Motilitas Sperma Dilakukan dengan cara; 1) Meneteskan 1 tetes sampel sperma ( 10 - 15 mikroliter ) ke objek glass. Kemudian menutupnya dengan cover glass 2) Memeriksa objek dibawah mikroskop dengan pembesaran 400x, ( 40 x lensa objektif, 10 x lensa okuler ), kondensor diturunkan dan cahaya minimal. 3) Pemeriksaan dilakukan dalam 4 - 6 lapang pandang pada 200 sperma pada suhu kamar (180 240 C ) 4) Kecepatan gerak sperma normal adalah : 5 kali panjang kepala sperma, atau setengah kali panjang ekor sperma atau 25 m/detik

5) a. b. c. d. 4.2.3

Mengamati gerakan sperma dengan klasifikasi sebagai berikut : Jika gerakan sperma cepat dan lurus. Jika gerakan sperma lambat/sulit maju lurus/bergerak tidak lurus. Jika tidak bergerak maju Jika sperma tidak bergerak

Morfologi Sperma Dilakukan dengan cara; 1) Meneteskan 1 tetes sperma ( 10 - 15 mikroliter ) sampel ke salah satu ujung objek glass 2) 3) Dengan objek glass kedua, dibuat apusan sampel Sediaan dikeringkan di udara, selanjutnya difiksasi dengan etanol 95% : eter (1:1), biarkan sediaan kering 4) Kemudian dicat dengan Giemsa selama 30 menit, dibilas dengan air bersih. Kemudian dikeringkan dan preparat siap diperiksa 5) Preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x ( 40 x lensa objektif, 10 x lensa okuler ), kondensor diturunkan dan cahaya minimal 6) Pemeriksaan morfologi dilakukan pada 200 sperma meliputi, kepala, leher dan ekor, kemudian hasil yang didapat dibuat presentase

4.2.4 Pemeriksaan elemen bukan sperma Dilakukan dengan cara;

1)

Dilakukan penghitungan sel selain sperma seperti leukosit, sel epitel gepeng dan sel lain yang ditemukan. Penghitungan dilakukan dalam 100 sperma ditemukan beberapa sel lain selain sperma.

2)

Penghitungan; C=NxS 100 sperma S : jumlah sel dalam juta/ml C : jumlah sperma dalam juta/ml N : jumlah sel yang dihitung dalam 100

4.2.5 Pemeriksaan hitung jumlah sperma Dilakukan dengan cara; 1) 2) Menyiapkan hemositometer (pipet leukosit dan Bilik hitung NI) Memasang bilik hitung NI dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x atau 400x, cari kotak hitung 3) Penghitungan dilakukan di kotak tengah yang terdiri dari 25 kotak sedang yang masing-masing didalamny terbagi lagi menjadi 16 kotak 4) Menghisap semen sampai angka 0,5, kemudian menghisap pengenceran aquadest/ NaCl fisiologis sampai angka 11, digunakan pengenceran 1 : 20. (Pengenceran lain dapat digunakan sesuai Tabel 1. Pengenceran berdasarkan estimasi jumlah sperma) 5) Jumlah kotak sedang yang harus dihitung berdasar jumlah sperma yang ditemukan : a. Jumlah sperma dalam 1 kotak sedang < 10 kotak b. Jumlah sperma dalam 1 kotak sedang 10-40 kotak hitung 10 hitung 25

c. Jumlah sperma dalam 1 kotak sedang > 40 kotak 6) 7) Membuat rata-rata jumlah sperma

hitung 5

Selanjutnya menghitung jumlah sperma dan faktor koreksinya dengan aturan seperti dalam tabel Tabel 2. Jumlah perhitungan kotak dan faktor koreksi jumlah sperma Pengenceran 1 : 10 1 : 20 1 : 50 Jumlah kotak sedang yang dihitung 25 10 5 Faktor koreksi 10 4 2 5 2 1 2 0,8 0,4

Contoh : Rata-rata ditemukan 50 sperma yang dihitung dalam 5 kotak sedang dengan pengenceran 1 : 20 maka jumlah, sperma adalah : = 50/1 x 106 = 50 juta/ml. Rata-rata ditemukan 20 sperma yang dihitung dalam 10 kotak sedang dengan pengenceran 1 : 20, maka jumlah sperma adalah : = 20/4 x 106 = 5 juta/ml.

HASIL

5.1 Hasil Pemeriksaan Secara Makroskopis

5.1.1 Warna 5.1.2 Bau 5.1.3 Likuefaksi 5.1.4 Volume 5.1.5 Konsistensi 5.1.6 pH

: putih kelabu homogen : bau khas bunga akasia : encer : 2 ml : < 2 cm :7

5.2 Hasil Pemeriksaan Secara Mikroskopis 5.2.1 Pemeriksaan estimasi 76 x 106 = 76.000.000 sperma 5.2.2 Motilitas sperma A = 40 B = 15 C = 10 D = 11 40/76 x 100% = 53% 15/76 x 100% = 20% 10/76 x 100% = 13% 11/76 x 100% = 14%

5.2.3 Morfologi sperma Lapang pandang 1 Normal : 10

Abnormal : 18 Jumlah : 28

Lapang pandang 2 Normal : 9 Abnormal Jumlah : 16 :7

Normal = normal L1 + normal L2 x 100% Jumlah (L1 + L2) = 10 + 9 x 100% = 19 x 100% = 43% 28 + 16 44

Abnormal = abnormal L1 + abnormal L2 x 100% Jumlah (L1+ L2) = 18 + 7 x 100% = 25 x 100% = 57% 28 +16 44

5.2.4 Hitung jumlah sperma Yang ditemukan pada bilik = 85 Faktor koreksi Karena dilakukan : a. Pengenceran 1 : 10 b. Dilakukan sebanyak 5x pemeriksaan = 85 x 106 = 42.500.000 jt/ml 2 =2

5.3 Interpretasi

5.3.1 Jumlah sperma = 42.500.000 jt/ml

5.3.2 Morfologi 5.3.3 Motilitas

= 43% = 53%

Berdasarkan data diatas dapat diinterpretasikan bahwa semen pasien menunjukkan Teratozoospermia.

VI 4.1 Nama Umur

PEMBAHASAN Probandus : Tn. Paryadi : 37 tahun : 01-07-2010 jam 23.00 WIB

Terakhir ejakulasi

Waktu pengambilan sampel : 03-04-2010 jam 10.50 WIB

4.2

Teratozoospermia Teratozoospermia (terato = monster) adalah bentuk sperma yang tidak

normal. Dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu yang ringan sekitar 15% sperma masih normal 10-15 % sedang serta kurang dari 10% dikategorikan berat. Secara normal, sperma yang baik harus memiliki kepala yang berbentuk oval, dengan penghubung pada bagian tengahnya serta ekor yang panjang. Teratozoospermia adalah terminologi yang menyatakan bahwa adanya gangguan infertilitas atau kesuburan akibat dari abnormallitas bentuk sperma. Bila terlalu banyak bentuk sperma yang abnormal maka terjadilah kondisi gangguan kesuburan. Bentuk sperma yang abnormal tidak dapat membuahi sel telur karena fungsinya yang tidak sempurna. Kondisi gangguan kesuburan pada pria lebih banyak faktor penyebabnya dibandingkan dengan wanita. Permasalahannya adalah terapi medis untuk teratozoospermia sebagian besar tidak berhasil dengan baik karena terlalu banyak faktor eksternal. Belum ada sampai saat ini terapi yang cukup efektif guna memperbaiki bentuk sperma atau meningkatkan jumlah sperma dengan morfologi normal.

Gambar 1. Struktur sperma normal (sumber: http://www.sanatoriumhelios.sk/en/infertility)

Morfologi yang terlihat pada mikroskop bukanlah morfologi dari spermatozoa hidup, tetapi citra yang kita buat. Citra ini tergantung pada beberapa faktor, seperti : spermiogenesis, transport sperma, pematangan, aging, lamanya di plasma semen, teknik pengecatan, fiksasi, pewarnaan maupun kualitas mikroskop yang dipergunakan. Pewarnaan dan pengecatan dengan kualitas tinggi sangat penting ketika melakukan morfologi sperma. Setiap spermatozoa tanpa cacat secara morfologi adalah normal, diluar itu adalah abnormal. Evaluasi yang dilakukan meliputi : kepala, midpiece, dan ekor pada 200 spermatozoa. Kriteria morfologi sperma disebut normal bila
1)

Kepala : berbentuk oval, akrosom menutupi 1/3nya, panjang 3-5 mikron, lebar s/d 2/3 panjangnya. Midpiece : langsing (< lebar kepala), panjang 2x panjang kepala, dan berada dalam satu garis lengan sumbu panjang kepala.

2)

3)

Ekor : batas tegas, berupa garis panjang 9 x panjang kepala. Istilah-istilah yang dipakai pada bentuk yang abnormal adalah :

1) 2) 3)

Makro : 25 % > kepala normal Mikro : 25 % < kepala normal Taper : kurus, lebar kepala yng normal, tidak jelas batas akrosom, memberi gambaran cerutu

4) 5)

Piri : memberi gambaran tetesan air mata Amorf : Bentuk kepala yg ganjil, permukaan tidak rata, tidak jelas batas akrosom

6) 7) 8) 9)

Round : bentuk kepala seperti lingkaran, tidak menunjukkan akrosom Piri : tidak jelas adanya kepala yg nyata, tampak midpiece dan ekor saja Cytoplasmic droplet : menempel pada kepala atau midpiece, lebih cerah Ekor abnormal : pendek / spiral / permukaan tidak halus / ganda Morfologi berarti merujuk pada bentuk sperma yang telah dilakukan

pengecatan. Batasan normal adalah > 30 % (WHO) bila kurang dari itu disebut teratozoospermia, atau dengan strict criteria > 15 % (Kruger). Selain kuantitas (% yang normal) juga perlu diperhatikan kualitas (bentuk-bentuk kelainan yang ada) Variasi parameter dasar analisa sperma manusia dari yang paling bervariatif adalah konsentrasi, motilitas dan yang terkecil adalah morfologi. Adapun faktor yang mempengaruhi daripada perubahan morfologi adalah :
1) 2)

Fungsi testis, makin banyak kepala normal berarti fungsi tesis baik. Gangguan pada epididymis, misalnya : radang, varikokel, akan terlihat banyak sel-sel immature.

3)

Abstinentia seksualisnya kurang lama atau sering ejakulasi. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara

bentuk-bentuk kepala mikro, makro, taper, kelainan bentuk akrosom dan atau

gabungannya berkaitan dengan adanya varikokel (salah satu penyebab infertilitas pada pria yang terbesar dan dapat dideteksi dan yg dapat diperbaiki). Pria dengan konsentrasi sperma > 20 juta/ml, tetapi abnormal pada motilitas dan atau morfologi disebabkan oleh penyebab yang diketahui seperti : varikokel, infeksi kelenjar aksesori atau kogenital akan mempunyai kemungkinan kehamilan alami pada pasangan 40 % lebih rendah daripada penyebab yang tidak diketahui (idiopatik asteno dan atau teratozoospermia). Berbagai pengobatan yang dilakukan terbukti tidak ada yang efektif seperti klomifen, HMG dan suntikan HCG, testosteron, vitamin E, vitamin C, antioksidan, diet tinggi protein, hoemeopati , dan bahkan pembedahan (varikokel). Tindakan pembedahan ini hanya memperbaiki bentuk sperma sekitar 30 % saja. Namun sekarang sudah ditemukan anjuran terapi yang dapat menjadi solusi masalah infertilitas tersebut, yakni biasanya pasangan dianjurkan untuk melalukan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection) dimana metode ini akan mempertemukan 1 sel telur dan 1 sel sperma untuk menjadi embrio. Embrio yang sudah terbentuk dapat dimasukkan ke dalam rahim sehingga terjadilah kehamilan. Contoh morfologi sperma yang normal dan abnormal :

Gambar 2. Contoh struktur sperma normal dibandingkan dengan yang abnormal (sumber: http://www.sanatoriumhelios.sk/en/infertility)

VII

KESIMPULAN

Hasil pemeriksaan sperma menunjukkan Teratozoospermia, yaitu dimana sperma mengalami kelainan morfologi (dalam %), baik itu pada kepala, leher maupun ekor sperma. Hasil didasarkan pada data-data pengamatan yang telah diinterpretasikan. Secara prosedural, praktikan telah berusaha melakukan pemeriksaan sperma sesuai dengan prosedur yang dianjurkan. Namun dengan kemampuan praktikan yang masih belum terlatih dan (mungkin) merupakan pengalaman uji laboratorium sperma yang pertama kali dilakukan, menjadikan data hasil pemeriksaan sperma yang (mungkin) masih terdapat berbagai kelemahan.

DAFTAR PUSTAKA Campbell, N. 1996. Biologi. California: Benjamin Cummings Publishing Company Inc. Ganong, William. 1983. Fisiologi kedokteran Edisi 10. Jakarta: EGC Guyton. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC http://seks.klikdokter.com/tanyajawab.php?id=4442 http://www.sanatoriumhelios.sk/en/infertility NAFA. 2002. Manual on Basic Semen Analysis. Hlm 19-20. Sadler, T.W. 2002. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta : EGC Schill, wolf-bernhard et al., 2006. Andrology for the Clinician. Springer. Hlm 41. Sherwood, Lauree. 2001. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem. Ed.2. Jakarta:EGC. Sono, onny pieters. 1978. Diktat Kuliah Analysa Sperma. Biomedik FK Unair. Suarabaya. (unpublished). Hlm 13-14. WHO., 1999. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and Sperm- Cervical Mucus Interaction . Fourth Edition. Cambridge University Press. Hlm 19-22. Wibisono, Herman. 2006. Evaluasi Infertilitas Pria Menuju Program FIV dalam Fertilisasi In Vitro dalam Praktek Klinik. Puspa Swara. Hlm 42.

LAMPIRAN

You might also like