You are on page 1of 39

BAB I PENDAHULUAN Wajah adalah ikon seseorang.

Melalui wajah, karakter seseorang dapat dikenali, sebab wajah mengandung banyak arti. Wajah tersusun dari beragam tulang, yang terdiri dari tulang mandibula, maksila, zigoma, nasal dan otot-ototnya. Apabila suatu kejadian atau kecelakaan menyebabkan suatu jejas di daerah wajah yang menyebabkan patah tulang wajah (fraktur maxilofacial), maka dapat dipastikan bentuk wajah akan berubah menjadi kurang proposional. Terjadinya berbagai macam kecelakaan di Indonesia yang dapat menyebabkan gangguan pada wajah, merupakan masalah yang seharusnya mendapat perhatian yang lebih karena fungsi kepala dan leher, khususnya wajah untuk dapat dilakukan penanganan yang baik secara cepat sehingga menghindarkan terjadinya kecacatan atau perburukan kecacatan. Cacat pada wajah bukan sekedar mengganggu penampilan tetapi lebih dari itu karena di daerah wajah banyak struktur penting, maka trauma maxilofacial juga berhubungan dengan gangguan penglihatan, gangguan bicara, gangguan menelan, gangguan jalan nafas, sampai cedera otak. Begitu banyak struktur penting di wajah inilah, maka penatalaksaan trauma maxilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi. Penatalaksanaan penderita fraktur maxilofacial dengan cara terapi pembedahan. Terapi ini dimaksudkan untuk mengatasi morbiditas yang terjadi, seperti cacat tulang muka (dishface deformity); deformitas hidung (deviasi ke lateral atau ke dalam/pesek); obstruksi ductus nasolacrimalis yang menyebabkan epiphoria (mata berair); destruksi nervus olfactorius menyebabkan anosmia (hilangnya pembauan); kelainan mata seperti diplopia (penglihatan dobel); enophtalmus (mata masuk ke dalam), perubahan dari garis pupil kedua mata (pupil tidak simetris), sampai dengan kebutaan; maloklusi; dysaestesia oleh karena gangguan nervus infra orbitalis dan nervus alveolaris superior. Terapi fraktur maxilofacial perlu memperhatikan pengembalian oklusi yang baik serta mobilisasi lebih awal sehingga perbaikan fungsi bisa terjadi lebih cepat. Di dalam referat ini, akan dibahas lebih dalam mengenai fraktur maxilofacial.

BAB II DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, DAN ETIOLOGI 2.1 Definisi Definisi trauma sangatlah susah untuk diuraikan dengan tepat dan bentuknya tidak dapat dikenali secara langsung dengan kasat mata, namun hanya dapat diketahui dengan melihat gejala-gejala yang diakibatkan oleh trauma. Menurut Peter A. Livine (1998): Sebuah trauma disebabkan oleh stress, yang bergerak di luar pengalaman normal atau di luar kesadaran manusia dan menimpa hampir setiap orang yang menderita beban yang berat . Ringkasnya, seperti ancaman keras terhadap kehidupan atau ancaman terhadap integritas tubuh manusia. 2.2 2.2.1 Klasifikasi Cedefa Maxilofacial Cedera Jaringan Lunak

a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tatoo b. Cedera saraf, cabang saraf facial c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen d. Cedera kelopak mata e. Cedera telinga f. Cedera hidung Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini mutlak perlu untuk

mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional yang memuaskan dalam rekosntruksi wajah. Pemeriksaan fisik awal termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka, meskipun jika perlu dilakukan anestesi lokal. Perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan luas cedera pada daerah-daerah di sekitar mata, daerah nasolakrimalis, di dekat ataupun melibakan saraf facialis, dan di sekitar duktus parotis. Semua jaringan harus ditangani dengan sangat hati-hati dan semua benda aasing dikeluarkan dengan irigasi menggunakan garam steril. Mungkin diperlukan penyikatan dengan sikat bedah, untuk mencegah terbentuknya tatoo,
2

yaitu bila mana debris ataupun kotoran telah melekat pada kulit. Debridement wajah harus dilakukan seminimal mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah, maka fragmen-fragmen kecil jaringan yang akan mati pada bagian tubuh lainnya, dapat bertahan pada wajah. Laserasi harus dijahit menurut lapisan anatomi, dimulai pada bagian dalam luka dengan benang yang dapat diserao dan diteruskan hingga ke permukaan, dimana dibuat jahitan subkutan berupa jahitan permanen ataupun dengan benang yang dapat diserap. Jahitan sub kutikuler ataupun kulit yang permanen dapat dipakai untuk menutup kulit dan perlu diangkat. Penutupan kulit perlu dilakukan dengan cermat dan halus agar parut minimal. Setelah ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan plester pemutup kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk meminimalkan jaringan parut. Keputusan untuk memberi antibiotik harus diseuaikan dengan masalah tiap-tiap kasus, apakah terkontaminasi, terutnda ditutup, dan pertimbangan lainnya. Luka yang terkontaminasi luas, atau luka yang mencapai tulang oerlu diatasi dengan antibiotik. 2.2.2 Cedera tulang

a. Fraktura sepertiga atas muka b. Fraktura sepertiga tengah muka i. ii. Fraktura hidung Fraktura maksilari Le Fort I, fraktura maksilari transversa Le Fort II, fraktura piramidal Le Fort III, disjunksi kraniofasial iii. iv. Fraktura zigomatika Fraktura orbital

c. Fraktura sepertiga bawah muka 2.3 Epidemiologi Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia makin lama makin meningkat dengan konsekuensi bertambahnya kecelakaan lalu lintas. Dari data yang dilaporkan ternyata cidera
3

daerah kepala dan leher cukup tinggi. Trauma maksilofasial merupakan salah satu dari aspek dari trauma keala dan leher yang perlu mendapat perhatian. Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul dengan fraktur zygoma 27,64%, dan fraktur nasal 12,66%. Pemderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif yaitu usia 21-30 tahun, cedera otak ringan sampai berat ekitar 56%, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera. 2.4 Etiologi a. Kecelakaan lalu lintas b. Kecelakaan kerja c. Perkelahian Etiologi secara khusus akan dibahas dalam maing-maing pembahasan.

BAB III FRAKTUR MAKSILOFASIAL Trauma pada tulang dan jaringan lunak pada wajah dapat ditanganin oleh beberapa ahli, antara lain ahli bedah plastik, ahli bedah mulut, dan ahli THT. Namun yang terbanyak dilakukan olehspesialis THT karena membutuhkan kemampuan dalam merestorasi dan mengembalikan baik dalam fungsi maupun kosmetiknya. Bila terjadi trauma pada jaringan lunak saja, penanganannya dilakukan debridement berdasarkan prinsip operasi dengan menggunakan
5

teknik-teknik

khusus

dengan

mempertimbangkan pula faktor kosmetik dan efek komplikasi pasca operasi. Namun fraktur pada tulang wajah dapat terjadi tanpa laserasi pada jaringan lunak, tapi biasanya akan terdapat laserasi atau kerusakan pada jaringan lunaknya. 3.1 Penanganan Emergensi Fraktur pada tulang-tulang wajah penyebab terbesarnya adalah karena kecelakaan. Jika pasien tidak sadar, disertai trauma pada dada, perut, ataupun ekstremitas, maka setidaknya perlu kita curigai apakah ada kemungkinan yang menyebabkan pula terjadinya fraktur pada tulang-tulang wajah. Bila area tempat terjadinya fraktur yang terletak pada tulang-tulang wajah, dan ternyata kita menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar, maka setidaknya ada 2 hal yang harus kita perhatikan, yaitu: 1. Membuka jalan nafas (airways) 2. Mengontrol perdarahan yang ada Hal itu dikarenakan apabila kita menemukan perdarahan dari trauma laserasi yang berat, maka kemnungkinan besar akan dapat menyebabkan obstruksi pada jalan nafasnya. Pada pasien dengan keluhan fraktur pada mandibula maka kemungkinan paien sedang dalam kondisi tidak sadar, dan kita harus mengontrol keadaan mandibulanya. Pada pasien tersebut, jalan nafas harus tetap kita yakinkan dalam kondisi bebas. Untuk mempertahankannya kita lakukan pertahanan terhadap jalan nafas secara adekuat denang menggunakan traksi lidah, yang bisa kita lakukan dengan menggunakan pakaian pasien yang nanti akan diikat pada ujung lidah pasien. 3.2 Diagnosis Diagnosis pada trauma harus dilakukan sebelum rencana penanganan pasien, karena kesalahan dalam diagnosis dapat memperberat trauma. Bila ada trauma berupa abrasi laserasi harus kita periksa perinspeksi, palpasi, dan irigasi. Kita juga harus mencurigai adanya trauma pada duktus nasolakrimalis. Sering terjadi adanya laserasi yang beratpada bagian leher yang diikuti dengan adanya kerusakan pada nervus fasialis, maka sangatlah perlu kita lakukan pemeriksaan status nervus

VII ini. Fraktur pada tulang wajahpun dapat diketahui per palpasi di kedua bagian wajah dimulai dari bagian: Frontal Supraorbital Orbita Nasal Zygoma Malar eminen Mandibula Apabila pada pemeriksaan per palpasi ternyata kita temukan tanda-tanda adanya krepitasi atau false motion, maka tindakan per palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang lebih keras untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Bila ada dental oklusi maka juga harus kita lakukan pemeriksaan pada giginya dengan lebih akurat. Bila kita temukan edema pada pasca trauma fraktur, yang juga bisa menyertai adanya trauma tulang harus kita lakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan rontgen sinar x dan tindakan eksplorasi dengan menggunakan general anestesi. Adanya rhinorea yang berupa cairan cerebrospinal (LCS) merupakan indikasi dari adanya fraktur pada sinus etmoidalis dan harus kita pikirkan adanya kemungkinan infeksi pada meningealnya. Pada mulut dan laringnya juga harus dilakukan pemeriksaan karena bila kita menemukan adanya gigi yang patah maka kita harus segera mencurigai bahwa nanti akan ada kemungkinan aspirasi benda asing ke saluran nafas.

3.3

Penangnan pada Trauma Jaringan Lunak Untuk menangani fraktur tulang wajah, yang harus kita perhatikan adalah: 1. Penanganan terhadap jaringan lunaknya

2. Penanganan terhadap tulang-tulang yang terkena Apabila pada reposisi tulang sulit kita lakukan, maka reposisi pada jaringan lunak harus kita dahulukan, hal ini banyak terjadi pada kasus fraktur tulang wajah. Komplikasi biasanya akan segera muncul bila dalam jangka waktu lebih dari 12 jam tidak dilakukan tindakan. Secara situasional, dapat kita lakukan penanganan awal berupa reposisi tulang dan fiksasi. Penanganan pada jaringan lunak dilakukan dengan cara membersihkan daerah trauma, kemudian dilakukan irigasi dan scrabing dengan tujuan untuk menghilangkan benda asing yang ada pada luka tersebut. Selain itu kita bisa melakukan debridement dengan melakukan insisi pada jaringan kulit yang mengalami prois nekrosis. berdasarkan garis-garis pada kulit (langers skin). 3.4 Penanganan Penanganan yang kita lakukan pada lokasi trauma luka dimulai dari luka yang paling dalam ke arah luka yang paling luar. Instrumen yang kita gunakan merupakan faktor yang penting untuk dipersiapkan karena kita akan menggunakannya dalam perbaikan pada jaringan fraktur tersebut. Peralatan lain yang digunakan adalah benang yang baik dan yang mempunya dampak minimal terhadap iritasi jaringan kulit. Cara penjaitan luka bisa kita lakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan menggunakan benang ub kutikuler dan benang interrupted. Bila menggunakan benang yang interrupted, maka benang tersebut harus kita angkat 48 72 jam setelah dilakukan penjaitan. Lalu diberikan kassa yang diplester. Sedangkan apabila menggunakan benang subkutikuler kita tidak perlu melepas benangnya karena akan menyatu dengan kulit dalam hitungan minggu. Apabila ada tanda-tanda infeksi maka kita harus memberikan antibiotik. Insisi ini harus dilakukan

Penanganan pada Fraktur Tulang Imobilisasi pada fragmen-fragmen tulang harus dilakukan sampai terjadi

penyambungan tulang dan fungsinya berangsur membaik kembali. Pada simple fracture
8

biasanya hanya dilakukan imobilisasi dan tidak perlu reposisi, sedangkan pada fraktur komplit kita harus merujuk ke ahli untuk penanganan lebih lanjut. Hal itu dikarenakan fiksasi eksternal untuk imobilisasi fraktur, sulit untuk kita lakukan. Terdapat beberapa fraktur yang tidak dapat dikembalikan ke posisi awal dengan hanya menggunakan intermaxillary dan fiksasi internal. 3.5 3.5.1 KLASIFIKASI FRAKTUR Fraktur Nasal

Anatomi Hidung Hidung Luar Bagian superior dari hidung luar meliputi tulang hidung, prosesuss frontalis dari maxilla. Sedangkan pada bagian inferiornya terdiri dari kartilago yang ditutupi oleh kulit dan jaringan konektif. Kartilago hidung luar, terdiri dari kartilago hidung lateral, kartilago ala mayor, kartilago ala minor, septum kartilago dari magin naterior dan kartilago sesamoid. Kartilago berdinding tipis dan fleksibel untuk menutupi kedua dinding hidung medial dan lateral. Kolumela yang memisahkan nares dibentuk oleh margin inferior dari spetal kartilago, dua kartilago ala mayor media, tulang hidung anterior bersama dengan kulit. Hidung Dalam Hidung dalam merupakan ruangan untuk pertukasran udara dan air conditioner yang terdiri dari septum dan turbinet. Dinding dan dasar hidung dalam kaku, dengan ukuran lebar 3 inchi dan tinggi 3 inchi. Atap hidung dalam dari depan hingga belakang memiliki dasar yang bertingkat-tingkat. Hidung dalam berisi septum dan turbinet yang membentuk ronga udara yang ireguler, yang merupakan tempat aliran udara. Septum membagi rongga hidung dalam menjadi dua bagian dengan ukuran yang sama. Septum Septum berukuran tipis terdapat di tengah dan membagi hidung dalam menjadi dua rongga. Tulang septim terdiri dari tulang kartilago atau quardangular, perpendikular dibawah ethmoid, vomer pada tulang spenoid posterior, jembatan yang membentuk cruz maxilla dan cruz palatine. Aliran darah
9

Arteri Sphenopalatina merupakan cabang dari arteri maxillaris interna yang memperdarahi konka, meatus, dan septum. Cabang anterior dan posterior arteri ethmoidalis berasal dari arteri ophtlamika yang memperdarahi sinus ethmoidalis dan sinus frontalis dan atap dari rongga hidung. Cabang superior dari arteri labialis superior dan infra orbita dan arteri alveolar merupakan cabang dari arteri maxillaris interna yang memperdarahi sinus maxillaris. Vena hidung berasal dari pleksus cavernosus yang terletak di bawah membrane mukosa. Pleksus ini meliputi konka media, konka inferior, dan bagian inferior dari septum. Dinding lateral Dinding lateral dari hidung dalam, permukaannya ireguler. Reangan diantara konka inferior, konka media, dan konka superior dan dinding lateral disebut meatus inferior, meatus mediam dan meatus superior. Osteum dari sinus frontalis, maxillaris, dan ethmoidalis anterior terdapat di meatus media. Definisi Fraktur Nasal Fraktur nasal adalah fraktur yang merupakan insiden terbesar yang terjadi pada fraktur-fraktur tulang wajah. Hal ini dikarenakan pada tulang nasal tidak terlindungi dari luar dan merupakan bagian yang menonjol dari tulang wajah. Kejadian yang sering terjadi adalah simple fractur dan dislokasi yang biasanya terjadi bersamaan. Klasifikasi fraktur pada nasal 1. Simple depresi 2. Lateral displacement dari jembatan tulang hidung, dengan adanya pemiasahan artikulasi dari kedua sisi di antara tulang hidung dan tulang maksila, jadi dapat terlihat adanya deviasi septum. 3. Pendataran daari jembatan hidung disertai adanya dislokasi dan fraktur cominutive. Selain itu, fraktur tulang hidung juga dapat dibagi atas 3 macam, yaitu: 1. Fraktur hidung sederhana 2. Fraktur tulang hidung terbuka 3. Fraktur tulang hidung nasoethmoid

10

Gejala dari fraktur nasal adalah: 1. Pembengkakan pada hidung luar dengan disertai atau tidak disertai adanya deformitas 2. Ekimosis 3. Epistaksis 4. Krepitasi Diagnosis Diagnosi dari pasien dengan fraktur nasal adalah dengan menggunakan pemeriksaan fisik pada lokalisasi di hidung, kemudian ditunjang dengan pemeriksaan rontgen. Namun, pemeriksaan rontgen hanya memberikan sedikit informasi dibandingkan dengan pemeriksaan fiik pada hidung. Penatalaksanaan Melakukan reduksi pada pasien dengan emnggunakan anestesi lokal ataupun general Anestesi yang dilakukan secara general mempunyai efek lebih baik bila dibandingkan dengan anestei lokal terutama bila pasien tidak koperatif. Anestesi lokal dilakukan dengan menggunakan dua obat. Cocain, digunakan untuk memblok saraf pada mukosa hidung dan procain untuk memblok saraf pada bagian hidung luar. Anestesi yang dilakukan secara general sering dilakukan pada pasien anak-anak.

Teknik operasi 1. Elevator diletakkan di antara septum hidung dan tulang yang terdepresi 2. Dengan gerakan mengangkat, tulang yang fraktur dikembalikan ke posisi awal 3. Jika terdapat displacement, dilakukan penekanan dengan jempol untukk

mengembalikan tulang hidung ke posisi awal 4. Kombinasi gerakan no. 2 dan 3 tersebut akan mengembalikan tulang hidung ke posisi awal
11

5. Bila ada deformitas pada dorsum hidung yang menyebabkan hidung defleksi, maka dapat dilakukan reduksi fragmen fraktur ke posisi awal 6. Bila ada deviasi septum maka kita menggunakan elevator dari samping untuk mengembalikan septum ke posisi semula 7. Pada fraktur kominutif dari tulang nasal dan septum nasal, diperlukan penanganan khusus berupa reduksi terbuka dari tulang nasal dan septum nasal dengan fiksasi langsung dan tidak langsung 8. Stainless steel wire diperlukan untuk memperbaiki jembatan hidung 9. Penggunaan jahitan pada hidung yang berulang-ulang pada sudut nasifacial dapat memperburuk fraktur cumminuted 10. Penggunaan strapping pada telinga luar yang ditambah metal nasal splint eksternal dapat melindungi fraktur nasal sampai terbentuk jaringan fibrosa union paada tulang dan septum. Tulang nasal harus diimobilisasi dalam 10-14 hari untuk mendukung fase penyembuhan. Alat-alat yang digunakan pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung adalah: Elevator tumpul yang lurus Cunam Asch Cunam Walscham Spekulum hidung pendek dan panjang (kilian) Pinset hidung yang panjang. Tampon

Fraktur Septum Nasal Penanganan trauma hidung yang salah dapat menyebabkan trauma pada kartilago septum hidung. Diagnosa ditegakkan dengan palpasi dengan menggunakan jari pada dorsum hidung untuk dicari kemungkinan adanya depresi di bawah dorsum tulang yang merupakan tanda adanya comminuted fracture dan atau dislokasi dari septum kartilago.
12

Pada fraktur septum nasal dapat ditemukan adanya udem dan hematom pada dorsum dan ujung hidung yang dapat menyebabkan deformitas dan obstruksi saluran pernafasan. Fraktur kartilago nasal memerlukan penanganan yang segera berupa reduksi terbuka, penyatuan kemabali atau alignment dan fiksasi pada septum intra nasal yang terkena. Saat diperlukan penanganan segera yang adekuat koreksi berupa rhinoplasty, dan septoplasti dapat ditunda untuk mendapatkan hasil akhir yang terbaik. Komplikasi komplikasi yang disebabkan oleh fraktur pada tulang hidung anatara lain: 1. Komplikasi neurologic a. Robeknya duramater b. Keluar cairan LCS dengan kemungkinan timbulnya meningitis c. Penaumocefalus d. Laserasi otak e. Afulsi N. Olfaktorius f. Hematoma epidural/subdural g. Konstusio otak dan nekrosis jaringa otak 2. Komplikasi pada mata a. Telakantus traumatika b. Hematoma pada mata c. Kerusakan n. Opticus d. Epifora e. Ptosis f. Kerusakan bola mata 3. Komplikasi pada hidung a. Perbahan bentuk hidung

13

b. Obstruksi rongga hidung c. Gangguan penciuman d. Epistaksis posterior yang hebat e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan efek terjadinya sinusitis 3.5.2 Fraktur orbita

Anatomi Orbita Area orbita sebenarnya adalah bagian dari otolringologi, tetapi sering rancu dengan bagian lain. Orbita dapat ikut serta pda kelainan yang terdapat di hidung, sinus paranasal, dan beberapa prosedur pembedahan dapat terjadi di area ini baik yang terencana maupun tidak. Bagaimanapun, dengan memahami anatomi dan pemeriksaan klinis dan radiologi yang baik, ahli THT dapat melakukan pembedahan pada area ini dengan nyaman. Hal terpenting dari anatomi orbita bukan bagian-bagian dari orbita itu sendiri melainkan hubungannya dengan organ-organ lain, fosa cranialis anterior yang berada di atasnya, kavum nasal dan labirin ethmoid di medial, antrum maxilla di bawah, dan infratemporal dan fossa cranialis medial di lateral. Ini dideskripsikan seperti piramid dengan dasar yang lebar dan bagian lateral ke atas yang mengecil. Volume rata-rata kavum orbita adalah 26ml, 70%nya pada orang normal ditempati oleh struktur retrobulbar dan peribulbar. Orbita difikasioleh kavum yang bertlang dan peningkatan volume orbital ebanyak 4ml mengakibatkan proptosis 6mm. Margin orbital membuat batas yang memproteksi bola mata yang lebih kuaat dari dinding orbita. Apabila orbita terbentur oleh rentetan benda dengan tubrukan yang banyak/melebar, sekeliling orbita terpaksa benar-benar bertahan. Bagaimanapun, kompresi dari isi orbita akan mengakibatkan fraktur blowout dari dinding inferior atau medial. Dinding superior Atap disusun oleh lapisan orbita pada tulang frontalis, yang dibelakangnya merupakan sayap dari sphenoid. Tulangnya tipis (umumnya kurang dari 3mm) kecuali di area sphenoid dan terus menipis seirting umur. Perpanjangan dari invasi sinus frontalis dan ethmoidalis bervariasi dan dapat terus bertambah seiring dengan proses zigomatikum dan foramen
14

optikum yang dapat dikelilingi oleh sel-sel ethmoidalis. Takikan orbita superior sekitar 5mm dari margin orbita di bidang parasagital, yang menghubungkan foramen mentalis dengan foramen infraorbital. Insisi harus ditempatkan dengan menghindari takikan orbital superior dan otot levator palpebra superior. Ini dilakukan dengan merencanakan insisi etinggi mungkin, diseksi pada sudut kanan ke kulit turun ke pinggiran orbital superior. Dinding superior dipertemukan selama trepinasi sinus frontalis, frontoethmidektomi, dekompresi orbital, eksplorasi fraktur, eksisi glandula lakroimalis dan exenterasi orbital. Dinding Medial Dinding ini merupakan yang paling berarti bagi ahli THT. Empat tulang bersatu oleh sutura vertikal: 1. Processus frontalis dari maxilla 2. Tulang lakrimal 3. Bidang orbital dari ethmoid 4. Bagian kecil dari badan sphenpoid Aturan 24-12-6 dapat diaplikasikan pada dinding media orbita, merepresentasikan masing-masing jarak rat-rata dalam milimeter dari puncak lakrimalis anterior ke foramen ethmoidalis anterior, dari foramen ethmoidalis anterior ke posterior, dari ethmoidalis posterior ke kanalis optikum. Bagaimanapun, keadaanya dapat bervariasi dengan 16% pasien tidak punya foramen ethmoidalis anterior, 30% foramen ethmoidalis multipel. Sebagai tambahan, tingkat dari bidang cribiformis bervariasi sehingga foramen ethmoidalis anterior hanya bia sebagai perkiraan petunjuk. Dinding medial yang tipis adalah barrier yang lemah terhadapa infeksi pada simnus paranasal denga potensi komplikasi selulitis orbital dan abses, neuritis optik, dan trombosis sinus kavernosus. Pemahaman terhadap anatomi regio ini merupakan kunci untuk beberapa operasi: 1. Ligasi pembuluh darah ethmoid 2. Eksplorasi fraktur dinding medial
15

3. Frontoethmoidektomi eksternal 4. Dekomprei orbital 5. Transethmosphenoidektomi dan hypophysectomy 6. Penmutupan kebocoran cairan cerebrospinal 7. Rhinotomy lateral Dinding Inferior Dasar ini disusun oleh tiga tulang: 1. Bidang orbital terhadap maxilla 2. Bidang orbital sygomatiku di bagian anterolateral 3. Prosessus orbitalis dari tulang palatina Foramen infraorbital sejajar dengan takikan orbital superior, berjalan setangah dari pinggiran dan berlanjut sebagai kanalis infraorbital anterior dan terkadang media, saraf alveolar superior keluar dari kanal yang jika terjadi kerusakamn dapat meyebabkan denervasi dari pertumbuhan gigi bagian atas. Lateral dari kanalis nasolakrimalis adalah lubang dari tempat asal dari otot obliquus inferior yang merupakan satu-satunya otot ekstrinsik yang berasal dari bagian depan orbita dan dipertemukan di ethmoidectomy Patterson eksterna. Sebanyak 9% asal dari otot adalah intraperiosteal yang tidak ada hubungan dengan pertulangan yang memfasilitasi operasi. Hubungan dengan pertulangan yang membuka sakus lakrimalis juga bervariasi dan bisa sampai berjarak 5mm. Bagian lateral dari dasar orbita lebih aman untuk dieksplore daripada medial karena otot rekstus inferior dan obliquus inferior lebih ke bagian medialorbit. Jarak dari foramen infraorbita dan kanalis optikus juga bervariasi dengan jarak ratarata 46mm. Dinding posterior dari maxila sekitar 25mm dari foramen ini. Dinding Lateral Terdiri dari: 1. Permukaan orbita dari sayap besar sphenoid posterior
16

2. Permukaan orbita dari zygioma bagian anterior

Ini dapat dipertemukan selama dekompresi orbital, pembedahan foss infratemporal, eksplorasi fraktur dan reseksi kraniofasial yang dimodifikasi termasuk orbitotomi lateral. Dalam prosedur infraorbital, bahaya dari kerusakan fissura orbitali superior atau nervus optikus minimal sepanjang fisura orbitalis superior pada apeks orbita melintas nervu III,IV,VI, cabang opthalmikus dari nervus V, dan vena opthalmikus. Fisura didapati tidak lebih dekat dari 26mm dari pinggiran sutura zygomatik frontal. Melihat bentuk alami dari orbita dan akses terbatas ke area ini, akan sulit dan tidak perlu diproses pada kedalaman ini untuk semua prosedur intraorbital. Definisi Fraktur Orbita Trauma pada wajah bisa menyebabkan fraktur pada tulang-tulang yang membentuk orbita. Ada beberapa fraktur tulang orbita yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan. Etiologi Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur tulang orbita dan fraktur maskila sangat sering terjadi akibat ketidakhati-hatian di dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan yang tidak sesuai, tidak meminum alkohol dan obat yang mengganggu kesadaran sangat penting untuk dihindarkan. Lantai orbita sangat rentan terhadap sejenis fraktur yang disebut blowout fractures. Dorongan dari suatu benda tumpul yang berukuran lebih besar dari lubang orbita bisa menyebabkan blowout fractures. Fraktur ini biasanya disebabkan oleh bola, tinjuan, atau dashboard (pada kecelakaan lalulintas) yang mengenai mata. Disamping itu, trauma pada orbita juga dapat disebabkan oleh trauma akibat operasi. Gejala Klinis 1. Enophthalmos 2. Exophthalmos

17

3. Diplopia Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa denga teliti dan dilakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya dilakukan oleh spesialis mata. 4. Memar di sekitar mata 5. Proptosis 6. Mati rasa pada daerah pipi atau geraham atas 7. Asimetri pada muka Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma. 8. Gangguan saraf sensoris Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya fungsi nervus infra orbita sangatmungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita. Bila timbul anesthesia untuk waktu yang cukup lama, harus dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervu infra orbitalis. Diagnosa Dilakukan pemeriksaan mata lengkap untuk mengetahui adanya kerusakan pada mata. Pemeriksaan ini meliputi penilaian otot mata. CT scan dilakukan untuk menilai luasnya fraktur.

Pengobatan Jika fraktur menjepi saraf atau otot, atau mendorong bola mata ke belakang, dilakukan perbaikan tulang wajah dengan operasi. Jika fraktur tidak menimbulkan kerusakan pada struktur yang vital, dilakukan reposisi tulang dengan bantuan lempengan logam kecil dan sekrup atau kawat.
18

3.5.3

BLOWOUT FRACTURE

DEFINISI Blowout fracture disebabkan karena trauma langsung pada bola mata yang menyebabkan tekanan intra orbital meningkat dan dekompresi melalui fraktur pada dasar orbita. (gambar 2) LOKASI Blowout fracture terjadi pada dasar orbita atau pada dinding medial orbita. GEJALA KLINIS Didapatkan ekimosis periorbital, penyempitan celah palpebra, orbital emfisema dan diplopia. Diplopia terjadi pada sebagian besar kasus karena mengenai muskulus rectus inferior dan m. oblique inferior sehingga terjadi hematoma pada n. okulomotorius. Dapat juga terjadi ptosis dan enolftalmus karena herniasi orbita. Adapun test-test yang dapat dilakukan adalah: a) Traction test Tujuannya membedakan kelainan otot yang berasall dari parese nervus atau trauma. Caranya : Diberikan tetrakain 0,5% pada daerah luka Dengan forcep konjungtiva m. rectus inferior dan insersinya kita genggam. Bola mata dinaikkan ke superior dengan forcep Hasillnya jika boa mata dapat bergerak bebabs berarti tidak ada kelainan otot. Jika tidak dapat begerak bebas berarti bisa ada kalainan saraf. b) Radiografi Dapat dilakukan rontgen posisi waters oksipitomental dan Cald well oksipitofrontal yang gambarannya terdapat fraktur pada dasar orbita. Dapat ditemukan juga sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis yang suram.

19

c) Politomografi Gambaran yang ditemukan adalah bulging dasar orbita inferior sampai antrum maksilaris d) CT-Scan Terdapat gambaran tear drop appearance jika terjadi fraktur pada dasar orbita.

(gambar 2)

TERAPI Tujuan dari perbaikan dari blowout fractures adalah memulihkan pergerakan mata normal dan mencegah atau mengurangi enofthalmus. Koreksi secara operasi diindikasikan jika diplopia tidak hilang setelah dua minggu terjadinya trauma dan jika enofthalmus. Terapi yang segera sebaiknya meliputi penilaian penglihatan penderita dan evaluasi ophthalmologic. Laserasi kelopak mata sebaiknya ditutupl (gambar)

KOMPLIKASI Trauma orbital, kebutaan, diplopia permanen dan enofthalmus adalah komplikasi dari blowout fractures. Operasi pada enofthalmus jarang berhasil dengan baik, walaupun operasi dilakukan dengan segera setelah terjadi trauma mata.

3.5.4

FRAKTUR TULANG ZIGOMATIKUM

20

Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang dibentuk oleh tulang temporal, frontal, tulang sphenoid dan tulang maxilla.. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfacial yang paling sering terjadi, ini disebabkan karena letak tulang zigoma yang lebih menonjol. Trauma pada tulang zigoma bisa menyebabkan fraktur pada seluruh bagian zigoma atau hanya pada arkus zigoma saja. Predileksi fraktur zigoma terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan. Penyebab yang paing sering adalah dikarenakan kecelakaan kenderaan bermotor. Fraktur zigoma bilateral jarang terjadi, hanya sekitar 4% dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al.Zigoma mempunyai peran penting dalam membentuk struktur wajah, disrupsi pada posisi zigoma dapat mengganggu fungsi ocular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adequate.

KLASIFIKASI FRAKTUR KOMPLEK ZIGOMATIKUM Fraktur zigoma diklasifikasikan berdasarkan rotasi dari os zigoma yang fraktur terhadap sumbu vertical dan horizontal. Sumbu vertical dimulai antara satura frontozigomatikum dan molar pertama, sedangkan sumbu horizontal melintang pada arcus zigomatikus. 1. Fraktur stable after elevation : Hanya arkus (pergeseran ke medial) Rotasi pada sumbu vertical, bisa ke medial atau ke lateral

2. Fraktur unstable after elevation : Hanya arkus (pergeseran ke medial) Rotasi pada sumbu vertical, medial atau lateral Dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral Comminuted fracture

GEJALA DAN TANDA FRAKTUR ZIGOMA

21

Pipi menjadi lebih rata dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma Deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita Diplopia saat melirik ke atas karena hancurnya dasar orbita yang cedera pada nervus infraorbita

Terbatasnya gerakan bola mata Edema periorbita dan ekimosis periorbita Perdarahan subkonjungtiva Enoftalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita) Ptosis Terdapat hipestesia atau anesthesia pada pipi karena kerusakan infraorbitalis Terbatasnya gerakan mandibula Emfisema subkutis Epistkasis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

DIAGNOSIS Fraktur zigoma dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi. Anamnesis Adanya riwayat trauma pada wajah terutama pada tulang pipi dapat menyebabkan fraktur zigoma. Tanyakan kronologis kejadian, arah dan kekuatan dari trauma untuk memperkirakan jenis fraktur. Trauma dari arah lateral sering mengakibatkan fraktur akut zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior. Selain itu didapatkan gejala-gejala fraktur zigoma seperti diplopia, epistaksis dan
22

hipestesia disepanjang daerah yang dipersarafi nervus infraorbital, otot-otot ekstraokuli atau didaerah yang dipersarafi nervus III

Pemeriksaan fisik Pada inspeksi diobservasi pendataran dari tonjolan prominent daerah zigomaticus

yang merupakan tanda khas faktur zigoma dengan asimetri wajah dan ekimosis periorbital. Kantus lateral dari mata terlihat inferior dari normal yang menyebabkan tinggi pupil asimetris, dan ptosis akibat herniasi isi orbital. Sedangkan gejala-gejala lainnya terjadi akibat pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya. Pada palpasi teraba bagian lunak dan diskontinuitas dari pinggir inferior dan lateral orbita. Arkus zigomatikus biasanya teraba mendatar. Penekanan keatas zigomatikus dengan cara palpasi intraoral menimbulkan nyeri. Garis fraktur sepanjang maksila dapat juga teraba. (gambar) Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen dan ct-scan sangat membantu untuk diagnosis, menentukan luasnya kerusakan dan mengevaluasi penatalaksanaan. Foto rontgen posisi waters merupakan jenis posisi yang terbaik untuk melihat zigoma secara keseluruhan. Posisi waters dapat dilihat pergesaran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto posisi submental-vertex dan tangensial baik untuk mengevaluasi arkus zigomatikus. Ct-scan potongan axial maupun koronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma. Ct scan dapat menilai pola fraktur, derajat pergeseran dan evaluasi jaringan lunak orbital. PENANGANAN FRAKTUR ZIGOMA Fraktur midfasial merupakan tantangan dibidang THT karena struktur anatomi yang kompleks dan padat. Tujuan utama dari perawatan farktur zigoma adalah untuk mengembalikan kontur wajah menjadi normal dan untuk mencegah limitasi pergerakan

23

mandibula. Pupil harus sejajar, dan fungsi otot-otot pergerakan bola mata menjadi normal kembali. Penangan fraktur zigoma harus ditunda sampai peradangan minimal dan untuk lebih memantapkan evaluasi medis pasien. Pengompresan dengan ice packs dan memposisikan pasien dengan posisi semi-Fowler dapat mempercepat pengurangan edema. Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika dan deficit fungsional. Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan, fraktur jenis ini tidak membutuhkan reduksi. Perbaikan fraktur zigoma terkadang dilakukan dengan tehnik reduksi tertutup, namun lebih sering memerlukan tehnik reduksi terbuka. Reduksi dari fraktur zigoma difiksasi dengan kawat baja atau mini plate. 1. Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma ( oleh Keen dan Goldthwaite) Pada cara ini reduksi farktur dilakukan melalui sulcus gingivobukalis. Dibuat sayatan kecil pada mukosa bukal dibelakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukkan dibelakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan pada tulang zigoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik.

2. Reduksi terbuka dari tulang zigoma Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat oleh kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menekan kawat atau miniplate. Laserasi yang ada atas zigoma dapat dipakai sebagai tanda melakukan insisi permulaan pada reduksi.

PERAWATAN POST OPERASI Pada pasien post operasi oral hygine harus benar-benar dijaga. Staf keperawatan

membersihkan mulut pasien 3 kali satu hari dengan diluted hydrogen peroxide lalu dianjutkan

24

dengan aqueus chlorhexine. Perlu diperhatikan juga peradangan lokasi pada gusi. Dibuat juga perencanaan pemasangan protese untuk mengganti apabila ada gigi yang tanggal.

3.5.5

FRAKTUR TULANG MAKSILARIS ( MID- FACIAL FRACTURE )

Anatomi tulang maksilaris Tulang maksila memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat melekatnya gigi, membentuk atap dari rongga mulut, merupakan dasar dan melekatnya pada dinding lateral dan atap dari rongga hidung, merupakan dasar dari sinus maksilaris, dan juga berperan pada rima orbita inferior dan merupakan dasar dari orbita. Dua tulang maksila bersatu digaris tengah untuk membentuk tulang wajah tengah ke tiga. Permukaan inferior Pada pertengahan permukaan anterior os maksila ditemukan penonjolan yang disebut spina nasalis anterior dengan rima concave di bagian lateral yang disebut nasal notch yang membentuk dasar dari piriform aperture. Dibagian dasarnya, processus alveolar pada maksila merupakan tempat melekatnya gigi, termasuk inciscivus sentralis, caninus, 2 premolar dan 3 molar pada gigi dewasa. Rima infra orbita dan prosesus frontalis Bagian paling atas dari tulang maksila merupakan bagian yang menebal yang membentuk rima infra orbita. Sekitar 5-7mm di bawah rima terdapat foramen infra orbita yang mana dilalui oleh nervus dan pembuluh darah infra orbita. Rima infra orbita memanjang kearah medial dan ke atas membentuk prosesus frontal pada tullang maksila. Prosesus frontalis berhubungan dengan tulang frontalis pada daerah superior, ke arah medial dengan tulang nasal, kea rah posterior dengan tulang lakrimal. Permukaan lateral Batas lateral dari tulang maksila berhubungan langsung dengan prosesus zigomatikus, yang mana bersambungan dengan tulang zigomatikus membentuk permukaan lateral dari rima orbita inferior. Dibagian medial, sinus maksilaris langsung berhadapan dengan ostium.
25

Yang bersambungan dengan tulang palatin di bagian posterior dan juga dengan tulang etmoidalis, lakrimalis dan konka inferior di bagian medial. Di depan sinus maksilaris yang terletak vertical pada duktus nasolakrimalis yang membentuk kanalis lakrimalis dengan tulang lakrimalis di bagian posterior. Permukaan superior Permukaan superior dari tulang maksilla membentuk dasar medial dari rongga orbita. Di bagian posterior, tepinya membentuk sekat di anterior dari fisura orbita inferior. Dibagian medial, permukaa n orbital bersambung dengan permukaan orbital dari tulang zigomatikus. Dan pada permukaan inferiornya, tulang maksila berhubungan dengan palatum secara horizontal yang membentuk bagian terbesar dari palatum durum. Frekuensi kejadian Fraktur pada maksila terjadi sekitar 6-25% dari semua jenis fraktur fasial.

ETIOLOGI Fraktur maksila sering terjadi akibat trauma dengan energy yang cukup tinggi yang menyebabkan kerusakan pada tulang wajah. Hal ini sering terjadi pada trauma kecelakaan kendaraan bermotor atau terjatuh.

KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat dan dicirikan oleh 1) mobilitas atau pergeseran palatum, 2) mobilitas hidung yang menyertai palatum, 3) epistaksis atau 4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah. Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat klasifikasi fraktur maksila dalam 3 kategori dengan menggunakan namanya. Ke 3 kategori ini yaitu fraktur Le Fort I,II,III dan masih dipakai sampai sekarang. (gambar) Fraktur maksila Le Fort I
26

(gambar) Fraktur le fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian bawah sampai bagian bawah rongga hidung. Kerusakan yang mungkin terdapat pada fraktur le fort I adalah kerusakan pada: 1. Prosesus arteroralis 2. Bagian dari sinus maksilaris 3. Palatum durum 4. Bagian bawah lamina pterigoid Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari. Garis fraktur yang mengarah ke vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah, yang membagi muka menjadi 2 bagian. Fraktur maksila le fort II

(gambar) Garis fracture le fort II (fraktur pyramid) beerjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita, dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksillaris juga kea rah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina cribiformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut floating maksila. Fraktur le fort III Fraktur le fort III (craniofacial disfunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap antara tulang dan tullang cranial. Garis fraktur berjalan melaui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fisura orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatika frontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur le fort 3 ini biasanya bersifat kominutif sehingga disebut kelainan dishface. Fraktur maksila le fort 3 ini sering menimbulkan komplikasi intracranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid dan lamina cribiformis.
27

MANIFESTASI KLINIS Perdarahan Lebam/bengkak Perubahan ketajaman penglihatan dan terjadi perubahan ukuran pupil sehingga terjadi perubahan kepekaan terhadap cahaya Sakit kepala, vertigo atau kehilangan keseimbangan saat berjalan Mual dan muntah yang persisten Kejang Kesulitan berbicara, bernafas dan menelan Perubahan sensasi pada wajah Cidera pada mata (bengkak di sekitar mata, diplopia) Kehilangan gigi geligi Keluarnya cairan LCS melalui telinga atau hidung Infeksi : Infeksi pada kulit (selulitis) Abses Infeksi pada tulang (osteomyelitis) Post traumatic sinusitis Meningitis

PEMERIKSAAN FISIK

28

Penilaian dan pemeriksaan tulang maksila dan tulang wajah sebaiknya dilakukan hanya apabila keadaan pasien telah stabil dan cidera yang mengancam hidup telah dikendalikan. Terutama dalam hal ini adalah jalan nafas atau kerusakan intracranial, yang mana harus diprioritaskan dalam penanganannya. Secara umum, pasien dengan fraktur fasial mengalami deformitas tulang wajah yang disertai dengan pembengkakan jaringan lunak, ekimosis, perdarahan aktif dan hematoma. Lokasi setempat pada edema atau hematom terkadang menunjukan tempat lokasi fraktur. Edema periorbital dapat mengindikasi terjadinya fraktur le fort II atau III. Pada fraktur le fort II atau III permukaan wajah tampak mendatar sehingga deformitas tersebut sering disebut dishface atau panface. Segmen maksila mengalami perubahan tempat baik kea rah posterior dan inferior. Hal ini menyebabkan kontak premature pada gigi-gigi molar, sehingga menyebabkan mulut terbuka kea rah anterior (anterior open bite deformity). Pada beberapa kasus, jalan nafas atas dapat tersumbat. Tulang wajah dan tulang cranium harus dipalpasi untuk mendeteksi bentuk tulang yang irregular, krepitasi dan gangguan sensoris. Mobilitas dari tulang tengah pada wajah dapat diketahui dengan memegang arkus tulang alveolar bagian anterior dan menariknya sementara dengan tangan yang lainnya melakukan fiksasi agar kepala tetap stabil tidak bergerak. Ukuran dan lokasi segmen yang mobile atau bergerak dapat menentukan tipe-tipe fraktur le fort yang terjadi. Namun apabila hanya sebagian kecil segmen tulang yang bergerak, kemungkinan hanya tulang alveolar kecil atau procesus nasofrontal saja yang yang mengalami fraktur. Dengan benturan yang kuat, fraktur pada maksila dapat berupa kominutif atau impacted, yang mana menyebabkan tulang menjadi hancur atau remuk namun immobile. Pemeriksaan melalui hidung dan intraoral juga harus dilakukan. Pada fraktur le fort II tulang hidung sedikit mobile, diikuti dengan free floating pada seluruh segmen pyramid. Pada pemeriksaan rhinoskopi didapatkan darah segar atau bekuan darah, hematom pada septum atau rhinorhea berisi cairan serebrospinal. Pada pemeriksaan intraoral ditemukan kelainan pada oklusi rahang, stabilitas dari tulang alveolar dan palatum, serta jaringan lunak didalamnya. Palpasi dengan menggunakan jari pada kontus tulang maksila secara intraoral dapat memberikan informasi tambahan tentang integritas tulang nasomaksilaris, dinding sinus maksila anterior, dan tulang zygomaticus.
29

Selama pemeriksaan pada mata dan rima orbita, lihat integritas dari rima orbita, dasar rima orbita, visus, gerakan ekstraokuler, posisi bola mata, dan jarak interkantus. Tidak seperti fraktur le fort II, fraktur le fort III berhubungan dengan rima bagian lateral, dan tulang zigomatikus. Perubahan ketajaman pengihatan dapat terjadi karena kanalis optikus mengalami kerusakan, atau lesi neurologic lainnya. Gangguan pada gerakan ekstraokular bola mata atau enophthalmus dapat terjadi karena hancurnya dasar orbita. Alat-alat yang dapat mendukung pemeriksa dalam melakukan penilaian pada trauma maksilofasial diantaranya adalah lampu kepala atau kaca, spatel tongue, alat suction, speculum hidung dan otoskop. Foton rontgen ini dapat membantu daam perencanaan preoperative dan konseling pada pasien.

PENATALAKSANAAN Medikamentosa Stabilkan kondisi pasien dan penanganan serius pada jalan nafas, sistem neurologi, tulang belakang servikal, toraks dan abdomen selama terapi definitive dari tulang maksilofasial

Pembedahan Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur maksilaris adalah fiksasi fragmen-fragmen fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan teknik pemasangan kawat secara langsung atau memakai kawat penyangga internal. Plat tulang yang kecil juga dapat dipakai imobilisasi segmen-segmen fraktur sebagai pengganti kawat pengikat. Seperti yang ditekankan pada pembahasan fraktur mandibula, pemakaian flat stabilisasi dapat menggantikan kebutuhan untuk fiksasi lengkung gigi atas dan bawah pasca operasi. Berbagai pendekatan bedah mungkin diperlukan dalam penanganan fraktur maksila. Insisi yang berhati-hati memungkinkan paparan seluruh kerangka wajah, dengan hanya meninggalkan parut yang minimal pasca operasi. Bila dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi interna memakai kawat tidak member reduksi atau fiksasi yang memuaskan, maka mungkin dapat digunakan

30

alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau anterior juga diperlukan. Diketahui sebelumnya, bingkai hallo juga dapat dipakai. Karena kebanyakan fraktur maksilaris bersifat majemuk ( compound ) melibatkan baik rongga mulut ataupun hidung, maka pemberian antibiotic sangatlah tepat. Penisilin merupakan obat pilihan pada pasien yang tidak alergi. Jika kondisi pasien cukup baik setelah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksia mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat dan disertai dengan fraktur servikal atau tterdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi. Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat baja atau miniplate sesuai garis fraktur. Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa : 1. Fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi 2. Fiksasi intermaksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka pada pemasangan kawat baja atau miniplate 3. Fiksasi dengan pin Pada cedera fraktur Le Fort III yang merupakan cedera paling berat dimana seluruh perlekatan rangka wajah pada cranium terputus, biasanya diperlukan terapi teknik reduksi terbuka dengan pemasangan kawat secara langsung bersamaan dengan fiksasi intermaksilaris.

Operasi pada fraktur Maksila Le Fort I dan II : Prinsipnya : Intubasi nasotrakeal


31

Pasang tampon steril di hipo dan orofaring Desinfeksi rongga mulut dengan larutan savlon dalam air Desinfeksi lapangan operasi di sekitar rongga mulut dengan betadine atau larutan hibitine Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril Lakukan reposisi ( reduksi ) fragmen tulang maksila secara bimanual atau menggunakan alat sedemikian rupa sampai posisinya kembali seperti semula Lakukan pemasangan Arch bar pada deretan gigi atas dan bawah ( dental arch bar ). Beberapa ahli lebih menyukai menggunakan metal atau acrylic splints ( mis. Cash silver alloy cap spliny )terutama bila penderita tidak mempunyai gigi yang lengkap ( edentulous) Lakukan penggantungan dengan menggunakan kawat stainless ( 0,4 mm-0,5 mm ) ke arkus zigomatikus os frontalis. Teknik operasi ini disebut sebagai circumzygomatic wiring, zygomaticomaxillary suspension atau zyggomaticocircumferential wiring suspension Arch bar dideretan gigi bawah dan ats diikat dengan kawat ( fiksasi intermaksilaris )

Operasi pada Fraktur Maksila Le Fort III Dinegara maju,sudah sejak lama untuk fiksasi fraktur maksila menggunakan pat dan sekrup misalnya AO Plate ( tebal 2,7 mm dan 2 mm ), compression plate ( tebal 2 mm ) dan miniplate (tebal 1 mm dan 0,8 mm). Plat ini sangat kuat karena dibuat stainless steel, vitallium dan titanium. Berbeda dengan plat sederhana atau konvesional yang mempunyai lobang dengan tepi lurus, plat-plat yang terakhir ini mempunyai lobang dengan tepi yang agak mengerucut sehingga bila sekrup dipasang akan terjadi kompresi antar fragmen tulang. Banyak ahli lebih sering menggunakan miniplate oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu dapat dibengkokkan
32

sesuai bentuk permukaan tulang, mudah, aman, fiksasi lebih stabil, keci dan tipis ( tidak menonjol) dan tidak perlu fiksasi interdental atau intermaksila ( interdentalintermaxillary wiring ). Dengan tidak dilakukannya fiksasi intermaksila akan diperoleh beberapa keuntungan antara lain intake peroral lebih baik, hygiene mulut lebih baik, tidak terjadi gangguan ( kekakuan, ankilosis ) sendi temporomandibular dan terhindar dari rasa tidak enak atau rasa sakit akibat kawat yang menonjol atau menusuk mukosa mulut. Miniplate yang terbuat dari titanium mempunyai bioaviabilitas paling tinggi ( inert ) sehingga tidak perlu dilakukan pengangkatan kembali. Kerugian penggunaan miniplate hanya harganya yang relatif mahal. KOMPLIKASI Fraktur maksila Le Fort III sering menimbulkan komplikasi intracranial seperti timbulnya pengeluaran cribriformis. Komplikasi jaringan lunak terjadi karena proses penutup luka. Umumnya dapat terjadi pada penutupan daerah kulit yang diinsisi dengan 2 lapisan, dengan benang yang depat di serap diletakkan lebih dalam untuk mengurangi ketegangan kulit. cairan melalui atap se ethmoid dan lamina

PROGNOSIS Dengan penatalaksanaan yang terencana dan teknik pembedahan yang baik, fraktur maksila mempunyai prognosis yang baik. Umumnya terjadi infeksi sekitar 60 %. Sedikit penelitian yang potensial membuat ukuran hasil dari penatalaksanaan fraktur maksila menjadi sullit dinilai. Perbaikan fraktur maksila yang sederhana dapat mengembalikan bentuk estetika dan fungsi tulang. Sedangkan pada fraktur maksila yang kompleks sering meninggalkan gangguan fungsi dan bentuk estetika tulang tidak dapat kembali sempurna. Pembedahan awal yang dilakukan dengan cermat dapat memberikan hasil yang baik sehingga dapat mengembalikan kondisi pretrauma.

3.5.6

FRAKTUR MANDIBULA

33

Fraktur mandibula merupakan fraktur tulang wajah yang paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.

Anatomi Fraktur mandibula ini sangat penting dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja

dan berorigo atau berinsersio pada mandibula ini. Otot tersebut ialah otot elevator, otot depresor dan otot protusor Otot elevator mandibula Otot masseter berjalan sepanjang arkus zygomatikus ke mandibula bagian lateral. Otot masseter ini mengangkat mandibula. Otot temporalis yang berpangkal pada fossa temporal turun ke medial ke arkus zygoma dan berinsersio di tempat tesebut, berfungsi mengangkat dan menarik mandibula. Otot pteregoid medialis terdapat di bagian medila pterigoid plate. Otot ini bekerja mengangkat mandibula, mendorong mandibula k depan dan menarik ke dalam. Otot depresor mandibula Otot geniohioid berasal dari badan os hioid dan berinsersio di bagian tengah dan melekat pada mandibula. Otot ini mendorong mandibula ke bawah. Otot digestrikus mendorong mandibula ke bawah dan menarik ke bawah dan menarik mandibula ke belakang. Otot protusor dari mandibula Otot pterigoid lateral berfungsi menggerakkan ( rotasi ) mandibula dengan demikian mulut dapat terbuka lebih lebar. Otot milohioid berperan bila terdapat fraktur simfisis atau badan mandibula dan berfungsi mendekatkan fraktur yang terjadi. KLASIFIKASI Digman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis. Mandibula dibagi menjadi tujuh regio yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus, prosesus koronoid, prosesus kondilar, prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat satu, dua atau lebih pada regio mandibula.

34

Frakur prosesus cindylus merupakan fraktur mandibula yang paling sering terjadi. Trauma pada dagu dapat menyebabkan fraktur prosesus condylus bilateral. Trauma sebelash sisi mandibula biasanya fraktur badan mandibula ipsilateral dan leher mandibula kontralateral GEJALA Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat

kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala berikut : maloklusi gigi, gigi dapat digerakkan, laserasi intraoral, nyeri mengunyah, deformitas tulang. Fraktur amndibula dapat disertai dengan gejala lainnya, antara lain : o Pembengkakan dan ekimosis pada kulit yang meliputi mandibula o Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior o Anasthesia yang terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau gigi dimana nervus alveolaris inferior manjadi rusak o Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi o Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah dan lain-lain. o Gannguan jalan nafas Keruskan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma, edema pada jaringan lunak. Kalau terjadi obstruksi yang hebat dari jalan nafas harus dilakukan trakeostomi. o Fraktur condylus bilateral menyebabkan tertariknya otot pteriogois eksternal sehingga mandibula tertarik ke depan. Akibatnya, oklusi gigi molar tidak sempurna. PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisik dilihat apakah terdapat fraktur pada geligi dan penilaian dapat dilakukan dengan menanyakan ataupun langsung memeriksa oklusi geligi pasien. Umumny pasien dapat menyatakan dengan tepat apakah rangkain geligi atas dan bawah dapat pas mengatup, dan pemeriksaan dapat mengungkapkan kontur lengkung gigi atas atau bawah yang tidak tepat. Pemeriksaan intraoral dapat memperlihatkan laserasi di atas mandibula atau mungkin deformitas mandibula yang jelas terlihat atau dapat diraba, dimana kedua keadaan
35

ini memberi kesan fraktur. Bagian mandibula yang paling sering fraktur adalah kondilus dan angulus mandibula. PEMERIKSAAN PENUNJANG Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, Towne, lateral obliq, kiri dan kanan. Jikalau diperlukan pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. PENATALAKSANAAN Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan sempurna. Pada fraktur parasimfisis bilateral yang diikuti oleh jatuhnya lidah kebelakang ke dalam faring harus dihindari terjadinya obstruksi jalan nafas. Dan hilangnya atau lepasnya gigi harus di hitung karena bisa tertelan. Segera setelah kondisi pasien membaik, sebaiknya perbaiki fraktur mandibula unyuk membuat pasien lebih nyaman dan untuk mengurangi infeksi. Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian mandibula dengan geligi ituh terhadapa maksila dengan geloigi yang utuh juga. Fraktur mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan kawat ataupun plat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung. Antibiotik penisilin merupakan obat terpilih perlu diberikan pada semua pasien fraktur mandibula oleh karena mukoperiosteum mandibula menempel erat pada mandibula, sehingga fraktur mandibula merupakan fraktur compound . antibiotik harus diberikan sejak saat fraktur hingga mukoperiosteum menyembuh dan menjadi stabil. Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan higiene mulut dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian antibiotik, analgesik, demikian juga tindakan stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil. Elastik angka delapan atau balutan Barton di sekeliling kepala lazim dilakukan untuk menyongkong mandibula, menstabilkan fragmen-fragmen fraktur dan mengurangi nyeri. Makanan dapat diberikan
36

lewat mulut asalkan dalam bentuk sangat lunak, meskipun cedera berat memerlukan pemberian makanan dengan tuba ataupun intravena. Perawatan pasien setelah dilakukan reduksi fraktur mandibula ditekankan pada pemberian makanan dan hiegene mulut. Diet pasca reduksi haruslah bergizi normal dan mencakup sebagian besar makanan yang dikonsumsi sebelum cedera. Higene mulut harus dipelihara dan paling baik dilakukan dengan semprot air bertenaga jet ( water pink ) atau larutan hidrogen ( kekuatan separuh ) juga dapat sebagai obat kumur. Komplikasi Trismus , maloklusi dan hilangnya gigi merupakan komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur mandibula. Walaupaun jarang, osteomilitis pada mandibula dapat terjadi.

BAB IV KESIMPULAN

Wajah tersusun oleh otot-otot wajah dan tulang-tulang wajah, yaitu orbita, nasal, mandibula, maksila, dan zigoma. Wajah yang merupakan karakteristik tiap orang mempunyai salah satu fungsi yaitu sebagai estetika, jika terjadi gangguan pada wajah, maka seseorang merasa sangat terganggu. Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat kecelakaan. Luka tau jejas yang terjadi harus cepat ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau perburukan keadaan sehingga menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya. Penanganan pertma pada emergensi fraktur maksilofasial adalah membuka jalan nafas (airways) apabila tersumbat atau mempertahankan jalan nafas smapai oertolongan
37

selanjutnya dilakukan, kemuadian breathing dan sirkulasi darah pasien, lalu mengontrol perdarahan yang ada agar tidak terjadi syok pada pasien. Terakhir baru dapa dilakukan tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk merehabilitasi fungsi-fungsi yang ada sekalian memperbaiki estetika pasien. Oleh sebab terdapatnya komplikasi dan gangguan pada trauma maksilofasial, maka lebih baik menjaga agar tidak terjadi trauma maksilofasial tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Boies, Hilger, Pries. Fundamental of otolaryngology a textbook of ear, nose & throat disease. Fourth edition, 1964. London : W.B Sounders Company 2. Soepardi. A, Iskandar, N. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Ed. V. FKUI. Jakarta
3. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari : www.niasonline.net/2007/03/28/html. pada 17

Juni 2009 pukul 14.30 4. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari : www.anglefire.com/ne/neurosurgery/penyerta.html. pada tanggal 17 Juni 2009 pukul 14.45

38

5. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari : www.farmacia.com . pada tanggal 17 Juni 2009

pukul 14.50 6. Graham W, Scott-Brown. 1987. Scott-Browns Otolaryngology. Ed. V Butterworth & Co.UK. 7. Katz, Arnold E. 1986. Manual Of Otolaryngology Heal and Neck theurapeutics. Lea & Febiger . philadelphia. Hal 22-25 8. Patah Tulang Orbita diunduh dari : http://medicastore.com/penyakit/854/Patah_Tulang_Orbita.html pada tanggal 17 Juni 2009 pukul 17.30
9. Fraktur Zygoma. Diunduh dari :

http://www.skweezer.com/s.aspx/-/usebrains-

wordpress-com/2008/09/14/fraktur-zygoma/. Assesed: june,17th 2009 10. Fraktur zygoma. Diunduh dari : http://www.primary-

surgery.org/ps/vol2/html/sect0812.html&usg=_if98fYHvalsZWZ3GOssTwjKg

39

You might also like