You are on page 1of 34

LAPORAN KASUS

TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA

Pembimbing: dr. Dublianus, SpAn dr. Evita, SpAn

Penyusun: Pipim Septiana Bayasari Putri balqis 030.07.203 030.07.205

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode 03 September 2011 06 Oktober 2011

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia -Nya sehingga saya mampu menyelesaikan tugas referat kepaniteraan Ilmu Anestesi yang berjudul Anestesi Umum Intravena dengan tepat waktu. Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian Ilmu Anestesi. Dalam pembuatan laporan kasus ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. dublianus sp.An dan dr. Evita sp.An, pembimbing kepaniteraan bagian anestesi, dan orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan spiritual dan materi. Saya menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan, sehingga kritikan yang membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan kedepannya dan untuk lebih memahami ilmu kedokteran, khususnya ilmu anestesi.

Cilegon, 03 Oktober 2012

Penyusun

BAB I STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama Tanggal Lahir Umur Jenis Kelamin Agama Status perkawinan Pendidikan Pekerjaan Agama Alamat Tanggal masuk Diagnosa Tindakan : Ny. S : 13 April 1977 : 34 tahun : Perempuan : Islam : Menikah : SMA : Ibu rumah tangga : Islam : Ketileng timur, Cilegon : 29 September 2012 : Retensio Plasenta : Kuretase

II.

PEMERIKSAAN PRE ANESTESI ANAMNESIS


Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 29 September 2012 Keluhan Utama : Ari-ari belum lahir sejak 6 jam SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan ari-ari belum lahir sejak 6 jam SMRS. Pasien telah melahirkan di puskesmas pada jam 09.15 pagi hari yang sama tetapi ari-ari belum lahir setelah melahirkan. Pasien mengatakan banyak darah merah segar keluar 3

setelah melahirkan. Di puskesmas dicoba untuk dikeluarkan plasenta tetapi tidak bisa lalu dirujuk ke RSUD Cilegon. Pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah, pusing, lemas tetapi tidak mual dan tidak muntah. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat hipertensi (-) Riwayat Diabetes mellitus (-) Riwayat asma (-) Riwayat asma (-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat diabetes mellitus (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat penyakit ginjal (-) Riwayat menjalani operasi (-)

III.

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS Keadaan Umum Kesadaran Tanda Vital Tekanan Darah Nadi Suhu Pernapasan Kepala dan Leher Kepala : Normosefali, ubun-ubun normal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, pucat 4 : 125/70 mmHg : 100 x/menit, reguler, cukup. : 36,8 C : 20 x/menit, teratur : Tampak sakit sedang : Compos mentis

Mata Hidung

: Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/: Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-, sekret -/-,

Mulut

: bibir tidak pucat, tidak sianosis, trismus (-), mandibula tidak menonjol, gerak sendi temporo mandibula baik

Rongga Mulut

: Terlihat palatum mole dan durum. Terlihat tonsil dan uvula ( Mallapati I ), oral hygiene baik

Gigi geligi Leher

: gigi palsu (-), gigi goyang (-), gigi depan menonjol : Leher pendek (-), gerak vertebra cervical baik, KGB tidak teraba membesar

Thorax Paru Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, pulsasi abnormal (-), gerak pernapasan simetris, irama cepat, tipe abdominothorakal, retraksi (-) Palpasi Perkusi Auskultasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris : Sonor di semua lapang paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis teraba, thrill (-) : Redup : SISII reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi Palpasi : Datar : Teraba supel, Kontraksi (-), TFU teraba 2 jari di bawah pusar, nyeri tekan seluruh abdomen (+) Auskultasi Ekstremitas : Bising usus (+) normal : Akral dingin, edema (-), sianosis (-), pucat, CRT lebih 2 detik

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hemoglobin Leukosit Hematokrit Trombosit Bleeding time Cloting time HbsAg Golongan darah USG : 11,0 g/dl : 10, 500 ribu/ul : 33% : 180, 000 ribu : 2 menit : 9 menit : negatif : O rhesus + : Terdapat sisa plasenta

Diagnosis kerja : P3 A0 H3 post partum dengan retensio plasenta 6 jam SMRS Rencana tindakan : kuretase

KESIMPULAN Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulakan Diagnosis Rencana : P3 A0 H3 post partum dengan retensio plasenta 6 jam SMRS : kuretase 6

Status operatif : ASA I Malampati grade I

Rencana tehnik anastesi : anastesi umum dengan tehnik total intravenous anastesi

LAPORAN ANASTESI Preoperatif : Informed consent (+) Puasa (+) selama 6 jam Tidak ada gigi goyang dan tidak memakai gigi palsu Kateter urin (+) IV line terpasang infus RL 12 tetes/menit Keadaan umum: baik Kesadaran Tanda vital : Compos mentis : TD 120/80 mmHg, Nadi 84x/menit, RR 18x/menit, suhu 36.5 o C

Premedikasi anastesi: Sebelum dilakukan anastesi diberikan ondansetron 4 mg secara bolus iv, dan melakukan tindakan skin test antibiotik ceftriaksone

KEADAAN SELAMA PEMBEDAHAN Lama operasi : 10 menit ( jam 15.30)

Lama anastesi : 15 menit (jam 15.25) Tehnik anastesi : TIVA diinduksi dengan 100 mg, fentanil 100 mcg Posisi Infus Premedikasi Medikasi : litotomi : RL pada tangan kanan 12 tpm : ondancetron 4 mg iv bolus : Pospargin 0,2 mg 7

Induxin 10 IU Tramadol 100 mg Ketorolac 30 mg Pronalges supp 100 mg Di ruang operasi: Jam 15.15 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja operasi, dipasang manset untuk mengukur tekanan darah di tangan kiri dan di pasang monitor. Jam 15.20 di lakukan premedikasi yaitu dengan pemberian ondanstron 4 mg Jam 15. 25 dilakukan induksi dengan propofol 100 mg iv, dan fentanil 100 mcg iv Setelah reflek bulu mata menghilang segera kepala di ekstensikan lalu meletakan face mask pada hidung dan mulut pasien di alirkan o2 2L/ menit,

Jam 15.30 anastesi sudah cukup dalam, ahli bedah di persiapkan memulai operasi, selama operasi tanda vital dan saturasi o2 dimonitor tiap 5 menit

Jam 15.45 operasi selesai, alat anastesi dilepas dan penderita dipindahkan ke ruang pulih sadar.

Monitoring selama operasi Jam (waktu) Jam 15.15 Pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja operasi, dipasang manset untuk mengukur tekanan darah di tangan kiri dan di pasang monitor Jam 15.20 di lakukan premedikasi yaitu dengan pemberian ondanstron 4 mg 125/69 mmHg 85 x/m 100% 127/83 mmHg 84 x/m 100 % Tindakan Tekanan darah Nadi Saturasi Oksigen

Jam 15. 20

dilakukan induksi dengan propofol 100 mg iv, dan fentanil 100 mcg iv. Setelah reflek bulu mata menghilang segera kepala di ekstensikan lalu meletakan face mask pada hidung dan mulut pasien di alirkan o2 2L/ menit,

103/58 mmHg

76 x/m

99%

Jam 15.30

anastesi sudah cukup dalam, ahli bedah di persiapkan memulai operasi, selama operasi tanda vital dan saturasi o2 dimonitor tiap 5 menit

103/63 mmHg

78 x/m

100%

Jam 15.35

Kondisi terkontrol Pospargin 0,2 mcg I.V Induksi 10 IU (drip)

114/67 mmHg

82 x/m

100%

Jam 15.40

Kondisi terkontrol Ketorolac 30 mg IV Tramadol 100 mg (drip) Citrosol 3 tab 600 mcg Pronalges supp

116/68 mmHg

85 x/m

100%

Jam 15.45

operasi selesai, alat anastesi dilepas dan penderita dipindahkan ke ruang pulih sadar.

124/76 mmHg

83x/m

100%

Di Ruang Pemulihan Jam 15.45 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan belum sadar dengan posisi kepala ekstensi dan terpasang guedel lalu dialirkan oksigen sebanyak 2L.

Monitoring pasca Anestesi Jam (waktu) Jam 15.50 126/82 mmHg 87 x/m 100 % Tekanan darah Nadi Saturasi Oksigen

Aldrete Scoring Sistem


No. 1 Aktivitas motorik Kriteria Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas perintah atau secara sadar. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah atau secara sadar. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas perintah atau secara sadar. 0 2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi Apneu/tidak bernafas 1 0 3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda 20% dari semula Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula Tekanan darah berbeda >50% dari semula 2 1 0 4 Kesadaran Sadar penuh Bangun jika dipanggil Tidak ada respon atau belum sadar 1 0 5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula Pucat Sianosis 1 0 2 2 2 1 Skor 2

10

Keterangan: 9-10 7-8 5-6 Pindah dari unit perawatan pasca anestesi Pindah ke ruangan Pindah ke ICU

11

BAB II ANALISA KASUS

Pada pasien ini akan direncanakan kuretase atas indikasi terdapatnya sisa plasenta. Sebelum dilakukan kuretase, dilakukan konsultasi ke bagian anestesi. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien termasuk ASA I yaitu pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Anestesi pada pasien ini dilakukan dengan tekhnik total intravena anestesi (TIVA), karena memenuhi indikasi TIVA, yaitu pembedahan singkat - 1 jam tanpa membuka peritoneum, bukan operasi kepala dan leher dan merupakan ASA I. Selain itu, alasan pemilihan tekhnik intravena adalah agar pasien dapat tertidur selama operasi dan kembali sadar setelah operasi selesai. Obat yang digunakan untuk anestesi intravena pada pasien ini adalah fentanyl 100 mcg dan propofol 100 mg. Fentanyl digunakan sebagai analgesik karena obat ini merupakan opioid agonis yang mempunyai efek analgesik 100 kali lebih kuat dari morfin, selain itu obat ini mempunyai mulai kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat. Pada pasien ini kita berikan fentanyl 100 mcg sesuai dosis fentanyl yaitu 1- 3 mcg/ kgbb. Pada pasien ini mempunyai berat badan 52 kg. Propofol diberikan pada pasien ini untuk memberikan efek hipnotik selain itu propofol mempunyai recovery yang cepat dan dapat menyebabkan kehilangan kesadaran dalam waktu sekitar 30 detik, dan pasien akan kembali sadar cepat bila dibandingkan obat induksi intravena lainnya. Hal inilah yang menjadikan keuntungan utama dari penggunaan propofol sebagai obat induksi. Propofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgesik maupun relaksasi otot, maka dalam kasus ini pemakaian fentanyl dapat memberikan efek analgesik yang tidak dimiliki propofol. Karena berat pasien ini 52kg, maka dosis propofol yang diberikan adalah 100mg, sesuai dengan dosis propofol 2- 2,5mg/ kgbb. Pada pasien ini diberikan ketorolac dam tramadol sebagai analgesik pasca operasi. Dimana tramadol merupakan analgetik kuat yang bekerja pada reseptor opiat sebagai opioid sintetik. Sedangkan ketorolac, adalah obat antiinflamasi non steroid (OAINS) yang berfungsi sebagai analgetik non opioid sebagai obat tambahan dari penggunaan tramadol, dimana kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Penilaian pulih sadar, atau aldrete score, sebenarnya pasien diijinkan pulang ke rumah setelah stabil diruang pemulihan karena score >9 poin, teteapi masih dikembalikan keruangan karena harus diobservasi kembali perdarahan, laboratorium dan tanda vital. Pemberian cairan

12

Kebutuhan Cairan Basal

: 4 x 10kg = 40 cc 2 x 10kg = 20 cc 1 x 32 kg = 32 cc Total = 92 cc (52 kg)

Kebutuhan cairan Operasi

: Operasi sedang x Berat badan 6 x 52kg = 312 cc

Kebutuhan Cairan Puasa

: Lama jam puasa x kebutuhan basal 8jam x 92 cc = 736 cc

Pemberian Cairan jam Pertama : kebutuhan basal + kebutuhan operasi + 50% puasa 92 +312 + (50% x 736) = 772 cc

13

BAB III ANESTESI UMUM


Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan.1 Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.1,2 Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini 5 .Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.5 Macam-macam Teknik Anestesi5 Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.

14

Semi open drop method:

Hampir sama dengan open drop, hanya untuk Karbondioksida yang Untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.

dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.

menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit. Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lainlain. 1. Persiapan Pra Anestesi Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:1 a. b. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

15

ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6 Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak. Pemeriksaan praoperasi anestesi 5 I. Anamnesis 1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll. 2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi. 3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal. 4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll. 5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

16

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik 7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna. 8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi. II. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan 2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas 3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan. 4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh. 5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu: i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding poster uvula

iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula iv. Mallampati IV : palatum durum saja 6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung 7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi 8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi. 9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.1,2 III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain2
17

Lab rutin : 1. Pemeriksaan lab. Darah 2. Urine : protein, sedimen, reduksi 3. Foto rongten ( thoraks ) 4. EKG Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi : 1. EKG pada anak 2. Spirometri pada tumor paru 3. Tes fungsi hati pada ikterus 4. Fungsi ginjalpada hipertensi 5. AGD, elektrolit.

2. Premedikasi Anestesi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :1,2 a. b. c. d. e. f. g. h. i. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron memperlancar induksi, misal : pethidin mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin. Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan2

18

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:2,3 a. b. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam c. d. e. f. g. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin. Antihistamin, misal prometazine. Antasida, misal gelusil H2 reseptor antagonis, misal cimetidine Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam. Secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat dapat diberikan intravena. Obat segera efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum akan dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan premedikasi intramuskular.4

3. Obat-obatan Premedikasi Pada kasus ini digunakan obat premedikasi : a. Midazolam 1,2,5 Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Midazolam bersifat larut dalam air serta merupakan benzodiazepin pilihan untuk pemberian parenteral. Penting untuk diketahui bahwa obat ini dapat bersifat menjadi larut lemak pada pH fisiologuis sehingga dapat dengan cepat menembus sawar darah otak dan menimbulkan efek sentral.10 Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Midazolam memiliki onset yang lebih cepat , eliminasi waktu paruh yang lebih pendek (2-4 jam), serta kurva dosis responsif yang lebih curam daripada benzodiazepin lain yang tersedia. Oleh karena itu, midazolam seringnya diberikan secara intravena sebelum pasien masuk ke dalam kamar operasi.10 Efek induksi terjadi

19

sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya. Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di bawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrow-angle glaucoma. Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 0,05 mg/kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.

b. Fentanil 5,6 Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.8 Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya

20

digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.5 Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.1,2

c. Ondansetron1,2 Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8 mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.1,2

4. Induksi Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Pada kasus ini digunakan obat induksi : a. Propofol

21

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.5,6 Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya skuele neurologik.6 Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.5,7 Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.10 Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obatobat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun.
22

Keuntungan propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek antiemetik. 1,5 Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).2,5 b. Ketamine Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai 20%. 1,5 Mekanisme aksi ketamine adalah memblokade membran terhadap efek eksitasi neurotranmiter asam glutamat pada reseptor subtipe NMDA. Ketamine merupakan obat yang sangat lipofilik dan dengan cepat didistribusikan ke dalam organ yang perfusinya baik seperti otak, hati dan ginjal. Kemudian, ketamine diredistribusi ke dalam jaringan-jaringan yang berperfusi kurang baik bersamaan dengan metabolisme hepatik dan diikuti dengan ekskresi urin dan bilier. Ketamine merupakan satu-satunya anestesi intravena yang memiliki efek analgesik dan mampu menghasilkan stimulasi cardiovaskular yang berkaitan dengan dosis. Nadi, tekanan darah arteri dan cardiac output dapat meningkat secara signifikan di atas nilai normal. Variabel-variabel ini mencapai puncaknya 2-4 menit setelah injeksi bolus intravena, kemudian menurun ke nilai normal selama 10-20 menit kemudian. Ketamine menghasilkan efek terhadap kardiovaskuler ini dengan menstimulasi sistem saraf simpatis pusat , kurang lebih, dengan menghambat reuptake norepinefrin pada
23

terminal saraf simpatis. Peningkatan kadar epinefrin dan noerpinefrin plasma terjadi selama 2 menit setelah bolus ketamine intravena dan kembali ke kadar normal dalam kurang dari 15 menit. Ketamine secara nyata meningkatkan aliran darah otak, konsumsi oksigen dan tekanan intrakranial. Sebagaimana anestesi yang menguap, ketamine merupakan sebuah obat yang secara potensial berbahaya ketika tekanan intrakranial meningkat. Meskipun ketamine menurunkan laju pernapasan, tonus otot pernapasan bagian atas tetap dipertahankan dengan baik dan refleks-refleks jalan napas biasanya tetap dipelihara.1,2 Penggunaan ketamine telah dihubungkan dengan disorientasi, ilusi sensori dan persepsi serta mimpi yang nyata postoperasi (sehinggan disebut dengan fenomena emergence). Diazepam (0,2-0,3 mg/kgBB) atau midazolam (0,025-0,05 mg) secara intravena, yang diberikan sebelum pemberian ketamine dapat mengurangi insidensi efek-efek negatif ini. Meskipun demikian, penggunaan ketamin dosis rendah dalam kombinasi dengan anestesi inhalasi dan intravena yang lainnya telah menjadi alternatif pilihan daripada analgesik opioid dalam meminimalkan depresi pernapasan. Selain itu, ketamine sangat bermanfaat bagi pasien geriatri dan pasien dengan resiko tinggi terjadi syok kardiogenik atau syok sepsis dikarenakan efek kardiostimulasinya. Ketamin dosis rendah juga digunakan bagi pasien-pasien rawat jalan yang dikombinasikan dengan propofol serta bagi anak-anak yang menjalani prosedur yang menyakitkan (seperti penggatian dressing pada luka bakar).7 Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-4,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.1,5

5. Pemeliharaan a. Nitrous Oksida (N2O) Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini

24

tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.2,5 b. Isofluran Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk melakukan intubasi. Obat pelumpuh otot non-depolarisasi dan isofluran saling menguatkan (potensiasi) sehingga dosis isofluran perlu dikurangi sepertiganya. Tendensi timbulnya aritmia amat kecil, sebab isofluran tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.2,5 Isofluran 3-3,5% dalam O2 atau kombinasi N2O-02 biasanya digunakan untuk induksi, sedangkan kadar 0,5-3% cukup memuaskan untuk mempertahankan anestesia.7 6. Obat Pelumpuh Otot Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin. Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.2,5 2 golongan obat pelumpuh otot yaitu :2 a. Depolarisasi. - Ada fasikulasi otot

25

- Berpotensiasi dengan antikolinesterase - Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik - Belum dapat diatasi dengan obat spesifik - Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis - Contoh: suksametonium (suksinil kolin) b. Non depolarisasi - Tidak ada fasikulasi otot - Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi, eter, halothane, enfluran, isoflurane - Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik - Dapat diantagonis oleh antikolinesterase - Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida), norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida). Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah : Atracurium besilat (tracrium) Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah : a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.

26

b. c.

Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.6 Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada

umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.7 Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. penyakit jantung dan ginjal yang berat.1,6 Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv5 7. Intubasi Endotrakeal Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :2 a. b. c. d. e. f. Mempermudah pemberian anestesi. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial. Pemakaian ventilasi yang lama. Mengatasi obstruksi laring akut. Nampaknya

atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan

8. Terapi Cairan Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :2
27

a. b.

Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi : a. Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %. b. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : Ringan Sedang Berat = 4 ml/kgBB/jam. = 6 ml/kgBB/jam = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran .2 c. Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
1,2

9. Pemulihan Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.2

28

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.2,5 Tabel 1. Aldrete Scoring System No. Kriteria 1 Aktivitas motorik Skor Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2 atas perintah atau secara sadar. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah atau secara sadar. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas perintah atau secara sadar. 0 2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi Apneu/tidak bernafas 2 1 0 3 Sirkulasi 4 Kesadaran Tekanan darah berbeda 20% dari semula Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula Tekanan darah berbeda >50% dari semula Sadar penuh Bangun jika dipanggil Tidak ada respon atau belum sadar 2 1 0 2 1 0 5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula Pucat Sianosis 2 1 1

29

0 Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan. Tabel 2. Steward Scoring System No. 1 Kriteria Kesadaran Bangun Respon terhadap stimuli Tak ada respon Skor 2 1 0 2 Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis Mempertahankan jalan nafas dengan baik Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas 3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak 2 1 0 2 1 0 Steward score 5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System No. 1 Kriteria Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara Tidur ringan Membuka mata atas perintah Tidak ada respon Skor 4 3 2 1

30

Jalan napas Aktifitas

Batuk atas perintah Jalan nafas bebas tanpa bantuan Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala Tanpa bantuan obstruksi Mengangkat tangan atas perintah Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak

3 2 1 0 2 1 0

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak Tanda Tanda vital Reflek laryng dan pharyng Gerakan Kriteria Respirasi, T/N, suhu seperti semula Mampu menela, batuk, dan muntah Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat perkembangan Muntah Pernafasan Muntah, mual pusing minimal Tidak ada sesak nafas, stridor, dan

mendengkur Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System Kriteria Gerakan penuh dari tungkai Tak mampu ekstensi tungkai Tak mampu fleksi lutut Tak mampu fleksi pergelangan kaki Skor 0 1 2 3

Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.


31

32

BAB IV KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi kistektomi pada penderita perempuan, usia 46 tahun, status fisik ASA II, dengan diagnosis kistoma ovari yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no.7,0 respirasi terkontrol. Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta. 2. Qauliyah, Asta. 2010. Ovarium. http://astaqauliyah.com/2010/05/referat-kedokteranepidemiologi-etiologi-dan-patofisiologi-penyakit-kista-ovarium/ 3. Hadibroto,R. Budi, 2005. Laparoskopi pada Kista Ovari.

http://obstetriginekologi.com/kistoma-ovarii 4. Anonim, 2010. Kista Ovarium. http://fkunhas.com/kista-ovarium-kista-indung-telur20100708296.html 5. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional 6. Lab/ SMF Anestesiologi & reanimasi . 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik Anestesiologi. 7. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi ke- 4. Jakarta :Gaya baru. 8. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 9. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

34

You might also like