You are on page 1of 4

SASTRA LISAN JAWA Laporan penelitian yang disajikan berikut adalah hasil pengolahan sastra lisan Jawa yang

dilakukan oleh Ny. Yoharni Harjono, dkk di wilayah Jawa Timur. Sastra lisan yang diteliti adalah 57 cerita lisan dalam bahasa Jawa yang telah dikumpulkan dalam buku Laporan Penelitian Sastra Lisan Jawa Timur Tahum 1975-1976. Ke-57 cerita lisan itu berasal dari daerah penelitian Ponorogo, Kediri, Ngawi, Pacitan, Blitar, Tuban, Tulungangung, Gresik, Probolinggo, dan Banyuwangi. Setelah cerita-cerita lisan ini diteliti, dari 57 cerita lisan 8 diantaranya merupakan sebuah puisi, alhasil ke-8 cerita tersebut dinyatakan tidak murni sebagai cerita lisan. Metode yang dipakai adalah metode deskriptif-komparatif, metode ini dititik

beratkan untuk mengetahui struktur cerita. Analisis struktur cerita dilakukan dengan menempuh dua kegiatan yaitu: 1. Menggambarkan satuan-satuan dan 2. Memperhatikan dan menerangkan hubungan yang ada antara satuan-satuan tersebut. Mengenai analisa struktur yang digunakan dalam penelitian sastra lisan disini, model yang dipakai adalah analisis struktur Levi-Straus yang pada tahap selanjutnya dikembangkan oleh Maranda untuk jenis mite dan beragam jenis cerita lainnya. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan istilah terem dan fungsi. Terem adalah simbol yang dilengkapi oleh konteks kemasyarakatan dan kesejahteraan, dan juga berupa dramatis personae, pelaku magis, gejala alam, dan lain-lain, yaitu segala subjek yang dapat berbuat atau melakukan peranan. Sedangkan fungsi adalah peranan yang dipegang oleh terem. Terem berubah-ubah, sedang fungsi tetap. Dengan demikian, terem yang muncul di dalam suatu varian dapat digantikan oleh terem yang muncul dalam varian lain asal saja terem-terem tadi melakukan fungsi yang sama. Pemakaian tanda : dan :: dalam analisa untuk menunjukkan hubungan sebab akibat. Untuk terem dipergunakan tanda a, b, c, d, e, f, dan seterusnya. Sedang untuk fungsi dipergunakan tanda x, y, dan z. sedang rumus yang dipergunakan adalah: (a)x : (b)y :: (b)x : (y)a-1

Reyog Tulungagung Prabu Airlangga di Majalengka mempunyai patih bernama Buto Locoyo, Buto Locoyo mempunyai dua orang putra yaitu Jaka Lodra dan Singa Lodra. Selanjutnya Buto Locoyo mengutuk kedua anaknya karenamelanggar adat kebiasaan. Jaka Lodra berubah menjadi manusia berkepala kerbau dan di beri nama Lembu Sura, sedangkan Singa Lodra berubah menjadi manusia berkepala harimau dan di beri nama Jatha Sura. Lembu Sora menjadi adipati di Bantarangin dan Jatha Sura menjadi patihnya. Lembu Sura jatuh cinta kepada seorang putri bernama Dewi Kilisuci dan kemudian menyuruh adiknya Jatha Sura untuk melamar Dewi Kilisuci di Kediri. Tetapi ternyata Jatha Sura pun jatuh cinta kepada Dewi Kilisuci dan melamarnya untuk dirinya sendiri. Dewi Kilisuci mau menerima asalkan Jatha Sura dapat mengalahkan Lembu Sura. Akhirnya terjadilah perang saudara antara Jatha Sura dengan Lembu Sura. Lembu Sura terbunuh, Jatha Sura menagih janji kepada Dewi Kilisuci, tetapi ditolak. Terjadi perang antara Jatha Sura dengan tentara Kediri. Tentara Kediri banyak yang mati. Kemudian ada patih Kediri yang cerdik bernama Pujanggaleng mengusulkan perdamaian. Sebagai gantinya Dewi Kilisuci mengajukan syarat agar dibuatkan sumur di puncak gunung Kelud. Jatha Sura menyanggupi permintaan Dewi Kilisuci, dan dengan jaminan semua tentara Kediri ditawannya. Tentara yang berpangkat di tahan di dalam gedung, dan kelak tempat itu akan menjadi desa yang disebut dengan Sentono Gedhong, sedangkan tentara biasa ditawan di tenah lapang yang diberi pagar dan kelak tempat itu akan disebut Sentono Bethek. Jatha Sura berhasil membuat sumur di puncak gunung Kelud. Dia mengajak Dewi Kilisuci untuk melihatnya, akan tetapi sebelum berangkat Dewi Kilisuci menciptakan Dewi Kilisuci palsu. Dengan diiringkan para tentara Dewi Kilisuci palsu berangkat bersama Jatha Sura menyaksikan sumur itu. Tanpa sepengetahuan Jatha Sura, Dewi Kilisuci palsu dilemparkan ke dalam sumur oleh para pengiringnya. Kemudian mereka berteriak minta tolong. Mengetahui kejadian itu Jatha Sura tanpa berpikir panjang langsung terjun ke dalam sumur untuk menolong Dewi Kilisuci palsu, dan pada saat itu pula tentara Kediri

melempari serta menimbuninya dengan batu-batu hingga pada akhirnya Jatha Sura pun mati. Reyog Ponorogo Sesungguhnya reyog Ponorogo tidak dapat dipisahkan dari reyog Tulungagung. Ratu Dewi Kolisuci di Kediri mempunyai patih yang setia bernama Pujanggaleng. Pujanngaleng berputra dua orang. Anak pertama bernama Pujangga Anom diberi kesaktian aji macan putih, dan adiknya bernama Pujannga Lelana diberi kesaktian aji belut putih. Kedua putra ini dapat mengalahkan para warok di Ponorogo dan akhirnya menjadi adipati di sana. Tidak lama kemudian, Pujangga Anom yang mendambakan seorang pendamping memilih dan melamar Dewi Kilisuci sebagai isterinya. Agar perbuatan Pujangga Anom tidak diketahui oleh ayahnya ia mengubah dirinya menjadi harimau. Karena pinangan tersebut ditolak maka terjadilah peperangan antara para warok yang dipimpin Pujangga Anom yang berwujud macan putih. Tentara Kediri dapat dikalahkan, sehingga akhirnya patih Pujanggaleng sendiri terpaksa menghadapi musuh. Punjangga Anom (dalam wujud harimau) dapat dikalahkan. Ketika ia akan membunuh harimau itu, datanglah Pujangga Lelana yang mengatakan bahwa harimau itu sebenarnya adalah putranya sendiri yaitu Pujangga Anom. Pujanggaleng marah dan kemudian mengutk kedua putranya itu. Pujangga Anom tetap menjadi harimau dengan sebutan Dadak Merah sedangkan Pujangga Lelana menjadi Gandaruwa. Pujangga Anom tetap ingin memperistrikan Dewi Kilisuci. Dewi Kilisuci mau menerima lamaran itu dengan syarat agar dibuatkan jalan tembus dari Kediri ke Ponorogo. Sang adik Pujangga Lelana menyanggupi permintaan itudan berhasilah pembuatan jalan tembus itu. Kemudian Dewi Kilisuci menyerahkan dirinya kepada Pujangga Anom, akan tetapi dengan segera Dewi Kilisuci mengambil pusaka dan membunuh dirinya sendiri karena malu. Sebab walaupun Dewi Kilisuci kelihatan sebagai seorang putri, tetapi sebetulnya dia adalah seorang kedi, yaitu bukan laki-laki dan bukan perempuan (banci).

Sumber Tirtawidyaja, Yoharni Harjojo Totong, dkk. 1979. Sastra Lisan Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaaan dan Pengambangan Bahasa Departeman Pendidikan dan kebudayaan.

You might also like