You are on page 1of 12

PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960.

Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap stelsel agraria yang berlaku hingga kini di negeri ini. Dengan UUPA ini telah dijadikan tidak berlaku lagi banyak peraturan-peraturan di bidang hukum agraria. Dalam pasal ini bahwa pembuat undang-undang akan mengadakan berbagai peraturan pelaksanaan yang bermaksud untuk mengawasi peralihan hak atas tanah kepada lain-lain orang, dengan maksud agar supaya dapat dilindungi fihak yang benar-benar ekonomis lemah, dan dapat tercipta cita-cita yang terkenal dengan istilah land reform atauagraria reform, dengan ketentuan-ketentuannya bahwa tanah untuk pertanian sedapat mungkin dikerjakan oleh sipemiliknya sendiri, dengan batasbats maksimum dan minimum tanah untuk setiap petani (pasal 10 UUPA). Kini tidak lagi terdapat larangan untuk pengasingan tanah milik (dan lain-lain hak atas tanah) oleh seorang warga negara Indonesia asli kepada seorang warga negara Indonesia keturunan asing. Secara tegas hal ini telah diutarakan dalam Memori Penjelasan UUPA atas pasal 26 yang mengatur soal pengasingan tanah kepada orang asing. Dalam Undang-Undang ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis, kuat dan lemah. Kemudian ditambah lagi pihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli.

Dalam UUPA tidak lagi diadakan perbedaan antara tanah-tanah adat. Tanahtanah hak Indonesia tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. UUPA berdasarkan kesatuan hukum, yakni berlakunya hukum adat untuk semua hak-hak di atas tanah. Dualisme dihapuskan oleh UUPA. Semua hak-hak atas tanah adalah serupa, yakni hak-hak yang pada pokoknya didasarkan atas hukum adat. Hak-hak menurut hukum barat harus dikonversi menjadi hak-hak adat bentuk baru yang diatur UUPA. Larangan Pengasingan Tanah S. 1875-179 sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 sudah tidak berlaku lagi. Yang dimaksud dengan larangan pengasingan tanah (grond vervreemdingsverbod) adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahkan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan Indonesia (asli) dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karena hukum. Sekarang ini setiap warganegara Indonesia, baik asli maupun keturunan asing, dapat secara bebas mengasingkan hak-hak baru atas tanah menurut UUPA ini. Politik hukum demikian itu yaitu sifat dualismeee dalam bidang hukum Agraria akan menyebabkan tetap berlakunya peraturan-peraturan hukum adat disamping peratura-peraturan hukum barat. Kejadian demikian itu, sebagai dinyatakan dalam memori penjelasan UUPA adalah tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Bahwa sistem dualismee yang dikenal dalam stelsel hukum agraria dahulu menyebabkan timbulnya pelbagai masalah antar-golongan yang serba sulit. Memang benar, adanya dualisme atau pluralisme hukum agraria inilah yang

memberikan tempat cabang ilmu hukum agraria antar-golongan ini. Dengan adanya kesatuan hukum sekarang ini dapat dikatakan bahwa ilmu hukum tersendiri ini tidak lagi mempunyai alasan untuk berkembang. Hukum adat yang berlaku bukan hukum adat yang murni Hukum adat ini perlu disesuaikan dengan azas-azas dalam UUPA. Hukum adat ini tidak boleh bertentangan dengan: a. b. c. d. e. Kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; Sosialisme Indonesia; Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA; Peraturan-peraturan perundangan lainnya; Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Bagian-bagian hukum adat yang berkenaan dengan hak-hak atas tanah, tetapi tidak sesuai dengan kepentingan Negara Republik Indonesia yang modern tidak dapat dipandang berlaku. Juga hukum adat yang mengatur hak-hak atas tanah ini harus disempurnakan sedemikian rupa hingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan perhubungan modern. Hubungan Indonesia dengan negara modern tidak dapat diha;angi oleh hukum adat yang kurang memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru ini. Tentang penyesuaian hukum adat dengan prinsip sosialisme Indonesia, pembuat UUPA telah memberi penegasannya. Antara lain telah dikemukakan bahwa hukum adat yang diwariskan oleh sistem hukum sediakala acapkali dipengaruhi oleh politik dan masyarakat kolonial, masyarakat ini adalah masyarakat kapitalis.

Tak dapat disangkal pila bahwa berbagai peraturan telah diadakan dengan maksud untuk menghindarkan bahwa fihak yang ekonomi lemah dijadikan korban semata-mata oleh fihak yang ekonomis kuat. Tetapi juga tak dapat disangkal bahwa sistem yang dianut dalam keseluruhannya adalah sistem kapitalis-liberalis. Dan hukum yang diciptakan terpengaruh pula oleh sistem yang dianut ini. Sebagai contoh tentang corak-corak feudal dalam hukum adat ini dapat kiranya kami menunjuk kepada keadaan hukum di wilayah vorstelanden sebelum revolusi nasional. Disana terdapat suatu keadaan khusus berkenaan dengan hukum pemakaian tanah oleh pengusaha-pengusaha perkebunan besar dan rakyat jelata. Tujuan Landreform Tujuan Landreform di Indonesia adalah : a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani

yang berupa tanah. b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah

sebagai obyek spekulasi dan obyek pemerasan. c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap

warganegara Indonesia. d. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan dan menghapuskan pemilikan dan

penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas. e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya

pertanian yang intensif.

Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas dapat kita saksikan lebih jauh secara tegas pada apa yang telah dicantumkan dalam pasal 7. Pasal ini berbunyi untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Ketentuan dalam pasal ini ada hubungannya dengan apa yang dikemukakan dalam pasal-pasal lain. Misalnya dalam pasal 10 yaitu menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya wajib mengerjakannya sendiri secara aktif. Peraturan tentang pembatasan luas maksimum dan minimum tanah pertanian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 UUPA maka dikeluarkan Perpu No. 56/1960 kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (LN 1960 no. 174), penjelasannya dimuat dalam TLN no. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian diundangkan di Jakarta tanggal 24 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961 yang menentukan luas maksimum dan minimum tanah pertanian pada umumnya dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor-faktor lainnya serta mengatur pengembalian dan penebusan tanahtanah pertanian. Bilamana dalam UUPA diadakan perumusan-perumusan tentang hak-hak baru mengenai tanah maka perumusan-perumusan inilah yang berlaku, bilamana tidak terdapat persesuaian antara paham-paham hukum adat tentang hak-hak yang serupa dengan hak-hak baru dalam UUPA dan perumusan dalam UUPA itu sendiri.

Perumusan yang terdapat dalam UUPA inilah yang selalu akan dijadikan pegangan bagi si pelaksana hukum. Kewenangan untuk mempunyai hak eigendom terdapat kebebasan. Orang dari golongan rakyat mana saja diperbolehkan untuk memperoleh hak eigendom atau lainlain hak atas tanah yang takhluk di bawah barat. Orang dari golongan rakyat bumiputra secara leluasa dapat menikmati pula hak-hak barat atas tanah. Peraturan tentang permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah Pemindahan hak yang dimaksud disini adalah jual beli termasuk pelelangan di muka umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain. Diperlukan ijin pemindahan hak yang dimaksudkan disini adalah atas pemindahan : a. b. c. Hak milik atas tanah pertanian Hak guna usaha Hak guna bangunan atas tanah negara, jika dilakukan kepada badan hukum

d. Hak pakai atas tanah negara, jika dilakukan kepada orang asing atau badan hukum, dan e. Jika penerima hak ternyata sudah mempunyai 5 bidang tanah atau lebih. Menurut pasal 51 UUPA hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna bangunan diatur dengan Undang-undang. Menurut pasal 57 UUPA, selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut belum berbentuk, maka yang berlaku ialah peraturan mengenai hipotik dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dan Credietverband diatur dalam S 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S 1927-190. Sesudah dilaksanakannya Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, maka pendaftaran hak-hak atas tanah semuanya diselenggarakan menurut peraturan tersebut. Dengan dikeluarkannya undang-undang Peraturan Menteri agrarian No. 15 Tahun 1961 tentang pembebanan dan pendaftaran hipotik dan credietverband (TLN No. 2347), maka untuk daerah dimana pendaftaran tanah sudah diselengarakan menurut PP No.10 tahun 1961 tidak lagi dikenal perbedaan antara tanah-tanah yang dapat dibebani hipotik dan credietverband. Subyek hipotik dan credietverband atas tanah Subyek hipotik/credietverband ada dua : a. Pemberi hipotik/credietverband

Mempunyai subyek yang sama yaitu orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah yang dapat dibebani hipotik/credietverband (Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan). b. Penerima hipotik/credietverband

Adalah orang atau badan hukum yang memberikan piutang (kreditur) dimana pembayarannya/pelunasannya dijaminkan dengan membebankan hipotik diatas tanah tertentu. Kewajiban mendaftarkan tanah menurut UUPA adalah: a. b. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c.

Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat. Peraturan pendaftaran tanah yang baru telah ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah (LN 1961 nomor 28, penjelasannya di dalam TLN nomor 2471) diundangkan pada tanggal 23 Maret 1961 dan mulai berlaku juga pada tanggal diundangkan.Untuk Jawa dan Madura Peraturan Pendaftaran Tanah menurut PP 10 tahun1961 mulai dilaksanakan pada tanggal 24 September 1961. Untuk daerah-daerah luar Jawa dan Madura dilakukan daerah demi daerah disesuaikan dengan persiapan daerah daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan pendaftaran diatur secara berangsur-angsur, tidak dapat

dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Pendaftaran di kota-kota didahulukan, baru kemudian secara lambat laun akan meningkat pendaftaran pada suatu sistem kadaster yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pendaftaran tanah membawa kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Sanksi pidana atas kelalaian mendaftarkan tanah diatur dalam pasal 52 UUPA. Besarnya biaya pendaftaran tanah ditentukan oleh lokasi obyek kegiatan yaitu daerah perkotaan dan daerah di luar daerah perkotaan. Hukum agraria harus berdasarkan Pancasila. Hak milik perorangan berbeda dengan hak ulayat. Menurut azas Domein, maka semua tanah yang oleh pihak lain tidak dibuktikan hak eigendom adalah domein (milik) negara. Azas ini bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan tidak sesuai dengan azas negara yang merdeka dan modern. Wewenang yang diberikan kepada penguasa di bidang agaria ini harus dikerahkan supaya tercapai satu tujuan

yakni untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan ayat 3 UUPA). Hanya WNI yang dapat mempunyai hak-hak kebendaan atas tanah (pasal 21 ayat 1 UUPA jo. pasal 9), ketentuan ini sesuai dengan hukum internasional. Oleh karena orang asing tidak diperbolehkan untuk mempunyai hak milik atas tanah, maka pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2 UUPA), perbuatan itu batal demi hukum. Namun perbuatan-perbuatan yang secara tidak sengaja mengakibatkan beralihnya hak milik kepada orang asing adalah perbuatan yang tidak dilarang (pasal 26 ayat 2 UUPA), misalnya perkawinan dengan WNA yang menyebabkan percampuran harta. Jadi kaidah pasal 26 ayat 2 mencerminkan kaidah tidak tertulis, atau dikenal dengan istilah kaidah pencerminan

(spiegelregel).UUPA tidak mengenal perbedaan antara sesama WNI karena keturunan. Pasal 9 ayat 2 mengemukakan bahwa, tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Kepada warga negara yang lemah ekonominya masih perlu mendapat perlindungan, sehingga penguasa mengadakan pengawasan terhadap segala perbuatan yang dimaksudkan untuk pemindahan hak milik atas tanah (pasal 26 ayat 1 UUPA). Dengan harapan agar pihak ekonomi lemah tidak menjadi korban dari yang ekonominya kuat. Berdasarkan Seminar tentang Landreform bulan OktoberNopember 1960 di Kebayoran, diambil keputusan untuk menganjurkan kepada

pemerintah agar supaya melakukan pengawasan yang sebaik-baiknya atas tiap-tiap peralihan hak setelah tanggal 24 September 1960 (tanggal mulai berlakunya UUPA). Diusulkan agar supaya dilarang saja semua peralihan hak milik. Satu dan lain karena dengan masih diperbolehkannya peralihan hak milik kepada pihak-pihak ini dalam praktek akan diselundupkan ketentuan-ketentuan dalam UUPA tentang azasazas Landreform. Berkenaan dengan pengawasan dan perlindungan yang akan diadakan oleh penguasa, ditunjuk pula ketentuan mengenai penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas harus dicegah, karena pemerasan bertentangan dengan azas keadilan sosial dan peri kemanusiaan. Usaha bersama di bidang agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama (pasal 12 ayat 1). Pihak swasta tidak boleh bermonopoli di bidang agraria, juga usaha pemerintah yang monopolistis yang merugikan rakyat. UUPA hanya memuat garis-garis pokok saja dari apa yang merupakan pokok-pokok dan sendi-sendi perundang-undangan agraria yang baru ini, jadi masih diperlukan banyak peraturan pelaksana. Termasuk ketentuan untuk menghapuskan tanah pertanian secara guntai (absentee) yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal si pemilik. Pemerintah adalah instansi satu-satunya yang boleh mengusahakan sesuatu di lapangan agraria yang bersifat monopoli (pasal 13 ayat 3 UUPA). Pengadilan Landreform dihapuskan karena mengalami kesulitan dan kemacetan serta mempertimbangkan bahwa yang termasuk perkara Landreform, pada umumnya adalah wewenang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, maka dihapus dengan UU No. 7 Tahun 1970. Peraturan tentang hak milik dalam pasal 22 ayat 1

UUPA. Penggunaan tanah milik yang bukan miliknya akan dibatasi (pasal 24). Pengawasan transaksi-transaksi hak milik diatur dalam pasal 26 ayat 1. Mengenai akibat-akibat kehilangan syarat sebagai pemilik diatur dalam pasal 30 ayat 2. Mengenai pembukaan hutan diatur dalam pasal 46. Mengenai hak guna air dan hak ruang angkasa diatur pasal 47 ayat 2 dan pasal 48 ayat 2. Wewenang Gubernur/Kepala Daerah memberikan keputusan atas tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, tanah hak pakai dan ijin membuka lahan. Wewenang Bupati/Walikota Kepala Daerah memberi keputusan mengenai tanah hak milik, tanah hak guna bangunan, tanah hak pakai, dan ijin membuka tanah. Wewenang Kepala Kecamatan memberi keputusan mengenai ijin membuka tanah yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar. Hak atas tanah konversi hak barat diatur oleh UUPA dalam Bab II KetentuanKetentuan Konversi. Semua hak atas tanah konversi hak barat itu berakhir selambatlambatnya tanggal 24 September 1980 dan tanah-tanah konversi hak barat itu langsung dikuasai negara. Dengan demikian mulai tanggal 24 September 1980 semua tanah-tanah di bumi Indonesia ini tidak ada lagi hak-hak atas tanah asal konversi hak barat.Tata cara permohonan hak baru atas tanah menurut ketentuan pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979 bahwa tanah-tanah bekas hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat yang berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, dapat diberikan dengan sesuatu hak baru kepada bekas pemegang haknya. Pemberian hak baru ini diselesaikan menurut tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun

1973, tentang Ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian hak atas tanah. Apabila permohonan hak baru itu ditolak, maka oleh Kepala Direktorat Agraria atas nama Gubernur/Kepala Daerah dikeluarkan Surat Keputusan penolakan, dengan disertai salinannya disampaikan secara langsung kepada pemohon.

You might also like