You are on page 1of 17

I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertumbuhan berbagai sektor industri yang semakin pesat menjadi mesin pendorong bagi pembangunan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan industri turut mendorong eksploitasi sumberdaya alam dan berbagai praktik teknologi yang memacu konsumsi berlebihan sehingga mengakibatkan merosotnya lingkungan. Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu perhatian utama di berbagai belahan dunia. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara maju, tetapi sudah mulai merambah ke negara-negara berkembang. Isu lingkungan merupakan imbas dari kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah untuk saling berinteraksi dengan sesama manusia atau sistem kebutuhan lainnya dimana hal ini ditunjang oleh sektor transportasi. Transportasi membuat mobilitas manusia menjadi lebih cepat, aman, nyaman, dan terintegrasi. Transportasi berkembang mengikuti fenomena yang timbul di dalam masyarakat akibat penggalian sumberdaya, penemuan teknologi baru, perkembangan struktur masyarakat, dan bertambahnya mengunjungi transportasi. Fungsi sektor transportasi akan merangsang peningkatan pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan antara fungsi sektor transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan kausal (timbal balik). Sistem transportasi yang baik memberi kemudahan akses ke berbagai kawasan sehingga menunjang jumlah suatu penduduk. Selain itu, kebutuhan mempengaruhi manusia untuk sektor

tempat

juga turut

tumbuhnya

pertumbuhan sektor ekonomi, khususnya kawasan perkotaan yang ditengarai dengan semakin menguatnya konsentrasi penduduknya. Sebaliknya, peningkatan pertumbuhan ekonomi juga telah meningkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasilnya. Tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia saat ini mencapai 4,1% per tahun atau lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk nasional yang hanya 1,8% per tahun. Sampai akhir tahun 1995 diperkirakan 45% dari jumlah penduduk nasional berada di wilayah perkotaan atau 90 juta dari sekitar 200 juta penduduk dimana 60,5% dari penduduk perkotaan tersebut tinggal di kota-kota besar, metropolitan, dan megapolitan. Melihat gejala seperti itu, dapat diperkirakan pada tahun 2018 penduduk perkotaan akan mencapai 52% atau sekitar 140 juta jiwa penduduk perkotaan dari sekitar 270 juta jiwa penduduk Indonesia.1 Sektor transportasi di Indonesia juga turut mengikuti gejala tersebut dimana pertumbuhan kendaraan bermotornya meningkat cukup tinggi, yaitu mencapai 19,3% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor yaitu 71,80% dari jumlah kendaraan bermotor pada periode 2004-2005 dan tingkat

pertumbuhannya mencapai 30% dalam lima tahun terakhir. Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk di Indonesia mencapai 1:8 pada akhir tahun 2005.2 Setiap tahun jumlah kendaraan roda dua bertambah sekitar 12% sedangkan kendaraan roda empat hanya 6,9%. Jumlah kendaraan bermotor yang tercatat di Kepolisian RI diperkirakan sebanyak 38,16 juta unit pada tahun 2005. Komposisinya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan 17,1% bis, seperti yang tersaji pada Gambar 1. 2

250000 200000 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 Sedan Sepeda Motor Bis/Minibis Truk

Sumber: Statistik Indonesia 2007 dari BPS

Gambar 1. Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun 20012005 Sementara itu, merujuk data Kepolisian Kota Bogor, jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor juga semakin meningkat. Luas Kota Bogor yang hanya 11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km sudah padat untuk menampung jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan. Saat ini ada 3.506 unit angkot yang diijinkan beroperasi di dalam kota, ditambah lagi ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek operasinya masih memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi bagian dari beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap harinya. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan mobilitas berbagai jenis kendaraan dari luar Kota Bogor yang masuk wilayah Kota Bogor, terutama dari wilayah Jabodetabek, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan

sebagainya.3 Jumlah dan pertumbuhan rata-rata motor dan mobil di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan Pertumbuhan Motor dan Mobil di Kota Bogor Tahun 2004-2007
Tahun 2004-2005 2005-2006 2006-2007 Jumlah Motor (unit) 71.241 80.966 117.450 Jumlah Mobil (unit) 43.326 45.598 49.540 Total Pertumbuhan (%) 9,07 12,01 31,06

Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2008 dari BPS

Pertambahan kendaraan bermotor periode 2006-2007 mencapai lebih dari 30.000 unit dan 90% diantaranya merupakan kendaraan roda dua atau sepeda motor, sedangkan pertambahan kendaraan roda empat hanya sekitar 3.000 unit per tahun. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang signifikan terjadi pada tahun yang sama dimana tingkat pertumbuhannya jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu mencapai 31,06%, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 17,3% per tahun. Peningkatan sektor transportasi ini menyebabkan terjadinya kemacetan di Kota Bogor. 4 Masyarakat Kota Bogor, dalam hal ini adalah pengguna jalan, selalu dihadapkan dengan kemacetan lalu lintas sehingga mereka menganggap

kemacetan adalah bagian dari rutinitas hidup. Padahal saat mereka terjebak dalam kemacetan, banyak manfaat yang hilang. Kemacetan dilihat dari dampak sosialnya dapat membuat seseorang stress, lelah, terlambat ke sekolah atau ke kantor, sampai menurunnya kualitas udara. Dampak kemacetan terhadap ekonomi jelas lebih terlihat dari sisi manfaat yang hilang dan biaya yang dikeluarkan. Kemacetan membuat laju kendaraan 4 melambat atau bahkan terhenti (stuck position). Kondisi ini membuat penggunaan

Bahan Bakar Minyak (BBM) meningkat karena mesin menyala lebih lama sehingga pengendara harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk pembelian BBM. Masyarakat yang bekerja juga kehilangan jam kerja mereka karena terlambat masuk kantor sehingga akhirnya pendapatan mereka juga turut berkurang. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu adanya studi yang mengkaji tentang besarnya dampak sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari perubahan pengeluaran untuk BBM saat lalu lintas normal dibandingkan dengan saat terjebak kemacetan, hilangnya pendapatan akibat kemacetan, dan berapa besarnya kerugian pengguna jalan jika ada kompensasi yang diberikan akibat terjebak kemacetan. Penggunaan Willingness to Accept (WTA) digunakan untuk mengetahui besarnya kompensasi yang bersedia diterima pengguna jalan, terkait dengan dampak sosial ekonomi yang dirasakan setiap individu. Besarnya WTA ini mencerminkan besarnya kerugian individu pengguna jalan. 1.2. Perumusan Masalah Seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk di Kota Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga kebutuhan akan transportasi juga semakin bertambah. Pemenuhan transportasi dengan peningkatan jumlah alat transportasi milik pribadi maupun massal, menjadi hal yang harus dipenuhi agar mobilitas penduduk dapat berjalan baik sehingga berdampak positif bagi aktivitas sosial maupun ekonomi. Peningkatan jumlah alat transportasi di Kota Bogor

awalnya dilakukan dengan menambah jumlah angkot pada beberapa ruas jalan. Hal ini dilakukan karena ruas jalan di Kota Bogor dianggap relatif sempit untuk dilewati kendaraan umum skala besar seperti bis. Namun di sisi lain, semakin bertambahnya alat transportasi juga mengurangi jarak lintasan antar kendaraan di jalan raya, sehingga semakin lama terjadi kemacetan. Masalah kemacetan telah mengganggu aktifitas masyarakat, khususnya aktifitas ekonomi. Masalah kemacetan merupakan masalah yang sulit dicari solusinya bagi kota-kota besar. Permasalahan yang sering terjadi di kota besar biasanya muncul karena kebutuhan transportasi lebih besar daripada prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kemacetan terjadi bukan hanya karena banyaknya kendaraan tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah orang (penumpang) yang berada di jalanan, seperti halnya yang terjadi di Kota Bogor. Hasil investigasi Radar Bogor (2008), diketahui bahwa jumlah kendaraan yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai 9.360 unit. Persentase jumlah kendaraan pribadi dari luar Kota Bogor yang masuk setiap harinya sekitar 35% dari jumlah kendaraan pribadi yang ada di Kota Bogor sedangkan kendaraan pribadi berplat-F di Kota Bogor tercatat berjumlah 38.994 unit.5 Tingkat

kemacetan di Kota Bogor sudah mulai mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kemacetan tidak hanya terjadi pada jam pulang dan berangkat kerja saja, pada jam-jam biasa pun beberapa ruas jalan di kota hujan ini tetap macet, misalnya Jalan Sukasari-Tajur, Jalan Bubulak-Dramaga, Jalan Sempur-IR, Jalan Djuanda-

Sudirman, Jalan Soleh Iskandar (Jalan Baru), Kedung Halang, Merdeka-Semeru 6 (Pasar Mawar), dan lainnya. Kemacetan terparah terjadi di ruas Jalan Mayor

Oking-Jembatan Merah-Merdeka, yakni mulai pukul 17.00 sampai 21.30.

Kemacetan juga diperparah dengan masalah tata ruang Kota Bogor yang kurang baik. Pusat dan sub-pusat aktivitas dalam tata ruang kawasan perkotaan memang jelas terlihat, tetapi struktur yang terjadi tidak tertata dengan baik. Kemacetan lalu lintas menunjukkan terjadinya ketidakcocokan antara lokasi tempat tinggal dengan tempat kerja atau tempat fasilitas lain. Penataan ruang yang baik diperlukan untuk dapat menjadikan pelayanan perkotaan yang dapat dinikmati oleh warga kota sehingga ketidakcocokan antara tempat tinggal dan fasilitas pelayanan perkotaan dapat dikurangi hingga sekecil mungkin. Kondisi kemacetan mempengaruhi efisiensi perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya, baik berupa barang maupun manusianya itu sendiri. Kemacetan juga menaikkan biaya transportasi karena konsumsi BBM meningkat. Dampak bagi penggunanya sendiri, kemacetan menyebabkan hilangnya opportunity cost. Waktu yang seharusnya bisa mereka maksimalkan untuk aktifitas ekonomi atau yang lainnya, kini banyak dihabiskan di jalanan, sehingga mereka kehilangan benefit tertentu seperti biaya, waktu, tenaga, dan lain sebagainya. Berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi, penelitian ini lebih difokuskan untuk membahas mengenai kerugian akibat kemacetan lalu lintas, khususnya yang terjadi di Kota Bogor. Kemacetan lalu lintas yang berdampak pada sosial ekonomi pengguna jalan inilah yang dikaji. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan lalu lintas ? 2. Berapa besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan ? 7

3. Berapa besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat kemacetan ? 4. Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Menganalisis dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan lalu lintas. 2. Menghitung besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena

kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan. 3. Menghitung kemacetan. 4. Mengestimasi besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berguna sebagai: 1. Masyarakat bisa secara langsung melihat nilai nominal dari kerugian akibat kemacetan lalu lintas. 2. Akademisi penelitian, khususnya dalam menganalisis fenomena yang sering terjadi di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkaitan 8 dengan besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat

transportasi, khususnya regulasi mengenai manajemen transportasi. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian mengenai dampak kemacetan lalu lintas dilakukan di Kota Bogor melalui pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna jalan di Kota Bogor. 2. Penelitian hanya fokus pada dampak ekonomi berupa dampak terhadap individu pengguna jalan, pengeluaran BBM, dan hilangnya pendapatan. 3. Dampak perubahan atau kerusakan kualitas lingkungan secara menyeluruh terhadap ekonomi masyarakat seperti dampak terhadap kesehatan yang pada akhirnya terkait dengan biaya pengobatan serta segi sosial berupa perilaku pengguna jalan tidak diteliti

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Teori Transportasi Sistem transportasi erat kaitannya dengan keadaan ekonomi suatu wilayah karena pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi kondisi sistem transportasi yang ada di wilayah tersebut. Sistem transportasi yang baik akan mempermudah pergerakan mobilitas perekonomian baik produksi, distribusi, maupun konsumsi. Teori transportasi saat ini menempatkan sistem transportasi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari infrastruktur desa maupun kota. Pembangunan sistem transportasi ini membentuk integrasi antar wilayah. Kegiatan pemindahan suatu barang atau manusia sekalipun dapat cepat dilakukan dengan transportasi. Seperti halnya pengiriman barang dari suatu wilayah yang tidak memiliki barang tersebut sehingga wilayah yang tidak memiliki barang tersebut sebelumnya dapat menikmati utilitas dari barang tersebut. 2.1.1. Definisi Transportasi Transportasi merupakan turunan dari kombinasi tata guna lahan yang saling membutuhkan yang kemudian membentuk suatu pergerakan dari guna lahan satu ke guna lahan yang lain. Peningkatan intensitas perubahan tata guna lahan menambah beban transportasi di sebuah kota. Beban transportasi bila tidak diimbangi dengan penyediaan prasarana yang memadai akan menimbulkan permasalahan. Salah satu bentuk dari permasalahan tersebut adalah kemacetan (Miro dalam Astati, 1998). Transportasi di darat ada beberapa macam, mulai dari kendaraan tidak bermesin seperti sepeda, delman, andong, becak, dan sebagainya, serta kendaraan

10

bermesin

seperti motor

dan

mobil. Masyarakat

biasanya

menggunakan

transportasi pribadi seperti mobil pribadi, sewaan, ataupun motor untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi. Pengguna jalan yang tidak memiliki kendaraan pribadi dapat menggunakan transportasi massal, seperti bus, angkot, ojek, dan lain sebagainya. Transportasi massal (public transportation) adalah transportasi yang digunakan secara umum dengan pengenaan biaya bagi yang memanfaatkan jasanya. Jenis transportasi ini bisa mengangkut penumpang dalam jumlah relatif banyak.7 2.1.2. Pengertian dan Fungsi Transportasi Perkotaan Transportasi perkotaan dalam batas pengertian wilayah perkotaan adalah semua aktivitas perjalanan yang berada di wilayah tersebut. Implisit dari pengertian tersebut adalah: (i) ada orang yang diangkut, (ii) tersedia kendaraan sebagai alat angkut, dan (iii) ada jalan yang dapat dilalui. Fungsi transportasi yang disebut Siregar dalam Astati (1998) adalah sebagai pengangkutan untuk menambah nilai sumberdaya menjadi lebih tinggi di tempat tujuan daripada asalnya yang berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility). Hal ini berarti serupa dengan konsep opportunity cost. 2.1.3. Definisi Kemacetan Transportasi Kemacetan merupakan suatu indikasi dimana permintaan kendaraan yang melintas di jalan mendekati atau melebihi kapasitas desain infrastruktur transportasi. Jumlah kendaraan yang melintasi suatu jalan mendekati kapasitas fisik fasilitas jalan yang ada dan membuat kecepatan berlalu lintas akan semakin melambat sehingga kemampuan keseluruhan perlintasan di jalan tersebut menjadi

12

turun (Wikipedia, 2000). Menurut definisi teknik tata lalu lintas yang dimaksud dengan macet atau kemacetan lalu lintas adalah suatu kondisi dimana arus lalu lintas terhambat namun masih berjalan. Definisi lainnya adalah bahwa kemacetan lalu lintas terjadi saat kendaraan-kendaraan yang berada pada satu ruas jalan harus memperlambat laju kendaraannya, kemacetan lalu lintas akan berhubungan dengan pergerakan kendaraan di suatu ruas jalan (Morlok dalam Pangaribuan, 2005). Kemacetan bukan hanya disebabkan oleh perilaku berkendara pengguna jalan, tetapi kemacetan juga dapat terjadi karena beberapa alasan, diantaranya: 1. Arus kendaraan yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan. 2. Adanya perbaikan jalan. 3. Bagian jalan tertentu yang longsor. 4. Terjadi banjir sehingga memperlambat kendaraan. 5. Perilaku pemakai jalan yang tidak taat lalu lintas. 6. Terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran. 7. Kesalahan teknis dari rambu lalu lintas. 2.2. Peranan Sosial Ekonomi Transportasi

2.2.1. Peranan Sosial Transportasi Transportasi juga menyentuh aspek sosial dengan manfaatnya semisal dengan pemukiman yang awalnya kecil, seiring berjalannya waktu, penduduknya menjadi bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk maka membuat kebutuhan akan transportasi juga akan ikut naik, sehingga wilayah menjadi ramai dan berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat dari produktivitas penduduk yang semakin meningkat. 13

Produktivitas penduduk juga meningkatkan daerah pemukiman untuk tempat tinggal mereka. Tempat pemukiman ini sangat erat hubungannya dengan transportasi. Sedikit pengaruh saja, dapat menimbulkan efek yang lebih besar. Seperti halnya perbaikan transportasi yang berpengaruh nyata sehingga penduduk dapat merasakan perubahan perbaikan akses ke suatu wilayah maupun perbaikan dari suatu kegiatan seperti pengangkutan dan pendidikan (Morlok dalam Pangaribuan, 2005). 2.2.2. Peranan Ekonomi Transportasi Ekonomi pada hakikatnya terhubung dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap manusia. Hal ini juga sama halnya dengan peranan transportasi bagi ekonomi. Peranan ekonomi dalam transportasi diantaranya (Morlok dalam Pangaribuan, 2005): 1. Transportasi memperbesar jangkauan akan sumberdaya yang dibutuhkan oleh suatu daerah, sehingga suatu daerah dapat memungkinkan mendapat

sumberdaya yang lebih murah, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada dengan adanya akses oleh transportasi. 2. Pemakaian sumberdaya lebih efisien karena ada pengkhususan dan pembagian kerja yang baik. 3. Adanya transpotasi membuat penyaluran barang-barang kebutuhan tersalur dengan baik dan sampai tujuannya. 2.3. Teori Ekonomi Mengenai Barang Publik dan Eksternalitas Barang publik merupakan suatu jenis barang dimana setiap orang dapat menikmati utilitas yang diberikannya dan orang tersebut tidak dapat dikeluarkan dari komunitas pengguna (non-excludable), dengan kata lain barang publik juga 14

dapat diartikan sebagai barang yang tidak ada seorang pun dapat dikecualikan dalam pemakaiannya. Nilai manfaat perubahan suatu barang publik, termasuk seluruh unsur manfaat yang ada padanya harus ikut dimasukkan, inilah yang disebut sebagai nilai total (total value). Kebanyakan barang publik adalah berupa barang lingkungan seperti halnya jalan raya. Manfaat suatu barang lingkungan dapat dibagi menjadi empat (Widayanto, 2001), yaitu: 1. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) Misalnya hasil tangkapan perikanan atau produksi hutan berupa kayu. Manfaat ini mudah dihitung sebagai manfaat yang diperoleh dari suatu sumberdaya alam dan biaya peluang dari sumberdaya tersebut (opportunity cost). Artinya manfaat dari barang tersebut bisa langsung dirasakan. 2. Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value) Merupakan manfaat fungsional dari proses ekologi yang terus menerus memberikan manfaat dari peranannya dalam lingkungan atau barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut. 3. Nilai Guna Pilihan (Option Value) Potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. 4. Nilai Keberadaan (Existence Value) Nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam. 15

5. Nilai Warisan (Bequest Value) Nilai dari suatu sumberdaya atau suatu ekosistem karena keberadaannya yang dapat dipertahankan untuk diberikan kepada generasi yang akan datang. Nilai warisan dan keberadaan,pertama kali disarankan oleh Krutilla dalam Hanley (1993) dan mungkin muncul dalam diri responden. Keberadaan barang publik yang dapat digunakan secara bebas oleh semua pihak, dimana seringkali aktivitas penggunaannya oleh suatu pihak memberikan dampak kepada aktivitas pihak lain. Keadaan tersebut dinamakan eksternalitas. Eksternalitas secara umum diartikan sebagai dampak yang terjadi oleh pihak yang melakukan suatu kegiatan. Menurut Rosen (1998), eksternalitas terjadi ketika aktivitas seseorang memberikan dampak bagi orang lain di luar mekanisme pasar. Eksternalitas disebabkan karena harga pasar berbeda dengan sosial cost yang terjadi akibat adanya inefisiensi dalam alokasi sumberdaya yang terbagi menjadi empat karakteristik, yaitu: 1. Eksternalitas dapat disebabkan oleh konsumen yang bertindak sama seperti pabrik. 2. Eksternalitas yang menyatakan hubungan timbal balik. 3. Eksternalitas positif. 4. Eksternalitas khusus akibat penggunaan public goods. Mangkoesoebroto (1993) mendefinisikan eksternalitas sebagai keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan yang lain yang tidak melalui mekanisme pasar. Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat dana atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan mereka. Eksternalitas terbagi menjadi dua berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yaitu eksternalitas negatif 15

dan eksternalitas positif. Eksternalitas positif adalah dampak menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif adalah apabila dampaknya bagi orang lain yang tidak menerima kompensasi yang sifatnya merugikan. Eksternalitas dalam suatu aktivitas dapat menimbulkan inefisiensi apabila tindakan yang mempengaruhi pihak lain akibat dilakukannya aktivitas tersebut tidak tercermin dalam sistem harga. 2.4. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan Penilaian terhadap dampak lingkungan akan melibatkan penilaian terhadap analisis biaya dan manfaat terhadap sumberdaya alam. Salah satu tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara menyeluruh. Hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi, 2004) Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Dasar untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak, memerlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio. Pemberian nilai (harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan juga diperlukan untuk kelayakan kebijakan tersebut. Dampak suatu kegiatan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung atau primer merupakan dampak yang timbul sebagai akibat dari tujuan utama kegiatan atau kebijakan, baik berupa biaya maupun manfaat. Dampak tersebut merupakan kerusakan atau degradasi lingkungan yang dapat 16

menyusutkan laju pembangunan ekonomi. Hal ini sangat mudah dimengerti karena kerusakan lingkungan akan menurunkan tingkat produktivitas sumberdaya alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi dalam masyarakat yang pada gilirannya, semua itu harus dipikul dengan biaya yang tinggi (Fauzi, 2004). Alasan penting untuk penilaian lingkungan yaitu berkaitan dengan kebijakan makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada tingkat mikro. Nilai manfaat atau kerusakan yang timbul dari suatu kegiatan pada tingkat makro dapat dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga dapat digunakan untuk menyatakan layak atau tidaknya kegiatan tersebut dari segi ekonomi makro secara keseluruhan. Sedangkan pada tingkat mikro, perhitungan biaya dan manfaat suatu kegiatan sangat menentukan layak tidaknya suatu kegiatan bagi pelaksana ekonomi (pemrakarsa) sebagai investor individual (Suparmoko, 2002). Valuasi ekonomi pada dasarnya secara umum dapat didefinisikan yaitu suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran ini, penilaian individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) dengan biaya untuk menyuplai barang dan jasa tersebut.

17

You might also like