You are on page 1of 12

Trauma Toraks Yang dimaksud dengan trauma toraks adalah trauma yang terjadi pada toraks yang menimbulkan

kelainan pada organ-organ di dalam toraks. Insiden dari trauma toraks menempati urutan kedua setelah trauma kapitis, yakni 25% pada kecelakaan sepeda motor. Di dalam pembahasan trauma toraks akan dibicarakan dua penyakit utama yang terjadi, yakni trauma toraks dan wet lung (edema paru). Walaupun banyak peneliti menganggap bahwa kedua penyakit ini adalah sama, akan tetapi pada wet lung lebih banyak dihubungkan dengan kegagalan pernapasan atau hilangnya kemampuan bronkus dari saluran pernapasan. Pada trauma toraks akan dibicarakan dua jenis trauma, yakni trauma tumpul dan trauma tajam. Jaringan yang terkena pada trauma toraks adalah jaringan lunak paru, pembuluh darah, atau jaringan keras tulang dan klavikula. Akan tetapi yang terpenting disini adalah ada atau tidaknya hemotoraks dan renjatan (shock( yang terjadi, disamping kontusio jantung dan pembuluh darah, paru, bronkus dan organ-organ tubuh lainnya. Pada wet lung yang dominant adalah berkurangnya efek batuk yang mungkin disebabkan karena adanya bronkospasme, viskositas sputum yang meninggi, atau karena disebabkan oleh karena efek batuk yang berkurang yang ditandai dengan paru yang luas dimana dapat berakhir menjadi ARDS. Pada pembahasan selanjutnya, kedua penyakit ini akan dibicarakan secara terpisah, yakni pada trauma toraks yang diarahkan pada tindakan bedah, sedangkan pada wet lung akan lebih mengarah pada penggunaan respirator.

Trauma Jalan Napas Pendahuluan Angka dari insiden trauma paru semakin meningkat setelah kecelakaan lalu lintas menempatkan dirinya sebagai penyebab kematian yang tertinggi. Akan tetapi trauma toraks telah dikenal jauh sebelumnya, karena sasaran senjata dalam perang banyak ditujukan pada rongga dada. Trauma toraks banyak dipelajari dalam situasi perang, terutama pada perang dunia II atau perang Vietnam. Oleh karena perkembangan peralatan yang mutakhir maka perang Vietnam banyak memberikan pelajaran terumtama apa yang disebut dengan Weng Lung Stndrome (sindroma edema paru). Dalam mengevaluasi dan mengatasi suatu trauma toraks harus dipertimbangkan 4 faktor, yakni : Resusitasi dan jalan napas Faal pernapasan Fungsi kardiovaskuler Penanganan penyebab trauma Dua puluh lima persen (25%) dari kecelakaan sepeda motor menyebabkan trauma toraks. Hal ini banyak dihubungkan dengan gangguan jalan napas, pernapasan dan kardiovaskuler. Pada kecelakaan lalu lintas trauma toraks adalah keadaan yang paling sering terjadi setelah trauma kapitis. Angka ini menajdi lebih tinggi oleh karena meningkatnya kecelakaan lalu lintas di kota-kota besar. Akibat yang terjadi pada suatu trauma toraks didasarkan atas factor-faktor sebagai berikut : Jenis trauma, yakni : - Trauma tumpul - Trauma tajam Jaringan yang terkena trauma, yakni : - Jaringan lunak, misalnya jantung, paru dan pembuluh darah besar - Jaringan tulang, misalnya iga, klavikula dan sternum Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada trauma toraks adalah : Hemotoraks dan tamponade jantung. Kedua bentuk ini dapat mengancam jiwa pasien, oleh karena itu diperlukan tindakan aspirasi yang segera. Renjatan (shock) akibat pendarahan : Oleh karena pada rongga toraks terdapat pembuluh darah besar maka prognosis dari trauma toraks ditentukan oleh tiga hal, yakni : - Tipe pembuluh darah yang rupture, misalnya bila terjadi pada aorta, maka prognosisnya akan buruk - Kecepatan transfusi yang diberikan - Cepatnya tindakan torakotomi yang dilakukan

Trauma Tumpul Trauma toraks sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena terbenturnya rongga dada pada stir mobil. Komplikasi yang terjadi dapat berupa hemotoraks, fraktur iga atau klavikula, pneumotoraks dan ruptur bronkus atau diafragma. Secara garis besar kemungkinan yang terjadi adalah sebagai berikut : Fraktur iga Dapat terjadi pada satu tulang iga atau beberapa tulang iga dan dapat pula terjadi di kedua sisi dada. Dua bentuk komplikasi yang sering terjadi pada fraktur iga adalah : Ancaman pada faal paru Hal ini terjadi oleh karena pasien mengalami kesulitan untuk bernapas dalam. Kecemasan pada pasien sering memperhebat keadaan ini. Oleh karena pernapasan pasien dangkal maka pertukaran udara hanya terjadi pada dead space saja, sehingga pada keadaan ini pasien dapat jatuh ke dalam kegagalan pernapasan. Pneumotoraks Hal ini disebabkan oleh karena ujung iga menembus paru, komplikasi yang terjadi pada pneumotoraks menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti pada trauma tajam. Oleh karena itu hal ini akan dibicarakan sebagai komplikasi trauma tajam. Kontuiso jantung Oleh karena jantung terletak di mediastinum bagian belakang maka keadaan ini jarang terjadi. Kontusio jantung dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni : Kontusio ringan, yakni tidak terjadi kelainan faal jantung yang berarti, akan tetapi dapat terjadi perubahan pada elektrokardiografi. Kontusio berat, yakni dapat terjadi rupture dari ventrikel yang berakibat fatal. Kontusio paru Kontusio paru merupakan hal yang sering terjadi pada trauma tumpul. Tingkat berat ringannya kontusio paru tergantung kepada : Besarnya trauma Luasnya trauma Rupture bronkus Dasar terjadi rupture bronkus dapat dibagi menjadi dua, yakni : Terjadinya respiratory distress yang berat Teradapatnya emfisema subkutan yang masif Diagnosis ditegakkan atas dasar bronkoskopi dan prognosisnya ditentukan oleh besarnya rupture yang terjadi. Trauma Tajam Komplikasi yang terjadi dapat berupa : Hemotoraks Rupture aorta

Tamponade jantung (Caridiac tamponade) Rupture diafragma

Gangguan Jalan Napas Factor yang terpenting yang menyebabkan terganggunya jalan pernapasan adalah disebabkan oleh karena pendarahan yang terjadi pada jalan napas, terutama pada orofaring dan nasofaring yang diikuti dengan aspirasi. Sebab yang lainnya adalah oleh karena terdapatnya trauma pada kolumna vertebralis. Keadaan ini dapat diatasai dengan intubasi oral atau trakeostomi. Gangguan Ventilasi Ada beberapa sebab, antara lain trauma diafragma atau trauma pada toraks sendiri, yang menyebabkan terjadinya penekanan pada fungsi ventilasi. Apabila pada keadaan ini terjadi ancaman kegagalan pernapasan, maka diperlukan suatu ventilator. Gangguan Fungsi Kardiovaskuler Gangguan dari fungsi kardiovaskuler dapat disebabkan oleh karena kehilangan darah yang banyak. Darah yang hilang ini masih dapat ditoleransi oleh tubuh sampai dengan 20%. Oleh karena itu diperlukan penggantian volume cairan yang hilang, yakni dengan pemberian cairan infuse pada tahap permulaan yang kemudian dilanjutkan dengan transfuse atau untuk sementara waktu diperlukan posisi Trendelenburg. Gangguan dari fungsi kardiovaskuler dapat menyebabkan terjadinya renjatan (shock), namun yang lebih penting adalah dapat terjadi desakan mekanis pada alat-alat mediastinum yang disebabkan oleh karena hemotoraks. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk pemasangan WSD. Keadaan hemotoraks ini kadang-kadang dapat menimbulkan kompresi pada jantung, selain dapat pula menyebabkan tamponade jantung oleh karena kontusio miokardium. Kontusio miokardium dan tamponade jantung merupakan salah satu penyebab kematian, walaupun pendarahan yang terjadi adalah kecil. Pada keadaan ini terjadi penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, peningkatan tekanan vena jugularis, takikardia dan pulsus paradoxus. Terdapatnya tamponade jantung ditandai dengan adanya water bottle silhouette (siluet botol air) dan untuk mengatasi keadaan ini perlu dilakukan pungsi pericardium. Trauma pada pembuluh darah vena dapat menyebabkan terjadinya laserasi pembuluh darah, terutama pada trauma akibat tusukan atau tembakan. Walaupun trauma pada pembuluh darah vena tidak separah pembuluh darah aorta, akan tetapi trauma pada pembuluh darah vena dapat menyebabkan hemoptisis yang masif. Masalah yang ditimbulkan akibat laserasi pada vena adalah berkumpulnya darah pada saluran pernapasan yang menyebabkan gangguan obstruksi pada paru, sehingga terjadi perburukan paru-paru. Bila trauma tersebut mengakibatkan perburukan faal paru hanya pada satu sisi saja (hemitoraks), maka perlu dipertimbangkan pemasangan pipa endotrakeal dengan tujuan untuk mengamankan faal paru yang sehat dan menghindari masuknya darah dari paru yang sakit ke paru yang sehat.

Trauma pada Parenkim Paru Ada dua macam trauma yang mungkin terjadi pada parenkim paru. Yang pertama adalah trauma tajam, dimana yang terkena terutama adalah pembuluh darah dan yang kedua adalah trauma tumpul yang dapat meliputi sebagian besar dari lapangan paru, dimana dapat menimbulkan ARDS. Walaupun demikian batas antara trauma tumpul dan trauma tajam terhadap pengaruhnya pada pembuluh darah paru tidaklah jelas. Rupture Esofagus atau Diafragma Trauma toraks dapat menimbulkan rupture pada esophagus, sehingga dapat terjadi aspirasi bahan makanan ke mediastinum dan menimbulkan mediasnitis. Disamping itu udara dari rongga mulut juga dapat masuk ke mediastinum, sehingga dapat menimbulkan emfisema mediastinum. Terdapatnya trauma pada diafragma tidak menimbulkan gejala-gejala yang berat, kecuali bila terjadi invaginasi dari alat-alat visceral ke rongga toraks yang dapat menimbulkan keluhan restriktif. Terdapatnya trauma pada diafragma mudah dikenal karena pada foto toraks didapatkan diafragma dalam posisi asimetris. Sindroma Tumpul Yang dimaksud dengan sindroma tumpul adalah berbagai gejala yang terjadi pada toraks yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sindroma ini disebut juga dengan crushed chest injury yang menyebabkan bentuk toraks menjadi datar (flail chest). Berdasarkan letaknya maka sindroma tumpul dapat dibagi atas anterior, posterior dan anterolateral. Secara anatomi dapat terjadi fraktur, baik pada tulang iga (kosta) maupun pada tulang rawan iga (costochondral). Trauma tumpul pada anterior jauh lebih berbahaya bila disbanding yang lain, oleh karena pada bagian anterior terdapat organ mediastinum. Secara patofisiologi sindroma dada datar (flail chest syndrome) dapat menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi dan dapat memperberat kerja pernapasan oleh karena bertambahnya sekresi intrabronkial dan gejala ini disebut juga dengan wet lung (edema paru). Kegagalan pernapasan dapat terjadi akibat gangguan obstruktif akibat sumbatan mucus, disamping terjadinya atelektasis. Keadaan ini dapat diatasi dengan suction (penghisapan), lavase bronkus dan penggunaan PEEP. Terapi Setiap pasien yang mengalami trauma toraks harus dinilai fungsi sirkulasinya. Oleh karena tingkatan kagawatan ditentukan oleh pendarahan yang terjadi dan kematian disebabkan oleh karena renjatan pendarahan (hemoeehagic shock), maka diperlukan tranfusi dan infuse yang cepat melalui vena femoralis. Dilakukan pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan rongga toraks, apakah terdapat luka, kontusio, deformitas, fraktur klavikula, sternum, iga dan perubahan mediastinum.

Bila keadaan telah memungkinkan, maka dilakuakn foto toraks dalam posisi setengah berdiri. Dari hasil foto ini dapat dinilai apakah terdapat hemotoraks, pneumotoraks, fraktur iga, kelainan sternum dan perubahan mediastinum. Lakukan foto ulangan dan nilai : Progresifitas dari proses yang terjadi Menilai setiap tindakan yang dilakuakn, misalnya pemasangan WSD, intubasi, trakeostomi atau angiografi. Bila pendarahan yang terjadi tetap tidak dapat diatasi, maka dilakukan tindakan torakotomi. Tindakan ini dilakukan atas indikasi terhisapnya berikut Bila terjadi hemotoraks, maka dapat mengancam jiwa pasien Bila terjadi luka penetrasi, maka dapat menyebabkan terhisapnya udara luar Setiap benda asing yang tertahan di dalam rongga toraks Luka tembak atau tikam yang terjadi dibawah ICS V depan kiri pada midklavikula (MCL) atauICS VII pada bagian kiri belakang. Pada prinsipnya semua trauma yang mengenai mediastinum dan jantung harus dilakukan tindakan eksplorasi torakotomi. Bila terdapat pneumotoraks, maka nilai apakah pneumotoraks tersebut bersifat tension atau tidak, apabila terdapat tension pneumotoraks, maka segera dilakukan aspirasi dengan memasukkan kanula pada ICS II midklavikula, kemudioan dilanjutkan dengan pemasangan WSD. Bila terdapat fraktur iga, maka nila apakah disertai dengan hemotoraks atau tidak, apabila disertai hemotoraks maka dapat dilakukan drainase. Bila timbul rasa nyeri dapat diberikan analgetik sehingga pasien dapat bernapas lebih dalam. Bila terdapat kontusio paru pertimbangkan kemungkinan terjadinya kegagalan pernapasan. Akan tetapi kegagalan pernapasan hanya terjadi pada trauma yang keras dan yang mengenai permukaan paru yang luas saja dan pengobatan yang diberikan sama seperti pada kegagalan pernapasan (respiratory failure). Bila terdapat kontusio jantung, maka nilai apakah menyebabkan terjadinya gangguan hemodinamik atau tidak. Bila terjadi lakukan torakotomi. Bila terjadi tamponade jantung, maka lakukan tindakan perikardioktomi. Bila terjadi rupture aorta, maka diagnosis tidak dapat ditegakkan dari adanya pelebaran mediastinum, akan tetapi segera lakukan aortografi dan kemudian selanjutnya dilakukan tindakan torakotomi. Bila terdapat rupture diafragma, maka lakukan eksplorasi abdomen dan selanjutnya diafragma dijahit kembali. Bila terdapat rupture trakea, maka lakukan pemasangan intubasi yang cukup panjang dan selanjutnya dilakukan eksplorasi dan trakes dijahit kembali. Pneumomediastinum ditandai dengan adanya emfisema yang hebat, dimana pada pemeriksaan radiology tampak bayangan radiolucent. Bila terjadi keadaan yang demikian, maka dilakukan pengeluaran udara denagn cara insisi yang multiple. Bila terdapat sindroma dada tumpul (flail chest) atau yang disebut dengan wet lung (edema paru), maka terapi yang diberikan akan diarahkan pada

manipulasi endobronkial, yakni berupa lavase bronkus dan kemungkinan dilakukan pemasangan PEEP.

Bacaan Anjuran Ammons, M. A., and Johson, M. R. Pleural Effusion Following Trauma, in Schwaz, M. I. (ed), Pulmonary Grand Rounds, B. C. Decker Inc, Toronto, 1990, 252-259. Harrison, R. A., Chest Trauma, in Kacmarek, R. M., and Stoller, J. K. (ed), Current Respiratory Care, B. C. Decker Inc, Toronto, 1988, 310-315. Morits and Helberg. Trauma and Disease, Central Bokk Co, Inc, New York, 1959 Peters, R. M., Chest Trauma, In Shibel, E. M., and Moser, K. M. (ed), Respiratory Emergencies, The C. V. Mosby Company, 1977, 139-151. Rab, Tabrani. Prinsip Gawat Paru (The Principle of Respiratory Emergencies) , EGC, Penerbit Buku Kedokteran, 1682, 87-89.

Syndroma Wet Lung Pendahuluan Wet lung (edema paru) sukar dikualifikasikan ke dalam kelompok penyakit paru karena memiliki patofisiologi yang berbeda, namun demikian wet lung juga dapat menimbulkan kegagalan pernapasan (respiratory failure). Yang dimaksud wet lung adalah suatu trauma yang terjadi pada toraks, baik trauma tajam maupun tumpul, yang menyebabkan terjadinya kegagalan pada bronkus untuk mengeluarkan mucus. Selain itu wet lung dapat pula disebabkan oleh karena transfusi yang massif atau infus dengan berbagai cairan yang berlebihan pada keadaan shock (renjatan). Saluran bronkus yang seharusnya mengeluarkan sekresi ternyata tidak dapat mengkompensasi pengeluaran secret, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya refleks batuk, selain dapat pula terjadi dimana refleks batuk cukup baik akan tetapi viskositas sputum terlalu tinggi. Dari kedua hal ini dapat dilihat bahwa terjadinya wet lung ditentukan oleh tiga factor, yakni : Berkurangnya refleks batuk untuk mengeluarkan sekresi pada bronkus. Bila cairan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan cairan yang dibentuk oleh bronkus. Viskositas sputum yang meningkat. Wet lung adalah penyakit yang banyak terjadi dan diselidiki pada masa perang. Istilah pertama yang dikemukakan pada tahun 1945 adalah traumatic wet lung, yakni pada masa perang dunis II. Penyelidikan selanjutnya dalam perang Vietnam dilakukan oleh Watanabe pada tahun 1972. Fleming (1972) menyelidiki patofisiologi dan terapi dari wet lung. Patogenesis Patogenesis terjadinya wet lungdisebabkan oleh tiga factor, yakni : Bronkospasme. Penumpukan cairan dalam alveolus. Refleks batuk yang berkurang. Perubahan patogenesis yang terjadi adalah sebagai berikut : Kerusakan paru yang luas. Vasokonstriksi yang luas pada pembuluh darah paru. Vasokonstriksi pembuluh darah bronkus, rusaknya endotel kapiler, rusaknya surfaktan dan meningginya permeabilitas kapiler. Tromboemboli dan pembekuan intravaskuler. Meningginya ACTH, aldosteron, angiotensin dan katekolamin. Ketidakseimbangan ventilasi perkusi Sedangkan perubahan patologi yang terjadi adalah sebagai berikut : Pendarahan intrapulmonal (intrapulmonary hemorrhage). Edema interstisial dan intra-alveolaris.

Etiologi

Bendungan vascular (vascular congestion). Atelektasis. Pendarahan alveolus (alveolar hemorrhage). Bronkopneumonitis. Membrana hialin (hyaline membrane).

Lima penyebab utama terjadinya wet lung adalah : Trauma, baik trauma tumpul maupun tajam. Pemberian cairan infus yang berlebihan. Sepsis. Renjatan (shock). Penggunaan ventilator yang lama (iatrogenik). Patofisiologi Secara patofisiologi yang dimaksud dengan wet lung adalah cairan yang menetap (persistent) di dalam bronkus alveoli yang gagal dikeluarkan oleh paru-paru. Oleh karena itu yang memegang peranan penting dalam terjadinya wet lung sebagaimana dinyatakan di atas adalah : Refleks batuk yang ekstensif belum tentu merupakan batuk yang produktif. Akan tetapi refleks batuk yang lemah pasti bukan merupakan batuk yang produktif. Oleh karena itu efisiensi dari batuk dinilai pada produktifitas dari batuk yang ekstensif. Pada wet lung batuk dapat juga bersifat ekstensif akan tetapi hampir tidak produktif. Hal ini dapat diperberat lagi oleh etiologinya, misal trauma toraks, yang menyebabkan rasa nyeri pada dada sehingga membatasi pasien untuk batuk. Pembentukan cairan intra-alveolaris dan intrabonkial. Prinsipnya adalah sama seperti pada edema paru, dimana factor-faktor yang menimbulkannya adalah permeabilitas dari membrana kapiler, tekanan osmotic intravaskuler, tekanan hidrostatik kapiler, dan hidrostatik jaringan yang berubah oleh karena trauma maupun oleh karena pengaruh toksin dan histamin like drugs. Pada wet lung yang disebabkan oleh renjatan, sepsis maupun pemakaian ventilator yang lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas kapiler, sehingga dapat terjadi paru dan cairan edema ini akan masuk ke dalam alveolus dan selanjutnya masuk ke dalam bronkus. Bronkospasme Bronkospasme yang terjadi pada wet lung umumnya bersifat local. Mekanismenya belum diketahui kemungkinan disebabkan oleh karena ekstrak dari jaringan yang rusak akibat trauma. Dapat pula terjadi oleh karena refleks yang menyebabkan terjadinya bronkospasme, sedangkan bronkospasme itu sendiri dapat menghambat terjadinya ekspektoransi. Viskositas dari sputum

Viskositas sputum pada wet lung ternyata tinggi, hal ini disebabkan oleh karena konsistensi sputum kental dan juga bercampur dengan darah. Mikroemboli Banyak ditemukan pada DIC (disseminated intravaskular coagulation) dan keadaan ini ditemukan dalam bentuk sindroma perdarahan paru (pulmonary haemorrhagic syndrome). Selain akibat perdarahan paru, DIC dapat juga disebabkan oleh karena perdarahan di luar paru (extrapulmonary). Gejala yang timbul adalah hemoptisis, dispnea, takipnea, dan pada pemeriksaan radiology ditemukan gambaran infiltrat pada paru.

Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar : Pemeriksaan klinis Telah diketahui penyebab dari wet lung antara lain adalah trauma tajam atau trauma tumpul, renjatan (shock), pemberian cairan infus yang berlebihan atau pemakaian ventilasi mekanik. Demikian gejala batuk yang menetap (persistent) akan tetapi tidak produktif dan terdapat nyeri pada saat batuk. Pada pemeriksaan selalu didapatkan ronki basah atau ronki kering, dispnea, sianosis serta dapat ditemukan gejala-gejala hipoventilasi dengan shunting. Walaupun diberikan FiO2, namun tidak akan meninggikan O2 dalam darah. Pemeriksaan radiology Bayangan radiology dapat bervariasi, yakni dari atelektasis lobular yang tidak sempurna sampai dengan atelektasis yang difus dengan penarikan berbagai organ mediastinum. Gambaran radiology yang bervariasi ini tergantung dari etiologi wet lung, sehingga dapat pula berupa benda asing pada luka akibat ledakan dinamit (blast injury). Gambaran radiology pada wet lung yang disebabkan oleh iatrogenik dapat berupa gambaran infiltrat yang luas pada paru. Bila etiologinya disebabkan oleh karena pemberian cairan yang berlebihan, maka dapat memberikan gambaran seperti edema paru. Pemeriksaan laboratorium Didapatkan berbagai gambaran yang menyerupai kegagalan pernapasan (respiratory failure) yang disertai dengan penurunan pH, PaO2 dan peninggian PaCO2. Pada pemeriksaan patologi anatomi didapatkan gambaran : - difusi mikroatelektasis - edema periarteriol, perikapiler dan interstisial - hyperemia Terapi Terapi yang diberikan tergantung pada : 1. Berat atau ringannya penyakit

Pada penyakit yang ringan dapat dilakuakn aspirasi langsung dari bronkus dan biasanya sering disertai dengan pemberian diuretic dan kortikosteroid, misalnya deksametason dengan dosis yang bervariasi. Dalam keadaan yang demikian dapat diberikan antibiotik sebagai tindakan pencegahan (preventif) atau dapat pula sebagai terapi. Pada DIC dapat diberikan antikoagulan, misalnya heparin. 2. Ada atau tidaknya ARDS

Pada tipe yang disertai dengan ARDS yang paling mengalami defek adalah PaO 2 dibandingkan dengan PaCO2. Pemberian O2 dapat melalui kateter hidung (nasal catheter) atau dapat pula melalui PEEP atau IPPB. Pengobatan yang diberikan sama seperti pada pengobatan ARDS. 3. Faktor-faktor penyebab

Bila penyebabnya adalah trauma tajam atau trauma tumpul yang dapat membahayakan jiwa pasien maka dilakukan ekspirasi torakotomi untuk mengetahui dan mengatasi kerusakan pada dinding toraks, mediastinum atau kontusio paru. Bacaan Anjuran Brewer, L. A., Burbank, B., Samson, P. C., and Schiff, C. A. The Wet Lung in War Casualities, Ann of Surgery, 1946, 123-343. Irwin, B. R., and Spencer, F. C., The Wet Lung, Diagnostic Consideration, Ann of Surgery, 1972, 175. Merritt, T. A., Werthammer, and Gluck, L. Neonatal Pulmonary Emergencies, in Shibel, E. M., and Moser, K. M. (ed), Respiratory Emergencies, The C. V. Mosby Company, 1977, 108-110. Rab, Tabrani. The Principle of Respiratory Emergency, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, 1982, 108-110. Thomas, B. H., and Burbank, B. Traumatic Wet Lung, The J of Thor, Surgery, 1945.

You might also like