You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu misi utama agama Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak al Karimah yang diajarkan dalam Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh sebahagiaan sejati (al-saadah al-haqiqjyah), hendaknya menjadikan akhlak sebagai landasanya dalam bertindak dan berprilaku. Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan pembinaan akhlak adalah orang yang tidak memiliki arti dan tujuan hidup. Pembinaan akhlak sangat terkait kepada dua unsur substansial dalam diri manusia yaitu jiwa dan jasmani dengan budi pekerti yang baik, berarti juga mengisi perilaku dan tindakan mulia yang dapat dimanifestasikan oleh jasmani. Atau dengan kata lain, budi pekerti yang terdapat di dalam jiwa turut mempengaruhi keutamaan pribadi seseorang. Oleh karena itu, akhlak harus dijadikan sebagai orientasi hidup di setiap masa dan waktu. Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak dalam kehidupan manusia. Menurut Franz Magnis Suseno, tiga fungsi tersebut adalah: Pertama, ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua, dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer (seperti materialisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, skulerisme dan lain-lain). Ketiga, dapat pula dijadikan sebagai 1

2 benteng dalam menghadapi prilaku menyimpang akibat pengaruh negatif globalisasi.1 Selanjutnya, pada masa sekarang ini, tantangan paling nyata bangsa Indonesia hari ini adalah dalam mengawal moral, baik itu generasi muda maupun generasi tua. Generasi muda Indonesia hari ini sedang menghadapi ujian yang sangat luar biasa. Tidak saja gempuran budaya negatif; film dan sinetron rendahan, dan narkoba, tetapi juga pergaulan bebas. Berdasarkan penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 ditemukan bahwa perilaku seks bebas dikalangan remaja bukanlah sesuatu yang aneh. Artinya, umumnya remaja sudah mengenal itu dan sebagian besar pernah melakukannya. Kementerian Kesehatan 2009 pernah merilis hasil penelitian di empat kota, yakni Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya, yang menunjukkan sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.2 Dalam perjalanan bangsa Indonesia, tidak jarang kita jumpai pejabat publik yang tersandung kasus yang berkaitan dengan etika dan moral, dan tidak jarang pula karena persoalan etika dan moral itu pula mereka dipaksakan menanggalkan jabatan publik mereka, namun ada juga yang tidak mau mundur dari jabatannya karena moralnya memang sudah rusak. Begitulah salah satu akibat yang terjadi pada pejabat publik ketika etika dan moral itu diabaikan.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta : Kanasils, 2007), hal. 15
2

Depkes RI, Riset Kesehatan Dasar, (Jakarta: Depkes RI, 2010), Hal. 89).

3 Sehari-hari kita kita juga menyaksikan, tidak sedikit pejabat atau elite bangsa, yang sangat mencintai jabatan dan harta. Terjadinya kasus-kasus korupsi, suap menyuap, sogok menyogok, mafia, pemalsuan dokumen pemerintah dan lain-lain itu, sebenarnya adalah oleh karena didorong oleh kecintaan mereka terhadap jabatan dan harta kekayaan itu. Bahkan konflik-konflik di antara para elite bangsa yang terjadi selama ini, misalnya dalam kasus bank century, Gayus Tambunan, pemalsuan dokumen, konflik intern partai, dan lain-lain adalah terkait dengan uang. Kasus terbaru yang mencoreng moral bangsa adalah kasus Aceng seorang Bupati Garut yang menikah dengan anak di bawah umur, dan bertahan hanya 3 hari. Hal ini hanya sebagian contoh kecil dari rusaknya moral bangsa ini. Sebenarnya, keberhasilan dan kegagalan suatu negara terletak pada sikap dan prilaku dari seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, penegak hukum dan masyarakat. Apabila moral etika dijunjung oleh bangsa kita maka tatanan kehidupan bangsa tersebut akan mengarah pada kepastian masa depan yang baik, dan apabila sebaliknya maka keterpurukan dan kemungkinan dari termarjinalisasi oleh lingkungan bangsa lain akan terjadi. Bangsa kita terlalu terkonsentrasi dengan teori politik dan teori kehidupan yang berkiblat pada dunia barat dan timur saat membangun masyarakat. Bahkan kecenderungan untuk meninggalkan identitas timur religius lebih kentara. Di era 1950 - 1960 an negara kita berganti-ganti haluan politik seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme dan nasionalis agama (nasakom) pernah dilalui dengan menggunakan pola trycle and error, sehingga mengalami keterlambatan sikap

4 karena sering berganti pola politik yang pada akhirnya kita mengalami keterpurukan dan mendapat label negara terburuk baik di level regional, Asia maupun dunia. Hal ini terjadi diseluruh aspek kehidupan; di dunia politik, ekonomi, sosial, budaya dan sistem penegakan hukum. Selama ini pembangunan nasional meliputi bidang agama, sebagai buktinya secara kuantitatif dan formalitas tempat ibadah kita dan seremoni keagamaan kita tampak ramai. Namun krisis moral terjadi sampai kini, disinilah sebuah tantangan bagi pemerintah dan pemuka agama, formalitas vs realitas. Jalan keluarnya adalah bahwa kini harus mempunyai orientasi berbeda dengan sebelumnya. Kalau masa lalu seluruh bentuk pembangunan, termasuk bidang agama, berorientasi pada monoloyalitas politik, kini tentu harus diubah total. Orientasinya hendaknya untuk memperbaiki moralitas bangsa kita dan untuk memberdayakan masyarakat pemeluknya untuk hidup aman (hasanah) di dunia dan di akhirat kelak. Salah satunya jalan keluar tersebut adalah pembinaan dan pendidikan akhlak yang bertujuan untuk membangun moral bangsa. Pembinaan akhlak dan budi pekerti, bukanlah masalah yang baru muncul saat ini. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukkan diri dalam bidang ini seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ikhwan al-Safa, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Miskawaih, Hasan Al Banna dan lainlain. Dan dari sekian banyak tokoh tersebut, Hasan Al Banna adalah tokoh yang betul-betul berjasa dalam mengembangkan wacana etika islami (akhlak alkarimah). Keberhasilannya tersebut dapat dilihat dari beberapa karyanya yang khas yang berhubungan dengan topik ini.

5 Salah satu pemikiran Hasan al-Banna di bidang pendidikan akhlak adalah dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini Hasan Al-Banna mendirikan sebuah organisasi yang bernama Ikhwan al-Muslimin, organisasi ini bermaksud memberi nilai agama pada pengetahuan umum, dan memberi makna progresif terhadap pengetahuan dan amaliah agama, sehingga sikap keagamaan tersebut tampil lebih aktual. Dalam hubungan ini Ikhwan al-Muslimin berusaha memperbaharui makna iman yang telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang orisinil. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dari bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keterampilan yang positif dan konstruktif. Hasan al-Banna adalah seorang arsitek sebuah perubahan. Bahkan, seolah-olah ia dilahirkan untuk membangun kembali akhlak dan moral umat yang sedang runtuh dan melorot. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Hasan Al-Banna.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah konsep pendidikan akhlak menurut Hasan Al-Banna?

6 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak menurut Hasan Al-Banna.

D. Penjelasan Istilah Untuk menghindari perbedaan penafsiran tentang istilah yang dipakai dalam penelitian ini perlu dijelaskan mengenai pengertiannya. 1. Konsep Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, konsep merupakan rancangan dasar dari sebuah tulisan, baik itu buram, surat dan lain sebagainya.3 2. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat4.

Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Jakarta: Agung Media, 2011), hal. 338. Hasbullah, Dasar Ilmu Pendidikan. (Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada, 2005),

hal. 1

7 3. Akhlak Akhlak. Akhlak, secara etimologi (arti bahasa) berasal dari kata Khalaqa, yang kata asalnya khuluqun, yang berarti: perangai, tabiat, adat atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, dan ciptaan. Jadi secara etimologi Akhlak itu berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat. Akhlak secara Istilah dirtikan sebagai hal-hal berkaitan dengan sikap, perilaku dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, dengan sasarannya, dengan makhluk-makhluk lain dan dengan Tuhannya.5 Jadi akhlak dapat diartikan juga tingkah laku seseorang yang timbul dari hati sanubari seseorang yang tidak memikirkan apakah itu hal baik atau buruk. 4. Hasan Al-Banna Hassan al-Banna yang lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, Mesir (utara-barat dari Kairo). Merupakan seorang guru, dai dan seorang reformis Mesir baik di bidang sosial maupun bidang politik Islam. Hasan AlBanna adalah pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin, yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh dari abad ke-20.6

E. Dasar Pikiran Adapun yang menjadi dasar pikiran dalam pembahasan konsep pendidikan akhlak menurut Hasan Al-Banna ini adalah: Konsep pendidikan Hasan al-Banna adalah konsep pembebasan dari kebodohan, penindasan dan
5

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 2.
6

Muhammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh pada Abad ke-20, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2006), hal. 59.

8 penjajahan dalam aspek ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya, serta konsep pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang relevan sepanjang zaman dan diterima oleh bangsa apapun. Walaupun konsep pendidikan Hasan Al-Banna dianggap memberi perubahan signifikan bagi perubahan pemikiran, sosial, pergerakan pemuda dan sebagainya, namun banyak sekolah yang dikelola Ikhwan Muslimin justru hanya mengadopsi sebagian dan tidak serius untuk menggali konsepnya lebih dalam, namun cenderung fokus kepada pelaksanaan kurikulum setempat dengan orientasi akademis Dalam tataran tertentu, cukup banyak pendapat yang bertanya mengapa Konsep dan Sistem pendidikan Hasan al-Banna tidak cukup mampu menanamkan karakter secara permanen selama masa mendatang. Ada sebagian publik yang menganggap bahwa secara umum konsep pendidikan Islam tidak cukup sukses atau gagal untuk membawa perubahan dalam tataran praktis dengan dijumpainya perilaku tidak terpuji secara massive dan merata baik di kalangan rakyat jelata maupun di kalangan elite pemimpin. Berikutnya pendidikan Islam dianggap gagal memberi manfaat dan solusi serta tindakan yang solutif kepada masyarakat luas. Apakah sebenarnya kita belum mengadopsi secara utuh konsep pendidikan Islam dalam hal ini konsep pendidikan akhlak menurut Hasan al-Banna? Seharusnya ada perubahan yang berarti setelah lebih dari 20 tahun (satu generasi) dimana konsep ini merebak menjadi berbagai sekolah Islam baik formal maupun non formal. Walaupun tentu saja banyak orang Islam atau Ikhwan menolak pendidikan Islam dijadikan kambing hitam atas perilaku dan karakter buruk bangsa yang seragam dalam setiap level seperti korupsi, rakus dan sebagainya.

9 Namun demikianlah realitasnya lalu secara jujur hal ini harus dibahas dan diurai untuk menemukan akar permasalahan sebagai koreksi perbaikan dan inovasi pendidikan Islam di masa mendatang.

You might also like