You are on page 1of 35

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi dikenal dengan educare yang berarti membawa keluar. Bahasa Belanda menyebut istilah pendidikan dengan nama opvaeden yang berarti membesarkan atau mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah educate/education yang berarti to give and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.1 Berdasarkan dari istilah-istilah dalam berbagai bahasa tersebut kemudian dapat disederhanakan sesuai pendapat Fatah Yasin bahwa pendidikan itu merupakan kegiatan yang didalamnya terdapat: a. Proses pemberian pelayanan untuk menuntun perkembangan peserta didik, b. Proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik, c. Proses memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar, baik fisik maupun non-fisiknya, d. Proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku, dan melatih kecerdasan intelektual peserta didik.2

Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan , (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2003), hal. 15
2

Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN-Malang, Press, 2008), hal.

16

10

11 Pendidikan dalam pengertian umum yaitu proses transmisi

pengetahuan dari satu orang kepada orang lainnya atau dari satu generasi ke generasi lainnya, dan berlangsung seumur hidup, selama manusia masih di muka bumi maka pendidikan itu akan terus berlangsung. Menurut Carter Good, pendidikan adalah ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan dan bimbingan murid.3 Pendidikan oleh Carter Good dimaknai oleh Djumramsyah sebagai proses sosial yang dapat mempengaruhi idividu. Pendidikan menentukan cara hidup seseorang, karena terjadinya modifikasi dalam pandangan seseorang disebabkan pula oleh terjadinya pengaruh interaksi antara kecerdasan, perhatian, pengalaman, dan

sebagainya.4 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.5

Tim Dosen FIP-IKIP, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha Offset Printing, 2003), hal. 3.
4

Djuramsyah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hal. 24.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2009), hal. 60.

12 Pengertian lebih operasional dari pendidikan dikemukakan oleh Philip Phenix dalam Abdul Latief, education is process of engedering essensial meaning, bahwa pendidikan adalah proses permunculan makna-makna yang essensial. Enam pola makna yang essensial dapat dimunculkan melalui analisis kemungkinan cara-cara pemahaman manusia yang berbeda-beda, diantaranya: simbolik, empirik, estetik, etik, dan sinoptik.6 Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

2. Tujuan Pendidikan Pengertian pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan tujuan pendidikan adalah seperangkat sasaran kemana pendidikan itu diarahkan sasaran yang dicapai melalui pendidikan memiliki
6

Abdul Latief, Pendidikan Berbasis Kemasyarakatan, (Bandung: Refika Aditama, 2009),

hal. 7.

13 ruang lingkup sama dengan fungsi pendidikan. Wujud tujuan pendidikan dapat berupa pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap.7 Sehingga tujuan pendidikan dapat dimaknakan sebagai suatu sistem nilai yang disepakati kebenaran dan kepentingannya yang dicapai melalui berbagai kegiatan, baik dijalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Output dari pendidikan dapat tercapai secara maksimal jika tujuan dari pendidikan ditentukan dengan tepat dan benar. Oleh karenanya, sebelum menentukan tujuan, sebaiknya kita menentukan dasar / landasannya terlebih dahulu. Adapun yang menjadi landasan pendidikan nasional kita adalah : Landasan filosofis : Pancasila dan UUD 1945 Landasan sosiologis : masyarakat Indonesia Landasan kultural : kebudayaan nasional Landasan psikologis : perkembangan peserta didik Landasan ilmiah dan teknologi : perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.8

Setelah dasar / landasan pendidikan ditetapkan, kita dapat menyusun tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Ada beberapa rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia, namun yang akan kita bahas di sini adalah rumusan yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 serta rumusan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan yang dimaksud disini bukan
7 Rochmad Wahab, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan , (Yogyakarta: CV Aswaja Pressindo, 2011), hal. 87. 8

Ibid, hal. 88.

14 semata-mata kecerdasan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual saja, melainkan kecerdasan meyeluruh yang mengandung makna lebih luas. Sedangkan tujuan pendidikan nasional menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan sebagai berikut : pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.9 Dari rumusan tujuan pendidikan nasional kita dapat menyimpulkan bahwa manusia yang ingin dihasilkan dari sistem pendidikan di Indonesia adalah manusia yang mumpuni, yang mampu menjawab tantangan jaman namun tetap berakar pada nilai-nilai moral yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dalam kegiatan pendidikan, tujuan memiliki kedudukan yang sangat penting. Lebih-lebih bila dibandingkan diantara aneka komponen lain dalam penyelenggaraan pendidikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua komponen yang diadakan, serta seluruh kegiatan pendidikan yang diupayakan semua semata-mata hanyalah tertuju pada pencapaiab tujuan pendidikan. Oleh karenanya, semua hal dan semua kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang dari pencapaian tujuan pendidikan, dianggap sebagai praktik pendidikan yang menyimpang juga.
9

UU Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

15 Pada bagian lain tujuan pendidikan memiliki fungsi yang amat penting pula selain penting dalam kedudukannya. Fungsi pendidikan adalah mengarahkan, memberikan orientasi, dan memberikan pedoman kearah mana pendidikan diselenggarakan sebaik-baiknya. Oleh karena pendidikan

memiliki fungsi yang mat penting tersebut, maka tujuan pendidikan harus dirumuskan secara mantap oleh semua pendidikan disemua jenjang.10 Dengan rumusan tujuan pendidikan yang mantap diharapkan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan tidak akan menyimpang. Tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan berdasarkan pendekatan tertentu, adapun klasifikasi tujuan pendidikan tersebut meliputi: 1. Tujuan-tujuan keterampilan kehidupan, yakni keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yang meliputi aspekaspek kognitif, afektif, dan psikomotor. 2. Tujuan-tujuan metodologis, berkenaan dengan cara-cara berpikir dan bertindak terhadap informasi, dan cara-cara mengetahui disiplin mata ajaran. 3. Tujuan-tujuan isi, yang berkenaan dengan kemampuan siswa yang meliputi konsep, generalisasi, prinsip, yang ada dalam daerah dan struktur mata ajaran tertentu.11 Pengklasifikasian tujuan dari pendidikan tersebut sangat perlu untuk diadakan, hal ini dilakukan supaya dapat diketahui jenis dan jenjang suatu tujuan pendidikan, dan hal ini dapat membantu si perancang/pengembang program pendidikan, agar bisa mencapai tujuan yang maksimal sebagaimana yang diharapkan.

10

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 18. Ibid, hal. 20

11

16 3. Manfaat Pendidikan Pembahasan tentang pengawasan pendidikan harus diawali dengan dua pengamatan dasar, pertama bahwa orang-orang dengan pendidikan yang lebih tinggi berbeda dengan orang yang kurang berpendidikan. Pengamatan kedua adalah perubahan individu yang terjadi setelah mereka mendapatkan yang lebih tinggi. Orang yang akan mendapat beberapa keuntungan atau manfaat pendidikan yang pertama dan yang paling nyata adalah siswa. Setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga setiap karakteristik tersebut harus dapat dipahami agar mereka dapat mencapai manfaat dalam pendidikan. Sebagai tambahan pengaruh orang lain dalam masyarakat dapat mempengaruhi pendidikan siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung (keluarga dan teman-teman atau guru). Manfaat yang akan diperoleh siswa mudah sekali untuk dijelaskan, siswa yang belajar membaca disekolah lebih baik dari pada mereka yang tidak dapat membaca.12 Dalam ekonomi hal ini disebut manfaat pribadi. Para ekonom membedakan manfaat pribadi dengan manfaat sosial. Manfaat sosial adalah sesuatu yang dapat mengembangkan orang selain pendidikan. Masyarakat dikatakan lebih baik karena pendidikan mereka. Karakteristik dan pembawaan umum tertentu dapat dianggap sebagai hasil dari sekolah, termasuk pemahaman tentang nilai demokrasi sebagai upaya untuk memerangi segala bentukkediktatoran dalam suatu pemerintahan dan kemampuan untuk berpikir kritis dan yang pantas. Keahlian tersebut
12

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan.., hal. 25.

17 mungkin menjadi pengaruh tidak langsung dari bidang studi

kewarganegaraan, ilmu sosial, sejarah, filsafat, bahasa, dan pengajaran lain.13 Terdapat lima cara yang berbeda untuk membuat fakulasi

(penghitungan) dan mengaplikasikan metode yang spesifik pada pendidikan yang lebih tinggi. Yang pertama adalah dalam mengevaluasi perubahan individu, segala yang dihabiskan dalam pendidikan (tingkat biaya) adalah ukuran kelebihannya. Kedua yaitu menyelidiki reaksi klien terhadap pendidikan universitas. Ketiga adalah mempertimbangkan peningkatan dalam nilai kapita dari manusia yang merupakan hasil dari pendidikan yang lebih tinggi. Keempat melihat seberapa besar pendidikan yang lebih tinggi bertanggung jawab atau berperan dalam pertumbuahn. Kelima dalam memperkirakan nilai pendidikan suatu instansi pendidikan dengan melihat pada tingkat pengembalian investasi pada pendidikan di suatu instansi pendidikan.14 Manfaat pendidikan dapat diperoleh selama pengalaman dari pendidikan itu sendiri, manfaat pendidikan dapat pula ditanyakan langsung pada siswa setelah mereka melaksanakan pendidikan. Persamaannya seperti manfaat sosial dari mengikuti permainan sepak bola di sekolah, atau pengalaman lainnya selama masa pendidikan.

B. Pendidikan Akhlak

13 Sigit Pramono, Manfaat Pendidikan, diakses dari http://mengertibersama.wordpress.com, pada tanggal 20 Februari 2013. 14

Ibid, tanggal 20 Februari 2013.

18 1. Pengertian Pendidikan Akhlak Akhlak dapat didefinisikan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). 15 Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid afala yufilu ifalan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabiah (kelakukan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kezaliman), al-maruah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).16 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti; tabiat; kelakuan; watak.17 Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab khalaqa akar kata khuluqun (yang bisa diartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama), atau dari kata khalqun (kejadian, buatan, atau ciptaan).18 Sedangkan menurut Imam Abdul Mukmin, kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama dari khuluq yang mengandung beberapa arti, diantaranya adalah: 1. Tabiat, adalah sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan 2. Adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginannya

15

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 1 Ibid, hal. 1 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), HA. Hafizh, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 2007), hal. 73.

16

17

hal. 28.
18

19 3. Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan halhal yang diupayakan hingga menjadi adat. Kata akhlak juga bisa berarti kesopanan dan agama.19 Dengan demikian, secara kebahasaan akhlak bisa baik atau buruk, tergantung pada tata nilai yang dijadikan landasan tolak ukurnya. Di Indonesia, kata akhlak selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering kali disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berbuat baik sering kali disebut orang yang tidak berakhlak. Secara terminologi ada beberapa pengertian akhlak yang dikemukakan olah para ahli ilmu akhlak, antara lain adalah menurut Ahmad Amin yang mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini berarti kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu, maka kebiasaannya disebut akhlak.20 Di dalam ensiklopedia pendidikan, dikatakan bahwa budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.21 Menurut Al-Ghazali, akhlak menurut terminologi adalah :

Imam Abdul Mukmin, Meneladani Akhlak Nabi, Membangun Kepribadian Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 15.
20

19

Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misriyah, tt) hal. 15) Soeganda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 2006), hal. 9

21

20 Artinya: Keadaan sifat atau cara yang tetap (teguh, berakar) dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.22 Berdasarkan kutipan di atas, disimpulkan bahwa akhlak merupakan sifat yang teguh dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran atau pertimbangan. Abdul Karim Zaidan seperti yang dikutip Yunahar Ilyas mengatakan bahwa Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai

perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.23 Sedangkan menurut istilah, para ahli memiliki perbedaan pandangan. Akan tetapi, intinya sama yaitu berkaitan dengan prilaku manusia. Di antara pendapat tersebut antara lain: 1. Menurut al-Ghazali, khuluq adalah istilah sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang (mendarah daging), yang karenanya dapat menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pertimbangan atau pikiran (otomaticly). 2. Menurut Ibn Miskawayh, khuluq adalah keadaan dalam jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan pekerjaan tanpa didahului oleh pemikiran dan pertimbangan.

22

Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III (Beirut, Darul Fikr, 2002), hal. 57 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), cet. 6, hal. 2

23

21 3. Menurut Ahmad Amin dalam Ramly Arif, menjelaskan bahwa sebagian Ulama ahli akhlak mendefinisikan akhlak sebagai kemauan yang dibiasakan (diulang-ulang) sehingga kemudian menjadi watak akhlaknya. 4. Hamzah Yaqub memberikan pengertian sebagai berikut: pertama, akhlak ialah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Kedua, akhlak ialah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaannya.24 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah tertanam pada jiwa seseorang yang menyebabkan prilaku atau perbuatan secara otomatis tanpa dibuat-buat atau sengaja dan tidak memerlukan pemikiran. Adapun macam-macam jenis akhlak menurut Islam ada dua yaitu akhlak terpuji (akhlaq al-mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak almadzmumah). Dalam pembahasan ini, penulis membatasi kajian pada akhlak baik dan buruk terhadap Tuhan dan sesama manusia, dan tidak sampai pembahasan pada akhlak baik dan buruk terhadap makhluk di luar manusia.

2. Tujuan Pendidikan Akhlak Secara spesifik, mengenai tujuan pendidikan akhlak, Muhammad Athiyah al-Abrasi mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk
24

Ibid, hal. 3

22 membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab.25 Namun, pembinaan tercapainya tujuan tersebut sangat tergantung pada

yang intens. Tapi persoalannya terletak pada bisa tidaknya

akhlak itu dibentuk/dibina. Sebagian ahli dengan nada pesimis mengatakan bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah insting ( gharizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan yang sepakat dengan pendapat ini menganggap akhlak adalah faktor bawaan manusia yang berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada kebenaran. Melalui pandangan ini terdapat asumsi dasar bahwa akhlak bisa tumbuh dengan sendirinya dengan tanpa dibentuk atau diusahakan. Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwa akhlak adalah gambaran batin yang membias dalam perbuatan lahir; sedangkan perbuatan lahir ini tidak akan sanggup mengubah perbuatan batin tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh.26 Kelompok yang mendukung pendapat kedua ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam, diantaranya adalah Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lainlain. Pendapat ini didukung oleh pendapat al-Ghazali sendiri yang mengatakan bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan,
25

Muhammad Athiyyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, Terj. Bustami Abdul Ghani, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), 103.
26

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III..., hal. 90.

23 maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan. 27 Pada tataran konsep, pendapat pertama mungkin bisa diterima, tapi pada tataran praktek di lapangan menunjukkan bahwa usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dengan berbagai macam metode terus selalu

dikembangkan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa anak yang tidak dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan, dan pendidikan, hanya akan melahirkan anak yang nakal, meresahkan masyarakat, bersikap amoral dan asusila sebagaimana pernah disinggung pada bagian sebelumnya. Ini semua menunjukkan bahwa pendidikan, pembinaan dan penanaman nilainilai akhlak memang penting untuk dilakukan. Pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat dimana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan dunia modern saat ini. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui media televisi, internet, faximile, dan seterusnya yang dapat melahirkan dua dampak, yaitu kebaikan dan keburukan pula. Film, bukubuku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan dan mengakomodasi berbagai macam kemaksiatan dengan mudah dapat ditemukan. Demikian pula dengan obat-obatan terlarang, minuman keras, dan pola hidup materialistik dan hedonistik semakin tak terelakkan. Semua itu jelas membutuhkan pembinaan akhlak. Jadi untuk membina agar anak mempunyai sifat-sifat terpuji, tidaklah mungkin hanya dengan menunggu timbulnya kesadaran dalam dirinya, akan tetapi perlu dilakukan pembiasaan dan latihan berbuat yang baik dan
27

Ibid, 54

24 mengedepankan sifat terpuji, sehingga nantinya muncul kebiasaan untuk selalu berbuat baik dan bersifat yang terpuji dan meninggalkan sifat-sifat tercela. Kebiasaan itulah yang membuat ia cenderung kepada melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Pembinaan moral, sikap dan kepribadian pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Semua pengalaman yang dilalui anak sewaktu kecilnya, akan menjadi unsur penting dalam dirinya. Jadi, latihanlatihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti berdoa, membaca alQuran, shalat berjamaah di sekolah, masjid atau langgar harus terus dibiasakan sejak kecil sehingga akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut pada saat mereka sudah dewasa. Terlebih lagi, pembinaan dengan latihan dan pembiasaan dalam hal keagamaan yang menyangkut akhlak dan ibadah serta hubungan dengan sesama manusia jauh lebih penting daripada hanya sekedar kata-kata. Kedua perbedaan pandangan di atas memiliki keterkaitan erat dengan tiga aliran dalam pendidikan yang sangat popular dengan istilah nativisme, empirisisme, dan aliran konvergensi. Aliran ketiga ini akan mengarah pada suatu kebenaran teori dengan menjabarkan makna konsep yang diberikan alQuran dalam ayat An-Nahl ayat 16, berikut ini:

25 Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.28 Dari ayat itu tampak bahwa pada diri manusia terdapat potensi fisik berupa penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari yang menjadi alat dan media baginya untuk bisa mendapatkan pendidikan, sehingga dengan begitu dirinya bisa terlepas dari kondisi ketidak tahuannya terhadap sesuatu itu. Sedangkan pemanfaatan secara baik terhadap ketiga potensi itu menjadi salah satu indikasi bagi wujud syukur manusia. Gambaran nyatanya dapat dilihat melalui pendidikan yang dilakukan Luqman al-Hakim terhadap anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surta Luqman, ayat 13-14:

Artinya:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya. `hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepadakulah kembalimu29

Ayat ini selain menggambarkan tentang pelaksanaan pendidikan, juga menjelaskan tentang materi utama yang perlu ditanamkan, yaitu pendidikan
28

Depag, Al-quran Terjemahan, (Jakarta: Departemen Agama, 2005), hal. 78. Ibid, hal. 13-14

29

26 tauhid atau keimanan, karena antara keimanan dan akhlak merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kesesuaian teori konvergensi di atas, juga sejalan dengan Hadis Nabi yang berbunyi: Setiap anak dilahirkan dengan membawa fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi (HR. Bukhari). Berangkat dari ayat dan Hadits di atas semakin memperkuat terhadap teori ketiga bahwa memang semestinya potensi diri manusia yang bersifat non-fisik itu perlu dan harus dimunculkan, dibina dan dikembangkan melalui pendidikan. Dan jelas sekali bahwa pelaksana utama pendidikan adalah keluarga (kedua orang tua) sebagai lingkungan pendidikan pertama. Jadi, jelaslah bahwa faktor yang paling dominan dalam pembentukan akhlak anak didik adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi potensi fisik, intelektual dan hal-hal yang sifatnya rohaniah yang dibawa anak sejak lahir, sementara faktor eksternal dalam hal ini adalah keluarga (kedua orang tua), sekolah (guru dan seluruh perangkat pendidikan di dalamnya), lingkungan masyarakat, dan pengalaman hidup yang dialaminya. Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membina manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, agar mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah maupun sebagai hamba Allah.

27 Aplikasi pendidikan akhlak itu sendiri sebagaimana pendapat Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu sebagai upaya penanaman adab ke dalam diri manusia.30 Hal ini menggambarkan bahwa potensi akhlak berada pada realitas tertinggi dan merupakan titik sentral dalam kehidupan manusia. Menyadari hal itu, maka menurut Ibn Miskawih, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk melahirkan sikap batin yang tampak dalam perbuatan fisik yang bernilai baik, sehingga dicapai suatu kebahagiaan sejati. Berangkat dari pemikiran tersebut, Suwito mencoba menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya manusia yang berperilaku ketuhanan, yaitu perilaku yang muncul dari akal ketuhanan yang ada dalam diri manusia secara spontan.31 Dari semua rumusan tujuan pendidikan akhlak yang telah

digambarkan, pada hakekatnya dapat dicapai dengan cara membangun motivasi pribadi dan orang lain untuk mencontoh akhlak Rasulullah sebagai figur teladan bagi manusia. Dengan kata lain, pendidikan akhlak harus mewujudkan: pertama, seseorang yang terbiasa melakukan hal yang baik, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. Kedua, terpeliharanya interaksi manusia dengan Allah swt., dengan sesama manusia dan makhluk lainnya secara baik dan harmonis. Dengan demikian, akhlak mulia Rasulullah yang telah mendapat pujian khusus dari Allah akan juga tercermin dalam setiap sikap dan perilaku tiap-tiap pribadi.
Wan Mohd Wan Daud, Filsafat Islam dan Praktek Pendidikan Islam, (Mizan: Bandung, 2003), 77-79 Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawih, (Disertasi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005), 157.
31 30

28

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Berbicara soal ruang lingkup pendidikan akhlak, secara tidak langsung menyangkut ruang lingkup akhlak Islam yang pada intinya membicarakan masalah perilaku dan perbuatan manusia. perbuatan dan perilaku yang diperbuat manusia itu secara otomatis akan memunculkan penilaian, baik yang datang dari dirinya sendiri lebih-lebih dari orang lain. Penilaian tersebut bisa berupa pujian atau juga celaan, yang sangat erat kaitannya dengan kualitas perbuatan manusia itu sendiri yang selalu cenderung pada salah satu dua hal, yaitu baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan sebagainya. Didorong oleh adanya penilaian tersebut, maka timbul dalam dirinya sesuatu yang berhubungan dengan bagaimana seharusnya mengontrol perilaku agar dikatakan baik serta bagaimana seharusnya berbuat agar tidak dikatakan jelek.32 Perbuatan manusia dalam bentuknya yang nyata beragkat dari posisi dirinya yang memiliki potensi insaniyah sekaligus potensi ilahiyah. Potensi pertama mengarah pada kecenderungan untuk bersosial, sedang potensi kedua cenderung pada hal yang bersifat transendental. Implikasi adalah terhadap terbinanya suatu hubungan, baik secara vertikal (dengan Allah) dan secara horizontal (dengan sesama manusia/makhluk)33. Dari dua macam hubungan manusia itu, dalam Islam dibina suatu hubungan yang mengarah pada suatu

32 33

Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 2008), hal. 12. Ibid, hal. 12

29 model hubungan yang luhur sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah yang pada hakekatnya mencerminkan keluhuran akhlak Islam. Perwujudan akhlak dalam dua hubungan di atas bisa dilakukan dan diwujudkan dengan baik dengan cara menegakkan pilar-pilar utama dalam Islam, yaitu: 1. Iman Iman merupakan dasar yang utama dalam Islam. Ia adalah pengakuan yang didasarkan atas keyakinan yang kokoh terhadap keesaan Allah dan diutusnya Rasulullah sebagai penyampai risalah. Apabila kedua hal itu diterima, maka layaklah seseorang itu disebut sebagai Mukmin. Persoalannya adalah iman yang bagaimanakah yang dapat membina kehidupan Islam yang sempurna dan kokoh?. Kehidupan Islam yang sempuma hanya dapat dibina apabila iman itu benar-benar baik dan mantap. Karena, kadangkala seseorang mencampuradukan antara ketaatan kepada Allah dengan ketaatan kepada thaghut, dan membuat kabur antara ke-jahiliyah-an dengan Islam sehingga membentuk satu acuan yang dapat menyesatkan. Karena itu, pada intinya kehidupan Islam itu tidak akan sempuma tanpa sokongan ikrar tauhid yang shumul tersebut. 2. Islam Islam merupakan binaan kedua akhlak Islam. Hubungannya dengan keimanan adalah umpama benih dengan inti benih yang tentunya sangat erat sekali. Dalam al-Quran dijelaskan betapa dekatnya hubungan

30 antara iman (kepercayaan) dan Islam (amal). Bahkan, ganjaran dari Allah hanya dijanjikan untuk hambaNya yang benar-benar beriman dan melakukan amalan soleh. Selagi ketundukan seseorang itu masih tidak sempurna dan usahanya hanya bertumpu kepada yang bukan fi-Sabilillah, maka ada indikasi bahwa imannya masih lemah dan agak mustahil untuk membina taqwa dan ihsan. 3. Taqwa Taqwa adalah perasaan yang lahir dari rasa takut dan tunduk kepada Allah yang tercermin dalam setiap perilaku manusia. Dia menyadari bahwa kehidupan di dunia adalah ujian baginya. Apabila hidupnya didasarkan pada perasaan-perasaan ini, maka nilai

keagamaannya akan semakin dalam, hatinya akan sentiasa tersentak setiap kali melanggar Allah, dan yang lebih utama dia akan sentiasa mawas diri dari segala perbuatan yang bisa mendatangkan kebencian Allah. Tidak sekadar itu, orang yang bertaqwa juga akan sentiasa bersikap waspada dari segala perkara yang shubha>t apa lagi yang nyatanyata haram. Dia akan sentiasa mendorong dirinya supaya melaksanakan segala kewajiban terhadap Allah dengan penuh kerelaan. Malah jiwanya selalu dibayangi rasa takut yang amat sangat kepada Allah sehingga membuat kakinya seolah-olah gementar kerana takut kalau-kalau menyalahi batasan shara. 4. Ihsan34
Abul Ala Al-Maududi, Asas-Asas Akhlak Bagi Harakah Islamiyah, dalam www.dakwah.info, hal. 7-10.
34

31 Ihsan merupakan tingkatan tertinggi dalam Islam. Ia adalah suatu keadaan yang menjadikan seseorang itu menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam. Hatinya sentiasa berhubungan dengan Allah dan cintanya sangat mendalam kepada Allah dan Rasulnya. Jiwanya diliputi kejujuran dan keikhlasan. Jika taqwa lahir dari perasaan takut kepada Allah yang selanjutnyanya menjadi pendorong kepada manusia untuk sentiasa menjauhi murkaNya, maka ih}san lahir dari rasa cinta kepada-Nya sehingga mampu mendorongnya untuk senantiasa memburu Rid}aNya. Empat pilar utama ahklaq Islam ini merupakan langkah utama untuk mewujudkan perilaku-perilaku akhlak. Darinya akan lahir perilaku sempurna sebagaimana perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, benar apa yang disampaikan Allah dalam sebuah Hadis qudsi riwayat Abu al-Shaikh dari Ibn Umar, yaitu: Ana Allah Khalaqtu al-Ibad biIlmy faman aradtu bihi khayran manah}tuhu khuluqan hasanan wa man aradtu bihi suan manahtuhu khuluqan sayyian (akulah Allah, telah kuciptakan manusia dengan ilmuku. Barang siapa yang aku kehendaki kebaikan, kubekali dia dengan akhlak yang mulia; dan barang siapa yang aku kehendaki keburukan, kubekali dia dengan akhlak yang buruk). Melihat kembali pada persoalan perilaku/perbuatan manusia, terdapat beberapa hal yang menjadi kunci bahwa perbuatan manusia itu dikategorikan sebagai perbuatan akhlak, yaitu:

32 1. Perbuatan yang timbul dari seseorang yang dilakukannya dengan sengaja, dan penuh kesadaran pada saat dia melakukannya. Inilah yang dikenal dengan perbuatan yang dikehendaki dan yang disadari; 2. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari seseorang yang tidak dengan kehendak dan kesadaran di waktu dia berbuat, tapi dapat diupayakan untuk berbuat atau tidak di waktu dia sadar. Inilah yang disebut dengan perbuatan samar yang ikhtiari.35 Dalam menempatkan suatu perbuatan bahwa ia timbul atas dasar kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi: 1. Situasi yang memungkinkan adanya pilihan (bukan karena adanya paksaan), dan adanya kemauan bebas sehingga tindakan itu dilakukan dengan sengaja. 2. Mengerti tentang nilai baik-buruknya perbuatan yang dilakukan. Di sinilah pentingnya Ilmu akhlak sebagai kerangka konsep yang membidanginya. Karena, secara teoritis ilmu akhlak dapat disebut sebagai ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia hubungannya dengan nilai baik buruknya perbuatan tersebut Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, terpuji atau tercela apabila sudah memenuhi kedua syarat di atas. Jadi, dapat dikatakan bahwa kesengajaan dalam berbuat merupakan dasar penilaian terhadap nilai perbuatan tersebut. Dalam Islampun, faktor kesengajaan merupakan penentu dalam menetapkan nilai tingkah laku atau tindakan
35

Rahmat Djatmika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka, 2007), hal. 44.

33 seseorang, sehingga seseorang bisa saja dianggap tidak berdosa karena telah melanggar syariat jika itu atas dasar ketidak sengajaan yang berangkat dari ketidaktahuan dirinya bahwa hal itu suatu pelanggaran. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 17:

Artinya:

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.36

C. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Al-Quran Mengenai hal yang menjadi dasar dalam pendidikan akhlak ini, sebelumnya perlu memperhatikan kembali setidaknya dua hal, yaitu: pertama, pendidikan akhlak ini merupakan hal yang esensial dalam ajaran Islam sebagai misi utama diutusnya Rasulullah. Hal itu bisa dipahami melalui Hadis yang disabdakan Rasulullah:

Artinya:

Sesungguhnya

aku

diutus

(ke

dunia)

semata-mata

untuk

memperbaiki (menyempurnakan) akhlak.37

Depag, Al-Quran Terjemahan, hal. 15 Jalaluddin, Abd al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuti, al-Jamiu al-S}aghir Fi-Ah}adith alBashir al-Naz}ir, Juz I, (Surabaya: al-Hidayah, 2002.), hal. 103.
37

36

34 Dengan kembali pada makna pendidikan menurut tinjauan bahasa, maka dapat dipahami bahwa kata memperbaiki dalam Hadis di atas mengarah pada sebuah proses yang dilakukan Rasul. Terbukti setelah diangkatnya beliau sebagai Rasul, beliau melakukan proses tersebut dari tahapan door to door (orang per orang) secara sembunyi-sembunyi hingga tahapan selanjutnya secara terangterangan. Tahapan-tahapan itu dilaluinya dengan berbagai tantangan dan hambatannya hingga beliau mampu menciptakan sebuah komunitas generasi muslim yang mampu menorehkan tinta emas peradaban Islam. Kedua, dalam Islam dikenal adanya dua sumber utama sebagai pedoman dan referensi bagi setiap umat Islam dalam melaksanakan ajaran Islam. Kedua sumber itu tetap dan akan tetap menjadi rujukan yang bersifat universal untuk segala zaman. Dengan berpegang teguh kepada keduanya akan menjadikan manusia selamat dan terarah dalam menjalani kehidupannya. Dalam sebuah Hadis, Rasulullah bersabda:

Artinya:

Kutinggalkan untuk kalian dua perkara (pusaka), kalian tidak akan tersesat selamanya selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasul (Hadis). 38

Pernyataan di atas tidak hanya menyangkut satu aspek atau dimensi saja dari kehidupan manusia, tapi mencakup banyak aspek termasuk aspek pendidikan Islam yang tercakup di dalamnya pendidikan akhlak. Arah yang menjadi tujuan
38

Imam Hakim, Mustadrak Ala> S}ah}ih}ayn, Juz. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 2002.),

hal. 93

35 dari pendidikan akhlak ini adalah terwujudnya akhlak Islam. Akhlak Islam adalah sistem akhlak yang berdasarkan pada ajaran Islam yang bertolak dari aqidah yang benar dan kuat. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang menjadi pijakan perumusan pendidikan akhlak adalah al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama ajaran Islam. Sekalipun mungkin ada dasar-dasar lain yang juga menjadi sumber inspirasi bagi konsep moral/akhlak, namun sumber-sumber tersebut harus relevan dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam kedua sumber tadi. Adapun ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar pendidikan akhlak banyak ditemukan terutama dalam surat luqman, seperti ayat tentang akhlak pergaulan dengan sesama manusia dalam ayat: Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).39 Selanjutnya, tentang nasehat jangan bersikap sombong kepada sesama

manusia terdapat pada surat Luqman ayat 18 sebagai berikut:

Artinya: dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.40
39 40

Ibid, hal. 412. Ibid, hal. 412.

36 Luqman al-Hakim (Luqman Ahli Hikmah) adalah orang yang disebut dalam Al-Qur'an surah Luqman yang terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa' bin Sadun. Sedangkan asal-usul Luqman, sebagian ulama berbeda pendapat. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat di berasal dari Sudan. Dan ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman nabi Dawud.41 Keteladanan Lukmanul Hakim dalam mendidik anak sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman. Allah telah memberi Luqman dengan hikmah, akal, paham, dan amal, memberikan petunjuk untuk memperoleh makrifat yang benar. Oleh karena itu, Luqman menjadi seorang yang hakim (mempunyai hikmah). Ini memberikan pengertian bahwa anjuran Luqman yang disampaikan kepada anaknya merupakan ajaran-ajaran hikmah, bukan dari wahyu. Hal ini didasarkan kepada pendapat yang benar bahwa Luqman adalah seorang hakim (orang bijak, filosof) dan bukan

41

http://id.wikipedia.org/wiki/Luqman_al-Hakim, 2012

37 seorang nabi).42 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 12 yang berbunyi: Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.43

Luqmanul Hakim merupakan salah satu suri tauladan diantara para bapak yang sangat memperhatikan pendidikan anak. Baik pendidikan ruhiyah maupun jismiyah, mental maupun badan. Beliau merupakan orang tua yang sadar akan tugas yang diamanahkan kepadanya, yakni merawat dan memelihara serta mendidik anak-anaknya. Memberinya pelajaran, memberinya makan dari hasil yang halal, serta memberi pakaian dengan pakaian yang baik, pakaian ihsan dan taqwa. Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya dalam rangka membina akhlak terpuji pada anak-anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan

42 Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nuur (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 3206. 43

Departemen Agama, Al-Quran Terjemahan, hal. 412

38 sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19). Nasihat pertama yang diberikan Luqman kepada anaknya adalah Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya

mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. 44 Maka dia melarang anaknya dari kemusyrikan itu dan memperingatkannya agar tidak terjatuh ke dalamnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Luqman ayat 13 sebagai berikut: Artinya: dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.45 Selanjutnya, pada ayat lain pada surat Luqman juga dijelaskan bagaimana cara Luqman mendidik anak-anaknya. Seperti tentang berbuat baik kepada kedua orang tua yang terdapat dalam surat Luqman ayat 14 sebagai berikut: Artinya: dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun

44 Majdi Muhammad, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 18. 45

Departemen Agama, Al-Quran Terjemahan, hal. 412.

39 bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.46 Selanjutnya, tentang berbuat kebaikan meskipun ini hanya perbuatan kecil terdapat pada surat Luqman ayat 16 sebagai berikut: Artinya: (Luqman berkata): Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.47

Selanjutnya, tentang seruan mendirikan shalat terdapat pada surat Luqman ayat 17 sebagai berikut:

Artinya:

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).48

Selanjutnya, tentang nasehat jangan bersikap sombong kepada sesama manusia terdapat pada surat Luqman ayat 18 sebagai berikut:

Artinya: dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
46

Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemahan, hal. 412 Ibid, hal. 412. Ibid, hal. 412.

47 48

40 Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.49 Selanjutnya, tentang adab sopan santun dalam berbicara, terdapat pada surat Luqman ayat 19 sebagai berikut: Artinya: dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.50 Selain hal-hal yang tersebut di atas, Luqman juga memberikan nasehatnasehat lain dalam mendidik akhlak anak-anaknya. Dalam bukunya Min Majdi Muhammad, mengutip sebuah riwayat dari Malik bin Anas bahwasannya Luqman pernah menasehati putranya di bawah ini:51 1) sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam ke dalamnya. Bila engkau ingin selamat, layarilah lautan itu dengan sampan yang bernama takwa, isinya adalah iman dan layarnya adalah tawakal kepada Allah. 2) Orang-orang yang sentiasa menyediakan dirinya untuk menerima nasihat, maka dirinya akan mendapat penjagaan dari Allah. Orang yang insaf dan sadar setelah menerima nasihat orang lain, dia akan sentiasa menerima kemulian dari Allah juga.

49

Ibid, hal. 412. Ibid, hal. 412. Majdi Muhammad, Pesan-Pesan Bijak Luqmanul Hakim, hal. 65-67

50

51

41 3) orang yang merasa dirinya hina dan rendah diri dalam beribadat dan taat kepada Allah, maka dia tawadduk kepada Allah, dia akan lebih dekat kepada Allah dan selalu berusaha menghindarkan maksiat kepadaNya. 4) seandainya ibu bapamu marah kepadamu karena kesilapan yang

dilakukanmu, maka marahnya ibu bapamu adalah bagaikan baja bagi tanam tanaman. 5) jauhkan dirimu dari berhutang, karena sesungguhnya berhutang itu boleh menjadikan dirimu hina di waktu siang dan gelisah di waktu malam. 6) berharaplah selalu kepada Allah tentang sesuatu yang menyebabkan untuk tidak mendurhakaiNya. Takutlah kepada Allah dengan sebenar benar takut (takwa), tentulah engkau akan terlepas dari sifat berputus asa dari rahmat Allah. 7) seorang pendusta akan lekas hilang air mukanya karena tidak dipercayai orang dan seorang yang telah rusak akhlaknya akan sentiasa banyak melamun hal-hal yang tidak benar. Ketahuilah, memindahkan batu besar dari tempatnya semula itu lebih mudah daripada memberi pengertian kepada orang yang tidak mahu mengerti. 8) engkau telah merasakan betapa beratnya mengangkat batu besar dan besi yang amat berat, tetapi akan lebih lagi dari semua itu, yaitu manakala engkau mempunyai tetangga (jiran) yang jahat. 9) janganlah engkau mengirimkan orang yang bodoh sebagai utusan. Maka bila tidak ada orang yang cerdik, sebaiknya dirimulah saja yang layak menjadi utusan.

42 10) Jauhilah bersifat dusta, sebab dusta itu mudah dilakukan, bagaikan memakan daging burung, padahal sedikit sahaja berdusta itu telah memberikan akibat yang berbahaya. 11) bila engkau mempunyai dua pilihan, takziah orang mati atau menghadiri majlis perkawinan, pilihlah untuk menziarahi orang mati, sebab hal itu akan mengingatkanmu kepada kampung akhirat sedangkan menghadiri pesta perkawinan hanya mengingatkan dirimu kepada kesenangan duniawi sahaja. 12) Janganlah engkau makan sampai kenyang yang berlebihan, karena sesungguhnya makan yang terlalu kenyang itu alangkah lebih baik apabila diberikan kepada binatang sekalipun. 13) janganlah engkau langsung menelan sahaja karena manisnya barang dan janganlah langsung memuntahkan saja pahitnya sesuatu barang itu, karena manis belum tentu menimbulkan kesegaran dan pahit itu belum tentu menimbulkan kesengsaraan. 14) Makanlah makananmu bersama sama dengan orang orang yang takwa dan musyawarahlah urusanmu dengan para alim ulama dengan cara meminta nasihat dari mereka. 15) bukanlah satu kebaikan namanya bilamana engkau selalu mencari ilmu tetapi engkau tidak pernah mengamalkannya. Hal itu tidak ubah bagaikan orang yang mencari kayu bakar, maka setelah banyak ia tidak mampu memikulnya, padahal ia masih ingin terus menambahkannya. 16) bilamana engkau mahu mencari kawan sejati, maka ujilah terlebih dahulu dengan berpura-pura membuat dia marah. Bilamana dalam kemarahan itu dia

43 masih berusaha menginsafkan kamu, maka bolehlah engkau mengambil dia sebagai kawan. Bila tidak demikian, maka berhati hatilah. 17) Selalulah baik tutur kata dan halus budi bahasamu serta manis wajahmu, dengan demikian engkau akan disukai orang melebihi sukanya seseorang terhadap orang lain yang pernah memberikan barang yang berharga. 18) bila engkau berteman, tempatkanlah dirimu padanya sebagai orang yang tidak mengharapkan sesuatu daripadanya. Namun biarkanlah dia yang

mengharapkan sesuatu darimu. 19) Jadikanlah dirimu dalam segala tingkah laku sebagai orang yang tidak ingin menerima pujian atau mengharap sanjungan orang lain karena itu adalah sifat riya yang akan mendatangkan cela pada dirimu. 20) janganlah engkau condong kepada urusan dunia dan hatimu selalu disusahkan olah dunia karena engkau diciptakan Allah bukanlah untuk dunia sahaja. Sesungguhnya tiada makhluk yang lebih hina daripada orang yang terpedaya dengan dunianya. 21) usahakanlah agar mulutmu jangan mengeluarkan kata-kata yang busuk dan kotor serta kasar, karena engkau akan lebih selamat bila berdiam diri. Kalau berbicara, usahakanlah agar bicaramu mendatangkan manfaat bagi orang lain. 22) janganlah engkau mudah ketawa kalau bukan karena sesuatu yang menggelikan, janganlah engkau berjalan tanpa tujuan yang pasti, janganlah engkau bertanya sesuatu yang tidak ada guna bagimu, janganlah menyianyiakan hartamu.

44 23) barang sesiapa yang penyayang tentu akan disayangi, siapa yang pendiam akan selamat daripada berkata yang mengandung racun, dan siapa yang tidak dapat menahan lidahnya dari berkata kotor tentu akan menyesal. 24) bergaullah rapat dengan orang yang alim lagi berilmu. Perhatikanlah kata nasihatnya karena sesungguhnya hati akan tentram mendengarkan nasihatnya, sehingga hati ini akan hidup dengan cahaya hikmah dari mutiara kata-katanya sebagaimana tanah subur yang disirami air hujan. 25) ambillah harta dunia sekadar keperluanmu sahaja, dan nafkahkanlah yang selebihnya untuk bekalan akhiratmu. Jangan engkau tendang dunia ini ke keranjang atau bakul sampah karena nanti engkau akan menjadi pengemis yang membuat beban orang lain. Sebaliknya janganlah engkau peluk dunia ini serta meneguk habis airnya karena sesungguhnya yang engkau makan dan pakai itu adalah tanah belaka. Janganlah engkau berteman dengan orang yang bermuka dua, karena kelak akan membinasakan dirimu.

You might also like