You are on page 1of 41

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SISTEM IRIGASI DI PULAU JAWA

A.

Pengertian Irigasi Irigasi adalah suatu sistem untuk mengairi suatu lahan dengan membendung sumber air atau dapat diartikan sebagai suatu usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang sistem pertanian. Sistem irigasi tersebut sudah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam pengairan lahan pertanian ataupun perkebunan terlebih jika wilayah tersebut mempunyai iklim dengan curah hujan yang tinggi. Selain untuk mengairi sawah atau lahan pertanian, irigasi juga memiliki tujuan lain yaitu : 1) Memupuk atau merabuk tanah

2) Membilas air kotor, biasanya terdapat di perkotaan dimana saluran-saluran di daerah perkotaan banyak terdapat kotoran yang akan mengendap jika dibiarkan sehingga perlu dilakukan pembilasan. 3) Kultamase dilakukan bila air yang mengalir banyak mengandung mineral atau material kasar. 4) Memberantas hama 5) Mengatur suhu tanah, misalnya ketika suatu daerah suhu tanahnya terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan pertumbuhan tanaman maka suhu tanah dapat disesuaikan dengan cara mengalirkan air untuk merendahkan suhu tanah. 6) Membersihkan tanah 7) Mempertinggi permukaan air tanah

Page | 1

Adapun sistem irigasi pertanian kemudian dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya yaitu sebagai berikut : 1) Irigasi permukaan, yaitu sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui pembendungan kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian.

2)

Irigasi local, yaitu sistem irigasi dimana air di distribusikan dengan cara pipanisasi ke lahan pertanian yang disebar hanya terbatas ataupun hanya di daerah local itu saja. Irigasi dengan penyemprotan, yaitu sistem irigasi dengan menyemprotkan air seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas dan bagian yang terlebih dahulu basah adalah daun kemudian menyerap ke akar. Irigasi tradisional, yaitu sistem irigasi yang memerlukan banyak tenaga kerja perorangan. Hal ini dikarenakan sistem irigasi tradisional ini menggunakan wadah dalam mengalirkan air ke lahan pertaniannya seperti ember. Irgasi pompa air, yaitu sistem irigasi dengan menaikkan air dari sumur melalui pompa air yang kemudian dialirkan dengan berbagai cara misalnya dengan pipa atau saluran ke lahan pertanian (sawah). Kemudian sistem irigasi juga mempunyai beberapa fungsi yaitu memasok kebutuhan air tanaman, menjamin ketersediaan ir apabila terjadi betatan, menurunkan suhu tanah, mengurangi kerusakan akibat frost, dan melunakkan lapis keras pada saat pengolahan tanah. Sistem irigasi ini sangat bermanfaat bagi pertanian, terutama di daerah pedesaan. Dengan pemanfaatan sistem irigasi, lahan sawah dapat digarap setiap tahunnya, dapat dipergunakan untuk peternakan, dan keperluan lain yang bermanfaat.

3)

4)

5)

Page | 2

B.

Sejarah dan Perkembangan Sistem Irigasi di Indonesia Sistem irigasi sudah mulai dikenal sejak peradaban Mesir Kuno yang memanfaatkan Sungai Nil untuk pengairan pertanian mereka. Di Indonesia irigasi tradisional pun telah berlangsung sejak jaman nenek moyang. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam cara pengairan dan bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia yaitu dengan cara membendung sungai secara bergantian untuk dialirkan ke sawah-sawah. Cara lain untuk pengairan adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang disambungankan da nada juga yang menggunakan cara dengan membawa ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga. Di Bali, irigasi juga sudah ada sebelum tahun 1343 M, hal ini terbukti dengan adanya sedahan atau disebut juga petugas yang melakukan koordinasi atas subak-subak dan mengurus pemungutan pajak atas tanah wilayahnya. Sedangkan pengertian subak sendiri adalah suatu masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris relegius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani. Sistem irigasi adalah salah satu upaya Belanda dalam melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dibuat untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya. Sejarah irigasi di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu sebagai berikut:

1.

Masa Pra-Kolonial Dalam pembangunan sistem irigasi di Indonesia, masa pra-kolonial ditandai dengan wujud kegiatan dengan kuatnya kearifan lokal yang sangat tinggi. Teknologi dan kelembagaan lokal sangat menentukan keberadaan sistem irigasi saat itu. Sistem irigasi yang ada umumnya mempunyai skala luas sawah yang kecil dan terbatas. Sehingga pada masa ini sangat menaruh perhatian pada kapital sosial dari masyarakat sendiri.

Page | 3

Orang memperkirakan bahwa budidaya sawah telah ada di Indonesia beberapa abad sebelum tarikh Masehi. Budidaya sawah diduga berasal dari pengaruh budaya Dong-Son. Budaya ini dibawa sewaktu terjadi migrasi dari daratan Asia Tenggara. Hipotesis lain mengatakan bahwa budidaya sawah berasal dari Assam Utara dan kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk China, Philippina, dan Indonesia (van der Meer, 1979). Perkembangan budidaya sawah kemudian terus berlanjut dengan dibangunnya jaringan irigasi gravitasi pada abadabad berikutnya. Jaringan irigasi dibangun untuk mengatisipasi kegagalan panen akibat terjadinya banjir ataupun Sejarah Irigasi Kerajaan Majapahit

Salah satu sumber sejarah kuno yang mengungkapkan data pertanian adalah prasasti, yang sebagian terbesar ditemukan di Jawa. Dari sumber-sumber itu diketahui bahwa penduduk Jawa mengenal dua jenis pertanian, yaitu gaga (ladang) dan sawah (sawah). Sejauh ini bukti tertua tentang petunjuk adanya kegiatan pertanian diperlihatkan oleh Prasasti Tugu (abad ke-5 Masehi) yang ditemukan di wilayah Jakarta Utara sekarang. Isinya antara lain mengatakan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Taruma memerintahkan penggalian saluran Gomati sepanjang 12 kilometer.

Page | 4

Kemungkinan saluran Gomati dibuat untuk mengendalikan banjir, pengairan, atau pelayaran. Tak hanya itu, ditemukan juga alat-alat pertanian dari batu dan logam di daerah-daerah yang diduga menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Taruma. Ini tentu lebih menunjukkan bahwa saluran itu ada hubungannya dengan pertanian. Menurut penelitian para arkeolog, petunjuk yang lebih pasti tentang adanya sawah, baru dijumpai pada awal abad ke-9 Masehi di Jawa Tengah. Uniknya, kerajaan-kerajaan tertua justru terdapat di Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Mengapa pertanian lebih berkembang di Jawa Tengah, mungkin saja karena di daerah-daerah itu masih banyak terdapat tanah kosong.

Undang-Undang Majapahit Meskipun prasasti lebih banyak memberitakan masalah politik, adanya sebutan pendek tentang cara bertani di ladang (gaga) dan pembangunan bendungan cukup memberi kesan bahwa pertanian sudah memperoleh perhatian besar dari kerajaan. Begitu pula adanya penetapan daerah bebas pajak berupa sawah dan kebun, sebagaimana tersimpul dari Prasasti Kamalagi (821 M) dan Prasasti Watukura I (912 M). Suatu hal yang mengherankan adalah golongan atau kelompok yang mata pencariannya sebagai petani baru dikenal pada prasasti tembaga Airkali (927 M). Kelompok petani itu dinamakan anak thani. Sejak saat itu, kelompok petani sering disinggung dalam prasasti, yakni thani, thani bala, atau tanayan thani. Selain secara samar-samar, sejumlah prasasti sering menyebut secara gamblang tentang perhatian raja kepada pertanian. Menurut Prasasti Harinjing (804 M), raja memberikan hak sima (tanah yang dilindungi) kepada para pendeta di daerah Culangi karena mereka telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing. Lain lagi menurut Prasasti Bakalan atau Wulig (933 M). Dikatakan, pada masa pemerintahan Raja Kadiri Mpu Sindok, telah dibuat bendungan untuk pengairan daerah Kapulungan, Wuatan Wulas, dan Wuatan Tamya.

Page | 5

Pada zaman Raja Airlangga rupa-rupanya kegiatan pertanian semakin maju. Hal ini terlihat di dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masanya. Ketika itu, banyak prasasti sering menyebut-nyebut golongan masyarakat petani di dalamnya. Bahkan di dalam Prasasti Kamalagyan (1115 M), Airlangga memerintahkan pengendalian Sungai Brantas yang selalu meluap setiap tahunnya. Agar tidak memusnahkan banyak tanah pertanian, dibangunlah bendungan Kamalagyan. Sejak itu, para petani berhasil meningkatkan produk pertanian mereka. Kegiatan pertanian mencapai puncak perkembangannya pada masa Kerajaan Majapahit. Terbukti, saat itu perhatian dari pihak penguasa terhadap pertanian sangat besar. Agar petani dapat bekerja dengan tenang dan baik, raja memberikan perlindungan kepada mereka. Pemakaian tanah juga diatur oleh undang-undang. Di dalam undang-undang Agama disebutkan Barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar atau kecil, si pelaku harus mengembalikan lima kali lipat kepada pemiliknya. Ditambah lagi dengan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa (Perundang-undangan Majapahit, 1967). Saluran Irigasi yang Sempurna Pada masa itu, menurut Edhie Wurjantoro (Majalah Arkeologi, 1977), bendunganbendungan (dawuhan) untuk keperluan pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan rakyatnya. Yang banyak disebut adalah bendungan batu Kusmala untuk mengairi daerah sebelah timur Kadiri sebagaimana disebutkan Prasasti Kandangan (1350 M). Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Menurut Prasasti Jiwu (1486 M), air dialirkan ke sawah-sawah melalui saluran-saluran bertanggul. Pengaturan perairan dilakukan oleh seorang panghulu banu atau hulair (pada masa sekarang ulu-ulu). Di samping itu, sejumlah prasasti menyebutkan adanya sejumlah pejabat yang tugasnya berhubungan dengan sawah atau pertanian, seperti hulu wras (mungkin semacam Bulog), pangulung padi (mungkin semacam KUD), dan ambekel tuwuh (pejabat yang mengurusi hasil bumi).

Page | 6

Ketika melakukan ekskavasi di situs Trowulan, yakni bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, H. Maclaine Point berhasil menemukan sejumlah bendungan yang ternyata mempunyai saluran-saluran irigasi yang sempurna. Tak pelak, sektor pertanian menjadi unggulan sehingga rakyat Majapahit menjadi makmur. Banjir atau pengendalian air pun benar-benar diperhatikan. Sementara menurut para musafir Tiongkok yang dibukukan dalam Kitab Sejarah Para Dinasti, hasil pertanian merupakan barang dagangan yang penting dari Jawa. Beras, gula, minyak kelapa, kapas, pinang, bawang, buah-buahan, mengkudu, dan daun sirih sering diperdagangkan antarpulau dan diekspor. Banyak kerajaan kuno di Indonesia menjadi besar karena memerhatikan produk pertanian. Salah satunya adalah Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia. Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam dan saluran air yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diduga bahwa bangunan-bangunan air tersebut dibangun untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir. Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton dan Kedung Wulan adalah wadukwaduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya diantara Kali Gunting di sebelah barat dan kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan. Disamping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.

Page | 7

Foto udara yang dibuat pada tahun 1970an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini. Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam empat meter dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekedar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil. Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan ukurannya cukup besar, memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai goronggorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air. Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro pada tahun 1451 yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya diantara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.

Page | 8

Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki dalam mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni 2. Masa Kolonial Pada masa kolonoial ini, pembangunan irigasi sudah mulai diintervensi oleh kepentingan pemerintah kolonial. Pembangunan dan pengelolaan irigasi yang sebelumnya banyak dikelola oleh masyarakat, sebagian telah diasimilasikan dengan pengelolaan melalui birokrasi pemerintah. Teknologi yang digunakan dan kelembagaan pengelola juga sudah dikombinasikan antara kemampuan masyarakat lokal dengan teknologi dan kelembagaan yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya manajemen pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi merupakan kombinasi antara potensi kapital sosial yang ada di masyarakat dengan kemampuan birokrasi pemerintah kolonial. Sistem pengelolaan irigasi hampir tidak berubah meskipun sistem kerajaan Hindu-Budha telah berganti menjadi kerajaan Islam. Masuknya bangsa Eropa ke Pulau Jawa pada abad ke-16 telah merubah budaya dan teknologi tentang sumberdaya air termasuk irigasi. Pemerintah Kolonial Belanda mulai melakukan pembangunan sistem irigasi teknis di Indonesia pada abad ke 19. Pembangunan itu tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan kebijakan Sistem Tanam Paksa untuk memacu ekspor komoditi perkebunan ke pasar Eropa. Kebijakan ini diambil karena pemerintah kolonial mengalami kesulitan keuangan akibat perang Diponegoro. Pengembangan system perkebunan itu membutuhkan suatu sistem irigasi teknis untuk menjamin ketersedianya air bagi tanaman perkebunan. Pembangunan irigasi di masa kolonial Belanda dilakukan dalam beberapa tahapan. Paling tidak terdapat tiga periode pentahapan, yaitu: (i) masa tahun 18301885, merupakan masa pembangunan fisik bangunan utama, (ii) masa tahun 18851920, tahap pembangunan jaringan irigasi secara utuh, dan (iii) periode 19201942 merupakan pelaksanaan operasional sistem secara mantap. Pentahapan ini juga keterkaitan dengan tahapan perkembangan stabilitas administrasiPemerintah Kolonial Belanda (Ravesteijn, 2003, van der Eng, 1996). Pada masa-masa awal pemerintah Kolonial baru mengembangkanfalisitas bangunan utama (head work) yang dilakukan masih secara empiris dan mengadopsi bangunan irigasi yang telah dibangun penduduk asli. Tak jarang timbul persoalan akibat tidak sempurnanya rancangbangun. Tetapi semuanya itu selalu dapat diselesaikan melalui perbaikan secara in-situ (van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001).
Page | 9

Pada tahun 1854-1856 terjadi kelaparan yang sangat hebat di Demak dan Grobogan. Oleh sebab itu Pemerintah Kolonial Belanda membangun sistem irigasi yang ditujukan untuk memperluas lahan pertanian pangan. Daerah irigasi (DI) Glapan merupakan system irigasi pertama yang dibangun (van Niel, 2003, van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Dengan demikian terdapat dua macam system irigasi teknis yang dikembangkan, yaitu untuk perkebunan tebu dan untuk tanaman pangan. Kedua sistem irigasi itu di kemudian hari mempunyai ciri pengelolaan yang agak berbeda. Pembangunan sistem irigasi tahap pertama ini dilakukan bersamaan dengan pembentukan institusi pengairan Kolonial. Biro Pekerjaan Umum Kolonial dibentuk pada tahun 1854 dan kemudian ditingkatkan menjadi statusnya sebagai Departemen Pekerjaan Umum Kolonial (BOW) tahun 1866. Pembentukan Institusi Pengairan Kolonial itu tidak terlepas dari munculnya beberapa konflik dan intrik antara petugas Depertemen Dalam Negeri dan Biro Pekerjaan Umum. (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996; van Maanen, 1986). Pembangunan tahap dua bertujuan untuk melengkapi system irigasi secara utuh. Pekerjaan ini dilakukan setelah melakukan penyigian (survey) beberapa tempat di Jawa. Penyusunan rancangbangun sedikit demi sedikit mulai menggunakan perpaduan teori modern dan tradisional tetapi masih selalu menggunakan criteria kelayakan teknik dibandingkan ekonomi (van der Eng,1996). Terdapat satu hal menarik dari proses pembangunan itu yaitubahwa bendung yang dibangun adalah selalu berdasarkan kekhasan lokasi. Pada masa ini pendidikan teknik hidrolika mulai diperhatikan. Sekolah Tinggi Teknologi Delft membuka jurusan Rekayasa Hidrolika untuk tipologi wilayah Hindia Belanda dan pada tahun 1921 dibuka Politeknik Bandung dengan bidang studi yang sama. Pembangunan sistem irigasi tahap kedua yang bernuasa teknokratik ini, menimbulkan sejumlah kritik dari para pejabat Departemen Dalam Negeri. Pembangunan dengan nuasa teknokratik telah menghilangkan kekhasan sistem irigasi di Jawa yang sebelumnya mempunyai sistem pengelolaan mirip Subak di Bali. Oleh sebab itu BOW mengadakan beberapa percobaan pengelolaanirigasi berbasis partisipasi masyarakat. Percobaan itu dilakukan di DI Pateguhan, Pasuruhan dan DI Pekalen keduanya di Jawa Timur. Percobaan di DI Pateguhan mengambil sistem Subak sebagai model sedangkan di DI Pakalen membentuk sistem pengelolaan irigasi baru dinamakan sistem ulu-ulu golongan. Pada akhirnya
Page | 10

pengusaha perkebunan lebih memilih sistem ulu-ulu golongan dari pada system Subak. BOW mengangggap bahwa sistem ulu-ulu golongan merupakan tata cara pengelolaan irigasi teknikal yang paling baik pada saat itu. Sistem ulu-ulu golongan ini kemudian dipakai di banyak tempat dengan beberapa modifikasi tergantung pada kekhasan lokasi (Ravesteijn, 2003; van der Eng,1996, van der Meer. 1979, Gelpke, 1986). Pada pembangunan sistem irigasi tahap kedua ini, BOW mulai meletakkan dasar-dasar tatacara Operasi dan Pemeliharaan (O&P) irigasi beserta institusi pelaksananya. Terdapat tiga dasar O&P disusun, yaitu: (i) adanya sistem manajemen gabungan antara BOW dan masyarakat, BOW di jaringan utama dan petani di di tersier, (ii) pembentukan panitia irigasi kabupaten, dan (iii) desentralisasi pelaksanaan O&P. Untuk melaksanakan O&P maka dibentuk kantorkantor pengairan di daerah. Tiga dasar yang disusun itu bertujuan pengendalian pelaksanaan O&P. Salah satu ciri yang menonjol dari pelaksanaan O&P masa kolonial Belanda adalah sistem pembagian air irigasi dengan jadwal pengaturan siang dan malam. Pembagian air di siang hari untuk tebu sedang pada malam hari dipakai untuk mengairi tanaman padi milik petani (van der Eng,1996, van Mannen, 1978, Wirosoemarto, 2001). Tatacara pembagian air ini banyak menimbulkan permasalahan dan konflik di masyarakat baik antara petani dengan pihak pabrik maupun antara Bupati dengan BOW (Gelpke, 1986; Wirosoemarto, 2001). Dilakukannya kebijakan pembangunan sistem irigasi untuk perkebunan memberikan dampak negatif pada produksi pangan. Kekurangan pangan terjadi dan Indonesia harus mengimpor beras dari Siam, Burma dan Vietnam sejak tahun 1870 (der Elst, 1986, van Niels, 2003). Nama-nama beras Saigon, Burma dan Siam masih sangat familier di telinga karena saya sering ikut ibu kulakan beras di pasar. Tentang sebab-sebab terjadinya kekurangan pangan itu banyak argumentasi dimukakan.Tetapi diduga sebagai penyebab utama adalah: hama dan penyakit, pengaruh sistem perdagangan beras internasional, serta adanya penurunan kinerja sistem irigasi.. O&P dilakukan sangat buruk akibat kekurangan biaya dan meningkatnya proses sedimentasi di waduk dan sungai. Waktu itu penebangan hutan di sekitar pabrik yang digunakan untuk bahan bakar mesin uap terjadi sangat cepat (van der Eng, 1996, de Vries, 1986).

Page | 11

Pada pembangunan tahap ketiga ini persoalan O&P semakin menonjol. Kekurangan air semakin besar karena semakin banyaknya pabrik gula dibangun. Untuk mengatasi hal itu maka dibangunlah bendungan-bendungan besar dan waduk-waduk lapangan untuk mengairi tanaman tebu pada saat terjadi kekurangan air. Untuk melaksanakan pembangunan maka pihak perkebunan juga diminta berkontribusi. Adanya waduk lapangan meski dapat dapat mengatasi kekurangan air, juga memunculkan pemahaman terhadap pentingnya persoalan hak air beserta sistem alokasi airnya. Sampai tahun 1941 total waduk yang telah dibangun mencapai kapasitas total sebesar 250 juta m3 (van der Eng, 1996, Wirosumarto, 2001). Dengan semakin berkembangnya persoalan O&P irigasi maka Pemerintah Kolonial melalui BOW berinisiatif melakukan pemantapan aturan O&P dengan melakukan kodifikasi peraturan O&P irigasi. Setelah aturan tersebut mantap maka disusunlah suatu aturan pengelolaan pengairan untuk Jawa dan Madura (Algemeen Waterreglement, AWR) beserta aturan pelaksanaannya tahun 1936 (van der Eng, 1996, FTP-UGM, 2006, Wirosumarto, 2001). 3. Masa Revolosi/Pasca Kolononial Pada masa ini kegiatan pengairan tidak banyak dilakukan, karena pemerintahan saat itu masih memprioritaskan pembangunan politik yang diwarnai terjadinya polarisasi kekuatan politik internasional pasca perang dunia ke-2, serta suasana konfrontasi dengan negara tetangga yang terjadi pada saat itu. Sehingga kondisi dan peran kapital sosial dalam pembangunan dan pengelolaan irigasi secara eksisting tidak banyak berbeda dengan era kolonial. Seperti halnya negara yang baru saja merdeka, Indonesia dihadapkan pada banyak persoalan,terutama keberkaitan dengan keamanan dan stabilitas politik, kehancuran ekonomi, kemiskinan dan kekurangan pangan. Keadaan ini berpengaruh terhadap pembangunan dan pengelolaan irigasi di Indonesia. Dari tahun 1945 sampai dengan masa Orde Lama hanya sedikit sistem irigasi yang dibangun. Bahkan sistem irigasi yang dibangun pada masa penjajahan Belanda banyak yang terlantar (Wirosumarto, 2001, van der Eng, 1996, FTP-UGM, 2006b). Akibatnya Indonesia masih tetap menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Page | 12

Dengan mengacu pada fenomena-fenomena empiris yang muncul, maka pemerintahan Orde Baru memfokuskan pembangunan sektor sumberdaya air terutama pembangunan irigasi. Adapun tujuan pembangunan itu adalah agar dapat memotong garis kemiskinan melalui peningkatan produksi pertanian. Untuk mencapai tujuan, maka pembangunan irigasi dilakukan dengan memakai tiga strategi, yaitu : (i) pembangunan infrastruktur, (ii) pemberian insentif pada petani, dan (iii) pengembangan institusi, termasuk penyusunan hokum perundangan dan organisasi pengelolaannya (Afif, 1992). Sebagai bagian dari pengembangan institusi, pada tahun 1974 dikeluarkan Undang-undang tentang Pengairan sebagai pengganti aturan colonial AWR 1936 menyusul kemudian penetapan Peraturan pemerintah (PP) tentang irigasi tahun 1982 (Wirosumarto, 2001). Kebenaran pelaksanaan strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kecepatan pembangunan lahan beririgasi di Indonesia, sampai dengan tahun 1990 telah tercetak lebih dari 4,0 juta ha (Moohtar, 1992) hampir separuhnya terletak di Pulau Jawa. Tiga strategi pembangunan irigasi masa Orde Baru sebetulnya menganut paham modernisasi dan dekolonisasi yang muncul pada dekade 60an. Keberhasilan konsep diukur dengan adanya laju pembangunan ekonomi yang cepat. Agar dapat mencapai tujuannya maka digerakkanlah mesin birokrasi sehingga dominasi pemerintah akan sangat besar. Konsep ini secara global berlangsung sampai akhir dekade 80an (Shepherd, 1998; van Ufford, Giri dan Moos, 2004; Pieterse, 2001). 4. Masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini oleh sebagian pengamat disebut sebagai kebangkitan rezim pemerintah. Pada masa ini ditandai dengna adanya kebangkitan peran pemerintah dalam memperkuat sektor pangan nasional. Sehingga aspek pembangunan dan rehabilitasi besar-besaran di bidang irigasi, banyak dilakukan oleh pemerintah. Pada masa ini, pemerintah berhasil menggantikan undang-undang pengairan versi pemerintah Kolonial, menjadi UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Akibat sangat kuatnya orientasi pemerintah untuk meraih swa-sembada pangan/beras, maka kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi banyak dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan tersebut berakibat pada ditinggalkannya kapital sosial masyarakat lokal dalam keirigasian, dan bahkan banyak terjadi marjinalisasi kapital sosial masyarakat. Pendekatan tersebut membawa konsekuensi ketidakjelasan peran masyarakat dalam keirigasian, yang akibat selanjutnya menjadi masyarakat lokal yang pasif.

Page | 13

Pada masa Oder Baru asas-asas pengelolaan irigasi pada masa kolonial masih tetap dipakai. Tetapi desentralisasi O&P kepada daerah yang dulu pernah dilakukan pemerintah kolonial tidak diberlakukan lagi. Hampir semua kewenangan dalam pembangunan dan pengelolan irigasi dimiliki pemerintah pusat (Arif, 2001). Meskipun pembangunan irigasi dilakukan berbasis pembangunan insfrastruktur, tetapi secara normatif masalah pembinaan masyarakat mulai menjadi perhatian pemerintah. Pada tahun 1969 dikeluarkan suatu Instruksi Presiden tentang pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan disusul dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembinaan P3A. Dengan demikian secara legal berakhirlah peran uluulu sebagai pengelola irigasi di aras tersier maupun uluulu golongan tanam dan digantikan oleh suatu organisasi petani.

Hampiran yang dipakai dalam pengelolaan irigasi masa Oder Baru ini disebut sebagai manajeman produksi. Asas ini mengedepankan monosentrisitas dengan menekankan pemerintah bertindak pelaksana manajemen irigasi di semua aras dan menentukan tujuan manajemen. Dengan demikian manajemen irigasi secara keseluruhan akan bersifat manajemen produksi. Salah satu cirri pelaksanaan manajemen produksi ini adalah pelaksanaan manajemen dengan fokus pada pendekatan teknis dan finansial (Huppert et al. 2001). Namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya Indonesia berhasil mencapai swa sembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan ini juga diuntungkan dengan adanya revolusi hijau. Banyak hal terjadi menyebabkan prestasi itu tidak berlangsung lama. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman budaya pemeliharaan kental di kalangan birokrasi pelaksana irigasi. Mereka sebih senang membangun dari pada memelihara maka munculalh paradok O&P. Semua orang mengatakan O&P penting tetapi selalu mengabaikannya. Akibatnya ialah terjadinya suatu kemerosotan kinerja sistem irigasi yang berlangsung sangat cepat (FTP-UGM, 1992, 2001) 5. Masa Pasca Orde Baru/Reformasi. Pada masa ini dapat juga disebut sebagai respon masyarakat terhadap sistem pembangunan dan pendekatan pembangunan yang totaliter dan sentralistis yang terjadi pada Orde baru. Sehingga masyarakat menuntut adanya reformasi pelaksanaan dan pendekatan pembangunan, termasuk melakukan regulasi ulang dalam berbagai sektor pembangunan. Dalam masa ini lahir UU No. 7/2004 tentang Sumber daya air, dan PP No. 20/2006 tentang Irigasi. Seharusnya pada masa ini tidak mengulang pendekatan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana pemerintah sangat mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada masa ini perlu dibangun suatu sistem dan mekanisme pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang memberi peran yang lebih
Page | 14

nyata kepada masyarakat, dan juga perlu dijadikan masa kebangkitan kapital sosial masyarakat dalam sistem keirigasian Indonesia pada saat sekarang dan untuk kedepannya. Di Indonesia irigasi tradisional telah berlangsung sejak nenek moyang kita. Hal ini dapat dilihat juga cara bercocok tanam pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Dengan membendung kali secara bergantian untuk dialirkan ke sawah. Cara lain adalah mencari sumber air pegunungan dan dialirkan dengan bambu yang bersambung. Ada juga dengan membawa dengan ember yang terbuat dari daun pinang atau menimba dari kali yang dilemparkan ke sawah dengan ember daun pinang juga. Perkembangan irigasi di Indonesia ketika masa pemerintahan Hindia Belanda adalah melaksanakannya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa tersebut mengupayakan agar semua lahan yang dicetak untuk persawahan maupun perkebunan harus menghasilkan panen yang optimal dalam mengeksplotasi tanah jajahannya. Sistem irigasi yang dulu telah mengenal saluran primer, sekunder, ataupun tersier. Tetapi sumber air belum memakai sistem Waduk Serbaguna seperti TVA di Amerika Serikat. Air dalam irigasi lama disalurkan dari sumber kali yang disusun dalam sistem irigasi terpadu, untuk memenuhi pengairan persawahan, di mana para petani diharuskan membayar uang iuran sewa pemakaian air untuk sawahnya. Waduk Jatiluhur 1955 di Jawa Barat. Tennessee Valley Authority (TVA) [1] yang diprakasai oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt pada tahun 1933 merupakan salah satu Waduk Serba Guna yang pertama dibangun di dunia [2]. Resesi ekonomi (inflasi) tahun 1930 melanda seluruh dunia, sehingga TVA adalah salah satu model dalam membangun kembali ekonomi Amerika Serikat. Isu TVA adalah mengenai: produksi tenaga listrik, navigasi, pengendalian banjir, pencegahan malaria, reboisasi, dan kontrol erosi. Sehinga di kemudian hari Proyek TVA menjadi salah satu model dalam menangani hal yang mirip. Oleh sebab itu Proyek Waduk Jatiluhur merupakan tiruan yang hampir mirip dengan TVA di AS tersebut. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (9 km dari pusat Kota Purwakarta). Bendungan itu dinamakan oleh pemerintah Waduk Ir. H. Juanda, dengan panorama danau yang luasnya 8.300 ha. Bendungan
Page | 15

ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/thn. Adapun perkembangan irigasi di Indonesia dapat dilihat dari sistem-sistem irigasi yang digunakan di Indonesia. Menurut Sudjarwadi (1990), ditinjau dari proses penyediaan, pemberian, pengelolaan dan pengaturan air, sistem irigasi dapat dikelompokkan menjadi 4 adalah sebagai berikut : 1. Sistem Irigasi Permukaan (Surface Irrigation System) Irigasi permukaan merupakan metode pemberian air yang paling awal dikembangkan. Irigasi permukaan merupakan irigasi yang terluas cakupannya di seluruh dunia terutama di Asia. Sistem irigasi permukaan terjadi dengan menyebarkan air ke permukaan tanah dan membiarkan air meresap (infiltrasi) ke dalam tanah. Air dibawa dari sumber ke lahan melalui saluran terbuka baik dengan atau lining maupun melalui pipa dengan head rendah. Investasi yang diperlukan untuk mengembangkan irigasi permukan relatif lebih kecil daripada irigasi curah maupun tetes kecuali bila diperlukan pembentukan lahan, seperti untuk membuat teras. Sistem irigasi permukaan (Surface irrigation), khususnya irigasi alur (Furrow irrigation) banyak dipakai untuk tanaman palawija, karena penggunaan air oleh tanaman lebih efektif. Sistem irigasi alur adalah pemberian air di atas lahan melalui alur, alur kecil atau melalui selang atau pipa kecil dan megalirkannya sepanjang alur daalam lahan (Michael,1978). Untuk menyusun suatu rancangan irigasi harus diadakan terlkebih dahulu survei mengenai kondisi daerah yang bersangkutanserta penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanah pertanian, bagi bagian-bagian yang akan diirigasi dan lain-lain untuk menentukan cara irigasi dan kebutuhan air tanamannya (Suyono dan Takeda, 1993). Suatu daerah irigasi permukaan terdiri dari susunan tanah yang akan diairi secara teratur dan terdiri dari susunan jaringan saluran air dan bangunan lain untuk mengatur pembagian, pemberian, penyaluran, dan pembuangan kelebihan air. Dari sumbernya, air disalurkan melalui saluran primer lalu dibagi-bagikan ke saluran sekunder dan tersier dengan perantaraan bangunan bagi dan atau sadap terser ke petak sawah dalam satuan petak tersier. Petak tersier merupakan petak-petak pengairan/pengambilan dari saluran irigasi yang terdiri dari gabungan petak sawah. Bentuk dan luas masing-masing petak tersier tergantung pada topografi dan kondisi lahan akan tetapi diusahakan tidak terlalu banyak berbeda. Apabila terlalu
Page | 16

besar akan menyulitkan pembagian air tetapi apabila terlalu kecil akan membutuhkan bangunan sadap. Ukuran petak tersier diantaranya adalah, di tanah datar : 200-300 ha, di tanah agak miring : 100-200 ha dan di tanah perbukitan : 50100 ha. Terdapat beberapa keuntungsn menggunakan irigasi furrow. Keuntungannya sesuai untuk semua kondisi lahan, besarnya air yang mengalir dalam lahan akan meresap ke dalam tanah untuk dipergunakan oleh tanaman secara efektif, efisien pemakaian air lebih besar dibandingkan dengan sistem irigasi genangan (basin) dan irigasi galengan (border). Untuk menyusun suatu rancangan irigasi terlebih dahulu dilakukan survey mengenai kondisi daerah yang bersangkutan serta penjelasannya, penyelidikan jenis-jenis tanaman pertaniannya, bagian-bagian yang diairi dan lain-lain untuk menentukan cara irigasi dan kebutuhan air tanamannya. Sistem irigasi permukaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu peluapan dan penggenangan bebas (tanpa kendali) serta peluapan penggenangan secara terkendali. Sistem irigasi permukaan yang paling sederhana adalah peluapan bebas dan penggenangan. Dalam hal. ini air diberikan pada areal irigasi dengan jalan peluapan untuk menggenangi kiri atau kanan sungai yang mempunyai permukaan datar. Sebagai contoh adalah sistem irigasi kuno di Mesir. Sistem ini mempunyai efisiensi yang rendah karena penggunaan air tidak terkontrol. Gambar dibawah ini memberi ilustrasi mengenai sistem irigasi dengan peluapandan penggenangan bebas.

Page | 17

Sistem irigasi permukaan lainnya adalah peluapan dan penggenangan secara terkendali. Cara yang umum digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan bangunan penangkap, saluran pembagi saluran pemberi, dan peluapan ke dalam petakpetak lahan beririgasi. Jenis bangunan penangkap bermacam-macam, diantaranya adalah (1) bendung, (2) intake, dan (3) stasiun pompa.

2. Sistem Irigasi Bawah Permukaan (Sub Surface Irrigation System) Sistem irigasi bawah permukaan dapat dilakukan dengan meresapkan air ke dalam tanah di bawah zona perakaran melalui sistem saluran terbuka ataupun dengan menggunakan pipa porus. Lengas tanah digerakkan oleh gaya kapiler menuju zona perakaran dan selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman.

3. Sistem irigasi dengan pancaran (sprinkle irrigation) Irigasi curah atau siraman (sprinkle) menggunakan tekanan untuk membentuk tetesan air yang mirip hujan ke permukaan lahan pertanian. Disamping untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Sistem ini dapat pula digunakan untuk mencegah pembekuan, mengurangi erosi angin, memberikan pupuk dan lain-lain. Pada irigasi curah air dialirkan dari sumber melalui jaringan pipa yang disebut

Page | 18

mainline dan sub-mainlen dan ke beberapa lateral yang masing-masing mempunyai beberapa mata pencurah. Sistem irigasi curah dibagi menjadi dua yaitu set system (alat pencurah memiliki posisi yang tepat),serta continius system (alat pencurah dapat dipindahpindahkan). Pada set system termasuk ; hand move, wheel line lateral, perforated pipe, sprinkle untuk tanaman buah-buahan dan gun sprinkle. Sprinkle jenis ini ada yang dipindahkan secara periodic dan ada yang disebut fixed system atau tetap (main line lateral dan nozel tetap tidak dipindah-pindahkan). Yang termasuk continius move system adalah center pivot, linear moving lateral dan traveling sprinkle. Menurut Hansen et. Al (1992) menyebutkan ada tiga jenis penyiraman yang umum digunakan yaitu nozel tetap yang dipasang pada pipa, pipa yang dilubangi (perforated sprinkle) dan penyiraman berputar. Sesuai dengan kapasitas dan luas lahan yang diairi serta kondisi topografi, tata letak system irigasi curah dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: a. Farm system, system dirancang untuk suatu luas lahan dan merupakan satu-satunya fasilitas pemberian air irigasi b. Field system, system dirancang untuk dipasang di beberapa laha pertanian dan biasanya dipergunakan untuk pemberian air pendahuluan pada letak persemaian, c. Incomplete farm system, system dirancang untuk dapat diubah dari farm system menjadi fiekd system atau sebaliknya. Berapa kelebihan sistem irigasi curah dibanding desain konvensional atau irigasi gravitasi antara lain : a. Sesuai untuk daerah-daerah dengan keadaan topografi yang kurang teratur dan profil tanah yang relative dangkal. b. Tidak memerlukan jaringan saluran sehingga secara tidak langsung akan menambah luas lahan produktif serta terhindar dari gulma air Sesuai untuk lahan berlereng tampa menimbulkan masalah erosi yang dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah.

c.

Page | 19

Sedangkan kelemahan sistem irigasi curah menurut Bustomi (1999), adalah: a. Memerlukan biaya investasi dan operasional yang cukup tinggi, antara lain untuk operasi pompa air dan tenaga pelaksana yang terampil. b. Memerlukan rancangan dan tata letak yang cukup teliti untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi Menurut Keller (1990) efisiensi irigasi curah dapat diukur berdasarkan keseragaman penyebaran air dari sprinkle. Apabila penyebaran air tidak seragam maka dikatakan efisiensi irigasi curah rendah. Parameter yang umum digunakan untuk mengevaluasi keseragaman penyebaran air adalah coefficient of uniformity (CU). Efisiensi irigasi curah yang tergolong tinggi adalah bila nilai CU lebih besar dari 85%. Berdasarkan penyusunan alat penyemprot, irigasi curah dapat dibedakan ; (1) system berputar (rotaring hed system) terdiri dari satu atau dua buah nozzle miring yang berputar dengan sumbu vertical akibat adanya gerakan memukul dari alat pemukul (hammer blade). Sprinkle ini umumnya disambung dengan suatu pipa peninggi (riser) berdiameter 25 mm yang disambungkan dengan pipa lateral, (2) system pipa berlubang (perforated pipe system), terdiri dari pipa berlubang-lubang, biasa dirancang untuk tekanan rendah antara 0,5-2,5 kg/cm2 , hingga sumber tekanan cukup diperoleh dari tangkai air yang ditempatkan pada ketinggian tertentu.

Umumnya komponen irigasi curah terdiri dari (a) pompa dengan tenaga penggerak sebagai sumber tekanan, (b) pipa utama, (c) pipa lateral, (d) pipa peninggi (riser) dan (e) kepala sprinkle (head sprinkle). Sumber tenaga penggerak pompa dapat berupa motor listrik atau motor bakar. Pipa utama adalah pipa yang mengalirkan air ke pipa lateral. Pipa lateral adalah pipa yang mengalirkan air dari pipa utama ke sprinkle. Kepala sprinkle adalah alat/bagian sprinkle yang menyemprotkan air ke tanah (Melvyn 1983). Gambar dibawah ini memberikan ilustrasi salah satu alat irigasi dengan pancaran.

Page | 20

4. Sistem irigasi tetes (Drip Irrigation) Irigasi tetes adalah suatu sistem pemberian air melalui pipa/ selang berlubang dengan menggunakan tekanan tertentu, dimana air yang keluar berupa tetesan-tetesan langsung pada daerah perakaran tanaman. Tujuan dari irigasi tetes adalah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tanpa harus membasahi keseluruhan lahan, sehingga mereduksi kehilangan air akibat penguapan yang berlebihan, pewmakaian air lebih efisien, mengurangi limpasan, serta menekan/mengurangi pertumbuhan gulma. Ciri- ciri irigasi tetes adalah debit air kecil selama periode waktu tertentu, interval (selang)yang sering, atau frekuensi pemberian air yang tinggi , air diberikan pada daerah perakaran tanaman, aliran air bertekanan dan efisiensi serta keseragaman pemberian air lebih baik . Menurut Michael(1978) Unsur-unsur utama pada irigasi tetes yang perlu diperhatikan sebelum mengoperasikan peralatan irigasi tetes adalah : a. Sumber air, dapat berupa sumber air permanen (sungai, danu, dan lain-lain), atau sumber air buatan (sumur, embung dan lain-lain)

b.

Sumber daya, sumber tenaga yang digunakan untuk mengalirkan air dapat dari gaya gravitasi (bila sumber air lebih tinggi daripada lahan pertanaman), dan untuk sumber air yang sejajar atau lebih rendah dari pada lahan pertanaman maka
Page | 21

diperlukan bantuan pompa. Untuk lahan yang mempunyai sumber air yang dalam, maka diperlukan pompa penghisap pompa air sumur dalam. c. Saringan, untuk mencegah terjadinya penyumbatan meke diperlukan beberapa alat penyaring, yaitu saringan utama (primary filter) yang dipasang dekat sumber air, sringan kedua (secondary filter) diletakkan antara saringan utama dengan jaringan pipa utama. Dewasa ini keberhasilan tumbuh tanaman cendana di lahan kritis savana kering NTT dirasakan masih rendah (kurang dari 20%). Hal ini disebabkan pada awal penanaman di lapangan cendana belum beradaptasi dengan baik karena masalah kondisi tanahnya marginal dan kekurangan air. Masalah kekurangan air akibat curah hujan yang rendah,waktunya pendek dan turunnya tidak teratur adalah salah satu masalah krusial yang dihadapi setiap tahun. Untuk menangani masalah ini maka teknik pengairan secara konvensional dengan irigasi tetes perlu diterapkan agar tanaman cepat beradaptasi dengan lingkungan sehingga pertumbuhannya meningkat. Pemanfaatan irigasi tetes dengan menggunakan wadah yang murah dan mudah didapat di lokasi penanaman seperti bambu, botol air mineral dan pot tanah serta pemanfaatan air embung,mata air,sungai dan pemanenan air hujan perlu mendapatkan pertimbangan. Irigasi tetes adalah teknik penambahan kekurangan air pada tanah yang dilakukan secara terbatas dengan menggunakan tube (wadah) sebagai alat penampung air yang disertai lubang tetes di bawahnya. Air akan keluar secara perlahan -lahan dalam bentuk tetesan ke tanah yang secara terbatas membasahi tanah. Lubang tetes air dapat diatur sedemikian rupa sehingga air cukup hanya membasahi tanah di sekitar perakaran (http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id Web Site BBP Mekanisasi Pertanian) Menurut Hansen (1986) kegunaan dari Irigasi tetes adalah : a. Untuk menghemat penggunaan air tanaman. b. Mengurangi kehilangan air yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi. c. Membantu memenuhi kebutuhan air tanaman pada awal penanaman sehingga juga akan meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman.

d. Mengurangi stresing atau mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman.
Page | 22

e.

Melakukan pemanenan air hujan lewat wadah irigasi tetes secara terbatas sehingga dapat digunakan tanaman. Sistem irigasi tetes memang konsep pemanfaatan air tanaman yang belum populer Namun, sistem ini telah membumi di belahan bumi lain. Orang asing telah menginsyafi seberapa banyak porsi air minum yang bisa mengobati dahaga yang dirasakan tanaman. Tanaman diberi minum secukupnya. Jika kelebihan air, nutrisi yang mesti diserap tanaman bisa hanyut. Andai kebanyakan air pun batang tanaman bisa membusuk. Jadi, jangan menyiram tanaman sampai tampak seperti kebanjiran, Konsep taman kota maupun taman keluarga dianjurkan memakai sistem ini. Tanaman cukup ditetesi air sesuai porsi yang diperlukannya. Cara ini bukan hanya membantu tanaman tak sampai kelebihan mengonsumsi air. Sistem ini pun lebih bernilai ekononi. Sistem yang digunakan adalah dengan memakai pipa-pipa dan pada tempattempat tertentu diberi lubang untuk jalan keluarnya air menetes ke tanah. Perbedaan dengan sistem pancaran adalah besarnya tekanan pada pipa yang tidak begitu besar.

Page | 23

Pemilihan jenis sistem irigasi sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrologi, klimatologi, topografi, fisik dan kimiawi lahan, biologis tanaman, sosial ekonomi dan budaya, teknologi (sebagai masukan sistem irigasi) serta keluaran atau hasil yang akan diharapkan. Sedangkan cara pemberian air irigasi ini berdasarkan topografi, ketersediaan air, jenis pertimbangan lain. tergantung pada kondisi tanah, keadaan tanaman, iklim, kebiasaan petani dan Cara pemberian air irigasi yang termasuk dalam eara pemberian air lewat permukaan, dapat disebut antara lain : a. Wild flooding : air digenangkan pada suatu daerah yang luas pada waktu banjir cukup tinggi sehingga daerah akan eukup sempurna dalam pembasahannya, cara ini hanya cocok apabila eadangan dan ketersediaan air cukup banyak. Free flooding: daerah yang akan diairi dibagi dalam beberapa bagian, atau air dialirkan dari bagian yang tinggi ke bagian yang rendah. Check flooding : air dari tempat pengambilan (sumber air) dimasukkan ke dalam selokan, untuk kemudian dialirkan pada petak-petak yang kecil, keuntungan dari sistem ini adalah bahwa air tidak dialirkan pada daerah yang sudah diairi.

b.

c.

Page | 24

d. Border strip method : daerah pengairan dibagi-bagi dalam luas yang keeil dengan galengan berukuran 10 x 100 m2 sampai 20 x 300 m2, air dialirkan ke dalam tiap petak melalui pintu-pintu. e. Zig-zig method: daerah pengairan dibagi dalam sejumlah petak berbentuk jajaran atau persegi panjang, tiap petak dibagi lagi dengan bantuan galengan dan air akan mengalir melingkar sebelum meneapai lubang pengeluaran. Cara ini menjadi dasar dari pengenalan perkembangan teknik dan peralatan irigasi. f. Bazin method : cara ini biasa digunakan di perkebunan buah-buahan. Tiap bazin dibangun mengelilingi tiap pohon dan air dimasukkan ke dalarnnya melalui selokan lapangan seperti pada chek flooding. Furrow method : cara ini digunakan pada perkebunan bawang dan kentang serta buah-buahan lainnya. Tumbuhan tersebut ditanam pada tanah gundukan yang paralel dan diairi melalui lembah di antara gundukan. Sistem Irigasi di Berbagai Daerah Aceh Aceh merupakan salah satu provinsi yang letaknya di kawasan bagian barat wilayah Republik Indonesia atau pada penghujung bagian utara pulau Sumatera. Provinsi daerah istimewa Aceh ini sebagian besar terdiri dari daratan persambungan pulau Sumatera dan ditambah dengan beberapa pulau kecil lainnya yang terletak di bagian barat laut dan selatan daratan tersebut. Terdapat banyak etnis dan suku yang mendiami Daerah Istimewa Aceh ini. Selain berladang, mata pencaharian bertani yang kedua adalah bersawah. Mata pencaharian ini menjadi mata pencaharian mayoritas atau pokok di kehidupan masyarakat Aceh. Padi merupakan bahan makanan pokok sehari-hari dari seluruh rakyat. Sawah-sawah dibentuk petak dengan yang lainnya dibatasi ateung (pematang) dan terdapat parit-parit yang disebut leueng. Sistem pengairannya masih menggunakan batang pinang atau batang pisang sehingga pekerjaan bertani ini cukup memakan waktu. Dengan demikian sistem pengairan atau irigasi di Masyarakat Aceh tersebut masih tergolong tradisional. Namun, semakin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan maka sistem irigasi tersebut semakin berkembang dan canggih.

g.

C. a.

Page | 25

Dari mata pencaharian yang telah disebutkan tersebut dapat diketahui bahwa potensi sumber daya yang ada di Provinsi Aceh seperti halnya sumber daya lahan, sumber daya air dan sumber daya manusia relaif cukup melimpah. Kondisi geografisnya bervariatif mulai dari daerah pedataran di kawasan pantai hingga daerah pegunungan yang berada di bagian tengah. Dengan kondisi geografi kawasan pegunungan tersebut maka banyak dijumpai banyak anak-anak sungai yang pada akhirnya membentuk sebuah sungai yang merupakan sumber air untuk irigasi yang secara berkelanjutan mengalirkan air yang pada akhirnya akan menuju ke laut, inilah yang menjadi sumber air yang potensial. Sumber daya manusia atau penduduknya juga mempunyai pencaharian pokok yang sebagian besar adalah petani. Dengan adanya perkembangan teknologi yang relatif tidak terlalu canggih untuk diterapkan di sektor pertanian, maka pengembangan sistem pertanian dapat menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi di Provinsi Aceh. Proses pengembangan pertanian khususnya di bidang irigasi perlu dituntaskan dengan penanganan pasca panen, sehingga pengembangannya akan menuju kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh. Oleh karena itu, dengan potensi lahan yang relatif sangat luas dengan tingkat kesuburan yang tinggi dan kondisi iklim yang mendukung, maka usaha pengembangan pertanian melalui program irigasi merupakan dasar pengembangan dan peningkatan petumbuhan ekonomi masyarakat Aceh. Air irigasi diperlukan pada musim kering (kemarau) dimana air yang tersedia disumbernya sendiri juga mengalami penyusutan sehingga penyadapan air tidak dapat terlaksana sesuai dengan perencanaan. Air yang dibutuhkan dapat saja tidak sampai ke sawah karena adanya kerusakan seperti jebolnya pintu air dan saluran pada saat terjadi bencana alam banjir yang belum diperbaiki. Solusinya adalah perbaikan kerusakan secepatnya sebelum musim tanam tiba. Perbaikan ringan sebenarnya dapat dilakukan oleh masyarakat petani melalui gotong royong dan kalau terjadi kerusakan berat adalah tanggung jawab pemerintah. b. Jambi Jambi merupakan sebuah wilayah agraris yang terletak dipesisir timur bagian tengah Pulau Sumatra. Jambi termasuk salah satu daerah yang diduga berasal dari suku bangsa Melayu, yaitu kerajaan Melayu yang terletak di Batang Hari. Sebagai wilayah agraris Jambi memiliki matapencaharian yang khas dalam sistem pertaniannya. Dimana masyarakat Jambi memiliki ladang dan sawah sebagai media bertani mereka.

Page | 26

Dalam melakukan bercocok tanam berladang, masyarakat Jambi mengklasifikasikan dua jenis tanah yang bisa dijadikan lahan untuk dijadikan ladang, yaitu umo renah dan umo malang. Umo renahadalah ladang yang cukup luas yang terbentang pada sebidang tanah yang subur dan rata. Tanah tersebut biasanya terdapat di pinggir sungai dan lereng bukit yang datar. Ladang ini biasanya ditanami oleh padi dengan melubangi tanah dengan cara ditugal. Sedangkan umo talang, yaitu ladang yang dibuat orang di dalam hutan belukar yang letaknya jauh dari pedesaan dan biasanya ditanami padi dan tanaman pendukung disekitarnya. Kemudian untuk bersawahnya sendiri, orang Jambi menerapkan sistem yang hampir sama dengan masyarakat Indonesia lainnya. Dimana, masyarakat Jambi memiliki tiga model sawah, yaitu : a. Sawah payau adalah sawah yang dibuat di atas sebidang tanah yang secara alamiah telah mendapat air dari suatu sumber air, atau tanahnya sendiri telah mengandung air. Sawah tadah hujan yaitu sebidang tanah kering yang diolah dengan mempergunakan cangkul atau bajak yang diberi galangan atau pematang, kemudian pengairannya sangat tergantung pada hujan. Sawah irigasi merupakan sawah sejenis tanah sawah yang digarap dengan sistem irigasi, namun tanah diolah dengan cara memakai sumber air dari mata air atau sungai. Dalam mengolah pertaniannya, masyarakat Jambi menggunakan cara tradisional, seperti penggunaan kincir air sebagai sistem pengairan dan peralatan seperti cangkul, sabit, parang serta bajak kerbau. Kincir air dianggap tepat karena di Jambi banyak terdapat sungai dengan air yang deras. Kincir tersebut merupakan sebuah alat dari kayu dan dipola seperti kipas, berbentuk bulat dimana bagian tengahnya diberi tuas sebagai poros sehingga dapat berputar ketika kincir menganai air.

b.

c.

Page | 27

a)

Sejarah Sistem Pertanian dengan Irigasi di Jambi Pada mulanya para petani Jambi akan membuat atau memperbaiki parit sebagai saluran air untuk mengairi sawahnya. Air parit berasal dari mata air atau dari sungai. Namun, apabila tidak ada mata air atau sungai sedang kering, maka masyarakat Jambi pun terpaksa mengalirkan air melalui air sungai yang ditampung kemudian dialirkan dengan menggunakan kincir air. Mengingat Jambi merupakan sebuah privinsi yang terletak di pantai Timur Pulau Sumatera yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Selat Karimata. Jika melihat kembali kepada letak geografis Jambi, tidak heran jika pertanian tumbuh subur disana, hal ini karena Jambi yang sebagai besar berupa tanah yang baik untuk hutan dan persawahan. Pertanian ini menjadi salah satu peninggalan dari masyarakat Jambi sebelumnya, termasuk yang unik adalah alat pertanian untuk irigasi tradisional yaitu kincir air. Meskipun untuk dizaman sekarang alat tersebut sudah jarang ditemui, padahal alat tersebut sangat efektif ketika musim kemarau datang dan kekurangan air mulai membuat khawatir petani dalam mengairi sawahnya. Dalam mengolah sawah irigasinya pun, masyarakat tidak hanya diam. Mereka membabat rumput dan jerami, mencangkul dan membajak, mencindang atah atau membalikkan tanah, membabat pematang dan mengahaluskan tanah yang menjadikan kincir air sebagai sentralnya.

b)

Perkembangan Sistem Pertanian dengan Irigasi di Jambi Tanah yang subur di Jambi, memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat Jambi untuk mengolahnya menjadi lahan pertanian. Bahkan untuk sekarang ini, pertanian di Jambi masih dipertahankan khususnya di daerah pedesaan. Hal ini karena menurut masyarakat Jambi, bertani adalah salah satu identitas dari mereka maka, tidak mudah untuk menjaga identitas tersebut untuk tetap berkembang, selain harus menjaganya. Seperti dalam sistem irigasi, umo renah dan umo talangyang merupakan sebuah metode periode sejarah Jambi yang harus dikerjakan secara kolektif dan turun temurun. Hal ini, menjadi bukti bahwa masyarakat Jambi sudah berdampingan dengan alam sejak dahulu. Kemudian untuk perkembangan dari sistem irigasi dengan kincir air pun sama mengalani perkembangan, dimana sekarang sudah terdapat kincir air modern yang terbuat dari besi dan pipa paralon.

Page | 28

Pertumbuhan pertanian di Jambi, terlihat pada tahun 1978-1986 yang cukup tinggi, dimana sektor pertanian mampu mencapai tingkat pertumbuhan diatas 5% pertahun. Sebagian besar masyarakat pedesaan Jambi masih mencukupi kebutuhan beras sehari-hari mereka dari olahan sawah sendiri. Kondisi produksi pertanian yang relatif bagus tersebut, adalah buah kebijaksanaan ekonomi makro disektor pertanian yang benar-benar berbasi pertanian. Rata-rata sektor pertanian mencapai pertumbuhan 6,8% pertahun. Produktivitas pertanian secara nasional rata-rata meningkat 5,6% pertahun cukup dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Jambi.

c)

Tantangan Sistem Pertanian dengan Irigasi di Jambi Dalam sistem pertanian di Jambi, tantangan yang kemudian muncul adalah tantangan yang biasa dihadapi oleh petani lainnya di Indonesia. Dimana, seiring dengan perkembangan zaman memumculkan alat-alat modern, misalnya traktor untuk petani. Akan tetapi harga gabah yang cenderung turun menyebabkan banyak petani yang lebih memilih menjadi buruh dan menjual sawahnya. Adanya revolusi hijau juga, selain berdampak positif ternyata ada juga dampak negatifnya dimana dengan revolusi hijau yang dicananangkan pemerintah menyebabkan adanya dampak negatif berupa sistem monokultur tanaman. Kabupaten Bungo Tebo, Batang Hari dan Kabupaten Sarko saat itu masih didominasi monokultur tanaman karet rakyat. Kebijaksanaan pengembangan sektor perindustrian yang diawali lebih intensif pada 1990 membawa pengaruh terhadap sektor pertanian di Jambi. Sehingga banyak masyarakat Jambi yang urbanisasi kekota dengan pendidikan seadanya, untuk menjadi buruh bangunan atau tukang ojek yang tingkat produktivitas relatif rendah. Seharusnya mereka tetap tinggal di desa sebagai petani untuk mengolah tanahnya. Akan tetapi dari hal ini terlihat, bahwa masyarakat Jambi yang berada dipedesaan kurang puasa dan tidak tertarik lagi menjadi petani.

c.

Yogyakarta Dalam masyarakat Yogyakarta tidak sedikit masyarakatnya yang bermata pencaharian sebagai petani atau buruh tani. Sejalan dengan kemajuan teknologi, berbagai peralatan modern di bidang pertanian sudah dikenalkan pemerintah Yogyakarta sejak tahun 1960-1970 an. Di dalam pengolahan sawah dapat dikatakan bahwa hampir semua penduduk Yogyakarta baik yang bermukim di dataran tinggi maupun dataran rendah masih menggunakan peralatan pertanian yang sama jenis dan fungsinya. Pada sebelumnya dalam system pengairan di daerah Yogyakarta masih menggunakan sistem tadah hujan, tadah hujan disini
Page | 29

yaitu maksudnya tanah sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan, dimana hal ini sering digunakan pada daerah yang keadaan tanah di daerah tersebut tidak memungkinkan penduduknya untuk menikmati pengairan dalam mengolah sawahnya di sepanjang tahun, oleh karena itu panen yang dapat mereka nikmati hanya satu kali dalam satu tahun. Pada saat ini pengolahan sawah dengan menggunakan pengairan teknis atau tanah sawah yang memperoleh pengairan menggunakan system irigasi teknis sudah mulai berkembang dimana yang dimaksud irigasi teknis ini yaitu jaringan irigasi Dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang, hal ini dilakukan agar penyediaan dan pembagian air dapat diatur dan diukur dengan mudah. Biasanya jaringan semacam ini terdiri dari saluran induk dan sekunder serta tersier, dimana saluran induk dan sekunder, serta dalam distribusinya dibangun dan dipelihara oleh Dinas pengairan atau pemerintahan biro. Bagi desa-desa di Yogyakarta yang desanya telah dilintasi saluran irigasi tersier dengan begitu dapat melakukan pengairan di sepanjang waktu, dimana para petani hanya tinggal mengontrol kapasitas air yang dibutuhkan. Selain itu, dengan adanya system irigasi ini pada saat musim kemarau para petani tidak lagi membiarkan sawahnya tidak ditanami apapun. Merekapun memiliki kesempatan untuk menanami sawahnya dua kali dalam satu tahun, atau bahkan tiga kali dalam satu tahun. Perubahan dari system tadah hujan ke system irigasi memberikan banyak keuntungan bagi petani Yogyakarta, dimana adanya irigasi menyebabkan frekuensi menanam padi di sawah meningkat. Perubahan disini tidak hanya terjadi pada frekuensi menanam padi saja tetapi juga pada hasilnya yang mengalami peningkatan, dimana sebelum adanya system irigasi teknis tanah seluas 2000m, para petani paling banyak mendapatkan hasil sebanyak 5 kuintal tetapi setelah diterapkannya system irigasi hasilnya dapat mencapai 8 kuintal. Apabila terjadi suatu kerusakan saluran-saluran pengairan, biasanya menjadi tanggung jawab bagian dari pembinaan pengairan, akan tetapi jika membutuhkan swadaya masyarakat biaya ditanggung bersama oleh para pemakai air.

Page | 30

Sistem irigasi teknis ini tidak digunakan oleh semua masyarakat Yogyakarta, dibeberapa tempat lainnya menggunakan system irigasi yang berbeda seperti pada daerah Harjobinangun, dimana pengairan untuk mengolah sawah diperoleh dari sumber mata air pegunungan di sekitar kaliurang. Oleh penduduk setempat system ini disebut dengan system Ilenan, atau tanah sawah pengairan non PU, yaitu tanah sawah yang memperoleh pengairan dari system pengairan yang dikelola sendiri oleh masyarakat tanpa campur tangan PU. System ilenan ini dilakukan dengan cara masyarakat bergotong royong membendung sungai yang bermata air dari kaliurang, selanjutnya dialirkan ke parit yang akhirnya menuju ke sawahsawah. Dalam memperkenalkan system pertanian yang modern sudah dilakukan oleh pemerintah dengan adanya salah satu program pemerintah Yogyakarta dalam rangka meningkatkan hasil pertanian. Dalam usahanya untuk mewujudkan hal-hal tersebut di terdapat suatu program yang disebut dengan Panca Usaha Tani yaitu adanya penggunaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pembrantasan hama dan penyakit dan teknik bercocok tanam. Keberhasilan pembangunan pertanian di propinsi Yogyakarta di samping diluncurkannya program Panca Usaha Tani, juga dipengaruhi oleh tanggapan dari masyarakat yang berarah kepada tanggapan positif terhadap program yang dikembangkan oleh pemerintah daerah tersebut. Jelaslah bahwa petani Yogyakarta memang menjadi contoh nasional yang mampu dengan cepat mengadopsi teknologi baru yang memungkinkan peningkatan produksi padi secara menyakinkan, sehingga propinsi ini meskipun luas sawahnya yang beririgasi relatif sempit, dapat mengatasi masalah pangan penduduknya. Disamping Yogyakarta juga Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,dan Jawa Barat. Bahkan dibandingkan dengan Jepang dan Taiwan petani Yogyakarta dan Jawa mampu melipat gandakan hasil per hektar padi jauh lebih cepat yaitu 13 tahun, sedangkan petani Jepang memerlukan waktu 65 tahun, dan petani Taiwan 32 tahun. d. Karawang Sebelum menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan sistem pertanian irigasi di salah satu wilayah Indonesia, maka saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari sistem pertanian dan irigasi. Selain itu juga sistem pertanian yang akan dijelaskan yaitu di daerah Karawang, Jawa Barat.

Page | 31

Pertanian dalam arti sempit adalah sebagai kegiatan budidaya jenis tanaman tertentu. sedangkan dalam arti luas, pengertian pertanian adalah mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup untuk kepentingan manusia. Jadi pertanian merupakan kegiatan dengan memanfaatkan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Pembangunan sistem irigasi adalah penyediaan dalam menghantarkan air dari sumber air ke lahan pertanian. Sistem irigasi akan mempunyai nilai ekonomi apabila air yang dihantarkan menuju lahan pertanian yang produktif. Irigasi berperan sebagai sarana produksi dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sistem irigasi dapat diartikan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari berbagai komponen, menyangkut upaya penyediaan, pembagian, pengelolaan dan pengaturan air dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. Peranan penting dari irigasi ialah untuk menyediakan air bagi tanaman serta untuk mengatur kelembapan tanah, membantu menyuburkan tanah karena kandungan yang dibawa oleh air, dapat menekan pertumbuhan gulma, dan dapat memudahkan pengolahan tanah. Kabupaten Karawang merupakan sebuah kabupaten di Jawa Barat. Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Bekasi dan kabupaten Bogor di barat, Laut Jawa di utara, kabupaten Subang di timur, kabupaten Purwakarta di tenggara, serta kabupaten Cianjur di selatan. Kabupaten karawang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang menjadi gudang beras nasional. Prasarana sumberdaya air yang ada di Kabupaten Karawang berupa saluran-saluran irigasi teknis yang berfungsi menunjang kegiatan pertanian lahan sawah sebagai kegiatan penduduk yang dominan. Saluran induk yang terdiri dari: Saluran Induk Tarum Utara, Saluran Induk Tarum Tengah, dan Saluran Induk Tarum Barat. Dalam pengairan sawah di Kabupaten Karawang berada di daerah pengairan Jatiluhur dan di luar daerah pengairan Jatiluhur. Masyarakat di Kabupaten Karawang sebagian besar mata pencahariannya dari pertanian, maka sistem pertanian di Kabupaten Karawang telah mengenal irigasi bahkan mereka telah mengembangkan metode SRI. System of Rice Intensfication (SRI) yaitu cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran dengan berbasis pada pengolahan tanah, tanaman dan air. Di Indonesia gagasan SRI telah di uji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pada dasarnya konsep metode SRI adalah tanam benih muda
Page | 32

dengan pola tanam tunggal (satu benih untuk satu lubang) dan menggunakan sistem irigasi berselang (terputus). Pada metode SRI sistem pertanian dalam penanaman padai menggunakan unsur-unsur organik seperti pestisida nabati, pupuk organik, sehingga membuat lahan dapat menjadi lebih subur.

Penerapan pengelolaan sistem pertanian pada tanaman padi di Kabupaten Karawang menggunakan metode SRI. Hal ini dikarenakan tanah di Kabupaten Karawang secara umum bertekstur lengket dan kering yang menandakan bahan organik rendah. Disamping telah menggunakan cara yang sudah modern, ada juga sebagian masyarakat di sana yang masih memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya untuk membuat kompos dengan memanfaatkan kotoran hewan, jerami sisa panen, arang sekam dan sebagainya. e. Bali Dalam hal ini saya mengkaji sejarah dan perkembangan sistem pertanian dengan irigasi di daerah Bali. Bali merupakan daerah yang mempunyai potensi besar dalam pertanian, hal tersebut dapat dilihat dari letak geografis Bali dengan empat danau besar yang mampu memberikan pembagian air secara merata. Adapun tiga buah danau diantaranya Danau Beratan, Buyan, dan Tamblingan berfungsi sebagai sumber air bagi Bali tengah, barat, dan selatan. Sementara danau Batur yang terletak di Bangli berfungsi sebagai sumber air di Bali bagian timur. Perkembangan bidang pertanian di Bali cukup membanggakan, salah satunya di daerah Bali Utara. Hal tersebut diketahui bahwa pada tahun 1970-1980 tanaman jeruk di Buleleng menjadi tanaman primadona yang dapat mengantarkan Bali utara dalam kesuksesan di bidang ekonomi. Selain itu, keberhasilan Bali dalam bidang pertanian juga dipengaruhi besar oleh sistem pertanian irigasi tradisional Bali yaitu Subak.

Page | 33

Subak adalah sistem irigasi masyarakat Bali yang di dalamnya menyangkut hukum adat dan memiliki karakteristik khas yaitu sosio-agraris-religius.Sistem irigasi Subak ini juga merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan persawahan. Adapun beberapa kajian yang dilakukan oleh para ahli mengatakan bahwa sistem irigasi Subak merupakan cerminan dari konsep Tri Hita Karana (THK) yang pada hakikatnya terdiri dari Parahyangan ditujukan pemujaan terhadap pura pada wilayah subak, Pawongan menandakan adanya organisasi yang mengatur sistem irigasi subak, dan Palemahan menandakan kepemilikan lahan atau wilayah di setiap subak. Ketiga hal tersebut mempunyai hubungan yang bersifat timbal balik. Sistem pertanian dengan sistem irigasi Subak yang terdapat di Bali sebenarnya telah ada sebelum sistem pertanian yang berkembang di Bali sejak tahun 678 M. Walaupun sistem irigasi Subak tercatat di Bali sejak tahun 1071, hal tersebut disebabkan oleh peran dan pengaruh raja-raja di Bali yang mempengaruhi perubahan pada sistem irigasi subak. Adapun perwujudan konsep THK dalam operasional sistem irigasi subak antara lain : a. Subsistem budaya yang dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan. Subsistem sosial yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan petani, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga konflik yang terjadi di dalam subak dapat dihindari agar tercipta keharmonisan. Subsistem artefak/kebendaan yang dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak, pendistribusian air secara adil, dan proses peminjaman air. Sehingga, konflik-konflik dapat dicegah. Sistem irigasi Subak merupakan perkembangan dari beberapa tempek yang memiliki luas areal yang besar serta sulit untuk dikooordinasikan dan subak memiliki otonomi ke dalam dan ke luar. Tempek merupakan suatu komplek persawahan yang mendapat air irigasi dari satu sumber tertentu. Akan tetapi, setiap tempek hanya memiliki otonomi ke dalam.

b.

c.

Page | 34

Sistem organisasi Subak di Bali ini juga mempunyai organisasi subak dengan membentuk tim kerja yang berorientasi pada kecapaian tujuan yang diinginkan dalam organisasi subak tersebut. Organisasi subak tersebut berkaitan dengan cara sistem irigasi yang mengatur penyediaan air, maka pada suatu subak di daerah tertentu menunjuk seorang petilik(pengawas air) yang bertugas mengawasi pendistribusian dan alokasi air di kawasan tersebut secara rutin. Di dalam subak. peranan pengurus (pekaseh) subak menentukan keberhasilan subak yang dipimpinnya tersebut. Sebab ia yang mengatur air irigasi pada saat kondisi air yang kritis, menetapkan hari baik untuk menanam tanaman tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada dasarnya, pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip THK. Selain itu, dalam sistem irigasi Subak terdapat tradisi-tradisi dan upacara keagamaan yang masih teru dilakukan sampai saat ini. Untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut, biasanya subak memungut iuran dari anggota subaknya. Adapun pemimpin subak ini dikenal dengan sebutan pekaseh yang bertugas untuk mrngkoordinasikan tugas-tugas keluar dan kedalam yang dapat mempegaruhi sistem perairan dan pertanian di Bali. Kemudian latar belakang didirikannya organisasi Subak yaitu beberapa ribu tahun yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh dan terbatas. Akan tetapi, munculnya sistem irigasi ini tidak dapat dilepaskan dengan latar belakang sejarah di Pulau Jawa, khususnya sejarah Jawa Timur. Berdasarkan beberapa peninggalan prasasti yang terdapat masa kerajaan-kerajaan di jawa Timur membuktikan bahwa pertanian sawah merupakan matapencaharian yang penting. Karena itu sistem irigasi yang dimilikinya tentu sudah terorganisir dengan baik.Perpindahan penduduk karena suatu hal dari Pulau Jawa ke Bali tentu berpengaruh juga terhadap perpindahan budaya yang dimilikinya dengan berbagai konsekuensinya, termasuk sistem irigasi yang dimilikinya. Inilah yang menyebabkan semakin sempurnanya sistem irigasi di Bali yang sudah ada sebelumnya, kemudian dikenal dengan nama Subak.

Page | 35

Maka dari itu, sistem irigasi Subak di Bali dalam implementasinya sangat diatur dengan baik terlihat dari jadwal tanam yang dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu dan bagi petani yang melanggar akan dikenakan sanksi. Sedangkan untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, para petani di Bali melakukannya dengan cara-cara seperti: 1. Saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait. Melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama. Melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu komplek sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya. Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak. Dibalik keunggulan-keunggulan yang terdapat pada sistem irigasi tradisional khususnya Subak mempunyai kelemahan, adapun kelemahan paling menonjol dari yaitu ketidakmampuannya untuk membendung pengaruh luar yang menggerogoti artefaknya, yang terwujud dalam bentuk alih fungsi lahan, sehingga eksistensi sistem irigasi tradisional termasuk didalamnya sistem subak di Bali menjadi tidak berjalan dengan baik. Adapun salah satu penyebabnya yaitu dengan adanya revolusi hijau, dimana telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi tradisional, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Metode yang baru pada revolusi hijau ini pada awalnya menghasilkan hasil panen yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.

2.

3.

4.

Page | 36

Dari beberapa pemaparan diatas mengenai sistem irigasi Subak di Bali, maka saya melihat bahwa sistem irigasi Subak memiliki karakteristik yang unik apabila dibandingkan dengan sistem tradisional. Keunikan tersebut terletak pada terdapatnya pura-pura yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan yang ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada para petani yang ditujukan untuk memuja Dewi Sri. f. Kalimantan Lahan pasang surut adalah lahan yang musim penghujannya berlangsung pada bulan desember-mei permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Musim kemarau terjadi pada bulan juli-september, air permukaan akan surut yang mana pada saat itu tanaman padi baru dapat ditanam pada lokasi yang berair (LIPI Kalimantan, 1994). Dalam keadaan alaminya lahan rawa pasang surut letaknya terpencil dan tidak ada penduduk yang menggarapnya. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan oleh Pemerintah terutama disepanjang pesisir Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat serta di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua).

Tanah Lahan Pasang Surut memiliki sifat yang berbeda dari tanah lainnya : a. Tanah sulfat masam dengan senyawa pirit Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah : Tampak gejala keracunan besi pada tanaman Ada lapisan seperti minyak di permukaan air Ada lapisan merah di pinggiran saluran. Tanaman mudah terserang penyakit Hasil panen rendah

a) b) c) d) e)

Page | 37

b. c. d. 1)

Air pasang besar dan kecil Kedalaman air tanah kemasaman air yang menggenangi lahan Sistem Pengairan Lahan Pasang Surut Sistem pengairan pada lahan pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system) Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem irigasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986). Dari keadaan air sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara paralel.

a.

b.

Sistem Aliran Satu Arah Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintupintu air.

1) Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran(drainase). 2) Saluran pemasukan diberi pintu air yang membuka ke dalam, sehingga pada waktu pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut. 3) Saluran pengeluaran diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air surut air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang. 4) Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada waktu air pasang kecil.

Page | 38

Air sebagai sumber kehidupan selalu akan diupayakan oleh manusia baik untuk kepentingan manusia itu sendiri ataupun untuk kehidupan makhluk lainnya terutama tumbuh tumbuhan. Di daerah daerah yang kesulitan air akan tetapi termasuk areal yang cukup subur, untuk memenuhi kehidupan tanaman produksi di daerah tersebut maka perlu diupayakan adanya suplai air. Terlebih apabila daerah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan lahan perkebunan yang menghasilkan barang komoditi seperti misalnya gula. Setelah bangsa Belanda menguasai Pulau Jawa, maka banyak dibangun pabrik dan perkebunannya untuk daerah Jawa Tengah yang paling banyak adalah pabrik gula dengan perkebunan tebunya. Pada saat itu pulalah Belanda banyak membangun saluran irigasi yang mampu mensuplai air ke daerah daerah yang kesulitan air. Saluran air irigasi yang dibangun pada masa kolonial Hindia Belanda tersebut oleh masyarakat kita dikenal dengan sebutan jolontoro atau ada juga yang menyebut plumpung banyu. Kata jolontoro sangat dekat dengan kata jaladwarabahasa Jawa Kuna yang berarti jalan air atau saluran air, sedang kata plumpung banyu adalah kata dari bahasa Jawa Baru yang artinya adalah pipa saluran air. Salah satu saluran air yang dibangun oleh Belanda yang disebut Jolontoro atauPlumpung Banyu ditemukan di Dusun Padanjero, Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sebagian warga masyarakat dari kalangan usia 60 tahun ke atas masih menyebutnya jolontoro atau plumpung banyu, sedangkan warga masyarakat dari generasi muda mereka menyebutnya Benteng Irigasi buatan Belanda. Jolontoro yang ditemukan di Dusun Padanjero ini memanjang Utara Selatan sepanjang kira kira 700 meter dan saat ini sudah tidak utuh lagi yaitu bagian ujung Selatan yang terhubung dengan sungai Kali Randukucir dan sebagian dekat diujung Utara sudah terputus. Bangunan saluran air ini dibuat dengan konstruksi batu dan semen tanpa plesteran tebal dinding 100 Cm, tinggi bervariasi antara 0.2 di ujung Utara dan 3 meter di ujung Selatan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kontur lahan di lokasi tersebut tidak sama yaitu bagian Selatan lebih rendah dari pada bagian Utara. Diatas dinding setebal 1 meter tersebut dahulu ditempatkan plat besi berbentuk kanal U untuk mengalirkan air yang dipompa dari sungai Kali Randukucir. Berdasarkan salah seorang petani warga Desa Randusari yang sempat diwawancarai penulis menjelaskan bahwa jolontoro ini mampu mengairi lahan perkebunan dan persawahan yang ada di Desa Randusari dan Desa Joho serta desa desa lain disebelah timurnya.

Page | 39

Belanda membangun Jolontoro di antara Desa Randusari dan Joho, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini terkait dengan program penanaman perkebunan tebu yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan produksi gula yang pabriknya ada di Gondangwinangun, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten tidak begitu jauh dari kedua desa Randusari dan Joho. Bangunan saluran air yang dibangun pada masa kolonial seperti ini ditemukan juga ditempat lain seperti di daerah Sleman. Yogyakarta kira kira 1 Km sebelah Barat Terminal Bus Jombor. Di Rawa Jombor Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Jolontoro yang dibangun tahun 1800 an dengan membuat terowongan di bawah tanah sehingga saluran air tersebut dapat menghubungkan antara Rawa Jombor di Desa Krakitan dan lahan di Desa Jotangan yang terbatasi oleh Gunung Pegat. Sejak kira kira tahun 1960 an Jolontoro Jolontoro tersebut mulai tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, lebih lebih seperti kasus yang di Desa Joho, Prambanan yang memerlukan beaya operasional, pemeliharaan dan perawatan mesin genset yang bekerja menaikkan air dari sungai ke saluran air. Beberapa jolontoro di atas sekarang sudah tidak lagi menjadi dambaan dan harapan baik bagi pemerintah maupun masyarakat, karena sudah tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya bahkan cenderung untuk dirusak karena adanya kepentingan lain. Plat besi/baja kanal U yang ditempatkan di atas dinding sebagai saluran air yang berada di Dusun Padanjero, Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Klaten sudah lama tidak berada di tempatnya, kemungkinan besar diambil oleh orang orang yang membutuhkannya. Tidak difungsikannya Jolontoro di Desa Joho ini karena pada tahun 1960 an dibangun Bendungan Soronayan di Desa Nangsri, Kecamatan Manisrenggo yang terletak di Utara Desa Joho dan berada pada kontur yang lebih tinggi, sehingga air dari bendungan inilah yang akan mensuplai kebutuhan air irigasi untuk Desa Joho, Randusari dan desa desa lain disekitarnya. Sedangkan tidak berfungsinya jolontoro yang ditemukan diantara Rawa Jombor, Desa Krakitan dan Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klaten disebabkan karena volume air Rawa Jombor yang semakin menyusut, sehingga tidak mampu lagi mencapai permukaan saluran air tersebut. Jolontoro yang berada di pinggir jalan antara Jombor - Cebongan, Sleman, Yogyakarta sebagian besar sudah hilang dibongkar karena untuk kepentingan lain seperti untuk akses jalan ataupun untuk dibangun kios.

Page | 40

Kebutuhan akan saluran air yang dapat menghubungkan antara satu tempat dengan tempat yang lain agar kebutuhan air dapat tercukupi adalah kebutuhan yang universal, dan diulai sejak manusia mengenal teknologi irigasi. Di negara negara lain teknologi membuat saluran air seperti jolontoro baik yang dibangun dengan konstruksi seperti jembatan maupun dengan membuat terowongan bawah tanah telah dilakukan jauh sebelum Belanda dan orang orang Eropa datang ke bumi Nusantara. Beberapa contoh saluran air yang konstruksinya mirip dengan jolontoro di Desa Joho, Kecamatan Prambanan, Klaten antara lain seperti yang dibangun oleh bangsa Romawi ribuan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih terpelihara dengan baik, sehingga selain sebagai bukti sejarah juga menggambarkan betapa hebatnya bangsa tersebut dalam melestarikan tinggalan budayanya. Demikian pula beberapa contoh saluran air bawah tanah seperti jolontoro yang ditemukan di antara Desa Krakitan dan Desa Jotangan, Kecamatan Bayat, Klaten ditemukan pula di Cina, Syria, dan Yerusalem.

Page | 41

You might also like