You are on page 1of 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1.

Osteomielitis a. Definisi Osteomielitis (osteo- berasal dari bahasa Yunani yaitu kata osteon yang memiliki arti tulanh, myelo- memiliki arti sumsum tulang dan it is yang memiliki arti inflamasi), secara sederhana diartikan sebagai suatu infeksi pada tulang atau sumsum tulang.2 Osteomielitis dapat juga berarti proses inflamasi akut atau kronis dari tulang dan struktur sekunder tulang akibat dari infeksi organisme piogenik.1 Osteomielitis dapat terjadi dari perluasan langsung dari focus visera, penyebaran sistemik melalui invasi aliran darah, inokulasi traumatic, atau kontaminasi pada saat pembedahan. Diskus korpus vertebra lumbal merupakan tempat yang paling sering terkena dan

mengenai pasien secara umum dengan nyeri pinggang.3

Gambar 1. Osteomielitis

Gambar 2. Osteomielitis vertebra. Tulang vertebra dan jaringan yang meliputinya termasuk diskus dapat terinfeksi.4

b. Etiologi

Penyebab osteomielitis yang paling umum baik osteomielitis hematogen dan osteomielitis inokulasi langsung adalah Staphylococcus aureus.1

c. Patofisiologi Secara umum, mikroorganisme dapat menginfeksi tulang melalui 1 atau lebih dari 3 metode dasar yaitu melalui aliran darah, secara kontigua dari daerah lokal dari infeksi (seperti pada selulitis), atau trauma tajam, termasuk sebab-sebab iatrogenic seperti penggantian sendi atau fiksasi internal pada fraktur atau akar gigi.2 Osteomielitis mungkin dilokalisasi atau mungkin menyebar melalui sumsum tulang, dan korteks periosteum. Pathogen bakteri bervariasi berdasarkan usia pasien dan mekanisme infeksi.1 Hematogenous ditandai dengan osteomielitis. akut Osteomielitis pada tulang hematogen disebabkan akut oleh

infeksi

perkembangbiakan bakteri dalam tulang dari sumber yang jauh. Kondisi ni terutama terjadi pada anak-anak dimana dengan perkembangan metafisis yang pesat dan sangat vascular menjadi predisposisi penting untuk perkembangbiakan bakteri.1 Osteomielitis inokulasi langsung. Osteomielitis inokulasi terjadi akibat adanya kontak langsung antara jaringan dan bakteri pada kondisi trauma atau operasi. Manifestasi klinis dari osteomielitis inokulasi

langsung lebih lokal daripada osteomielitis hematogen dan cenderung melibatkan beberapa organisme.1 Osteomielitis kronis merupakan kondisi yang terus-menerus atau berulang, terlepas dari penyebab awal dan/atau mekanisme terjadinya kondisi osteomielitis.1 Kondisi osteomielitis pada kondisi klinik bisa terjadi dengan adanya riwayat pernah mengalami fraktur terbuka, riwayat pembedahan dengan pemasangan fiksasi interna. Ada berbagai predisposisi yang meningkatkan risiko osteomielitis, meliputi: tidak adekuatnya nutrisi dan higienis, faktor imunitas dan virulensi kuman, serta adanya port de entre dari luka terbuka.1 Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang di mana jaringan tulang tidak dapat berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul thrombosis pada pembuluh darah tulang dan akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. di samping proses tersebut, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam pertiosteum sepanjang diafisis sehingga terbentuk suatu jaringan sekuestrum. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus (discharge) keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. Pada tahap selanjutnya penyakit akan berkembang menjadi osteomielitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa,

infeksi dapat terlokalisasi, serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronis.1

d. Manifestasi Klinik Dari anamnesis perlu ditanyakan onset keluhan yang terjadi pada lesi terbentuknya osteomielitis. Sering didapatkan adanya keluhan meliputi nyeri lokal, adanya kerusakan jaringan lunak dengan disertai keluarnya pus dari kloaka, deformitas pada tungkai, sampai hambatan mobilitas fisik.1 Perlu pula dikaji adanya respons inflamasi sistemik. Sering didapatkan adanya malaise, demam, dan kelemahan fisik respons dari peningkatan laju metabolisme, serta penurunan asupan nutrisi

menyebabkan penderita terlihat kurus akibat ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.1 Look: Tungkai bawah didapatkan adanya luka kronis dengan terbentuknya kloaka disertai adanya pus dan bau yang khas Feel: Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) Move: Gangguan pergerakan pada kaki, kadang didapatkan gangguan pergerakan sendi kaki karena pembengkakan sendi dan gangguan bertambah berat bila terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat disebabkan oleh efisi sendi atau infeksi sendi (arthritis sepsis).1

e. Pemeriksaan Diagnostik Pengkajian diagnosis pada osteomielitis adalah sebagai berikut:1 1. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya peningkatan kadar leukosit, LED, dan protein C-reaktif 2. Pemeriksaan kultur sangat diperlukan untuk pemberian antimikroba yang rasional 3. Pemeriksaan foto polos akan didapatkan adanya sekuestrum pada tulang tibia dan fibula atau destruksi tulang akibat adanya nekrosis dari tulang yang mengalami osteomielitis

Gambar 3. Osteomielitis tibia pada anak. Terlihat gambaran abses pada tulang yang berupa radiolusen5

Gambar 4. Gambaran radiologis osteomielitis kronik. X ray pada kedua tungkai (Panel A) dan CT scan axial (Panel B) dengan potongan sagital (Panel C) menunjukkan deformitas berat pada femur kiri, lesi litik kecil pada proksimal, formasi involukrum (kepala panah pada seluruh panel), atrofi otot kuadriseps, dan sinus posterolateral (panah putih pada Panel B)6 Penatalaksanaan1 1. Analgesik untuk menghilangkan nyeri 2. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu transfusi darah 3. Istirahat lokal dengan bidai atau traksi 4. Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama yaitu Staphylococcus aureus sambil menunggu hasil biakan kuman 5. Drainase bedah. Apabila setelah 24 jam pengobatan lokal dan sistemis antibiotic gagal (tidak ada perbaikan keadaan umum), maka dapat dipertimbangkan drainase bedah (sirurgis). Pada drainase bedah pus subperiosteal dievakuasi untuk mengurangi

f.

g. Komplikasi Komplikasi dari osteomielitis adalah sebagai berikut.1 1. Abses tulang 2. Abses paravertebral 3. Bakteremia/sepsis 4. Fraktur 5. Lepasnya implant prostetik 6. Selulitis

1.2.

Osteomielitis Piogenik Akut a. Definisi Osteomielitis akut adalah suatu peradangan akut tulang yang disebabkan oleh infeksi. Organism Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling umum terlibat dalam infeksi. Atas dasar rute infeksi, osteomielitis akut dapat digolongkan sebagai hematogen atau eksogen. Osteomielitis hematogen dominan terlihat pada anak-anak dan melibatkan tulang panjang yang sangat vascular, terutama ekstremitas bawah. Pada orang dewasa, menyebar secara hematogen lebih umum pada badan vertebra lumbar daripada di tempat lain.1

b. Patofisiologi

10

Patofisiologi bergantung pada tingkat kerusakan jaringan lunak dan penurunan suplai darah, ketidakstabilan fragmen fraktur, serta inokulasi flora bakteri pada system kekebalan tubuh.1 Infeksi umumnya menyebar dari focus intramedula utama melalui kanal haversian dari korteks ke ruang subperiosteal, membentuk abses subperiosteal. Jika ini pecah, infeksi meluas ke jaringan lunak di atasnya. Peradangan metafiseal menyebabkan eksudasi, peningkatan tekanan intraoseus, stasis pembuluh darah, thrombosis, nekrosis tulang, dan resorpsi tulang. terkadang infeksi meluas ke sendi yang berdekatan.1 Tulang panjang tubular memiliki pertumbuhan yang paling cepat dan metafisis terbesar karena merupakan area yang paling umum untuk mengalami invasi bakteri. Sebanyak 75% dari anak-anak memiliki infeksi pada area seperti femur distal dan proksimal, tibia, humerus distal, serta fibula. Trauma lokal dapat mengurangi resistensi tuan rumah dan memengaruhi individu untuk osteomielitis.1 Proses penyakit terjadi dalam 5 tahap.1 1. Inflamasi Fase ini ditandai dengan kongesti vascular dan peningkatan tekanan intraoseus. Obstruksi aliran darah terjadi akibat adanya thrombosis intravascular. 2. Supurasi Pembentukan pus pada subperiosteum terjadi dalam 2-3 hari. 3. Sekuestrum

11

Peningkatan tekanan, obstruksi vascular, dan pembentukan thrombus pada periosteum dan endosteum, menyebabkan nekrosis tulang sekitar 7 hari. 4. Involukrum Pembentukan formasi tulang baru pada permukaan periosteum. 5. Resolusi atau progresi menuju komplikasi Dengan penatalaksanaan antibiotic yang rasional dan terapi bedah yang efektif pada fase awal penyakit, biasanya komplikasi dari osteomielitis dapat dicegah.

c. Manifestasi Klinik Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri lokal, pembengkakan lokal, dan adanya hangat lokal. Keluhan sistemis berupa adanya keluhan demam, malaise, dan anoreksia. Pemeriksaan klinis mengungkapkan pireksia, eritema lokal, dan kelembutan. Penyebaran pada sendi akan menyebabkan pembengkakan sendi, nyeri sendi, gangguan pergerakan sendi, dan regional limfadenopati. Studi laboratorium biasanya menunjukkan leukositosis, peningkatan protein C reaktif dan LED.1

d. Pemeriksaan Laboratorium Studi laboratorium biasanya menunjukkan leukositosis,

peningkatan protein C reaktif dan LED.1

12

e.

Diagnosis Banding1 1. Sarkoma Ewing 2. Osteomielitis kronik 3. Artritis sepsis 4. Fraktur stress

1.3.

Artritis Sepsis a. Definisi Artritis sepsis secara umum ditujukan untuk bacterial atau arthritis yang terinfeksi. Artritis sepsis secara intens ditunjukkan dengan infeksi yang sangat nyeri pada sendi.7 Arthritis sepsis juga dapat diartikan sebagai suatu invasi purulen pada sendi oleh agen infeksius yang menghasilkan arthritis.8 Orang dengan sendi buatan memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan yang tidak namun memiliki gejala yang sedikit berbeda, terinfeksi dengan organism berbeda dan membutuhkan terapi yang berbeda pula.9

13

Gambar 5. Artritis Sepsis

Gambar 6. Artritis Sepsis pada Lutut10 b. Epidemiologi Sekitar 20.000 kasus arthritis sepsis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, kelompok utama arthritis supuratif adalah gonokokus dan nongonokokal. Secara keseluruhan, meskipun Neisseria gonorrheae tetap yang paling pathogen (75% dari kasus), infeksi Staphylococcus aureus adalah penyebab sebagian besar kasus radang sendi bakteri akut pada orang dewasa dan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun. Patogen ini penyebab di 80% dari sendi yang terinfeksi terkena rematoid arthritis. Spesies streptokokus terlibat dalam 20-25% kasus. Sebagian besar infeksi terjadi

14

pada anak-anak, lansia, imunosupresi, dan pengguna narkoba secara intravena.1

c. Etiologi Etiologi tersering dari arthritis sepsis adalah bakteri, namun viral, mikrobakterial dan arthritis fungal dapat pula terjadi. 11 Virus dapat pula menjadi etiologi arthritis, namun sulit untuk menentukan apakah arthritis secara langsung disebabkan oleh virus atau apabila arthritis tersebut reaktif.12

d. Patofisiologi Organisme dapat menginvasi secara inokulasi langsung pada saat kontak dari jaringan periartikular yang terinfeksi atau melalui aliran darah (rute yang paling umum). Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan vascular yang kurang dibatasi oleh membrane basal sehingga memungkinkan mudah masuknya bakteri secara hematogen. Di dalam ruang sendi, lingkungannya sangat avaskular (karena banyaknya fraksi kartilago hialin) dengan aliran cairan sendi yang lambat, sehingga suasana yang baik bagi bakteri berdiam dan berproliferasi.1 Sendi normal memiliki beberapa komponen pelindung. Sel sinovia yang sehat memiliki aktivitas fagositosis signifikan dan cairan sinovia biasanya memiliki aktivitas bakterisida signifikan. Kondisi arthritis rematik dan lipus eritematosus sistemis menghambat fungsi pertahanan

15

cairan sinovia, penurunan kemotaksis, dan penurunan fungsi fagositosis leukosit PMN. Adanya riwayat kerusakan sendi, terutama oleh rematoid arthritis dan memberikan kondisi yang paling rentan terhadap infeksi. Perubahan membrane sinovia dengan terjadinya peningkatan dari neovaskularisasi sendi dan peningkatan adhesi memberikan manifestasi untuk terjadinya bakteremia dan mengakibatkan infeksi sendi.1 Konsekuensi utama dari invasi bakteri adalah kerusakan tulang rawan artikular. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemampuan organism untuk memberikan kondisi patologis. Sel-sel merangsang sintesis sitokin dan produk inflamasi lainnya yang mengakibatkan hidrolisis kolagen dan proteoglikan. Infeksi gonorea menginduksi masuknya leukosit ke dalam sendi, lalu menimbulkan kerusakan sendi yang minimal dibandingkan dengan infeksi organism Staphylococcus aureus.1 Dengan berlanjutnya proses destruktif, maka terbentuk erosi tulang rawan pada margin lateral sendi dan semakin luasnya kerusakan tulang rawan akan terbentuk ekspos tulang yang mengganti posisi tulang rawan, kondisi ini akan menurunkan fungsi sendi. Kondisi lebih lanjut akan menyebabkan degenerasi tulang yang terlibat sehingga mengalami perubahan arsitektur pada ujung tulang. Kondisi pembentukan efusi yang dapat terjadi pada infeksi pada sendi pinggul akan mengganggu suplai darah dan mengakibatkan nekrosis tulang.1

e. Manifestasi Klinis

16

Secara umum riwayat penyakit arthritis sepsis adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal pada sendi yang terinfeksi,

pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang lingkup gerak sendi.1 Pada pemeriksaan pasien yang mengalami arthritis septic, biasanya sendi yang paling terlibat adalah sendi lutut (50% dari kasus), diikuti dengan sendi hip (20%), bahu (8%), pergelangan kaki (7%), dan pergelangan tangan (7%). Sendi pada siku, interphalangeal,

sternoklavikular, dan sendi setiap sacroiliac hanya sekitar 1-4% kasus.1 Pada kebanyakan kasus arthritis reaktif biasanya akan melibatkan beberapa sendi yang besar dengan pola asimetris. Look: pada sendi lokal didapatkan adanya tanda-tanda eritema, bengkak (90% kasus), sendi terinfeksi biasanya menunjukkan suatu efusi yang jelas. Feel: teraba hangat lokal, kelembutan, dan tenderness Move: keterbatasan gerak sendi akibat adanya nyeri sendi.1

f. Pemeriksaan Diagnostik 1. Laboratorium Evaluasi dari cairan sinovia (yaitu melalui jumlah leukosit, penampilan Gram, polarisasi pemeriksaan mikroskopis, dan kultur)

17

adalah pendekatan yang paling berharga dalam mengidentifikasi penyebab dari arthritis septic. Kultur sinovia atau jaringan sinovia itu sendiri adalah satu-satunya metode definitive untuk mendiagnosis arthritis sepsis. Hasil kultur pada pasien arthritis sepsis

nongonokokal hampir selalu positif kecuali pasien telah menerima antibiotic sebelum aspirasi bersama. Kultur dari cairan sendi pada infeksi gonokokal menghasilkan hasil yang positif dalam hanya sekitar 25% dari kasus. Keputusan pemberan terapi dengan menunda sampai hasil kultur didapatkan merupakan keputusan yang baik.1 Cairan sinovia dari arthritis reaktif menunjukkan sedikit tandatanda peradangan. Cairan sinovia dari sendi yang terinfeksi dengan mikobakterium tuberculosis menunjukkan ditandai leukositosis. Hasil kultur positif pada 80% kasus. Hasil biopsy sinovia positif di 94% dari specimen.1 Jika kondisi pasien tidak membaik secara signifikan setelah pemberian antibiotika yang sesuai dengan kultur dalam rentang waktu 5 hari, sendi harus diaspirasi ulang dan diperiksa kembali. Sebagian besar sepsis sendi memiliki jumlah WBC yang melebihi 50.000/uL, dengan lebih dari 75% leukosit polimorfonuklear. Namun, berbagai proses peradangan steril mungkin menunjukkan profil selular yang sama.1 Perubahan dalam konsentrasi glukosa dan protein dari cairan sinovia yang spesifik perlu diukur, tetapi tidak harus secara rutin.

18

Peningkatan LED dan CRP (protein C reaktif) ditemukan pada sebagian besar kasus dan merupakan hasil yang berguna dalam menilai respons terhadap terapi, serta dalam mendeteksi proses akut pada peradangan sendi. Pengukuran kadar asam urat serum tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis artropati asam urat.1

Gambar 7. Algoritme untuk mengevaluasi sendi yang hangat dan bengkak.13

19

Gambar 8. Aspirasi jarum pada sendi14

2. Radiodiagnostik Radiografi polos mempunyai keterbatasan dalam mengevaluasi adanya infeksi pada sendi. Pembengkakan jaringan lunak

periartikular adalah penemuan yang paling umum. Radiografi paling berguna dalam mengesampingkan osteomielitis periartikular yang disebabkan oleh infeksi sendi itu sendiri.1 USG dapat digunakan untuk mendiagnosis efusi pada arthritis sepsis kronis (sekunder terhadap trauma atau rematoid arthritis). CT scan dan MRI lebih sensiif untuk membedakan osteomielitis, abses periartikuler, dan efusi sendi. Namun, pemeriksaan ini perlu ditinjau kembali karena mahalnya biaya, meskipun paling bermanfaat pada pasien dengan infeksi sendi sakroiliaka atau sternoklavikular untuk mrnyingkirkan perluasan ke mediastinum atau panggul. MRI lebih disukai karena kemampuannya yang lebih besar untuk gambar jaringan lunak.1

20

g. Penatalaksanaan Penatalaksanaan manajemen medis berfokus pada arthritis sepsis dengan ketepatan waktu pemberian antimikroba dan drainase yang memadai dari cairan sinovia yang terinfeksi, serta imobilisasi sendi untuk mengontrol rasa sakit. Beberapa penatalaksanaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut.1 1. Artritis sepsis dengan durasi <3 minggu dapat disembuhkan secara medis jika tipe awal atau sekunder untuk menyebar hematogen tanpa bukti keterlibatan jaringan lunak periartikular atau ketidakstabilan sendi. 2. Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang terkena. Rehabilitasi merupakan hal yang penting untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi morbiditas arthritis sepsis. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat munculnya arthritis untuk mengurangi kehilangan fungsi. Pada fase akut dan fase supuratif, pasien harus mempertahankan posisi fleksi ringan sampai sedang yang biasanya cenderung membuat kontraktur. Pemasangan bidai kadang perlu untuk mempertahankan posisi dengan fungsi optimal: sendi lutut dengan posisi ekstensi, sendi panggul seimbang posisi ekstensi dan rotasi netral, siku fleksi 90, dan pergelangan tangan posisi netral sampai sedikit ekstensi. Walaupun pada fase akut, latihan isotonic harus segera dilakukan untuk mencegah atrofi.

21

Pergerakan sendi baik aktif maupun pasif harus segera dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah keluhan membaik. 3. Pemilihan antibiotic awal harus empiris, harus berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk kondisi klinis, usia, pola dan resistensi kuman setempat, serta hasil pengecatan gram cairan sendi. 4. Modifikasi antibiotika dilakukan bila sudah ada hasil kultur dan sensitivitas bakteri 5. Pemberian antibiotic biasanya harus diberikan parenteral selama sedikitnya 2 minggu. Namun, setiap kasus harus dievaluasi secara independen. Kondisi infeksi dengan meticilin-resistant S.aureus (MRSA) atau methicilin-sensitive S.aureus (MSSA) membutuhkan setidaknya 4 minggu penuh terapi antibiotic intravena. 6. Drainase bisa dilakukan perkutan atau bedah. Secara umum, aspirasi jarum dilakukan pada fase awal untuk menurunkan jumlah pus dan untuk mencegah reakumulasi. Aspirasi sendi 2-3 kali sehari mungkin diperlukan selama beberapa hari pertama. Jika drainase sering diperlukan, maka drainase bedah menjadi pilihan untuk

meningkatkan pengobatan. 7. Jika setelah 5 hari terapi, sendi menunjukkan beberapa tingkat perbaikan, pertimbangan pemberian agen anti-inflamasi. 8. Jika terapi gagal untuk merespons setelah 5 hari terapi antibiotic yang sesuai (misalnya, hehadiran klinis demam signifikan, purulensi

22

sinovia lanjut, dan kultur positif), maka ditinjau kembali pendekatan terapeutik. 9. Pertimbangkan kemungkinan arthritis reaktif. Agen inflamasi nonsteroid adalah agen terapeutik utama untuk arthritis reaktif. Terapi bedah Bedah drainase ditunjukkan ketika 1 atau lebih hal berikut terjadi:1 1. Pilihan tepat drainase perkutan dan antibiotic gagal untuk menghapus infeksi setelah 5-7 hari. 2. Sendi yang terinfeksi sulit untuk dilakukan aspirasi (misalnya pinggul) atau ada jaringan lunak yang berdekatan telah terinfeksi. Rawat Inap Biasanya, imobilisasi dari sendi yang terinfeksi dilakukan untuk mengontrol rasa sakit setelah beberapa hari pertama. Terapi fisik awal dilakukan untuk mempertahankan fungsional dari sendi dengan memberikan latihan pasif secara bertahap. Secara keseluruhan, panjang rata-rata rawat inap arthritis sepsis adalah 11,5 hari.1 Pencegahan Untuk mencegah kejadian arthritis sepsis, setiap pelaksanaan prosedur dilakukan secara steril, misalnya dalam aspirasi atau prosedur artroskopik. Pemberian antibiotic profilaksis dengan antibiotic

antistafilokokus telah ditunjukkan untuk mengurangi infeksi luka pada bedah penggantian sendi.1

23

h. Komplikasi Disfungsional sendi, osteomielitis, dan sepsis sistemik.1

i. Prognosis 50% orang dewasa dengan arthritis aepsis mempunyai penurunan yang signifikan dari jangkauan gerak atau mengalami nyeri kronis setelah infeksi.1 Predictor hasil yang buruk di arthritis supuratif meliputi hal-hal berikut.1 1. Umur lebih tua dari 60 tahun 2. Infeksi sendi pinggul atau bahu 3. Rematoid arthritis 4. Temuan positif pada kultur cairan sinovia setelah 7 hari terapi 5. Keterlambatan penatalaksanaan >7 hari akan memberikan dampak pada kompleksnya pemberian terapi yang akan diberikan. Sekitar 30% dari kasus arthritis reaktif bisa menjadi kronis.

j. Pendidikan Pasien

24

Instruksikan pasien dengan sendi palsu untuk mengenali tandatanda awal infeksi dan yang lebih penting untuk mengidenifikasi infeksi bakteri di bagian lain dari tubuh mereka untuk mencegah bakteremia.1

1.4.

Spondilitis Tuberkulosa a. Sejarah Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang tergolong sangat lama dideskripsikan menyerang manusia yang terdokumentasi pada zaman besi dan pada mumi yang didapatkan di Mesir dan Peru. Pada tahun 1779, Percivall Pott (nama lain dari spondilitis tuberkulosa adalah penyakit Pott) mendeskripsikan gambaran klinis klasik penyakit ini untuk pertama kalinya, yaitu adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang. Namun, pada saat itu penyakit pott belum dihubungkan dengan basil tuberkulosa sampai ditemukannya basil tersebut oleh Koch pada 1882. Barulah setelah itu, etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.1

b. Epidemiologi Insidensi spondilitis tuberkulosa di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia, serta kondisi sosial di Negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada Negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana

25

malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama. Pada Negara-negara yang sudah berkembang atau maju, insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.1 Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan berat (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. dari seluruh kasus tersebut tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut, dan tulang-tulang lain di kaki; sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torakolumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sacral.1 Deficit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di Negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia

nontraumatik. Paraplegia terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi

26

usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakanh, kecuali pada dekade pertama (paraplegia jarang ditemukan di usia muda).1

c. Patofisiologi Spondilitis tuberkulosa merupakan sekunder infeksi dari

ekstraspinal. Tuberkulosa pada tulang belakang ini dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari focus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.1 Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari system pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari focus primer di paru. Sementara pada dewasa, penyebaran terjadi dari focus ekstrapulmoner (usus, ginjal dan tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostal atau lumbar yang memberikan suplai darah kedua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi kolumna vertebralis sehingga menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya 2 vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan 3 atau lebih vertebra.1 Lesi dasar dari penyakit ini merupakan kombinasi antara osteomielitis dan arthritis yang melibatkan 1 atau lebih dari vertebra.

27

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligament longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus

intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan focus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal. Infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.1 Proses lanjut apabila tidak mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi proses lanjut dimana nekrosis akan mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular pada diskus yang memberikan manifestasi pada penyempitan rongga diskus, hilangnya tulang subkondral, dan kolapsnya korpus vertebra. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endoarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.1 Sebagai media untuk menahan beban, kolaps vertebra akan memberikan dampak terhadap destruksi progresif tulang belakang terutama pada bagian anterior. Destruksi lanjut akan menyebabkan perubahan pada diskus intravertebral dan akan timbul deformitas berbentuk kifosis (gibus) yang progresivitasnya bergantung dari derajat kerusakan, level lesi, serta jumlah vertebra yang terlibat. Jika deformitas ini sudah timbul, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.1

28

d. Manifestasi Klinis Hasil pengkajian pada spondilitis tuberkulosa akan dipengaruhi oleh 3 faktor berikut.1 1. Tahap penyakit 2. Area yang sudah terpengaruh 3. Komplikasi, seperti deficit neurologis dari cedera korda spina Dari anamnesis, klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dari bulan hingga tahun. Keluhan sistemik biasanya lebih sering didapatkan, secara umum dapat berupa demam yang hilang timbul, keringat malam, anoreksia, serta penurunan berat badan. Pada anak didapatkan keluhan orang tua, seperti anak yang malas untuk bermain keluar rumah, hilangnya berat badan, dan berkurangnya nafsu makan. Hasil anamnesis lain adalah adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah. Keluhan nyeri lokal pada tulang belakang ditemukan.1 Keluhan akibat abnormalitas neurologi terjadi sekitar 50% dari kasus spondilitis tuberkulosa, berupa keluhan paraplegia, paresis, gangguan sensasi, nyeri radikal dan sindrom kauda ekuina. Pada gangguan lanjut biasanya akan ada deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/angulasi posterior), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.1 Walaupun jarang, infeksi yang melibatkan area servikal akan memberikan manifestasi nyeri dan kekakuan pada leher, disfagia, serta biasanya

29

stridor.

Nyeri

dan

kekakuan

leher

dikarakteristikan

dengan

ketidakmampuan menolehkan kepala, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi, dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh 1 tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea ke sterna notch memberikan dampak pada disfagia dan stridor. Sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis.1 Infeksi di region torakal akan memberikan manifestasi keluhan adanya kekakuan pada punggung. Keluhan dirasakan terutama pada saat berbalik dengan menggerakkan kaki, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Respons dari penekanan korda pada region ini menyebabkan keluhan paralisis. Pada beberapa keadaan pasien mengeluh adanya benjolan pada punggung yang berupa abses paravertebra.1 Infeksi pada regio lumbar memberikan manifestasi adanya abses pada pinggang dan di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakanng sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya di

30

atas paha. Adanya kontraktur otot akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.1 Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak kekakuan pada alat gerak bawah dengan reflex tendon dalam yang hiperaktif, misalnya pola jalan yang kaku dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Selain itu, dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.1 Dari pemeriksaan fisik regional didapatkan hal berikut.1 Look: Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat adanya abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, serta dekubitus pada bokong. Feel: Jika terdapat abses, maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, berbeda dengan abses piogenik yang teraba panas). Sensasi ini dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fosa iliaka, retrofaring, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), bergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abcess. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena. Move: Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan pergerakan tulang belakang.

31

e. Pemeriksaan Diagnostik
1.

Laboratorium1 a.Tuberkulin skin test atau tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif b. Laju eendap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100 mm/jam c.Leukositosis d. Kultur cairan serebrospinal menunjukkan basil tuberkel

2.

Radiodiagnostik1 a. Pada foto polos, kondisi tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior korpus vertebra, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi korpus vertebra anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous. b. CT scan. Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi region torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT scan. c. MRI mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat komresif dengan yang bersifat nonkompresif pada tuberkulosa tulang belakang.

32

f.

Diagnosis banding1 1. Infeksi piogenik 2. Infeksi enteric 3. Tumor/ penyakit keganasan 4. Scheuermanns disease 5. Mieloma multipel 6. Kandidiasis 7. Artritis septic 8. Abses korda spina 9. Tuberkulosis

g. Penatalaksanaan 1. Konservatif
a.

Imobilisasi dengan tirah baring panjang atau dengan gips badan (body cast)1 Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditunjukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat

33

berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis, dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, serta suhu badan normal. Hasil laboratorium menunjukkan penurunan laju endap darah dan te Mantoux umumnya <10 mm. pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
b.

Kemoterapi dengan OAT selama 6-9 bulan1 Terapi utama spondilitis tuberkulosa adalah kemoterapi dengan OAT. Pemberian kemoterapi OAT dapat secara signifikan

mengurangi morbiditas dan mortalitas. Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifampisin (RMP), pirazinamid (PZA), streptomisin (SM), dan etambutol (EMB).
c.

Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP)1

2. Terapi Bedah Terapi bedah dilakukan dengan indikasi berikut.1 a. Defisit neurologi (deteriorasi neurologis akut, paraparesis, dan paraplegia) b. Deformitas spina dengan ketidakstabilan dan adanya nyeri c. Tidak ada respons pada pengobatan OAT dengan disertai adanya progresifitas atau ketidakstabilan spina d. Abses paraspina yang besar

34

e. Diagnosis yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsy. Pelaksanaan terapi bedah dilakukan bersama dengan pemberian kemoterapi OAT. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannyaa diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi 2 atau lebih korpus vertebra, adanya instabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat, serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior. Pada kasus dengan kifosis berat atau deficit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.1 Intervensi bedah banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat anti tuberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) tetapi tidak memberikan respons yang baik.

35

Jika tidak ada perbaikan, terapi paling efektif pada lesi spinal adalah dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa dan tulang yang terinfeksi, serta memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.1 Intervensi bedah lain juga dilakukan debridement dengan fusi dan dekompresi dengan fiksasi interna terutama apabila terjadi perubahan dari struktur spina disertai adanya paraplegia berat, paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaab pemberian terapi konservatif).1 Tindakan laminektomi sebaiknya dihindari sebagai prosedur utama terapi paraplegia Pott dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar, adanya keterlibatan korda spinalis, paraplegia menetap meski setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan.1

h.

Komplikasi1 1. Cedera korda spinalis. Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuestra dari diskus intervertebralis atau dapat juga langsung karena

36

keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh: meningomielitis-prognosis buruk). Jika cepat diterapi sering berespons baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegia karena tekanan atau karena invasi dura dan korda spinalis. 2. Empiema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

i. Prognosis Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat bergantung pada usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat, dan durasi deficit neurologis, serta terapi yang diberikan.

1.5.

Sinovitis Transient Hip a. Definisi Transien sinovitis pada hip adalah suatu peradangan sinovia sendi hip yang bersifat transien.Transien sinovitis hip (TSH) sering terjadi, dan penyebab umum terhadap nyeri pada hip terutama pada anak-anak usia 3-10 tahun.1

37

Gambar 9. Transient Sinovitis hip pada anak

b. Etiologi Penyebab pasti masih belum diketahui. Namun, ada beberapa hal yang menjadi predisposisi, yaitu adanya riwayat trauma dan pascareaksi pemberian vaksin alergi.1

c. Manifestasi Klinis Anamnesis pada orang tua, biasanya ditemukan bahwa anak rewel dan semakin menangis apabila pinggulnya secara rotasi luar. Pada anak yang lebih tua atau orang dewasa keluhan nyeri bersifat kronis dan bertambah nyeri bila sendi (hip) digerakkan. Selain itu, sering ditemukan adany riwayat infeksi saluran napas atas, otitis media dan bronchitis. Riwayat demam sedang sampai demam tinggi.1 Pada pemeriksaan fisik focus dapat didapatkan sebagai berikut:1 Look: Pada bayi biasanya didapatkan tanda khas posisi abduksi maksimal Feel: Nyeri tekan pada hip

38

Move: Pemeriksaan pada hip dengan melakukan pemeriksaan fleksi, abduksi, dan eksternal rotasi (FABER) didapatkan keluhan nyeri pada sendi sakroiliaka.

d.

Diagnosis Banding1 1. Artritis septis 2. Artritis juvenile idiopatik 3. Artritis rematoid juvenile 4. Osteomielitis

e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan bertujuan untuk mengurangi nyeri dan mengatasi proses peradangan.1 1. Tirah baring dengan pemasangan traksi kulit dengan 45 fleksi intrakapsular selama 7-10 hari. 2. Kompres hangat dan masase di sekitar pinggul 3. Obat NSAIDs, jenis naproksen dan ibuprofen sangat efektif sebagai agen analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik.

3.1.

Bursitis a Definisi Bursitis merupakan peradangan pada bursa yang terjadi ketika ruang sinovia mengalami penipisan dan peningkatan produksi cairan

39

yang memberikan manifestasi pembengkakan lokal dan nyeri. Bursitis dibagi menjadi akut, rekuren dan kronis.1 Bursa merupakan suatu sakus (kantong) yang berada di antara kulit dan tulang atau di antara tendon, ligament dan tulang. bursa berada di sekitar jaringan sinovia dengan memproduksi cairan dan menurunkan friksi di antara struktur tersebut.1

b Etiologi Penyebab bursitis adalah sebagai berikut.1 1. Gangguan autoimun 2. Deposisi Kristal (gout atau pseudogout) 3. Penyakit infeksi 4. Traumatik 5. Gangguan perdarahan 6. Penyakit sistemik (arthritis rematoid, ankilosing spondilitis, arthritis psoriasis, scleroderma, lupus eritematosus sistemik, pancreatitis, whipple disease, oxalosis, uremia, osteoartropati pulmonary

hipertrofi, dan idiopatik hipereosinofilik sindrom).

c Patofisiologi Respons peradangan yang terjadi pada bursa akan meningkatkan penipisan pada sinovia. Jaringan granulasi dan fibrotic terbentuk

40

kemudian memberikan manifestasi pada bursa yaitu terisi cairan yang kaya akan fibrin atau bisa berupa darah (hemoragis).1

d Manifestasi Klinis Pada anamnesis didapatkan riwayat adanya nyeri pada saat menggerakkan sendi atau pada saat istirahat, riwayat pembengkakan, dan penurunan rentang gerak sendi. Perbedaan antara bursitis sepsis dengan non-sepsis terdapat pada adanya gejala demam pada sepsis.1 Pada pemeriksaan regional disapatkan sebagai berikut.1 Look: Terlihat adanya pembengkakan dan kemerahan pada bagian bursa yang mengalami peradangan. Tempat yang paling sering terkena adalah lutut dan olekranon. Feel: Nyeri tekan dan hangat Move: Penurunan rentang gerak sendi

Pemeriksaan Diagnostik1 1. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan LED dan CRP. Pada pemeriksaan cairan bursa dilakukan untuk mendeteksi adanya sepsis bursitis secara kultur. 2. Pemeriksaan radiodiagnostik Pemeriksaan radiodiagnostik dilakukan untuk mengidentifikasi adanya osteofit atau patologi tulang lainnya.

41

f Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk menurunkan nyeri adalah sebagai berikut.1 1. Proteksi dengan pembebatan atau dengan brace 2. Istirahat untuk menghindari aktivitas dari sendi untuk menurunkan nyeri 3. Kompres dengan kompres es dapat menurunkan respons nyeri 4. Kompresi dengan perban elastic 5. Elevasi, dengan mengatur posisi area bursitis berada lebih tinggi daripada jantung sehingga dapat mengurangi pembengkakan dan nyeri. 6. Obat-obatan, kortikosteroid Terapi bedah secara umum hanya dilakukan apabila terjadi perlengketan bursa dengan keterbatasan pergerakan sendi yang berat. pemberian NSAIDs, asetaminofen, dan injeksi

42

You might also like