You are on page 1of 43

SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

AUGUST 30, 2009 BY FILSUFGAUL

Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab tantangan zaman. Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan:[1] 1. Perolehan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan pasar. 2. Orientasi humanistik 3. Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan. 4. Kemajuan ilmu itu sendiri. Dari keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor dua yang berorientasi pada tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting dalam proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan. 1. 1. Pendidikan Pra Kemerdekaan Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri politik tanam paksa menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari

kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan ongko loro diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.[2] Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, Pagoeyoeban Pasoendan di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa semangat nation and character building dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2.[3] Masa prakemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk

pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial.[4] Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya. 1. 2. Pendidikan Pasca Kemerdekaan dan Masa Orde Lama Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya:[5] 1. Terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus dihormati oleh murid. 2. Penduduk dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan. 3. Model sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekasbekas pengaruhnya dalam mengalami kegagalan. 4. Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang politik. 5. Kaum elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata tidak akrab dengan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang

kelas sosial.[6] Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat menurunkan kebangunan ke dalam jiwa sang anak,[7] Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan. Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem among berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai Panca Dharma Taman Siswa dan semboyan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem

Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.[8] 1. a. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya: 1) Rentang Tahun 1945-1968 Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan seharihari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara. 2) Rencana Pelajaran Terurai 1952 Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan. 3) Kurikulum 1964

Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat. 1. 3. Pendidikan Masa Orde Baru Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan. Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi keseragaman sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.[9] Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap lingkungan.[10]Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah: 1. Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).

2. Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang berpikiran positivistik 3. Hilangnya kebebasan berpendapat. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K).[11] pada masa orde baru dibentuk BP-7 yang menjadi pusat pengarus utamaan (mainstreaming) pancasila dan UUD 1945 dengan produknya mata ajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataran P-4. Ditahun 1980 mulai timbul masalah pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah pengangguran terdidik[12]. Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan link and match[13]sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu.[14] 1. a. Posisi Siswa Sebagai Subjek dalam Era Orde Baru Telah dipaparkan sebelumnya bahwa pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa, terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia pekerja yang kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa. 1) Kurikulum 1968 Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut.

Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja. 2) Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajarmengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap. 3) Kurikulum 1984 Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. 4) Kurikulum 1994 Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulumkurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan

dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi. 1. 4. Pendidikan pada Masa Reformasi Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.[15] Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan. Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model Manajemen Berbasis Sekolah. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[16] Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi terhormat lainnya Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa. 1. a. Kurikulum Berbasis Kompetensi Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga

memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Berikut karakteristik utama KBK, yaitu:[17] 1) 2) Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi

siswa (normal, sedang, dan tinggi). 3) 4) 5) Berpusat pada siswa. Orientasi pada proses dan hasil. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat

kontekstual. 6) 7) 8) 9) Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar. Belajar sepanjang hayat; Belajar mengetahui (learning how to know),

10) Belajar melakukan (learning how to do), 11) Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be), 12) Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together). Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.[18] 1) Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat,

berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing. 2) Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan

kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu. 3) Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam

pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.

1. b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.

[1] Haryatmoko, Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis, dalam bukuMenemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67. [2] Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16. [3] Ibid, 2008, hlm. 16.

[4] Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), hlm 49-50. [5] Ibid, 1997, hlm 53-58. [6] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87. [7] Ibid, 2009, hlm. 92. [8] Ibid. [9] Sejak T,B Silalahi menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), latihan prajabatan calon-calon guru pegawai negeri sipil (PNS) tidak di bawah penanganan pakar akademisi, peneliti, atau pekerja sosial, yang dekat dengan profesi guru, melainkan di bawah instruksi militer. Dengan sendirinya wacana yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu pengetahuan dan pendalaman filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi aktivitas fisik, dengan asumsi bahwa seorang guru perlu memiliki stamina (fisik) yang kuat untuk menjalankan tuigasnya. [10] Ibid, 2009, hlm.99. [11] Ibid. [12] Pengangguran terdidik adalah orang yang belum atau tidak bekerja, namun memiliki latar belakang pendidikan yang cukup memadai, hal ini disebabkan oleh belum adanya lapangan kerja yang dapat menampung mereka. Pada Rakernas Depdiknas 1983, presiden Soeharto sempat memberikan pernyataan jangan sampai kita menghasilkan tenaga terdidik melebihi tenaga yang diperlukan. [13] Link and match merupakan upaya pemerintah pada waktu itu untuk mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk menyesuaikan antara jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan dalam UU yang dibuat pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berisi pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didikbagi peranannya di masa yang akan datang. [14] Ibid, 2008, hlm.20. [15] UUD 1945 amandemen keempat, pasal 31 ayat 4. [16] Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cemerlang, 2005), hlm. 102. [17] Kurikulum di Indonesia, (meilanikasim.wordpress.com, diakses 25 Februari 2009, pukul. 05.45 WIB). [18] Ibid, 2009.

http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/

PENDIDIKAN AWAL KEMERDEKAAN DAN ORDE LAMA


POSTED BY ARTANTIO OKTOBER 11, 2012 TINGGALKAN SEBUAH KOMENTAR

3 Votes

2.1 Perkembangan Pendidikan Pada Masa Awal Kemerdekaan Segera setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan nasional. Dicanangkanlah bahwa dalam 10 tahun ke depan pada waktu itu seluruh anak Indonesia harus bisa menikmati sekolah. Oleh karena itu dilakukan berbagai pembenahan seperti penambahan jumlah pengajar, pembangunan gedung sekolah, dan sebagainya. Pemerintah juga membagi tingkatan pendidikan seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah air. Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab tantangan zaman.

Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa.

Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme pendidikan:[1] 1. Perolehan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan menjawab permintaan pasar. 2. Orientasi humanistik 3. Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan. 4. Kemajuan ilmu itu sendiri. Dari keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor dua yang berorientasi pada tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang penting dalam proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus menjunjung hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan. 1. Pendidikan Pra Kemerdekaan

Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri politik tanam paksa menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan ongko loro diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia.[2] Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, Pagoeyoeban Pasoendan di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa

semangat nation and character building dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2.[3] Masa prakemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk

Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial.[4] Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.

1.

Pendidikan Pasca Kemerdekaan

Tidak jauh berbeda setelah masa kemerdekaan, pendidikan di masa pascakolonial melahirkan beberapa hal diantaranya:[5] 1. Terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu. Kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa siswa diberikan kesempatan untuk berpikir kritis. Pada saat ini siswa tidak memiliki pilihan untuk tidak mengikuti metode ceramah ini, karena guru diposisikan sebagai subjek sentral yang harus dihormati oleh murid. 2. Penduduk dipinggiran kota (di kampung-kampung kumuh) ternyata belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan. 3. Model sekolah yang mengikuti model barat ternyata belum hilang bekas-bekas pengaruhnya dalam mengalami kegagalan. 4. Di sekolah-sekolah, bahasa ibu (bahasa daerah asli) didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan artifisial penguasa di bidang politik. 5. Kaum elit dan intelektual yang mendapatkan pendidikan dari luar negeri ternyata tidak akrab dengan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju, khususnya dalam mengejar

keserbaterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Revolusi kemerdekaan Indonesia mengakibatkan pendidikan mengalami keadaan cukup parah, karena baik sarana maupun prasaranannya termasuk antara lain gedung-gedung sekolah, alat pengajaran dan guru-guru keadaannya sangat menyedihkan. Sebagian dari gedung-gedung sekolah dimusnahkan oleh badan-badan perjuangan dan diantaranya ada juga yang untuk seterusnya dipakai sebagai kantor umum

atau diduduki tentara. Alat pelajaran pun banayak hilang atau rusak, sedangkan guru-guru banyak meninggalkan lapangan pendidikan untuk memasuki dinas ketentaraan. Beberapa badan usaha merencanakan pembaharuan di bidang pendidikan dan menyerahkan bahanbahan sistem pendidikan yang bersifat nasional. Yang baru ditentukan adalah dasar pendidikan berlandaskan Pancasila yang merupakan falsafah negara, kendati baru pada penentuan saja karena belum lagi diterangkan begaimana mendudukan dasar itu pada tiap-tiap pelajaran. Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan supaya segera mungkin mengusahakan agar pembaharuan pendidikan dan pengajaran dijalankan sesuai dengan rencana pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru[6]. Adapun pokokpokok pengajaran tersebut adalah: 1. Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang hingga kini berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggung jawab. 2. Untuk memperkuat persatuan rakyat kita hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat. 3. Metode yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasarkan sistem sekolah kerja agar aktivitas rakyat kita kepada pekerjaan bisa berkembang seluas-luasnya. Lain dari perguruanperguruan biasa hendaklah diadalkan perguruan orang dewasa yang memberi pelajaran pemberantasan buta huruf dan seterusnya hingga bersifat Taman Imu Rakyat. 4. Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengantidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat bakar dalam masyarakat Indonesia umumnya. 5. Pengajaran tinggi hendaknya diadakan seluas-luasnya dan jika perlu dengan menggunakan bantuan bangsa asing sebagai guru besar. Lain dari hal itu hendaklah diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri untuk keperluan negara. 6. Kewajiban belajar dengan lambat laun dijalankan dengan ketentuan bahwa dengan tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun, bisa berlaku dengan sempurna dan merata. 7. Pengajaran tekhnik dan ekonomi terutama pengajaran pertanian, industri, pelayaran dan perikanan hendaklah mendapat perhatian istimewa. 8. Pengajaran kesehatan dan olahraga hendaklah tertur sebaik-baiknya hingga terdapat kemudian hasil kecerdasan rakyat yang harmonis. 9. Di sekolah Rendah tidak dipungut uang sekolah. Untuk sekolah Mengah dan Perguruan Tinggi hendaklah diadakan aturan pembayaran dan tunjangan yang luas, sehingga soal keuangan jangan menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu. Sebelum diundangkan Undang-Undang No 4 tahun 1950 mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah oleh presiden RI dan Menteri PP dan K yaitu S. Mangunsarkoro, pemerintah tela melakukan berbagai usaha di lapanganan pendidikan[7]. Usaha-usaha tersebut adalah: 1. Sejak Panitia Persiapan Kemerdekaan pada zama Jepang telah terdapat didalamnya. Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran yang bertugas merumusakn rencana cita-cita dan usaha-usaha pendidikan dan pengajaran seperti telah di kemukakan.

2. 3.

4. 5. 6. 7.

Setelah proklamasi kemrdekaan, di dalam UUD 1945 dicantumkan pula pasal tentang pendidikan, yakni pasal 31 yang diuraikan lebih lanjut dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP). Tahun 1946, Menteri Pendiika Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan Pengajaran yang berugas meninjau kembali dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan dan pengajaran Tahun 1947 diadakan kongres pendidikan Indonesia di Solo Tahun 1948 menteri PP dan K membentuk panitia pembentukan rencana UUPP yang bertugas menyusun rencana UUPP. Tahun 1949 kongres pendidikan di Yogyakarta dengan tugas merumuskan dasar-dasar pendidikan dan lain-lain. Tahun 1950 rencana UUPP diterima oleh BPKNIP dengan suara terbanyak. Setelah disahkan oleh Acting Presiden dan Menteri PP dan K maka RUU itu diresmikan menjadi Undang-undang No 4 Tahun 1950 dengan nama undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.

Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan barbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Pada zaman penjajahan, kesempatan memperolah pendidikan bagi anak-anak Indonesia sanagat terbatas. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang sempat menikati sekolah, sehingga sisanya lebih dari 90% penduduk Indonesia masih buta huruf. Keadaan seperti sudah tentu menjadi beban yang berat sekali bagi pemerintah untuk segara dapat mengatasinya. Sementara itu anatara tahun 1945-1950 telah beberapa kali terjadi pergantian menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yaitu:

19 Agustus 1945-14 Nopember 1945 :Ki Hajar Dewantoro. 14 Nopember 1945-12 Maret 1946: Mr. Dr. TGSG. Mulia 12 Maret 1946-2 Okober 1946: Moh. Syafei 2 Oktober 1946 27 Jubi 1947: Mr. Suwandi 3 Juli 1947-4 agustus 1949: Mr. Ali Sastroamidjojo. 4 Agustus 1949-6 Sepetember 1950: S. Mangunsakoro.

Dengan singkatnya para menteri tersebut bertugas maka usaha-usaha untuk mengadakan perubahan atau perbaikan tidaklah dapat dirasakan tetapi bebrapa usahanya yang diketuai adalah pembukaaan Sekolah Guru A, Sekolah Guru B, dan Sekolah Guru C yang masing-masing lama pendidikannya 6 tahun, 4 tahun dan 2 tahun sejak tamat sekolah rendah. Menteri Suwandi dengan keputusan No. 104/Bhg-0/1946 tanggal 1 Maret 1946 telah membentuk suatu panitia penyelidik pengajaran yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara dan sekretarisnya Soegarda Purbakawatja yang bermaksud untuk mengatur-mengatur sekolah. Panitia ini selanjutnya

menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang akhirnya telah menghasilkan pengaturan pendidikan dan pengajaran mulai dari pendidikan untuk anak desa sampai kota dan pendidikan umum kejuruan. Tugas yang diembankan kepada panitia ini adalah :

Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah

Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbangkan keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat. Menyiapkan rencana-renacana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah

1.

Tujuan pendidikan serta permasalahan yang dihadapi

Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain tujuan pendidikan pada masa itu penekanannya pada penanaman semanagat patriotisme. Penanaman semangat patriotisme sebagai tujuan pendidikan memang sesuai dengan situasi pada waktu itu. Negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih berusaha untuk menjajah kembali negara Indonesia. Maka dengan semanat itu, kemerdekaan dapat di pertahankan dan diisi[8]. Sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan seabagai dasar pengajaran dan pendidiikan di negara republik Indonesia yang menjadi dasarnya berintisarikan pancasila, Sifat-sifat itu meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Perasaan bakti kepada Tuhan YME Perasaan cinta kepada Alam Perasaan cinta kepada Negara Perasaan cinta dan hormat kepada Ibu dan Bapak Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya. Keyakinan bahawa orang menjadi sebagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan mayarakat. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama harganya, sebab itu berhubungan sesama anggota masyarakat harus bersifat hormat menghormati, berdasarkan atas ras keadilan dengan berpegang teguh atas harga diri sendiri. Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja, tahu pada kewajiban, jujur dalam pikiran dan tindakannya.

9.

Undang-undang dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat, walaupun demikian landasan idil pendidikan tetap tidak mengalami perubahan tetapi tujuan pendidikan. Dalam UU No 4/1950 Bab II, pasal, tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarkat dan tanah air.

1.

Struktur persekolahan dan Kurikulum Pendidikan pada masa awal kemerdekaan

Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada

umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang[9]. Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan Rendah

Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia. 1. Pendidikan Guru

Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenaltiga jenis pendidikan guru yaitu:

Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV. Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB. Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang diberikan di SGb hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam. 1. Pendidikan Umum

Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).

Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB.

Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti. o Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut. 1. Pedidikan Kejuruan Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:

Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang. Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP. 1. Pendidikan Teknik

Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah: 1. Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus in lamamnya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu. Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor. Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan. Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusnjurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang. Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan: o Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.

2.

3.

4.

5.

o o
1.

Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin. Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik. Pendidikan Tinggi

Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan. Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Sistem persekolahan Serta tujuan dari masing-masing tingkat pendidikan diatas diatur dalam UU No 4 Th 1950 bab V pasal 7 sebagai berikut: Tentang jenis pendidikan dan pengajaran dan maksudnya. 1. 2. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanakkanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masingmasing dan memberikan dasr-dasar pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin. Pendidikan dan pengajaran menengah umum (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah rendah untuk mengembangkan cara hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi. Pendidikan dan pengajaran timggi bermaksud memberikan kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan Pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memliki hidupnya lahir batin yang layak. Pendidikan Tinggi Republik

3.

4. 5. 1.

Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan belanda. Tetapi kuliah-kuliah masih dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah privat.

Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi republik, dengan adanya. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan sekolah tinggi teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta[10]. Sementara itu daerah Republik Indonesia sendiri terdapat lembaga-lembaga pendidikam tinggi sebagai berikut: 1. Di Yogyakarta o Universitas Gajah Mada dengan fakultas-fakultas: Hukum dnegan masa 4 tahun kuliah Sastra dan Filsafat dengan masa 5 tahun kuliah Sekolah tinggi islam Indonesia dalm bidang studi: Ilmu Ke-Tuhanan (Usuludin) Ilmu pendidikan Ilmu Hukum Ilmu ekonomi Sekolah Tinggi Teknik dengan masa 4 tahun kuliah dengan jurusan: Teknik sipil Eklektro Kimia Akademi politik Akademi polisi 1. Di Klaten Sekolah Tabib (kedokteran) Tinggi, hanya sampai tingkatan kandidat. Sekolah Tinggi Farmasi Sekolah Tinggi Pertanian.


1.

Di Solo

Sekolah Tabib (Kedokteran) Tinggi, tingkat doktoral sebagai kelanjutan dari sekolah Tinggi di klaten.

Pendidikan Tinggi di Daerah Pendudukan Belanda

Atas prakarsa pihak belanda pada bulan Januari 1946 didirikan suatu universitas darurat (NOOD Universiteit) yang terdiri dari lima fakultas yaitu fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra dan filsafat dan pertanian di jakarta dan fakultas teknik di bandung. Pada bulan Maret 1947 oleh pemerintah belanda secaea resmi nama universitas darurat diganti dengan nama Universitas Indonesia (Universiteit Van Indonesie). Oada Tahun 1947 juga universitas tersebut di perluas dengan fakultas ilmu pasti dan alam di Bandung, kedokteran hewan di Bogor, Kedokteran di Surabaya dan Ekonomi di maksar (Ujung Pandang). Pada Bulan maret 1948 fakutas pertanian di pindahkan ke Bogor.

2.2 Perkembangan Pendidikan Pada Masa Orde Lama (1950-1966)

Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama. Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsiprovinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.[11] Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial.[12] Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk dalam bidang pendidikan. Sesungguhnya, inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir-pemikir yang lahir pada masa itu, sebab ruang kebebasan betul-betul dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik. Tidak ada nuansa kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadikan pendidikan sebagai alat negara maupun kaum dominan pemerintah. Seokarno pernah berkata: .sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat menurunkan kebangunan ke dalam jiwa sang anak,[13] Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan. Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem among berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai Panca Dharma Taman Siswa dan semboyan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.[14]

Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:

1) Rentang Tahun 1945-1968 Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan Rencana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun

1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.

2) Rencana Pelajaran Terurai 1952 Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.

3) Kurikulum 1964 Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.

Pendidikan diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat secara drastis. Antara tahun 1953-1960 jumlah anak yang mamasuki sekolah dasar meningkat dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta orang. Tetapi sekitar 60% dari jumlah itu keluar sebelum tamat. Sekolah-sekolah lanjutan negeri dan swasta (kebanyakan sekoah agama) dan lembaga-lembaga tingkat universitas bermunculan dimana-mana, tetapi

terutama sekali di Jawa dan banyak yang menacapai standar yang tinggi. Dua keuntungan penting dari perluasan pendidikan ini segera tampak nyata. Pada tahun 1939 jumlah orang dewasa yang melek huruf adalah 7,4% sedangkan pada tahun 1961 jumlahnya sudah mencapai 46,7% dari jumlah anak-anak diatas usia 10 tahun (56,6% di Sumatera dan 45,5 di Jawa). Untuk penduduk laki-laki berusia antara 10-19 tahun jumlahnya diatas 76%. Angka-angka ini belum menunjukkan prestasi yang hebat sejak zaman belanda. Lalu pemakaian bahasa Indonesia di seluruh sistem pendidikan dan juga semua komunikasi resmi dan media masa, benar-benar menetapkan kedudukan sebagai bahasa nasional[15]. Dalam masa transisi yang singkat RIS menjadi RI tidak memungkinkan pemerintah melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang komprohensif yang berlaku untuk seluruh tanah air. Belanda meninggalkan sekolah kolonial di daerah yang dikuasai oleh pemerintah RI telah mulai dilaksanakan sistem pendidikan pendidikan yang direncanakan akan berlaku secara nasional dengan segala kemampuan yang terbatas. Setelah RIS terbentuk pada bulan Desember 1949 pemerintah RIS dan pemerintah RI yang menjadi inti dari negara kesatuan dan mempunyai aparat relatif paling lengkap menandatangani suatu Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia[16]. Piagam ini ditanda tangani oleh Perdana Menteri Republik Indonesia Drs. Moh Hatta dan perdana menteri Republik Indonesia Dr. A Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Isinya adalah: 1. Menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai penjelmaan dari pada RI berrdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. 2. Sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan pengaturan yang ada tetap berlaku akan tetapi dimana mungkin diusahakan supaya perundang-undangan RI (dahulu) berlaku. 3. Menyetujui pembentukan suatu panitia yang bertugas kewajuban menyelemnggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran diperbagai lapangan dalam waktu sesingkatsingkatnya.

Atas dasar piagam ini ada kaitan khusus dengan penyelenggraan pendidikan dan pengajaran Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RIS dan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI mengadakan pengumuman Bersama pada tanggal 30 Juni 1950 yang bertujuan untuk sementara tahun ajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang berlaku dalam RI dahului berlaku untuk seluruh Indonesia sampai sistem itu ditinjau kembali. Adapun isi pengumuman sementara tersebut adalah: 1. Mengenai Susunan Sekolah-Sekolah Negeri:

Sesudah libur puasa ini (untuk tahun penmgajaran 1950-1951) sementara sistem pengajaran yang berlaku dalam RI dijalankan di seluruh Indonesia. Kemudian, (dalam waktu singkat) sistem itu akan ditinjau kembali.

1.

o o

Mengenai Sekolah-Sekolah Partikelir Pemerintah mengenal warganegara dan orang asing. Bagi semua warganegara diselenggarakan pendidikan sekolah Negeri menurut undangundang dengan memperhatikan sepantasnya kepentingan-kepentingan khusus mereka antara lain yang mengenal bahasa rumah. Bagi orang asing tidak didirikan sekolah-sekolah negeri, tetapi diberi kesempatan untuk menyelenggarakan sekolah menurut kebutuhannya. Sementara kemungkinan bagi sekolah-sekolah orang asing bangsa belanda untuk memperoleh bantuan dari pemerintah berdasarakan ketentuan: Selama 2 tahun sesudah 27-121949 setidak-tidaknya kepada Sekolah Rendah diberi bantuan berupa tenaga guru sebanyakbanyaknya seperdua dari formasi guru sekolah yang bersangkutan menurut ukuran yang berlaku untuk sekolah-sekolah rendah negeri. Sekolah-sekolah partikelir yang mengikuti rencana pelajaran pemerintah dapat diberi subsidi menurut perturan negeri untuk pemberian subsidi kepada sekolah partikelir. Semua sekolah partikelir harus memberikan Bahasa Indonesia sekurang-kurangnya sebagai mata pelajaran. Pemerintah mengawasi semua sekolah partikelir. Organisasi dan Administrasi Pendidikan

o o

o o o
1.

Pemerintah negara kesatuan menugaskan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) sebagai organisasai yang meneyelenggarakan administrasi pendidikan dan pengajaran di seluruh tanah air[17]. Adapun yang menjadi tugas utama dari kementerian PP dan K adalah : Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah dari tingkat yang paling rendah (Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar) sampai kependidikan Tinggi (Perguruan Tinggi). Mengenai pendidikan Tanam kanak-kanak, kementerian hanya memberikan bantuan terbatas pada apersonalia tenaga pengajar dan alat-alat pelajaran sedangkan untuk pendidikan Luar Biasa menjadi langsung tanggung jawab pemerintah. Meneyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di luar sekolah bagi orang-orang dewasa. Memelihara dan menegmbangkan kebudayaan bangsa sebagai dasar pendidikan di dalam dan di luar sekolah. Atas dasar tugas-tugas itu maka berdasarkan surat keputusan kementerian PP dan K nomor 4223/kab. Tanggal 15 Februari 1951 dan berlaku surut mulai 1 Oktober 1950 dibentuklah jawatan pengajaran yang menangani pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah, Jawatan pendidikan mayarakat untuk orangorang dewasa dan jawatan yang bertugas selain memelihara dan mengembangkan kebudayaan juga memelihara peninggalan-peninggalan sejarah. Jawatan perlengkapan yang menyediakan perlengkapan pendidikan dan pengajaran. Selain itu dibentuk Biro Perguruan Tinggi dan biro Hubungan Luar Negeri dalam rangka kerjasama dengan UNESCO: Balai penyelidikan dan perancang pendidikan dan pengajaran (BP4) untuk penelitian, majelis ilmu pengetahuan Indonesia (MIPI) kemudian menjadi LIPI yang bertugas melakukan penelitian pada umumnya. 1. Perubahan Sekolah-sekolah

Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI, jawatanm inspeksi pengajaran kementerian PP dan K di Yogyakarta pada tanggal 25 Agustur 1950 menegluarkan kepputusan menegani perubahan sekoahsekolah yang dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950. Sekolah-sekolah dibagi-

bagi atas enam kelompok: model-model sekoah yang berasal dari masa sebelum kembali kenegara keatuan di bekas-bekas daerah-daerah ferdeal atau pendudukan Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah dan disesuaikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut: 1. 1. Sekolah Rakyat Sekolah Rakyat Negeri Semua S.R negeri harus menjadi sekolah luar biasa dengan bahasa Indonesia senagai bahasa pengantar. Kelas-kelas pemulihan dibuka untuk murid-murid SR yang tadinya memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar: Kelas-kelas pemulihan ini boleh memakai bahas Belanda sebagai bahasa pengantar dengan keterangan bahwa selekas mungkin harus dialihkan ke bahasa Indonesia. Di kota-kota besar seperti kelas-kelas pemulihan mungkin menjadi sekolah yang berdiri sendiri. Sekolat rakyat Partikulir Bersubsidi Bahasa pengantar bahasa Indonesia Harus memakai rencana pelajaran SR Negeri dan boleh menembah pelajaran lain dengan persetujuan kemeterian PP dan K. Tak bersubsidi Bahas pengantar sesukannya Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang diwajibkan Hak pengawas ada pada pemerintah. Istimewa Bahasa pengantar adalah bahasa Belanda Untuk anak-anak warga negara Belanda yang bekerja pada pemerintah Indonesia. Tunjangan guru dari pemerintah berdasarkan jumlah murid. Boleh menerima anak-anak warga negara asing 1. Sekolah Menegah (S.M), atau Middelbare School(M.S). SMP Negeri: SMP 4 tahun diubah menjadi SMP 3 tahun: Murid-murid kelas IV yang lulus masuk kelas II. SMA, murid-murid kelas IV yang tak lulus

2.

o o o

kembali ke kelas III. Murid-murud kelas III: Menempuh ujian penghabisan, SMP 3 tahun dan sesudahnyas masuk ke kelas I SMA. Dan yang tidak lulus tetap di kelas III SMP 3 tahun. Murid-murid kelas III yang naik kelas VI (didaerah-daerah yang digabungkana kepada RI sesudah diusakana April 1950 diusahakan: (1) masuk kekelas I SMA dengan percobaan, (2) kalau terbukti tidak mungkin dikembalikan kekelas III SMP. M.S (Middelbare School) Negeri:

M.S 4 tahun menjadi SMP 3 tahun perubahan sesuai dengan perubahan terhadap SMP 4 tahun ditambah dengan pergantian bahasa pengantar.

SMP/MS Partikelir

Baik yang bersubsidi tidak megikuti peraturan yang biasa berlaku untuk sekolah rakyat.

1.

Voorbereidens Hogere Ondereijs (V.H.O), Alagemene Middelbere School (A.M.S), Hogere Burgere School (H.B.S) dan Middelbare Handels School (M.H.S): o Voorbereidens Hogere Ondereijs (V.H.O),

Kelas-kelas VHO menjadi kelas-kelas istimewa SMA dalam praktek VHO seluruhnya diubah menjadi SMA istimewa. Murid-murid kelas II pada akhir tahun pelajaran 1949/1950 menempuh ujian penghabisan RIS Murid-murid yang anak kelas II masuk kelas III . Sma bersama-sama dengan mereka kelas I VHO yang tidak naik masuk kelas II SMA.

Alagemene Middelbere School (A.M.S)

Menjadi SMA kelas-kelasnya menjadi kelas-kelas SMA yang setingkat.

o o

Hogere Burgere School (H.B.S) Herstel HBS dihapuskan menjadi SMA A/B. Corcondante HBS menjadi usaha partikulir. Adapun perubahan herstel HBS menjadi SMA A/B adalah: (1) Murid-murid HBS yang naik kelas V masuk kelas III SMA A/B. (2) Murid-murid yang naik kelas IV masuk kekelas II dengan ujian ilmu pasti, alam, kimia kemudian ditambah ketarangan bahwa ujian dapat dilakukan sesudah di coba 3 bulan di kelas II. Middelbare Handels School (M.H.S) menjadi SEM (Sekolah ekonomi Menegah) Kelas IV menjadi kelas II SEM Kelas V menjadi kelas III SEM:


1. 2.

3.


1. 2. 3. 4. 5.

Opleding Voor Voorbereidens Onderwijs (O.V.V.O), Normale School (O.N.S) dan Nieuwe KS (Kweek School) Opleding Voor Voorbereidens Onderwijs (O.V.V.O), 2 tahun dimasukkan dalam SGB dengan keteranagan: Murid-murid kelas II yang lulus ke praktek 10% pilihan ke SGB kelas III. Yang naik ke SGB kelas III Yanh masuk SGB kelas I Normale School (O.N.S) 2 tahun (dasar SM 2 tahun) menjaaadi SGB: Kelas II yang lulus ke paktek yang tak lulus masuk SGB kelas IV. Kelas I yang naik masuk SGB kelas IV yang tak naik kelas SGB kelas III. Nieuwe KS (Kweek School) menjadi SGA Sekolah Tinggi Pertukangan (S.ptk). Sekolah Teknik (ST) dan (Middelbare Tehnische School) MTS. Sekolah Tinggi Pertukangan (S.ptk) biasa dengan ditambah pelajaran ilmu pasti Sekolah Teknik (ST) manjadi St hanya persesuaian bahasa dan rencana pelajarannya. Middelbare Tehnische School (MTS) menjadi STM dengan catatan: STM federal yang 4 tahun akan dijadikan 3 tahun. STM RI yang 3 tahun mungkin akan kembali ke 4 tahun. SD I, SD II dan SD III SD I, menjadi SD 3 tahun SD II: Murid-murid kelas I naik ke kelas II boleh menempuh ujian penghabisan SD yang tak lulus dan tak menempuh ujian masuk kelas III SD. Kelas II belum ada. 1. SD III menjadi SEM. 2. SKG, SKG, SPNS dan GOSVO 1. 2.


1.

o o

1. 2. 3. kelas III SKP. 4.

SKG dan SPNS 2 tahun menjadi SKP 3 tahun Murid-murid kelas SKG kelas I yang naik ke kelas II masuk ke kelas SKP Murid-murid SKG kelas II yang lulus tak ada kemungkinan untuk masuk

1.

GOSVO (goverment Opleiding Schoool Vooor Onderwijzeres) diubah menjadi SGKP. Pelaksanaan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran

Mengenai pelaksanaan UU No 4 tahun 1950 (juncto UU no 12 tahun 1954) dapat dilihat pada beberapa jenis pendidikan dan kegiatannya yaitu: 1. Pendidikan Jasmani

Di indonesia departemen olahraga menegejar prestasi olahraga. Sikap ambivalensi ini dapat dilihat dari UGM yang memasukkan jurusan pendidikan jasmani dalam fakultas sastar. Pendagogik dan filsafat yang berarti dalam ilmu kerohanian (Geiisteswissenshafft). Di UI yang aakademi pendidian jasamaninya ada di bandung dimasukkan dalam fakultas kedokteran artinya digolongkan dalam ilmu alam

(naturrwissenchafft) 1. Pendidikan Orang Dewasa

Pendidikan orang dewasa ini lebih dikenal dengan pendidikan masayarakat yang diselenggarakan oleh jawatan pendidikan masyarakat. Kegiatan pendidikan masyarakat ditentukan menurut kebjakan

pemerintah berdasarkan atas surat keputusan menteri PP dan K tanggal 15 Februari 1961 Nomor 4223/Kab. Dalam pasal 17 disebutkan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Merencanakan, memimpin, menggiatkan dan mengawasi pembrantasan buta huurf. merencanakan, memimpin, menggiatkan dan mengawasi pengetahuan umum (KPU) Mengusahakan buku-buku untuk mengisi perpustakaan rakyat. Mengikuti dan mrmbantu perkembanagan gerakan pramuka Mengusahakan buku-buku pimpinan dan pelajaran untuk pemberantasan buta huruf, serta bukubuku dan majalah-majalah untuk memelihara dan memperdalam kecakapan membaca dan menulis Memimpin dan mengawasi pendidikan jasmani di luar sekolah menyelenggarakan kursus-kursus kader untuk pendidikan masyarakat. memajukan dan membantu gerakan kepanduan membantu inisiatif masyarakat untuk memajukan kaum wanita.

Pada bulan Agustus 1955 diadakan konferensi Pendidikan masyarakat yang telah membuat keputusan: mengusahakan memelihara hubungan baik dan sehat dengan masyarakat dan instansi/ badan-badan yang mempunyai tugas sama/sejenis dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat atas dasr pekerjaaan terhadap pejabat-pejabat dan instansi-instansi pendidikan masyarakat. 1. Pendidikan Luar Biasa

Berdasarkan surat keputusan menteri PP dan K nomor /Kab. Tanggal 9 Agustus 1953 jawatan pengajaran membentuk sebuah instansi urusan Pendidikan Luar Biasa yang bertugas mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan luar bias di Indonesia. Inspeksi pendidikan guru pun

mempunyai inspeksi sekolah guru luar biasa yang ditandatangani oleh Pendidikan Luar Biasa ini ilaha para tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan lemah ingatan bahkan anak-anak cacad tubuh seperti Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacad dari Dr. Soeharso. Kebanyakan pendidikan semacam ini banyak dikelola oleh yayasan-yayasan sedangkan pemerintah turut memberi bantuan material, fungsional dan tenaga pengajar. 1. Pendidikan Guru

Pada tahun 1951 jawatan pengajaran telah membuat rencana 10 tahun kewajiban belajar. Diperkirakan pada tahun itu jumlah anak yang ersekolah kira-kira sebesar 5.921.200. Untuk itu diperkirakan diperlukan tenaga guru sebesar 118.424 orang. Untuk maksud tersebut diperlukan pengadaan guru yamg amat mendesak. Sehubungan dengan itu kementerian PP dan K melalui kerjasama PGRI menyelenggarakan pendidikan guru darurat yaitu berupa kursus-kursus yang berbnetuk kursuss pengajar untuk kursusu pengantar kewajiban balajar atau di singkat KPKPKB. Di setiap kabupaten terdapat dua KPKPKB dengan masing-masing murid 80 orang. 1. Pendidikan kejuruan

Setelah Indonesia merdeka pendidikan kejuruan masih elatif terbelakang dibandingkan debgabn pendidikan umum. Kendala-kendalanya anrara lain karena pendidikan umum masih menjanjikan kemungkinan untuk memperolah pendidikan setinggi-tingginya disamping itu lowongan pekerjaan ketika itu masih terbuka. Selain itu peralatan tidak mencukupi, tenaga pengajar kurang dan pemahaman masyarakat sendiri terhadap manfaat pendidikan kejuruan itu belum banyak sehingga mereka enggan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah kejuruan. Sehubungan dengan kurangnya alat pendidikan maka pada tahun 1951 pemerintah dengan bantuan luar negeri mencoba memesan alat-alat untuk sekolah teknik, tetapi setelah bantuan ada pelaksaaannya tidak lancar karena tidak ada tenaga yang menggunakannya dan infrastruktur berupa gedung masih belum tersedia. 1. Pendidikan wanita

UU Nomor 4 tahun 1950 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para kaum wanita untuk mengikuti semua jenis dan jenjang pendidikan sehiingga dapat menjamin kehidupan mereka dalam masyarakat sebagai WNI yang sederajat dengan kaum pria. Sehubungan dengan itu selain sekolah-sekoah umum yang dapat diikuti oleh kaum wanita sampai ke jenjang setinggi-tingginya. Ketika itu pemerintah menyelenggarakan pula pendidikan-pendidikan kejuruan wanita seperti Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Guru kepandaian Puteri (SGKP). Di SKP dibuka kejuruan-kejuruan seperti menjahit, memasak, kerajianan tangan, memimpin rumah tangga, mengasuh anak. 1. Pendidikan Agama

Berdasarkan peraturan bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama maka di setiap sekoah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama sebanyak dua minggu sekali saejak di kelas IV kecuali untuk lingkungan istimewa diberikan sejak kelas I. Pendidikan agama diberikan menurut agama murud masing-masing. Guru-guur agama diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama serta biaya pendidikan di tanggung oleh kementerian agama. Yang nantinya sistem ini juga berlaku di sekolahsekolah swasta jika pengurusnya mengkehendakinya dan orang tua murid memintanya. 1. Pendidikan Tinggi

Dalam rangka pelaksanaan UU darurat Nomor 7 Ferbruari 1950, dibentuklah Universitas Indonesia dengan Ir. Surachman sebagai presiden (rektor) Universitas ini merupakan gabungan anatara balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia dengan Universiteit van Indonesie, termasuk cabang-cabangnya dari berbagai fakultas di Bogor, Bandung, Surabaya dan Makasar. 1. Pendidikan Swasta

Pada zaman koonial Belanda mengijinkan berdiri sekolah-sekolah swata yang diselenggarakan oleh misi katolik dan zending Protestan. Namun demikian terhadap masyarakat islam yang sejak lama mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tersendiri seperti madrasah-madrasah, pemerintah kolonial melakukan kebijakan politik van onthouding (politik tidak campur). Dalam masa kemerdekaan terutama dalam periode antara tahun 1950-1959 bermunculan sekolah swasta, baik yang baru berdri ataupun melanjutkan kembali sekolah-sekolah swata yang pernah ada sebelumnya. Sekolah-sekolah swata itu tidak ahnya atas dasar agama isalam seperti Muhamadiyah tetapi juga atas dasar aagama protestan dan katolik. Meskipun ada lembaga pendidikan dari berbagai bidang dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swata ini, pemerintah PP dan K tetap melakukan tugas koordinasi. Selain memberikan subsidi untuk sekolah swata yang belum memenuhi syarat, pemerintah juga menyediakan tenaga-tenaga pengajar untuk diperbantukan.

Pendidikan Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

1.

Tujuan Pendidikan

Dunia pendidikan tak dapat dilepaskan dari pengaruh politik Manipol Usdek. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintah sadar benar akan posisi pendidikan sebagai mekanisme rekayasa sosial,

budaya.ekonomi dan politik karena itu tujuan pendidikan nasional serta upaya pendidikan tak mungkin dilepaskan dari konsep Manipol Usdek. Tujuan dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan manusia yang diinginkan oleh konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki kepeloporan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Untuk itu perubahan kurikulum di lakukan. Mata pelajaran Civics menjadi mata pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam pelajaran itu dimasukkan ideologi yang sedang dikembangkan presiden Soekarno. Artinya pelajaran Civics dapat dikatakan sebagai awal ideolaogi dalam pendidikan Indonesia. Keberadaan mata pelajaran yang memiliki misi demikian dipertahankan sehingga nantinya diperkenalkan mata kuliah Pendidikan Pancasila atau PMP dengan diisi misi pendidikan yang sama. Keberadaan mata pelajaran ini semakin kuat ketika adanya Tap MPRS dan GBHN yang menyatakan sebagai mata pelajaran wajib dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1959 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk menjaga agar arah pendidikan tidak menuju ke pembantukan manusia liberal yang dianggap sanagat bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Salah satu tugas revolusi untuk membangun manusia Indonesia yang tidak terjerusmus dalam mental Liberal dan yang bersendikan mental Manipol Usdek karena itu menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Prof. Dr. Prijono mengeluarkan instruksi menteri yang dikenal dengan nama Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana. Dalam pendidikan Pancawardhana ini dinyatakan bahwa pendidikan berisikan prinsip-prinsip:

perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan perkembangan kecerdasan, perkembangan emosional artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir-batin,

perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan, dan perkembangan jasmani. Selain itu sekolah juga harus melaksanakan hari krida (hari yang digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler yang penekanan utamanya pada sesuatu kegiatan yang meransang kegiatan fisik dan perasaan. Dalam ketetapannya Nomor XXVII tahun 1966 (TAP XXVII/MPRS/1966 menetapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk menghasilkan manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuanketentuan seperti yang telah dikendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945.

Sesuai dengan perubahan tujuan pendidikan nasional maka kurikulum sekolah pun mengalami perubahan. Dikembangkan kurikulum baru yng dikenal dengan nama kurikulum 1968 sesuai dengan kurikulum keberlakuan kurikulum tersebut. Dalam kurikulum mata pelajaran Civics yang sudah diganti namanya mejadi Pendidikan Kewarganegaraan Negara. Pada dasarnya, pendidikan Kewargaan Negara berbeda dengan Civics. Dalam mata pelajaran ini dijalin mata pelajaran sejarah, geografi dan pengetahuan kewarganegara. Memang nantinya mata pelajaran ini pernah menjadi dua mata pelajaran dalam kurikulum 1975, yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Ilmu Pegetahuan Sosial (IPS). Pengetahuan kewarga negaran menjadi bagian dasar dari PMP sedangkan sejarah dan geografi menjadi bagian dari IPS. 1. Sistem dan Jenis Persekolahan

Pada masa antara tahun 1959-1966 jenjang pendidikan di Indonesia terbagi atas jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi. Pada dasarnya pembagian yang demikian masih berlaku hingga sekarang. Di jenjang pendidikan menengah pertama, sekolah yang memeberikan pendidikan umum adalah SMP, sedangkan sekolah yang memberikan pendidikan khusus dalam bidang tertentu beraneka yaitu untuk pendidikan teknik (ST), pendidikan ekonomi (SMEP), pendidikan kerumahtanggaan (AKKP) dan juga pendidikan guru (SGB). Nantinya pada mas orde baru tau te[patnya pada tahun 1984 pemerintah melalui keputusan presiden menghapuskan sekolah kejuruan yang mejadi bagian pendidikan menengah pertama ini sehingga jenjang ini memiliki anggota hanya SMP saja. Sekolah guru bantu (SGB) sudah dihapuskan terlebih dahulu yakni pada tahun 1961. Adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru Sr menyebabkan pemerintah menghapus SGB dan menambah jumlah SGA. Dengan demikian, SGA yang semula menjadi SMP pada masa ini sudah dikhususkan untuk menghasilkan guru SR. Pada tahun 1990 SGA dihapuskan dan tugas menghasilkan guru sepenuhnya dibebankan kepada IKIP/FKIP. Di jenjang pendidikan menengah atas terdapat sekolah umum SMA. Sekolah kejuruan yang berada pada jenjang ini ialah sekolah menengah ekonomi (SMEA). Sekolah Teknik Menegah (STM) dengan berbagai jurusan. Sekolah Kesejahteran Keluarga Atas (SKKA), Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) dan Sekolah Guru Atas (SGA). Sekolah yang terakhir ini nantinya diubah menjadi Sekolah Pendidikkan Guru (SPG) sampai pada tahun 1990. Perubahan nama dari SGA menjadi SPG terjadi pada awal tahun 1964. Di jenjang pendidikan tinggi berbagai akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Jenis-jenis ini mengalami pasang-surut tetapi dengan dikeluarkannya UU No 2 tahun 1989, seluruh jenis yang pernah ada pada periode 1959-1966 dijamin kembali eksistensinya oleh UU tersebut. Pada kurun waktu yang

dibicarakan disini, penataan pendidikan tinggi dilakukan berdasarkan udang-undang No 22 Tahun 1961 yang dikeluarkan atas nama RIS. 1. Perkembangan Sekolah Pada Masa 1959-1966

Perkembangan sekolah pada masa waktu itu ditandai oleh dua gejala. Partama ialah bertambahnya jumlah bangunan sekolah untuk setiap unit pendidikan. Kedua adalah penambahan jenis sekolah terutama untuk jenjang pendidikan menengah (pertama dan atas) dan perguruan tinggi. Setiap tahun terjadi penambahan gedung SD untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat. Setiapm taun dapat dikatakan terjadi penambahan gedung sebayak 2000 sehingga pada akhir tahun 1966-1971 Indonesia memilki kurang lebih 60 ribu gedung SD dengan jumlah siswa sebebesar 11 juta orang. Perkembangan dalam pendidikan menegah pun tidak lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan untuk pendidikan SD. Dalam masa tahun ini dapat dikatakan pemerrintah jumlah gedung sekolah untuk tingkat pendidikan menengah pertama memiliki kecenderungan menaik pada mas antara tahun 19661971. Misalnya jumlah SMP pada akhir tahun 1960 adalah sebanyak 903 buah. Pada tahun 1961-1965 jumlah sekolah ini melonjak sampai 1121 tetapi menurun menjadi 836 pada tahun 1966-1971. Gejala yang sama diperhatikan oleh Sekolah Teknik. Pada tahun 1960 ada 138 StT yang kemudian berkembang me3njadi 201 pada masa 1961-1965 tetapi turun menjadi 119 pada tahun 1966-1971. SKKP menunjukkan gejala terus menurun. Pada tahun 1960 di Indonesia terdapat 63 SKKP. Jumlah ini nberkurang menjadi 59 pada tahun 1961-1965 dan turun menjadi 30 opada tahun 1965-1971. Khusus untuk sekolah ini ada kesempatan yang lebih luas untuk sekolah lain bagi putri merupakan penyebab menurunnya mibnat untuk bersekolah di SKKP. Gejala yang menarik diperlihatkan oleh perkembangan SMEP sekolah yang tujuan kelembagaannya adalah untuk menghasilakn tenaga dalam administrasi perkantoran dan dunia perdagangan ini mengalami pasang surut. Pada tahun 1960 Indonesia memilki 116 SMEP. Jumlah ini berkurang menjadi 105 pada tahun 1961-1965 dan tiba-tiba melonjak menjadi 251. Berbeda dengan jenjang pendidian menegah pertama, jumlah sekolah pada jenjang pendidikan menegah atas pada umumnya menunjukkan perubahan sejumlah unit pendidikan yang berarti. Meskipun demikian, SMA merupakan salah satu unit pendidikan dalam jenjang pendidikan dalam jenjang ini yang menunjukkan gejala yang sama dengan SMP. Pada tahun 1960 ada 223 SMA di Indonesia yamng kemudian berkembang menjadi 184 dalam tahun 1961-1965. Jumlah ini berkurang drastis pada tahun 1966-1971 mejadi 189.

SKKA juga memperlihatkan gejala yang sama dengan SMA dan agak berbeda dengan SKKP. SKKA bertambah dari 5 tahun 1960 mejadi 38 dalam tahun 1961965 tetapi merosot menjadi 34 pada tahun 1966-1971. SMEA dan STM menunjukkan gejala yang terus meningkat. Pada tahun 1960 ada 53 SMEA yang kemudian bertambah menjadi 110 buiah dan meningkat lagi menjadi 231 pada tahun 1966-1971. Dengan demikian terjadi peningkatan yang drastis dalam 5 tahun setelah gagalnya kudeta PKI. SPG memilki perkembangan yang mirip dengan SMEP. Pada tahun 1960 di Indonesia terdapat 82 SPG. Jumlah ini menurun pada tahun 1961-1966 dan kemudian meningkat lagi pada 5 tahun kemudian sehingga menjadi 123. Sejak saat itu SPG tidak berkembang lagi. Pada tahun 1990 ketika SPG dihapuskan maka Indonesia memilki 125 SPG. Dalam jenjang pendidikan tinggi terjadi perkembangan yang lebih kearah penambahan sekolah. Pada masa 1959-1966 pemerintah telah mendirikan 29 perguruan tinggi negeri. Ada perguruan tinggi yang didirikan sama sekali baru, artinya pada mulanya belum ada perguruan tinggi negeri didaerah tersebut. Klasifikasi kedua adalah perguruan tinggi yang mulanya merupakan fakultas atau bagian dari suatu perguruan tinggi negeri. Fakultas ini kemudian dikembangkan dan dijadikan perguruan tinggi negeri yang berdiri sendiri contohnya ITB yang didirikan pada tahun 1959 yang semula adalah fakultas dari Universitas Indonesia. Demikian juga IPB tahun 1963 yang juga semula merupakan bagian dari UI. Perguruan tinggi lain termasuk dalam klasiifikasi kedua ini adalah IKIP Jakarta dan IKIP Yoggyakata yang didirikan pada tahun 1963, masing-masing pada bulan Mei. Keduanya pada mulanya adalah fakulltas Pedagogik UI yang menajdi IKIP Jakarta dan Pedagogik UGM yang kemudian menjadi IKIP Yogykarta. 1. Kurikulum

Kurikulum SD mengalami perubahan disesuaikan dengan Panca Wardhana. Dalam kurikulum ini dikenal adanya mata pelajaran yang sifatnyamembina kecerdasan, ketrampilan dan rasa/karya sesaui dengan wardhana yang ada. Untuk kurikulum SD diperkenalkan mata pelajaran yang dinamakan Pendidikan Kemasyarakatan. Mata pelajaran ini dianggap sebagai alat utuk moral nasional/internasional dan keagamaan (dokumen kurikulum). Mata pelajaran pendidikan kemasyaraktan merupakan pengintegrasian mata pelajaran ilmu bumi, sejarah dan kewarganegaraan. Perubahan kurikulum yang drastis terjadi untuk SMP dan SMA. Pembagian jurusan A dan B di SMP dihapuskan. Sebagai sekaloh jenjang pendidikan menengah pertama adalah terlalu muda bagi sisianya untuk dipaksa kurikulum untuk memilih jalur A atau B apalagi penjaluran itu dilakukan ketika siswa akan naik ke kelas dua.

Struktur kurikulum SMP terdiri dari kelompok dasar, kelompok cipta, kelompok rasa/karya dan kelompok krisa. Struktur ini disesuaikan dengana keputusan menteri menegani panca Wadhana. Kelompok dasr memberikan pengetahuan terdiri natas pelajaran Civics, sejarah nasioanl Idonesia, bahasa Indonesia, ilmu bumi Indonesia, pendidikan agama/budi pekerti dan pendidikan jasmani/kesehatan.Mata pelajaran seperti Aljabar, ilmu ukur, ilmu hayat, ekonomi adalah mata pelajaran yang etmasuk kelompok cipta, sejarah dunia termasuk pelajaran dalam kelompok cipta ini. Mata pelajaran dalam kelompok rasa/karya adalah drama dan sastra. Selanjutnya pada tahun 1962 ditetapkan SMP diberi nanam SMP gaya baru bebas jalur. Jalur atau jurusan baru diadakan di SMA. Pembagian itu baru diadakan setelah siswa satu tahun berda di SMA. Karena itu SMA ini pun dinamakan SMA gaya baru. Di kelas dua dan dilanjutkan di kelas tiga siswa dapat memilih empat jurusan yaitu, jurusan budaya, sosial, ilmu pasti dan ilmu alam. Kurikulum di SMA menetapkan bahwa mereka yang memilih jurusan satra diharuskan belajar bahasa asing seperti Jerman dan Perancis. Bahasa jawa kuno dan tulisan Arab Melayu adalah mata pelajaran yang termasuk dalam jurusan sastra. Sedangkan untuk jurusan sosial terdapat mata pelajaran seperti ekonomi, tata buku, hukum dan tata negara, etnologi/sosiologi. Dalam jurusan ilmu pasti terdapat mata pelajaran yang berhubungan dengan matematika seperti aljabar, ilmu ukur ruang, ilmu ukur bidang sedangkan bagi meraka yang masuk jurusan ilmu alam akan mendapatkan mata pelajaran seperti ilmu alam. Kimia, ilmu tubuh manusia, ilmu hewan dan ilmu tumbuh-tumbuhan. 1. Sistem Ujian

Di jenjang pendidikan dasar dan menegah diadakan ulangan untuk setelah beberapa pertemuan. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Meskipun demikian. Pada waktu itu tidak digunakan istilah formatif, sub-sumatif, ataupun sumnatif. Di kedua jenjang pendidikan ini tes tetap merupakan alat evaluasi yang utama. Dapat dikatakan hanya pemberian tugas yang merupakan alat evcaluasi tambahan. Memamng keadaan ini pun tidak berbeda dengan prinsipil dengan alat evaluasi yamng digunakan guru sekarang. Walaupun demikian guru belum mengenal bentuk tes obyektif. Bentuk soal yang digunakan masih berupa uraian (esai). Bentuk ini digunakan di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan dan terus digunakan tanpa ada perubahan dalam bentuk samapai nantinya digunakan bentuk tes obyektif. Fungsi ujian akhir sekolah ini terutama adalah untuk mereka yang akan melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadi di tahun terakhir SD, siswa yang akan melanjutkan pelajarannya ke SMTP diharuskan untuk menempuh ujiian negara. Demikian pula bagi mereka yang ingin melanjutkan daroi SMTP ke SMTA sehingga pada waktu itu dikenal adanya mereka yang akan tamat dan sekolah dan bagi

mereka yang lulus dari suatu sekolah. Keadaan semacam ini nantinya berubah di mana siswa diminta untuk ikut untuk ujian akhir pendidikannya dan setelah itu mengikuti ujian masuk suatu sekolah keadaan ini terakhir berlangsung dari tahun 1970-1987 di mana kemudian diperkenalkan sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM). Dengan model ini siswa tidak perlu lagi mengikuti tes masuk untuk sekolah yang akan di ikutinya. Angka yang digunakan untuk apresiasi hasil yang diperolah adalah dari 0-10. Skala ini masih digunakan samapai sekarang dan masih merupakan warisan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Perubahan baru terjadi pada masa pemerintahan orde baru. Pada masa in ujian lisan masih dilakukan di perguruan tinggi meskipun pelaksanaannya terus berkurang. Dosen-dosen senior yang sudah terbiasa dengan ujian lisan masih tetap melakasanakannya meskipun demikian mereka sudah mulai didesak oleh kenyataan banyaknya mahasiswa. Jumlah yang semakin hari semakin bertambah besar menetapkan para dosen penguji harus menyediakan waktu banyak untuk menguji mahasisiwa, karena itu hanya terbatas pada perkuliahan dimana jumlah mahasiswa sangat kecil

[1] Haryatmoko, Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis, dalam bukuMenemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67. [2] Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16 [3] Ibid, 2008, hlm. 16. [4] Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1997), hlm 49-50. [5] Ibid, 1997, hlm 53-58. [6] Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai pustaka. Jakarta. Hal 145 [7] Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal 11. [8] Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai pustaka. Jakarta. Hal 148 [9] Ibid hal 17 [10] Op cit hal162 [11] http://gracesmada.wordpress.com/mutu-pendidikan-indonesia/ [12] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87 [13] Ibid, 2009, hlm. 92. [14] Idem.

[15] M.C. Riklefs. 200. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. PT Serambi Ilmu Semesta. Hal 473-474. [16]Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal

[17] Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal

Sumarsono, Moestoko. 1986. Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka: Jakarta Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1950).Departeman Pendidikan Dan Kebudayan: Jakarta.

http://historyvitae.wordpress.com/2012/10/11/pendidikan-awal-kemerdekaan-danorde-lama/

SISTEM PENDIDIKAN PADA MASA ORDE LAMA

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsaIndonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang. PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesiasendiri. Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yan g penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaanIndonesia. Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikanIndonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun

lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. KEADAAN MASYARAKAT PADA MASA ORDE LAMA Sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat Indonesia. Pada waktu zaman kolonial Belanda adanya diskriminasi sebagai ciri pokoknya menempatkan bangsa Belanda sebagai warga negara kelas satu, kemudian timur asing dan yang terakhir adalah golongan pribumi Indonesia. Struktur itu berubah lagi setelah zaman pendudukan Jepang tingkatannya meliputi kelas 1 adalah orang Jepang, Pribumi Indonesia kelas 2, dan Timur Asing dan Indo menjadi warga negara kelas 3. Setelah Indonesia merdeka diskriminasi yang pernah dilakukan oleh kolonial Belanda maupun Jepang dihapuskan. Indonesia tidak mengadakan perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan, agama, atau kepercayaan yang dianut warga negaranya. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Namun, di sana-sini masih terdapat sisa-sisa semangat diskriminasi dari zaman penjajahan yang harus kita lenyapkan. Tetapi zaman permulaan yang penuh semangat kebangsaan dalam menghadapi musuh dari luar, seperti ancaman Belanda yang masih selalu berusaha kembali ke Indonesia bersama NICA, juga mulai masuk musuh dari dalam yang berbentuk pengaruh ideologi Komunis. Akhirnya PKI menjadi partai politik yang terbesar dan terkuat. Pengaruh ini mulai masuk ke dalam parpol seperti PNI dengan mengubah namanya menjadi Marhaenism dari PNI menjadi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi Indonesia. Ke dalam dunia pendidikan, pengaruh ideologi kiri masuk melalui pengangkatan Menteri PP dan K Prof. Dr. Priyono dari partai kiri Murba. SEMANGAT BERGULIRNYA PEMIKIRAN DARI TOKOH PENDIDIKAN KLASIK a. Ki Hajar Dewantoro Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang banyak mengkonsep sistem pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal. Sehingga mereka mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain. Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar pendidikan yang diberikan kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon dari adanya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa depan. b. Hasyim Asyari Gagasan Hasyim Asyari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia mendirikan Jamiyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asyari berjuang membina dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren sebagai basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda. c. K.H. Ahmad Dahlan Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman. Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan

mengutip ayat 13 surat al-Rad yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang pertama berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum. KESIMPULAN Sistem pendidikan nasional di Indonesia pada zaman orde lama masih banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan zaman Belanda. Dalam usahanya Ki hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mencoba merumuskan Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan budaya bangsa Indonesia sendiri demi mewujudkan bangsa yang terhormat dan maju.

DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987. Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983. Tim Sejarah, Sejarah 2, Jakarta: Yudhistira, 1994.

http://stitattaqwa.blogspot.com/2012/11/sistem-pendidikan-pada-masa-ordelama.html

You might also like