You are on page 1of 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Mielitis secara umum Definisi Mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang

menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba2,12 Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis dibedakan atas: 1. Akut : Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari saja. 2. Sub Akut : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu. 3. Kronik : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu. Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa. Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula dengan meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma. Istilah myelopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik, dan nekrosis2.

2.1.2

Klasifikasi a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus b. Herpes zoster c. Rabies d. Virus B

1. Mielitis yang disebabkan oleh virus.

2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningen dan medula spinal. a. Mielitis sifilitika Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis) Meningomielitis kronik Sifilis meningovaskular Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik b. Mielitis piogenik atau supurativa Meningomielitis subakut Abses epidural akut dan granuloma Abses medula spinalis

c. Mielitis tuberkulosa Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis Meningomielitis tuberkulosa Tuberkuloma medula spinalis

d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses. 3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui. a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik c. Degeneratif atau nekrotik2. 2.2 Poliomielitis

Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan dapat pula mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik korteks serebri. Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin pada tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena itu dulu penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin3. 2.2.1 Epidemiologi Goar (1955) dalam uraian tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan sanitasi berkesimpulan bahwa epidemi ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun karena itulah dulu disebut paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak diketemukan pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah umur 6 bulan, mungkin karana imunitas pasif yang didapat dari ibu. 2.2.2 Etiologi Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu: 1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis. 2. Tipe 2 yaitu Lanshing 3. Tipe 3 yaitu Leon Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat3.

2.2.3

Patogenesis

Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam tubuh melalui saluran orofaring setelah ditularkan melalui cara oral-fekal. Masa inkubasi biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak didapat pada suatu daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan. Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan limfoid tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus dinding usus dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia). Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja. Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem saraf secara langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus gastrointestinalis atau jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor (1985) dan Gilroy Dan Meyer (1979), 9599% pasien yng terinfeksi virus polio mengalami infeksi subklinik (asimtomatik), 3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang mengalami meningitis aseptik dan hanya 1% yang mengalami poliomielitis paralitik3. 2.2.4 Patologi Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan kromatolisis substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi virus dalam SSP lalu perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti dengan disintegrasi nukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis komplet. Atrofi dan paralisis akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada medula spinalis yang bersangkutan yang masih baik. Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis, batang otak, serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri3. 2.2.5 Gambaran Klinis

Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu menimbulkan kekebalan alami. Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik ringan ini seperti: Flu (sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis) Gastroenteritis (mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia) Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses. Poliomielitis Nonparalitik Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi akan merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase kedua. Bentuk gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-anak tapi pada penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai. Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme otot fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila dari sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan dalam sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat tidur (tanda tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor trunsi sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu hendak melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat pula dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap berbaring hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka kepala penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi)3.

Poliomielitis Paralitik

Secara klasik poliomielitis paralitik dibedakan atas bentuk spinal, bulbar (bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa jam-48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali normal, biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal. Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada bentuk bulbar ini adalah pernafasan3. 2.2.6 Laboratorium Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan tenggorokan, darah, likuor dan feses. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat. Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3 minggu. Kadar protein berkisar antara 30-120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu3. 2.3 Mielitis Transversalis Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis 6. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior7.

Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan6. 2.3.1 Epidemiologi Mielitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun 2. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak terjadi pada umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam keluarga8. 2.3.2 Etiologi Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan saraf yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun keduanya. Pada beberapa kasus lainnya, MT disebabkan oleh infeksi mikroba langsung pada SSP. 30-60% pasien MT dilaporkan menderita infeksi dalam 3-8 minggu sebelumnya dan bukti serologis infeksi akut oleh rubella, campak, infeksi mononucleosis, influenza, enterovirus, mikoplasma atau hepatitis A, B, dan C. Patogen lainnya yaitu virus herpes (CMV, VZV, HSV1, HSV2, HHV6, EBV), HTLV-1, HIV-1 yang langsung menginfeksi medulla spinalis dan menimbulkan gejala klinis MT. Borrelia burgdorferi (Lyme neuroborreliosis) dan Treponema pallidum (sifilis) juga dikaitkan dengan infeksi langsung SSP dan MT5.

MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES yang aktif5. 2.3.3 Patogenesis

Mielitis transversalis akut post-vaksinasi Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi MT9. MTA Parainfeksi Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata parainfeksi telah digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9. Mimikri molekuler Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter

jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9. Microbial superantigen-mediated inflammation Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya lubang pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9. Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen.

10

Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9. Abnormalitas Humoral Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan self dan nonsel. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9. 2.3.4 Manifestasi Klinis Mielitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan penyakit lain. Mielitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut gejala klinis berkembang lebih dari 12 minggu. Simptom mielitis transversalis berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45% pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam6. Diagnostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik, sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan menyebabkan hadirnya simptom umum dari mielitis transversalis6. Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan. Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu kedua setelah OS sakit6. Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan tanda awal yang paling umum mielitis transversalis pada orang dewasa dan tidak

11

pada anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu6. Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6. 2.3.5 Diagnosis Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi10. Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis Inclusion criteria 1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the spinal cord 2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric) 3) Clearly-defined sensory level 4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or myelography; CT of spine not adequate) 5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset meets kriteria 6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from point of awakening)

12

Exclusion criteria 1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years 2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the anterior spinal artery 3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM 4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis, Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a 5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma, other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a (a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa (b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,EpsteinBarr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis. (Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5

2.3.6

Diagnosis Banding Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis Inflamasi Non-Inflamasi Penyakit Demyelinisasi Infeksi sklerosis multiple optik neuromielitis ensefalomielitis diseminata akut mielitis transversalis akut idiopatik

Kompresi Osteofit Diskus Metastasis trauma

Tumor

13

Sindrom Paraneolastik

Virus: coxsackie, mumps, varicella, CMV Tuberculosis

Mikoplasma Penyakit inflamasi Lupus eritematosus sistemik Neurosarkoidosis

(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse Mielitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 29Oktober 2012])

2.3.7

Pemeriksaan Penunjang

MRI Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi10.

CT-myelografi Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis10.

Punksi Lumbal Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa10.

Kultur CSF, PCR, titer antibodi Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti

14

ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan10. Pemeriksaan Lainnya Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen10. Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Kemungkinan Penyebab Infeksi PCR Pemeriksaan Penunjang Serologi darah; kultur, serologi, dan CSF; Foto Thorax dan pemeriksaan imaging lainnya dengan Autoimun Inflamasi Sistemik atau indikasi Penyakit Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan

serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi

Paraneoplastik

paraneoplastik serum dan CSF Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium; (sklerosis multiple, optic neuromielitis) Post infeksi atau post vaksinasi CSF rutin; pemeriksaan visual evoked potential; serum NMO-IgG Anamnesis riwayat infeksi vaksinasi serologi sebelumnya; adanya infeksi; dan

konfirmasi eksklusi

penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)

15

Gambar 2.1. Alur Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut6

2.3.8

Penatalaksanaan 16

Immunoterapi inisial Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8. Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini8. Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang8. Respirasi dan Oropharyngeal Support Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan

17

pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus8. Abnormalitas Tonus Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut ( spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis8. Nyeri Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8.

18

Malaise Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8. Disfungsi Usus dan Genitourinari Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor 1-adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih8. Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi8. Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia8.

19

Konsultasi Psikiater Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog8. 2.3.9 Prognosis Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 36 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.

20

You might also like