You are on page 1of 3

DIMENSI POLITIS PERAN SEORANG IBU

Faizatul Rosyidah

Seiring dengan telah disahkannya UU Pemilu tentang kuota perempuan dalam


parlemen, ide tentang peran politik perempuan pun semakin banyak disosialisasikan.
Bersinergi dengan sosialisasi ide keadilan gender yang juga semakin gencar, bak gayung
bersambut, seruan perempuan berpolitik pun seolah menemukan ‘momentumnya’. Maka
maraklah para perempuan yang kemudian memilih turut serta memainkan peran politisnya.
Mulai dari menjadi aktivis atau bahkan pimpinan parpol, caleg perempuan, hingga menjadi
penguasa,
Sementara itu, peran domestik perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga
sering dipandang terpisah, bahkan bertentangan dan tidak bisa berjalan serasi dengan peran
politik perempuan. Dipandang terpisah, karena ketika sedang membahas peran politik
perempuan, orang tidak membahas bagaimana perempuan bisa tetap berperan sebagai ibu
yang berkualitas. Dipandang bertentangan, karena akhirnya perempuan merasa seperti harus
memilih: apakah ia akan memilih menjadi ibu rumah tangga yang berkualitas, ataukah ia
menjadi politikus, tidak bisa memilih keduanya sekaligus karena selalu harus ada yang
dikorbankan, begitulah katanya.
Tulisan ini tidak hendak mengkritisi peran politik perempuan, bahkan penulis setuju
bahwa perempuan memang harus memainkan peran politisnya. Akan tetapi tul;isan ini hendak
berusaha menunjukkan bahwa ketika seorang perempuan melaksanakan perannya sebagai ibu,
maka sebenarnya ada dimennsi politis yang sedang ia mainkan. Dan bahwa peran politis
perempuan dan perannya sebagai ibu bisa berjalan secara sinergis.
Peran Ibu Yang Berdimensi Politik
Untuk bisa melihat dimensi politis dari peran seorang ibu, terlebih dahulu kita harus
punya pemahaman yang komprehensif tentang politik dan tujuan berpolitik yang benar.
Ketika politik kita artikan sebagai sekedar jalan menuju kekuasaan –sebagaimana sekarang
lazim dipahami-, maka akan cenderung membuat kita menjadikan kekuasaan sebagai tujuan
akhir dari semua kegiatan politik, dan cenderung membuat orang menghalalkan segala cara
asal tujuan (kekuasaan) bisa diraihnya.Dalam konteks seperti ini, tidaklah aneh kalau
kemudian sering kekuasaan itu ternyata akhirnya tidak digunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Bahkan kalau perlu kesejahteraan rakyat adalah harga yang harus dia
korbankan demi membayar ‘pengorbanan’ yang sudah ditempuhnya untuk menuju kursi
kekuasaan yang menjadi tujuannya. Selain itu, definisi di atas cenderung membuat kita
memahami politik secara parsial, bukan sebagai sebuah sistem yang utuh. Dengan definisi
politik seperti ini, kaum ibu dianggap memiliki peran politik hanya apabila ia sedang menuju
kepada atau sedang memegang jabatan kekuasaan tertentu (seperti menjadi anggota/pengurus
partai politik, menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat, atau duduk dalam jabatan
eksekutif pemerintahan). Di luar itu dianggap bukan peran politik. Pandangan seperti ini
haruslah diperluas.
Politik dalam arti yang sesungguhnya adalah aktivitas pengurusan seluruh urusan
rakyat, baik di dalam maupun di luar negeri. Pengurusan ini mencakup pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan hidup rakyat, penunaian hak-hak rakyat sehingga rakyat mendapatkan
seluruh kemaslahatannya. Secara praktis, pengurusan ini memang dilakukan secara langsung
oleh pemerintah (penguasa). Sekalipun demikian, tidak berarti politik hanya aktivitas
penguasa. Akan tetapi semua aktivitas yang dilakukan, baik oleh individu, partai politik atau
majelis rakyat (lembaga perwakilan rakyat yang bertugas memberi pendapat dan nasihat
kepada penguasa) yang bertujuan menjaga agar penguasa menunaikan tugasnya dengan baik,
adalah juga aktivitas politik. Begitu pula upaya pembinaan yang dilakukan agar rakyat
mengerti akan kemaslahatan yang seharusnya dia terima dari penguasanya sehingga mereka
mampu menasihati penguasa tersebut ketika mengabaikannya, atau aktivitas dalam membina

1
kader-kader yang sanggup diserahi urusan rakyat dalam posisi-posisi kekuasaan, semuanya
sebenarnya adalah aktivitas politik.
Sehingga dengan definisi seperti ini, bisa kita pahami bahwa suatu sistem politik yang
tangguh hanya akan terwujud tatkala di dalamnya –pada satu sisi- terdapat seorang kepala
negara beserta para pembantunya yang bertakwa (yang membuatnya takut mendzalimi
rakyatnya), amanah (bertanggung jawab) terhadap semua kewajibannya, dan mampu
memimpin dan menjalankan strategi-strategi yang jitu dalam mengatur urusan rakyatnya,
serta –pada sisi yang lain- terdapatnya rakyat yang juga diliputi suasana ketakwaan
(menjunjung tinggi nilai-nilai moral/spiritual), yang tidak akan pernah rela membiarkan
penguasanya melanggar peraturan yang seharusnya, dan senantiasa terdorong untuk
menasihati penguasanya agar menjalankan pengurusan terbaik untuk rakyatnya. Mereka akan
menegur, memprotes kebijakan, memberikan usulan, mengadukan urusannya kepada
penguasa baik secara individual, lewat partai politik, atau lewat majelis rakyat.
Maka keberadaan SDM-SDM yang tangguh (baik sebagai penguasa atau rakyat) yang
menjadi pelaku (yang menjalankan dan mengontrol) sistem politik yang tangguh tersebut,
adalah suatu keniscayaan. Dari manakah sumberdaya-sumberdaya manusia ini muncul?
Disinilah dimensi politis peran seorang ibu menjadi jawabnya; karena dari rahim,
pengasuhan, dan pendidikan para ibulah tercetak kader-kader politisi yang tangguh.!
Peran ibu menjadi berdimensi politik yang kental bila seorang ibu mampu untuk
mendidik anak-anaknya menjadi (baik) penguasa ataupun rakyat yang memiliki kemampuan
menjalankan peran masing-masing dengan ideal. Peran politik ini tidak akan dapat digantikan
oleh sekolah atau siapapun. Bahkan pembinaan/pendidikan politik yang dilakukan oleh
parpol tidak akan mampu untuk menandingi pembinaan politik yang dilakukan oleh ibu.
Betapa tidak. Pembinaan oleh parpol dilakukan terhadap orang yang telah dewasa, sedangkan
pembinaan oleh ibu dilakukan sejak anak berada dalam kandungan. Bukankah sangat sulit
bagi parpol untuk mengubah mental seorang pecundang menjadi mental seorang pemimpin
besar? Bukankah ketentraman dan ketenangan ibu selama hamil berpengaruh pada karakter
janinnya? Bukankah ketika ibu menyusui, ibu mengajarkan rasa aman? Bukankah ketika ibu
menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan kasih sayang? Bukankah saat ibu melatih
anak berjalan, ibu mengajarkan semangat untuk berjuang? Saat menengahi perselisihan anak,
ibu mengajarkan tentang keadilan? Ibu pun mengajarkan kejujuran, keterbukaan, empati dan
tanggung jawab. Dan yang terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan anak tentang
Tuhannya, pada siapa dia harus takut, tunduk dan patuh. Lalu pemimpin manakah yang lebih
baik dibanding dengan pemimpin yang mengerti dan sanggup memberikan rasa aman, kasih
sayang, keadilan dan punya empati yang tinggi terhadap rakyatnya? Individu rakyat mana
yang lebih baik dari individu yang hanya takut kepada Tuhannya, sehingga taat kepada
pemimpin ketika pemimpin itu benar dan berani mengoreksinya ketika salah, yang berani
menyuarakan kebenaran sekalipun nyawa menjadi taruhannya? Individu-individu pemimpin
maupun rakyat yang memiliki kejujuran, tidak tergoda oleh materi/kepentingan sesaat,
bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam perjuangannya (menegakkan kebenaran.
Bukankah hanya orang-orang seperti ini yang akan mampu membawa politik pada
kebahagiaan dan kebaikan?
Memang, harus diakui pembinaan yang dilakukan oleh para ibu ini belumlah tentu
siap pakai, karena lebih pada pembentukan landasan berfikir dan pembentukan mental kader
politik. Namun dari hasil pembinaan para ibu inilah, sekolah (negara) maupun partai politik
tinggal melanjutkan pembinaan dan memoles kader-kader politik lebih lanjut.
Peran ini sebenarnya akan bersinergi dengan peran politis perempuan yang lain;
seperti keterlibatan para ibu dalam partai politik yang dengannya para ibu bisa menasihati
penguasa lewat suara partai politik, juga melakukan pembinaan terhadap kader-kader politik
perempuan dalam partai ataupun membina kesadaran politik kaum perempuan secara umum
di luar partai.
Dengan pemahaman dan pengaturan waktu yang baik, menjalankan kewajiban dalam
partai politik justru menambah kemampuan ibu membina kader buah hati ibu di rumah, bukan
justru sebaliknya membuat ibu mengabaikan peran politik ibu di rumah. Seorang ibu yang
aktif dalam partai politik (yang memang menjalankan seluruh fungsi parpol -baik

2
agregasi,artikulasi,legislasi dan edukasi-sebagaimana seharusnya) akan terbiasa membina
kader politik di partainya, terbiasa membaca berbagai karakter kadernya, sabar dan kreatif
dalam membimbing kadernya untuk mampu menjadi pribadi-pribadi unggulan. Ini
membuatnya lebih peka dan terampil ketika ia mendidik anaknya sendiri. Wawasan politik
dan kepekaan politik seorang aktivis parpol tentunya juga akan lebih baik dibanding yang
tidak aktif dalam parpol. Tentunya ia bisa lebih peka dan bisa lebih cepat “mengimunisasi”
anaknya terhadap bahaya di luar rumahnya. Ia juga bisa lebih banyak memberikan wawasan
politik kepada anaknya dibanding ibu-ibu yang tidak aktif dalam parpol.
Ibu yang memiliki kesadaran politik berpotensi besar untuk mencetak generasi yang
lebih baik. Ini karena ibu memiliki kepekaan untuk mengidentifikasi hal-hal yang
membahayakan kelangsungan pendidikan anak. Acara-acara televisi yang menjerumuskan
anak dalam gaya hidup hedonisme, permisivisme, syirik, dan menjauhkan anak dari ajaran
agamanya bisa dideteksi dengan baik oleh ibu yang memiliki kesadaran politik tinggi. Begitu
pula bahaya-bahaya yang datang dari lingkungan tempat tinggal, sekolah, dari media massa
selain televisi, dan dari masyarakat, bisa ditangkap dan dianalisis, sehingga ibu seperti ini
mampu untuk merumuskan langkah-langkah pengamanan yang tuntas dan tepat. Ibu tidak
hanya merasa cukup dengan mematikan televisi, melarang anak nonton, melarang anak
bergaul, dan langkah-langkah parsial individual lain, tetapi langkah-langkah ini disertai juga
dengan langkah-langkah untuk mengubah kondisi yang ada. Membina masyarakat,
membentuk opini, dan menggalang dukungan terhadap langkahnya untuk melakukan koreksi
terhadap sistem yang ada.
Begitu pula, ibu yang berkesadaran politik berpeluang lebih besar untuk dapat
mencetak seorang politisi handal. Bagaimana tidak. Dalam setiap interaksinya dengan anak,
ibu selalu memberikan wawasan, lebih banyak mengajak anak untuk melihat realita dan
menganalisisnya. Kebiasaan ini secara langsung maupun tidak akan mengasah ketajaman
pemikiran politik anak, sesuatu yang sangat vital bagi seorang politisi.
Terbentuknya pribadi-pribadi politisi yang tangguh seperti ini, akan memudahkan
proses pengkaderan yang dilakukan partai. Dengan demikian akan muncullah generasi
politisi yang berjiwa ikhlas, bersih, berani, pantang meyerah, dan mempersembahkan
perjuangannya semata-mata untuk kebenaran.
Namun sayangnya, faktanya saat ini banyak ibu yang belum mampu berperan secara
ideal. Ada yang belum mampu berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya, ada juga yang
baru mampu mendidik anak untuk kepentingan keluarganya namun masih abai terhadap
urusan rakyat dan masyarakatnya. Karenanya, harus ada upaya untuk membina para ibu untuk
mampu berperan ideal. Dalam jangka panjang, pembinaan ini akan jauh lebih efektif
dibanding kita melakukan pembinaan langsung pada kader-kader politik. Dengan demikian
saat ini yang harus kita lakukan adalah meningkatkan kualitas para ibu sehingga perannya
bisa berjalan optimal. ***

Penulis : dr. Faizatul Rosyidah


Dokter, Alumnus Fak. Kedokteran Unair, Ibu RT, Penulis, Konsultant Remaja,
pendidikan Anak dan keluarga
faizah.rosyidah@gmail.com
www.faizatulrosyidahblog.blogspot.com

You might also like