You are on page 1of 15

LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI DAN EKONOMI VETERINER

Konsep Dasar Epidemiologi

Kelompok 1 : 1. Hazar Sukareksi 2. Mursyid 3. Yuliana Fatie 4. Rahmiati Amaryllis S.L 5. Jessica Rizkina Wibowo 6. R.M. Rizky Jauhari 7. Bagus Aditya P 8. Zerlinda Amelia 9. Risnia Buatama B04080017 B04080135 B04089001 B04090111 B04090127 B04090139 B04090164 B04090183 B04090199

Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor 2013

Soal 1 Avian Influenza 1. Agen etiologis Virus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Virus influenza merupakan nama generik dalam keluarga Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus influensa unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi virus-virus influensa sudah dipublikasikan baru-baru ini (mis. Sidoronko dan Reichi 2005). Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influensadikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9).Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan ketika dilakukan analisis filogenetikterhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melaluicara deduksi asam amino (Fouchier 2005). 2. Sumber /reservoir Penyebaran dalam kelompok tergantung bentuk pemeliharaan: dalam kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua 2000). Seringkali hanya sebagian kandang saja yang terkena. 3. Cara keluar Lingkar hidup virus influensa unggas jenis patogenisitas rendah dalam unggas airliar secara genetik adalah stabil (Webster 1992). Siklus infeksi antar unggas terjadimelalui rantai oral-fekal (mulut-tinja). Selain menular melalui kontak langsung daripenjamu ke penjamu, air dan benda-benda lain yang tercemar virus merupakan jalurpenularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda dengan penularan virus influensa pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang

terutama terjadi melaluipercikan yang tersembur dari hidung dan mulut.Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampumempertahankan daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17o C. Dibawah 50o C virus dapat bertahan praktis untuk waktu yang tidak terbatas. Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsungdengan hewan pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang membawa virus, ataubersentuhan dengan benda-benda yang tervemar bahan mengandung virus. Sekalivirus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu faseadaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yangcukup besar untuk dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalamkawanan sendiri ataupun ke kawanan yang lain. Demikian pula sekali HPAIVberkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, ia juga dapat menulardengan cara yang sama. Pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar danunggas ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multiplikator

penyebaranpenularan ( Bulaga 2003). 4. Cara tranmisi Hemaglutinin, sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan

asilasi(glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang terikatsalam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat, daeraheskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan

kemampuannyamelekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang menyalurkan derivatasam neuroaminic (Watowich 1994). Daerah eksternal (exodomain) dariglikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase (NA), melakukan aktivitasensimatik sialolitik (sialolytic ensymatic activity) dan melepaskan progeni virusyang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi inimencegah tertumpuknya virus dan mungkin juga memudahkan gerakan virus dalamselaput lendir dari jaringan epitel yang menjadi sasaran. Selanjutnya virus pun akanmenempel ke sasaran.

Gambar 1. Proses Transmisi Avian Influenza 5. Cara masuk Setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai, virion masuk danmenyatu ke dalam sebuah ruang endosom melalui mekanisme yang tergantung dantidak tergantung kepada clathrin. Dalam ruang ini virus tersbutmengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membranendosom: dimediasi oleh pemindahan proton melalui terowongan protein darimatrix-2 (M2) virus, pada nilai pH di endosom sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadiserangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoproteinomotrimerik HA. Sebagai hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain)yang sangat lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalammembran endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antaramembran virus dengan membran lisomal ( Wagner 2005). 6. Inang rentan Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam orde Anseriformis(bebek dan angsa) dan Charadiformis (burung camar dan burungburung pantai),adalah pembawa (carrier) seluruh varietas subtipe dari virus influensa A, dan olehkarenanya, sangat mungkin merupakan penampung (reservoir) alami untuk semuajenis virus influensa (Webster 1992, Sementara semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapaspesies unggas

domestik ayam, kalkun, balam, puyuh dan merak diketahuiterutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari infeksi virus influensa.

Tahap riwayat alamiah penyakit 1. Tahap rentan Penyebaran dalam kelompok tergantung bentuk pemeliharaan: dalam kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepatdaripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua 2000). Seringkali hanya sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejalaawal sehingga kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan. Terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas yang terkena HPAI sering hanya menunjukkan apatis dan tidak banyak bergerak(imobilitas). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan, dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai meskipuntidak selalu (inkonsisten). Pada unggas petelur, pada mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit. Gejalagejala sistem saraf termasuktremaor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gam,baran klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angas, dan jenis burung onta. 2. Tingkat penyakit subklinis Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh AIV

berpatogenesis rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur yang secara transien menurun atau berat badan menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan

3. Tingkat penyakit klinis Dalam bentuknya yang sangat patogen, penyakit yang terjadi pada ayamdan kalkun ditandai dengan serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka waktu 48 jam.

4. Tingkat pemulihan Determinan penyakit 1. Primer dan sekunder Primer : virus H5N1 Sekunder: Tidak di vaksinasi, vaksinansi tidak tuntas, sanitasi kandang yang buruk, kepadatan kandang, ternak tidak

dikandangkan 2. Intrinsik dan ekstrinsik 3. Berhubungan dengan, agen , host, lingkungan

Soal 2 Gambaran jumlah wabah dari tiga penyakit yang dicatat selama 20 tahun adalah sebagai berikut Jumlah Wabah Tahun Penyakit A Penyakit B Penyakit C 1991 1 19 30 1992 0 20 28 1993 0 21 29 1994 0 21 31 1995 0 18 35 1996 7 21 39 1997 1 22 51 1998 0 20 55 1999 0 19 47 2000 2 22 40 2001 0 21 37 2002 0 20 35 2003 2 19 29 2004 7 21 32

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penyakit A

0 0 4 5 3 0

20 21 22 20 22 21

31 28 29 31 30 32

Penyakit A
8 Jumlah Kasus 6 4 2 0

Tahun

Gambar 2. Jumlah Kasus Penyakit A Selama 20 Tahun.

Penyakit A
8 7 6 5 4 3 2 1 0

Jumlah Wabah

1995

2008

1991

1992

1993

1994

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2009

Tahun

Gambar 3. Jumlah Kasus Penyakit A Selama 20 Tahun. Penyakit B

2010

Penyakit B
25 20 15 10 5 0 Jumlah Wabah

Tahun

Gambar 4. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.

Penyakit B
25

Jumlah Wabah

20 15 10 5 0

2000

2004

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2001

2002

2003

2005

2006

2007

2008

2009

Tahun

Gambar 5. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun. Penyakit C

Penyakit C
Jumlah Wabah 60 40 20 0

Tahun

Gambar 6. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.

2010

Penyakit C
60

Jumlah Wabah

50 40 30 20 10 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Tahun

Gambar 7. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun. Pola Penyebaran Penyakit Pola penyebaran penyakit dibagi menjadi sporadik, endemik atau enzootik, epidemik atau epizootik, dan pandemik.

Jumlah Wabah dari Tiga Penyakit selama 20 Tahun (1991-2010)


60 50 40 30 20 10 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Jumlah Kasus

Penyakit A Penyakit B Penyakit C

Gambar 8. Jumlah Kasus Penyakit A, Penyakit B, dan Penyakit C Selama 20 Tahun.

Jumlah Wabah dari Tiga Penyakit selama 20 Tahun (1991-2010)


60 50 40 30 20 10 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Kasus

Penyakit A Penyakit B Penyakit C

Tahun

Gambar 9. Jumlah Kasus Penyakit A, Penyakit B, dan Penyakit C Selama 20 Tahun. a. Pola Penyebaran Penyakit A : Sporadik Kasus penyakit dalam periode waktu tertentu (musim, tahun dan bisa lebih lama) sangat jarang kejadiannya dan frekuensinya tidak teratur atau tidak bisa diramalkan. b. Pola Penyebaran Penyakit B : Endemik atau Enzootik Kejadian penyakit sudah dapat diperkirakan dan sedikit sekali terjadi penyimpangan atau peningkatan dari keadaan biasanya. Pada bentuk ini dalam periode waktu tertentu di suatu daerah sering terjadi kasus penyakit dengan jumlah yang relatif sama dan biasa terjadi. c. Pola Penyebaran Penyakit C : Epidemik atau Epizootik Kejadian penyakit yang luar biasa, yaitu kasus penyakit jauh melebihi dari biasa baik jumlahnya maupun frekuensinya. Pola penyebaran seperti ini dapat berupa Point Epidemik atau Propagated Epidemic. 1. Point Epidemik Kejadian kenaikan kasus dan frekuensi penyakit yang luar biasa, yaitu dalam periode waktu yang singkat jumlah kasus dan frekuensi penyakit naik sangat tajam. 2. Propagated Epidemik

Kenaikan jumlah kasus dan frekuensi penyakit dalam periode waktu tertentu secara bertahap terus naik. Dalam hal ini kenaikan kasus tidak dalam waktu singkat terus tinggi tetapi memerlukan waktu yang relatif panjang.

Soal 3 Penilaian Prevalensi Penyakit X pada Sapi dilaksanakan pada Sejumlah Provinsi di Indonesia Jumlah sapi Jumlah pengalian Jumlah kasus Propinsi yang sapi yang dengan faktor per populasi diperiksa positif yang sama Aceh 13000 1000 0,077 7,692 Sumba 1000 160 0,160 16,000 Lampung 15000 800 0,053 5,333 Sulawesi Selatan 30000 2000 0,067 6,667 Sulawesi Utara 10000 2000 0,200 20,000 Timor 20000 1500 0,075 7,500 Kalimantan 10000 200 0,020 2,000 Jawa Tengah 8000 300 0,038 3,750 Jawa Barat 40000 4500 0,113 11,250 Irian Jaya 5000 100 0,020 2,000 Sumatera Selatan 4000 3000 0,750 75,000 Bali 4000 920 0,230 23,000 NTB 15000 3225 0,215 21,500

Gambar 10. Hasil Survei Penyebaran Penyakit X di Indonesia Pola distribusi penyakit terdiri atas 3 macam, yaitu pola distribusi temporal, spatial, dan animal. Kesimpulan yang dapat diambil adalah jenis pola distribusi penyakit ini adalah pola distribusi spatial yaitu distribusi penyakit berdasarkan tempat. Dilihat dari hasil survey, kejadian penyakit ini tersebar di

seluruh wilayah Indonesia sehingga distribusi ini merupakan spatial contagious. Hal ini karena hanya di daerah tertentu terjadi kejadian penyakit yang sangat tinggi, sedangkan di beberapa daerah lainnya cukup rendah. Dikatakan merupakan pola distribusi spatial karena penyakit hanya berada di daerah Jawa Barat yang memiliki kejadian penyakit yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan dikatakan bersifat contagius karena sebaran kejadian penyakit berpusat atau berkumpul pada daerah daerah tertentu saja, dan kejadian penyakit tersebut bersifat contagious. Soal 4 Distribusi Temporal Penyakit: Rabies di Jawa Tengah Minggu Jumlah Kasus Minggu Jumlah Kasus 1 0 19 8 2 0 20 6 3 0 21 3 4 0 22 1 5 0 23 1 6 1 24 3 7 2 25 0 8 0 26 0 9 0 27 0 10 3 28 0 11 3 29 1 12 2 30 1 13 2 31 2 14 2 32 0 15 5 33 0 16 5 34 0 17 8 35 0 18 8 36 0

Kejadian Rabies 2005-2006


10 8 6 4 2 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Jumlah Kasus

Gambar 11. Grafik Kejadian Rabies

Dampak yang ditimbulkan akibat pengumuman resmi mengenai penyakit penyakit penting dan berbahaya (penyakit zoonosa) seperti rabies kepada masyarakat, maka akan menimbulkan bahaya yang cukup serius akibat interpretasi yang berbedabeda akibat peningkatan insiden penyakit ini. Dampak tersebut yaitu menimbulkan kecemasan yang berlebihan, kepanikan serta kekhawatiran pada masyarakat. Masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk beraktivitas sehingga menyebabkan produktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari akan berkurang sehingga berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat. Selain itu, jika di daerah Jawa Tengah terdapat tempat wisata maka akan menyebabkan terjadi penurunan pendapatan di bidang pariwisata karena wisatawan yang berkunjung menjadi berkurang. Secara keseluruhan, pendapatan ekonomi suatu daerah akan menurun karena pengumuman yang disampaikan secara luas kepada masyarakat ini. Soal 5 Distribusi Spasial Penyakit: Rabies di Jawa Tengah Pembulatan Jumlah kasus Estimasi Jumlah kasus dan pengalian Daerah yang populasi anjing per populasi dengan faktor dipastikan yang sama Wonogiri 21 2000 0,00105 10,5 Tegal 1 1200 0,0008333 8,3 Sukoharjo 14 25000 0,00056 5,6 Karanganyar 5 9570 0,00052247 5,2 Cilacap 4 8000 0,0005 5,0 Banyumas 3 12750 0,00023529 2,35 Klaten 1 20000 0,00005 0,5 Semarang 1 22000 0,00004545 0,45

Gambar 12. Pemetaan distribusi kasus rabies Berdasarkan peta distribusi kasus epidemik rabies sejak September 2005 sampai Maret 2006 terjadi di Jawa Tengah. Pola distribusi yang dihasilkan adalah mengkelompok, pengkelompokan dapat disebabkan oleh tingkah laku mengkelompok,, lingkungan yang heterogen, model reproduksi dan sebagainya. Terlihat kejadian penyakit mengumpul dibeberapa tempat di Jawa Tengah seperti Wonogiri, Tegal, Sukoharjo, Karanganyar, dan Cilacap. Dapat disimpulkan bahwa distribusi rabies di Jawa Tengah sebagai penyakit contagius. Penyakit contagious memiliki ciri sebagai berikut : Timbulnya gejala penyakit (onset penyakit) yang pelan, Masa inkubasi yang panjang, Episode penyakit merupakan peristiwa majemuk, Waktu munculnya penyakit tidak jelas, Hilangnya penyakit dalam waktu yang lama.

DAFTAR PUSTAKA Bulaga LL, Garber L, Senne DA, et al. 2003. Epidemiologic and surveillance studies on avian influenza in live-bird markets in New York and New Jersey, 2001. Avian Dis Vol 43: 996-1001 Capua I, Mutinelli F, Marangon S, Alexander DJ. 2000. H7N1 avian influenza in Italy (1999-2000) in intensively reared chicken and turkeys. Av Pathol Vol 29: 537-543 Fouchier RA, Munster V, Wallensten A, et al. 2005. Characterization of a novel influenza A virushemagglutinin subtype (H16) obtained from blackheaded gulls. J Virol Vol 79: 2814-22 Sidorenko Y, Reichl U. 2004. Structured model of influenza virus replication in MDCK cells. BiotechnolBioeng Vol 88: 1-14 Wagner R, Herwig A, Azzouz N, Klenk HD. 2005. Acylation-mediated membrane anchoring of avian influenza virus hemagglutinin is essential for fusion pore formation and virus infectivity. J Virol Vol 79: 6449-58. Watowich SJ, Skehel JJ, Wiley DC. 1994. Crystal structures of influenza virus hemagglutinin in complex with high-affinity receptor analogs. Structure Vol 2: 719-31. Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. 1992. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol Rev Vol 56: 152-79.

You might also like