You are on page 1of 38

Lumpuh otak (bahasa Inggris: cerebral palsy, spastic paralysis, spastic hemiplegia, spastic diplegia, spastic quadriplegia, CP)

adalah suatu kondisi terganggunya fungsi otak dan jaringan saraf yang mengendalikan gerakan, laju belajar, pendengaran, penglihatan, kemampuan berpikir.[1] Penyebab lumpuh otak sampai saat ini belum dapat dipastikan,[2] banyak orang beranggapan bahwa CP disebabkan oleh karena: Bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang dengan sempurna. Bayi lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen saat dalam kandungan (bahasa Inggris: hypoxia) Adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak. Jenis-jenis lumpuh otak

Secara umum lumpuh otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu: Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita lumpuh otak masuk dalam tipe ini. Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang tidak biasa. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid. Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid. Lumpuh otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara. Ciri-ciri

Gejala lumpuh otak sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Ciri umum dari anak lumpuh otak adalah: Perkembangan motorik yang terlambat. Refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada seperti: Refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan

Bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret. Terapi Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan lumpuh otak. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak lumpuh otak dan membuatnya mandiri dengan terapi. Terapi yang diberikan pada penderita lumpuh otak akan disesuaikan dengan: Usia anak Berat/ ringan penyakit Menimbang dari area pada otak mana yang rusak. Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan menutupi sel-sel yang rusak, dengan cara mengoptimalkan bagian otak yang sehat seperti pemberian rangsangan agar otak anak berkembang baik. Rangsangan/ stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera. Salah satu cara adalah dengan Compensatory Dendrite Sprouting yaitu rangsangan agar dendrit tersebar dengan berimbang. Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita lumpuh otak mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode Glenn Doman . Metode ini digunakan untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih : Gerakan kaki dan tangan (merayap, merangkak) Menghirup oksigen (masking) untuk melatih paru-paru agar membesar. Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.

Lalu, pertanyaannya adalah: Apa yang menyebabkannya? Menurut survey Gallup tahun 1992, hampir semua orang dewasa mengalami Sleep Paralysis, paling tidak dua tahun sekali. Jadi fenomena ini bukan sesuatu yang asing bagi manusia. Usaha untuk menelitinya telah berlangsung sejak tahun 1950an, namun baru benar-benar bisa dipahami ketika para peneliti mulai mengerti hubungan antara kondisi REM (Rapid eye movement) denganmimpi. Ketika kita tidur, kita akan memasuki beberapa tahapan tertentu. Memang ada banyak, namun kita hanya akan melihat dua tahapan besarnya, yaitu Non REM dan REM. Ketika kita tidur, 80 menit pertama, kita memasuki kondisi Non Rem, lalu diikuti 10 menit REM. Siklus 90 menit ini berulang sekitar 3 sampai 6 kali semalam. Selama Non REM, tubuh kita menghasilkan beberapa gerakan minor dan mata kita bergerak-gerak kecil.

Ketika kita masuk ke kondisi REM, detak jantung bertambah cepat, hembusan nafas menjadi cepat dan pendek dan mata kita bergerak dengan cepat (Rapid eye movement - REM). Dalam kondisi inilah mimpi kita tercipta dengan jelas dan kita bisa melihat objekobjek di dalam mimpi. Dr.Max Hirshkowitz, direktur Sleep Disorders Center di Veterans Administration Medical Center di Houston mengatakan kalau Sleep Paralysis muncul ketika otak kita mengalami kondisi transisi antara tidur mimpi yang dalam (REM dreaming Sleep) dan kondisi sadar. Selama REM dreaming sleep, otak kita mematikan fungsi gerak sebagian besar otot tubuh sehingga kita tidak bisa bergerak. Dengan kata lain, kita lumpuh sementara. Fenomena ini disebut REM Atonia. "Kadang, otak kita tidak mengakhiri mimpi atau lumpuh kita dengan sempurna ketika terbangun. Ini bisa menjelaskan mengapa tubuh kita menjadi kaku." Menurut hasil penelitiannya, Dr.Hirshkowitz menyimpulkan kalau efek ini hanya berlangsung selama beberapa detik hingga paling lama satu menit. Namun, bagi korban, sepertinya pengalaman ini berlangsung sangat lama. Lalu, bagaimana dengan perasaan adanya makhluk gaib yang muncul di kamar kita? Florence Cardinal, seorang peneliti lain mengatakan kalau halusinasi biasanya memang menyertai Sleep Paralysis. Kadang ada perasaan kalau ada orang lain di dalam ruangan atau bahkan kita bisa

merasakan adanya makhluk yang sedang melayang di atas kita. Lalu, kita bisa merasakan adanya tekanan di dada seperti sedang diinjak atau diduduki. Malah, ada beberapa korban yang melaporkan mendengar suara langkah kaki, pintu terbuka dan suara-suara aneh. Ini cukup menakutkan, tapi normal. Bahkan banyak peneliti yang percaya kalau fenomena "penculikan oleh alien" atau "diserang roh jahat" kebanyakan hanyalah halusinasi yang terkait dengan Sleep Paralysis.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik 1. 2. 3. 4. Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH. Elektrokardiografi. Pemeriksaan elektroensefalografi. Ekokardiografi.

SINKOP Jordan Bakhriansyah Bambang Herwanto Pendahuluan Sinkop merupakan problem klinis yang penting karena sering terjadi dan menimbulkan disabilitas serta dapat menjadi satu-satunya tanda yang muncul sebelum timbulnya kematian mendadak karena jantung (Sudden Cardiac Death). Akan tetapi penyebab dari sinkop seringkali sulit untuk didiagnosis sehingga seringkali penderita harus menjalani rawat inap di rumah sakit, melibatkan konsultasi dengan multidisiplin ilmu serta menjalani berbagai tes diagnostik (Kapoor, 2000). Selain masalah medis, sinkop juga menimbulkan masalah sosial ekonomi yang cukup berarti dimana biaya yang dikeluarkan tiap tahun untuk evaluasi dan terapi penderita sinkop mencapai 800 juta dolar serta adanya penurunan kualitas hidup dari penderita (Calkins, 2005). Seringkali penyebab sinkop merupakan sesuatu yang tidak membahayakan serta merupakan kondisi yang self limited. Meski demikian sinkop mungkin menunjukkan adanya kelainan serius yang dapat berakibat fatal. Faktor resiko yang terpenting adalah adanya kelainan jantung struktural (seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung sebagai akibat disfungsi sistolik, penyakit jantung katup serta penyakit jantung kongenital) (Ludwig, 2007). Pada penderita dengan penyakit jantung atau adanya abnormalitas pada pemeriksaan EKG, munculnya sinkop dapat meningkatkan resiko kematian dalam waktu satu tahun (Kapoor, 2000; Binder, 2005; Ludwig, 2007). Pada tinjauan kepustakaan kali ini akan dibahas beberapa aspek mengenai sinkop dengan harapan dapat membantu mengenali sinkop lebih mendalam agar dapat memberikan tatalaksana yang lebih baik. Definisi, Epidemiologi dan Patofisiologi Sinkop Istilah Sinkop berasal dari bahasa Yunani Synkoptein, Syn yang berarti dengan, dan kata kerja Kopto yang berarti saya memotong. Sinkop merupakan gejala yang didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran sesaat, disertai hilangnya tonus postural yang biasanya diikuti dengan jatuhnya penderita, dengan onset yang relatif cepat serta pemulihan yang spontan, komplit, dan segera (Maisel, 2002; Brignole, 2004; Miller, 2005, Dave 2007). Dari data yang didapat pada the Framingham Heart Study yang berlangsung antara 1971 hingga 1998 dengan jumlah partisipan 7814 orang, angka kejadian sinkop yang dilaporkan pertama kali sebesar 6,2 per 1000 orang tiap tahun, angka kejadian ini meningkat hampir dua kali lipat pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan tanpa penyakit kardiovaskular. Penyebab utama yang diketahui adalah sinkop vasovagal (21,1 %), kardiak (9,5 %), ortostatik (9,4 %) sementara sinkop karena sebab yang tidak jelas mencapai 36,6 % (Soteriades, 2002; Dave 2007). Kejadian Sinkop tercatat

sebanyak 3,5 % dari seluruh kunjungan ke pelayanan gawat darurat dan 1-6 % dari seluruh penderita yang masuk rumah sakit (MRS) di Amerika Serikat (Grubb, 2005). Faktor-faktor spesifik yang mendasari terjadinya sinkop bervariasi pada tiap pasien, tetapi terdapat beberapa prinsip umum yang mendasari terjadinya sinkop yang perlu diketahui. Pada individu muda dan sehat dengan aliran darah ke otak antara 50-60 ml/100 gram jaringan/menit ( kurang lebih 12-15 % dari curah jantung istirahat ), kebutuhan oksigen minimum yang harus dipenuhi agar tetap sadar ( sekitar 3-3,5 ml O2 / 100 gram jaringan / menit ) dapat dengan mudah terpenuhi. Tekanan perfusi serebral sebagian besar tergantung pada tekanan arteri sistemik, kerena itu segala hal yang menyebabkan penurunan curah jantung ataupun tahanan vaskular perifer total akan menyebabkan penurunan tekanan arteri sitemik serta tekanan perfusi serebral. Pada curah jantung, faktor determinan fisiologis yang paling penting adalah pengisian vena ( pre-load ). Karena itu penumpukan darah yang berlebih pada beberapa bagian tubuh atau penurunan volume darah dapat mencetuskan terjadinya sinkop. Curah jantung juga dapat terganggu karena bradiaritmia, takiaritmia atu penyakit katup. Dalam hubungannya dengan tahanan vaskular perifer, vasodilatasi yang luas dan berlebihan dapat berperan penting pada penurunan tekanan arterial. Gangguan kemampuan untuk dapat meningkatkan tonus vaskular saat berdiri adalah penyebab dari hipotensi ortostatik serta sinkop pada penderita yang mendapat obat vasoaktif serta pada pasien dengan neuropati otonom. Penghentian mendadak dari aliran darah otak selama 6-8 detik ternyata cukup untuk menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran total. Pengalaman dari Tilt testing menunjukkan penurunan dari tekanan darah sistolik hingga 60 mmHg berhubungan dengan terjadinya sinkop. Lebih lanjut diperkirakan penurunan 20% dari hantaran oksigen serebral cukup untuk menyebabkan hilangnya kesadaran. Dari fakta diatas, integritas dari sejumlah mekanisme kontrol berperan penting untuk mempertahankan hantaran oksigen serebral yang adekuat, termasuk: Kemampuan autoregulator serebrovaskular yang membuat aliran darah ke otak dapat dipertahankan meskipun terdapat perbedaan yang relatif besar pada tekanan perfusi. Kontrol kimia dan metabolik lokal yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral. Penyesuaian dari detak jantung, kontraktitilas jantung serta tahanan vaskular sistemik yang dirangsang oleh baroreseptor arterial dengan tujuan melindungi aliran darah serebral. Regulasi volume vaskular, dimana pengaruh ginjal dan hormonal membantu mempertahankan volume sirkulasi. Apapun mekanisme yang mendasarinya, hipoperfusi serebral yang bersifat sementara hingga mencapai titik kritis merupakan faktor yang memicu terjadinya episode sinkop (Brignole, 2004). Klasifikasi Sinkop Penyebab dari sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok utama: Vaskular, Kardiak, Neurologiserebrovaskular, Psikogenik, Metabolik dan Sinkop tanpa kausa yang diketahui (Calkins, 2005).

Penyebab utama dari sinkop karena vaskular adalah Hipotensi Ortostatik serta Reflex-mediated Syncope yang meliputi sepertiga angka kejadian sinkop karena vaskular sementara Subclavian Steal Syndrome terjadi pada 0,1 persen dari episode sinkop (Calkins, 2005; Grubb, 2005). Saat seseorang berdiri, 500-800 ml darah berpindah ke abdomen serta ekstremitas bawah sehingga terjadi penurunan mendadak dari venous return ke jantung. Penurunan ini menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung serta merangsang baroreseptor untuk meningkatkan rangsangan simpatis sehingga denyut jantung, kontraktilitas serta tahanan vaskular akan meningkat untuk mempertahankan stabilitas tekanan darah sistemik saat berdiri. Hipotensi ortostatik adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan 20 mmHg tekanan darah sistolik atau 10 mmHg tekanan darah diastolik saat berdiri selama 3 menit. Hipotensi ortostatik dapat asimtomatis atau juga dapat menimbulkan gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, pandangan kabur serta sinkop. Obat-obat yang dapat menyebabkan penurunan volume cairan tubuh serta menyebabkan terjadinya vasodilatasi merupakan penyebab terbanyak terjadinya hipotensi ortostatik (Calkins, 2005). Terdapat banyak reflek yang menyebabkan terjadinya episode sinkop ( Reflex-mediated syncope ). Pada tiap kondisi reflek terdiri atas dua komponen yaitu pemicu serta respon. Sinkop karena reflek memiliki persamaan pada respon yang dihasilkan, terdiri dari peningkatan tonus vagal serta penurunan tonus simpatis perifer yang menyebabkan terjadinya bradikardi, vasodilatasi dan pada akhirnya terjadi hipotensi, presinkop hingga sinkop. Yang membedakan reflek tersebut adalah faktor yang memicu terjadinya sinkop antara lain karena proses miksi, defekasi serta menelan. Dua tipe utama Reflexmediated syncope adalah Hipersensitivitas sinus karotis serta Hipotensi karena sistim saraf (Neurally Mediated Hypotension or Syncope) (Calkins, 2005; Grubb, 2005; Miller, 2005). Neurally Mediated Syncope dikenal juga sebagai Vasovagal, Vasodepresor, serta Neurokardiogenik sinkop. Vasovagal sinkop merupakan jenis sinkop yang paling banyak diderita, dimana terjadi abnormalitas regulasi tekanan darah yang ditandai oleh terjadinya hipotensi yang mendadak dengan atau tanpa disertai bradikardi (Calkins, 2005). Meski penyebabnya masih kontroversial, sinkop vasovagal diperkirakan terjadi pada orang yang memiliki predisposisi kondisi pengumpulan berlebih dari vena perifer yang mengakibatkan penurunan mendadak dari peripheral venous return. Hal ini berakibat pada terjadinya kondisi hiperkontraktil pada jantung sehingga mengaktifkan mekanoreseptor yang biasanya hanya aktif saat ada regangan (Grubb, 2005). Mekanoreseptor atau dikenal juga sebagai seratC ( C-fibers ) yang terdiri atas serat non mielin dapat dijumpai di atrium, ventrikel serta arteri pulmonal dimana kontraksi pada ventrikel sebagai akibat dari penurunan volume yang berat dapat mengaktifkan serat-C tersebut yang berakibat pada timbulnya stimulus yang diteruskan oleh jaras aferen dari serat C menuju dorsal dari nukleus vagus pada medulla hingga terjadi peningkatan tonus vagal sehingga muncul vasodilatasi dan bradikardi ( Calkins, 2005 ). Sinkop vasovagal dapat dicetuskan oleh berdiri yang lama, olah raga yang berlebihan pada lingkungan hangat, rasa takut, tekanan emosional serta nyeri yang berat. Terdapat tiga fase berbeda pada sinkop vasovagal yaitu fase prodromal, fase kehilangan kesadaran serta fase pasca sinkop. Fase prodromal ditandai dengan adanya diaforesis, gangguan epigastrik, kelelahan berat, kelemahan, mual, pusing serta vertigo yang berasal dari meningkatnya tonus parasimpatis dan dapat berlangsung beberapa detik hingga menit. Usaha untuk mencegah fase prodromal berlanjut menuju fase kehilangan kesadaran

dapat dilakukan dengan jalan berbaring, mengurangi nyeri serta menghilangkan faktor pencetus lainnya. Fase pasca sinkop dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari yang meliputi rasa mual, pusing, disorientasi, serta kebingungan. Fase pasca sinkop yang memanjang mungkin berhubungan dengan kausa sinkop yang lebih serius dari vasovagal dan membutuhkan pemeriksaan lebih mendalam ( Miller, 2005 ). Sinkop karena penyebab kardiak utamanya disebabkan oleh karena takiaritmia dan bradiaritmia. Takikardi ventrikel ( Ventricular Tachycardia / VT ) adalah penyebab terbanyak timbulnya sinkop akibat takiaritmia. Supraventricular Tacyicardia (SVT)juga dapat menimbulkan sinkop akan tetapi sebagian besar pasien dengan aritma supraventrikular menunjukkan gejala yang lebih ringan seperti berdebar, sesak, serta kepala yang terasa berputar. Bradiaritmia yang dapat menimbulkan sinkop termasukSick Sinus Syndrome serta blok Atrioventrikular. Secara anatomi, penyebab sinkop termasuk adanya hambatan aliran darah seperti emboli paru masif, miksoma atrium atau stenosis aorta ( Calkins, 2005 ). Selain penyebab diatas, sinkop juga dapat ditimbulkan karena faktor neurologis, faktor metabolik serta penyebab lain yang belum diketahui. Sinkop karena faktor neurologis terjadi kurang dari 10 persen dari kejadian sinkop sementara karena faktor metabolik kurang dari 5 persen dari episode sinkop ( Calkins, 2005 ). Klasifikasi sinkop dapat dilihat lebih detil pada tabel berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Sinkop

Diagnosis Sinkop Identifikasi penyebab pasti dari sinkop seringkali menyulitkan tetapi juga menantang. Hal ini karena sinkop biasanya sporadis dan jarang terjadi serta sangat sulit untuk bisa memeriksa atau bahkan mendapatkan rekaman EKG pada saat episode sinkop. Karena itu untuk mendiagnosis serta menentukan kausa dari sinkop dibutuhkan kecermatan serta kerjasama yang baik dengan berbagai disiplin ilmu. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik Anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam evaluasi penderita sinkop. Beberapa studi menunjukkan kemungkinan penyebab sinkop dapat diketahui berdasarkan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang baik pada lebih dari 25 persen pasien dengan sinkop ( Calkins, 2005 ). Literatur lain bahkan menyebutkan bahwa dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, penyebab dari sinkop dapat diketahui pada 60 persen penderita ( Miller, 2005 ). Dalam anamnesis perlu digali tentang faktor-faktor pencetus sinkop serta gejala sebelum dan sesudah serangan sinkop. Faktor pencetus seperti perubahan postur tubuh menunjukkan penyebab ortostatik

sementara sinkop yang berhubungan dengan menelan, miksi serta defekasi menunjukkan penyebab neurokardiogenik dan yang berhubungan dengan saat kepala menoleh menunjukkan sindroma sinus karotis ( Ludwig, 2007 ). Secara umum dalam mengevaluasi penderita sinkop beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu: Menentukan apakah penderita memiliki riwayat penyakit jantung atau riwayat keluarga dengan penyakit jantung, sinkop atau kematian mendadak. Mengenali terapi serta obat-obatan yang dapat berperan pada timbulnya sinkop. Mengidentifikasi faktor pencetus termasuk posisi tubuh. Mengenali tipe serta durasi dari gejala prodromal serta pemulihan dari sinkop. Mengenali jumlah serta kronisitas dari episode sinkop maupun presinkop terdahulu. Juga perlu didapatkan data dari orang yang menyaksikan saat penderita mendapatkan episode sinkop ( Calkins, 2005 ). Setelah melakukan anamnesis yang cermat, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Data tentang tanda vital meliputi tekanan darah baik pada posisi berbaring maupun berdiri serta evaluasi denyut nadi penting untuk membantu menentukan kausa dari sinkop. Selain pemeriksaan kardiak yang menyeluruh dan cermat serta difokuskan apakah penderita memiliki kelainan jantung struktural, perlu juga diperiksa tentang status hidrasi serta pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kelainan yang signifikan pada sistim saraf penderita. Pemeriksaan Penunjang Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, pemeriksaan penunjang juga dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis serta menentukan kausa dari episode sinkop. Masase Sinus Karotis Masase karotis direkomendasikan pada semua pasien yang terbukti tidak memiliki penyakit arteri karotis (adanya bruit karotis, riwayat endarterektomi serta TIA dan stroke) dengan monitor ketat pada tekanan darah penderita ( Calkins, 2005; Ludwig, 2007). Telah lama diketahui bahwa tekanan pada bifurkasio arteri karotis komunis menghasilkan reflek memperlambat denyut jantung serta penurunan dari tekanan darah. Pada penderita dengan sinkop terutama yang berusia lebih dari 40 tahun, respon abnormal dari masase sinus karotis dapat terlihat. Adanya henti ventrikular selama 3 menit atau lebih dan penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg atau lebih dikatakan abnormal dan dikenal sebagai hipersensitivitas sinus karotis ( Brignole, 2004 ). Pada banyak studi, masase dilakukan pada posisi berbaring tapi beberapa juga melakukan pada posisi berbaring dan berdiri dengan monitor EKG serta tekanan darah yang terus terpasang. Setelah data hemodinamik dasar diperoleh, dilakukan masase pada arteri karotis kanan selama 5-10 detik pada

batas anterior dari otot sternocleidomastoid setinggi kartilago krikoid, bila belum menunjukkan hasil maka setelah satu hingga dua menit dilakukan masase pada sisi yang berlawanan. Respon dari masase sinus karotis umumnya berupa penghambatan kardiak ( asistol ), vasodepresif ( penurunan tekanan darah sistolik ) atau gabungan keduanya. Komplikasi dari masase ini utamanya adalah komplikasi neurologis. Meskipun jarang, masase karotis sebaiknya dihindari pada penderita dengan riwayat TIA atau stroke yang terjadi 3 bulan terakhir atau pada pasien dengan bruit karotis. Komplikasi yang jarang lainya adalah timbulnya Atrial fibrilasi yang self-limited. Karena asistol yang terjadi saat masase dapat pulih sendiri segera setelah masase dihentikan, maka hampir tidak dibutuhkan resusitasi lebih lanjut ( Brignole, 2004 ). Tilt-table Testing Tilt-table Testing merupakan salah satu metode untuk membantu diagnosis neurokardiogenik/vasovagal sinkop yang telah menjalani banyak studi. Sensitivitas dari tes ini untuk Neurally-mediated syncope mencapai 67-83% dengan spesifisitas antara 75-100% ( Grubb, 2005; Raj, 2005; Ludwig, 2007 ). Tes ini berguna pada penderita dengan penyakit jantung struktural dimana penyebab lain dari sinkop telah disingkirkan. Indikasi lain dari tes ini dapat dilihat pada tabel 2 ( Grubb, 2005; Ludwig, 2007 ). Tabel 2. Indikasi Tilt-table Testing ( Grubb, 2005 ) Tes ini biasanya dilakukan antara 30 hingga 40 menit dengan sudut sekitar 60 hingga 80 derajat ( ratarata 70 derajat ). Sensitivitas dari tes ini dapat ditingkatkan dengan jalan memperlama durasi, menambah curam sudut serta dengan menggunakan obat-obatan seperti isoproterenol atau nitrogliserin. Tes ini kurang berguna bila digunakan untuk membantu diagnosis sinkop situasional (sinkop post miksi, dll) (Grubb, 2005) Gambar 1. Tilt-table testing (Grubb, 2005) Elektrokardiografi (EKG) EKG biasanya normal pada penderita dengan sinkop. EKG awal pada penderita sinkop dapat membantu menegakkan diagnosis pada 5 persen penderita dan menjadi alat diagnosis utama pada 5 persen lainnya. Ketika muncul abnormalitas pada EKG, maka biasanya menunjukkan aritmia yang berhubungan dengan sinkop atau kelainan lain yang menjadi predisposisi timbulnya aritmia serta sinkop. Temuan spesifik yang mungkin dapat mengidentifikasi kemungkinan penyebab sinkop antara lain pemanjangan interval QT ( Long QT Syndrome ), adanya pemendekan interval PR dengan disertai munculnya gelombang delta yang menunjukkan adanya sindrom WPW, munculnya RBBB dengan elevasi segmen ST yang mengarah pada sindroma Brugada, munculnya infark miokard akut, blok AV, dan yang lainnya. Hasil pemeriksaan EKG yang normal menunjukkan kecil hubungan antara timbulnya sinkop karena faktor kardiak dimana hal ini berkaitan dengan prognosis yang lebih baik pada pendertita sinkop terutama pada penderita muda (Brignole, 2004; Calkins, 2005).

Ekhokardiografi Meski pemeriksaan ini digunakan secara luas pada evaluasi penderita sinkop, hanya sedikit penelitian yang mendukung penggunaanya pada penderita dengan pemeriksaan fisik serta EKG yang normal. Salah satu tujuan dari pemeriksaan ekhokardiografi adalah stratifikasi resiko penderita dengan mengekslusi kemungkinan kelainan jantung tersembunyi yang tidak tampak setelah dilakukan ananmesa, pemeriksaan fisik serta EKG. Kondisi dimana ekhokardiografi dapat menjadi alat diagnostik dari penyebab sinkop adalah obsrtuksi outflow ventrikel kiri yang berat serta miksoma atrium ( Brignole, 2004; Calkins, 2005 ). Tes Elektrofisiologi Tes ini dapat memberikan informasi diagnostik dan prognostik yang penting pada penderita dengan episode sinkop. Hasil elektrofisiologi dapat menegakkan diagnosis dari Sick Sinus Syndrome, hipersensitivitas sinus karotis, blok konduksi jantung, takikardi supraventrikular serta takikardi ventrikel. Tes elektrofisiologi dapat dilakukan melalui metode non invasif dengan elektrofisiologi transesofageal atau melalui elektrofisiologi invasif. Sekitar 70 persen penderita sinkop yang dikirim untuk menjalani elektrofisiologi ternyata menunjukkan respon yang normal dimana hal ini erat hubungannnya dengan rendahnya resiko kematian mendadak karena jantung ( Brignole, 2004; Calkins, 2005 ). Tes Adenosin Trifosfat ( ATP Test ) Injeksi intravena Adenosin Trifosfat (ATP) akhir-akhir ini digunakan sebagai alat bantu diagnostik pada penderita sinkop tanpa penyebab yang jelas (Unexplained syncope). Pada penderita dengan Unexplained syncope, rangsangan pada reseptor purinergik oleh efek dromotropik kuat pada nodus AV menyebabkan pemanjangan henti ventrikel karena adanya blok AV yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap terjadinya serangan sinkop spontan. Monitoring Holter Monitoring EKG secara kontinyu menggunakan Holter banyak digunakan pada pasien dengan sinkop. Informasi tentang EKG yang didapatkan saat terjadinya sinkop sangat berharga karena dapat menegakkan atau menyingkirkan penyebab aritmia pada sinkop. Akan tetapi karena kejadian sinkop yang jarang serta sporadis membuat nilai diagnostik monitor Holter pada sinkop dan presinkop hanya sekitar 4 %. Pemeriksaan Holter diindikasikan pada penderita sinkop dengan penyebab aritmia jantung berdasarkan data dari riwayat klinis, EKG yang abnormal serta adanya penyakit jantung struktural. Penggunaan Holter sangat membantu menegakkan diagnosa bila digunakan pada penderita sinkop yang sering mengalami episode sinkop maupun presinkop (contohnya episode harian). Signal-Avaraged Electrocardiography Signal-Averaged Electrocardiography (SAECG) merupakan teknok non invasif yang digunakan untuk mendeteksi sinyal amplitudo rendah pada bagian terminal dari komplek QRS (potensial akhir) yang merupakan bagian dari terjadinya aritmia ventrikel. Berbeda dengan EKG, peran dari SAECG dalam

evaluasi pasien dengan sinkop masih belum sepenuhnya tegak. Pada sebuah studi dengan populasi yang terpilih, dilaporkan bahwa SAECG memiliki sensitivitas 73-89% dan spesifisitas 89-100% untuk memprediksi terjadinya VT pada pasien dengan sinkop. Meskipun hasil tersebut cukup menjanjikan tetapi belum ada studi lain yang mengevaluasi peran SAECG pada populasi acak. Hingga saat ini SAECG masih belum direkomendasikan menjadi bagian standar evaluasi penderita sinkop. Salah satu penggunaan penting SAECG saat ini adalah untuk evaluasi penderita dengan kecurigaan Arrhythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD). Selain pemeriksaan penunjang yang disebut diatas, masih terdapat banyak alat maupun metode evaluasi penunjang diagnosis serta untuk menentukan kausa dari sinkop antara lain evaluasi sistim saraf serta psikiatrik, Elektroensefalografi, Event recorders, Implantable Event Recorders, Exercise testing serta Kateterisasi dan Angiografi jantung (Brignole, 2004; Calkins, 2005; Ludwig, 2007 ). Pendekatan Evaluasi Penderita Sinkop Berikut adalah diagram tentang alur evaluasi penderita dengan kehilangan kesadaran sesaat yang di rekomendasikan oleh European Society of Cardiology Task Force on Syncope. Gambar. 2 Alur evaluasi penderita sinkop ( Brignole, 2004 )

Tatalaksana Sinkop Tatalaksana penderita sinkop sangat tergantung dari diagnosis yang dibuat, hal ini dikarenakan begitu banyak kausa dari sinkop sehingga banyak modalitas terapi yang dapat digunakan baik terapi latihan, medikamentosa hingga intervensi dengan menggunakan alat bantu (Brignole, 2004; Calkins, 2005; Ludwig, 2007). Sebagai contoh, penderita sinkop yang berhubungan dengan blok AV serta Sick Sinus Syndrome mungkin membutuhkan pemasangan alat pacu jantung permanen, sementara sinkop karena sindroma WPW membutuhkan terapi ablasi untuk mengatasi gangguan yang muncul dan sinkop yang berhubungan dengan timbulnya takikardi ventrikel (VT) dapat memperoleh manfaat dari pemasangan Implatable Defibrilator.Akan tetapi tidak semua penderita yang mengalami sinkop membutuhkan terapi. Pada kondisi sinkop vasovagal yang terjadi karena faktor pencetus yang jelas seperti ketakutan, kesedihan, maka terapi khusus tidak dibutuhkan (Calkins, 2005; Ludwig, 2007). Pada sinkop neurokardiogenik atau vasovagal sinkop dengan serangan berulang membutuhkan intervensi medis. Intervensi dapat berupa edukasi penderita untuk menghindari faktor pencetus termasuk panas yang berlebihan, dehidrasi, alkohol serta penggunaan vasodilator. Penderita juga diminta untuk segera berbaring saat mulai merasakan gejala prodromal. Kontraksi isometrik dari otototot tangan, kaki serta gluteal mungkin dapat membatalkan serangan sinkop dengan jalan meningkatkan venous return. Terapi farmakologis diindikasikan pada penderita dengan episode sinkop yang mendadak, berulang dan tidak dapat diprediksi dimana penderita memiliki pekerjaan yang dapat mengakibatkan kecelakaan bila terjadi sinkop. Penggunaan -agonis (termasuk midodrine) serta penghambat penyerap serotonin yang selektif ( termasuk paroxetine ) terbukti efektif untuk terapi

sinkop neurokardiogenik. Golongan penyekat beta juga banyak digunakan, tetapi data terbaru menunjukkan tidak didapatkan perbedaan antara metoprolol dengan plasebo pada terapi sinkop vasovagal ( Ludwig, 2007 ). Penggunaan pacu jantung sebagai terapi pada sinkop vasovagal masih menjadi perdebatan. Sejak awal tahun 1990 an, pacu jantung telah digunakan sebagai salah satu terapi pada pasien dengan sinkop vasovagal yang memenuhi kriteria oleh British Pacing Electrophysiology group. Beberapa studi menyatakan keuntungan penggunaan pacu jantung pada penderita sinkop vasovagal diantaranya Vasovagal Pacemaker Study (VPS-1), Vasovagal Syncope International Study (VASIS) serta Syncope Diagnosis and Treatment Study. Pada VPS-1 didapatkan hasil penurunan signifikan pada timbulnya sinkop pada mereka yang mendapatkan pacu jantung dibandingkan terapi farmakologis. Meski ketiga studi diatas menunjukkan keuntungan penggunaan pacu jantung tetapi karena ketiganya merupakan studi open-label maka efek plasebo dari alat pacu jantung tidak dapat dihilangkan ( Wijesekera, 2002 ) . Penderita sinkop orthostatik membutuhkan hidrasi yang adekuat. Perlu juga dipikirkan pemeriksaan fungsi adrenal lebih lanjut meski kondisi ini jarang menyebabkan sinkop ortostatik. Pemberian suplemen 120 mmol natrium ( setara 7 gram garam ) sehari dapat meningkatkan tekanan darah serta volume plasma. Latihan ortostatik ( berdiri 10 hingga 30 menit dengan bersandar pada tembok ) dapat mendesensitisasi penderita terhadap stres ortostatik ( Ludwig, 2007 ). Sinkop karena hipersensitifitas sinus karotis dapat diatasi dengan menghentikan obat-obatan yang mencetuskan bradikardi serta hipotensi. Hindari juga penekanan pada sinus karotis ( seperti menggunakan baju dengan kerah yang ketat, bercukur ). Penggunaan pacu jantung juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi tipe kardioinhibitor dari sindroma sinus karotis ( Ludwig, 2007 ). RINGKASAN Sinkop merupakan problem klinis yang cukup menantang selain karena menimbulkan masalah sosial ekonomi, diagnosis serta menentukan kausa dari sinkop membutuhkan kecermatan dan seringkali melibatkan konsultasi serta kerjasama dengan disiplin ilmu lain. Secara garis besar sinkop terjadi karena adanya gangguan aliran darah ke otak ( hipoperfusi serebral ) dimana banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya kondisi ini antara lain karena faktor vaskular, kardiak, neurologis, metabolik serta sebab-sebab lain yang belum diketahui. Untuk mendiagnosis sinkop diperlukan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang cermat serta didukung dengan pemeriksaan penunjang yang tepat seperti EKG, ekhokardiografi, tes elektrofisiologi dan yang lainnya. Terapi dari sinkop dapat berupa terapi latihan, terapi medikamentosa atau farmakologis serta terapi intervensi dengan menggunakan alat bantu seperti pacu jantung untuk mengatasi sinkop secara adekuat.

Daftar Pustaka

Binder WD, Fifer MA, King ME, Stone JR ( 2005 ). Case 26-2005: A 48-Year-Old Man with Sudden Loss of Conciousness while Jogging. N Engl J Med; 353: 824-32. Brignole M, et al ( 2004 ). Task Force on Syncope, European Society of Cardiology: Guidelines on Management ( Diagnosis and Treatment ) of Syncope Update 2004. Europace 6: 467-537 Calkins H, Zipes DP ( 2005 ). Hypotension and Syncope. In: Braunwalds Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine 7th ed. Editors: Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E. Elsevier Saunders, Philadelphia, pp: 909-919. Dave J, Gaziano JM ( 2007 ). Syncope. www.emedicine.com . [ diakses tanggal 12 September 2007 ]. Grubb BP ( 2005 ). Neurocardiogenic Syncope. N Engl J Med; 352: 1004-10. Kapoor WN ( 2000 ). Syncope. N Engl J Med; 343: 1856-62. Ludwig AB, Vemulapalli S, Goldschlager N ( 2007 ). Syncope: A Focused Approach to the Workup and Management. Medical Progress October 2007. Maisel WH, Stevenson WG ( 2002 ). Syncope-Getting to the Heart of The Matter. N Engl J Med; 347: 93133. Miller TH, Kruse JE ( 2005 ). Evaluation of Syncope. Am Fam Physician; 72: 1492-500. Raj SR, Diedrich A, Biaggioni I ( 2005 ). Can we diagnose, treat or even understand neurally mediated syncope? Clinical Science; 109: 161-163. Soteriades ES et al ( 2002 ). Incidence and Prognosis of Syncope. N Engl J Med; 347: 878-85. Wijesekera NT, Kurbaan AS ( 2002 ). Pacing for Vasovagal Syncope. Indian Pacing Electrophysiol. J.; 2 (4): 114.

Pendahuluan Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan laboratorium (penunjang). Pemeriksaan neurologis meliputi: pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf otak, sistem motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur). Selama beberapa dasawarsa ini ilmu serta teknologi kedokteran maju dan berkembang dengan pesat. Banyak alat dan fasilitas yang tersedia, dan memberikan bantuan yang sangat penting dalam mendiagnosis penyakit serta menilai perkembangan atau perjalanan penyakit. Saat ini kita dengan mudah dapat mendiagnosis perdarahan di otak, atau keganasan di otak melalui pemeriksaan pencitraan. Kita juga dengan mudah dapat menentukan polineuropati dan perkembangannya melalui pemeriksaan kelistrikan. Di samping kemajuan yang pesat ini, pemeriksaan fisik dan mental di sisi ranjang (bedside) masih tetap memainkan peranan yang penting. Kita bahkan dapat meningkatkan kemampuan pemeriksaan di sisi ranjang dengan bantuan alat teknologi yang canggih. Kita dapat mempertajam kemampuan pemeriksaan fisik dan mental dengan bantuan alat-alat canggih yang kita miliki. Sampai saat ini kita masih tetap dan harus memupuk kemampuan kita untuk melihat, mendengar, dan merasa, serta mengobservasi keadaan pasien. Dengan pemeriksaan anamnesis, fisik dan mental yang cermat, kita dapat menentukan diagnosis, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Anamnesis Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting. Seorang dokter tidak mungkin berkesempatan mengikuti penyakit sejak dari mulanya. Biasanya penderita datang ke dokter pada saat penyakit sedang berlangsung, bahkan kadang-kadang saat penyakitnya sudah sembuh dan keluhan yang dideritanya merupakan gejala sisa. Selain itu, ada juga penyakit yang gejalanya timbul pada waktuwaktu tertentu; jadi, dalam bentuk serangan. Di luar serangan, penderitanya berada dalam keadaan sehat. Jika penderita datang ke dokter di luar serangan, sulit bagi dokter untuk menegakkan diagnosis penyakitnya, kecuali dengan bantuan laporan yang dikemukakan oleh penderita (anamnesis) dan orang yang menyaksikannya (allo-anamnesis). Tidak jarang pula suatu penyakit mempunyai perjalanan tertentu. Oleh karena perjalanan penyakit sering mempunyai pola tertentu, maka dalam menegakkan diagnosis kita perlu menggali data perjalanan penyakit tersebut. Suatu kelainan fisik dapat disebabkan oleh bermacam penyakit. Dengan mengetahui perjalanan penyakit, kita dapat

mendekati diagnosisnya, dan pemeriksaan laboratorium yang tidak perlu dapat dihindari. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa: Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke ara diagnosa yang tepat. Untuk mendapatkan anamnesis yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Pengambilan anamnesis sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri, supaya tidak didengar orang lain. Biasanya pengambilan anamnesis mengikuti 2 pola umum, yaitu: 1. Pasien dibiarkan secara bebas mengemukakan semua keluhan serta kelainan yang dideritanya. 2. Pemeriksa (dokter) membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertuju. Pengambilan anamnesa yang baik menggabungkan kedua cara tersebut diatas. Biasanya wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat. Kemudian ditanyakan keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri: 1. Sejak kapan mulai 2. Sifat serta beratnya 3. Lokasi serta penjalarannya 4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya) 5. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut 6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya 7. Faktor yang membuat keluhan lebih berat atau lebih ringan 8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan, datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya Pada tiap penderita penyakit saraf harus pula dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan dibawah ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Nyeri kepala : Apakah anda menderita sakit kepala? Bagaimana sifatnya, dalam bentuk serangan atau terus menerus? Dimana lokasinya? Apakah progresif, makin

lama makin berat atau makin sering? Apakah sampai mengganggu aktivitas seharihari? 2. Muntah : Apakah disertai rasa mual atau tidak? Apakah muntah ini tiba-tiba, mendadak, seolah-olah isi perut dicampakkan keluar (proyektil)? 3. Vertigo : Pernahkah anda merasakan seolah sekeliling anda bergerak, berputar atau anda merasa diri anda yang bergerak atau berputar? Apakah rasa tersebut ada hubungannya dengan perubahan sikap? Apakah disertai rasa mual atau muntah? Apakah disertai tinitus (telinga berdenging, berdesis)? 4. Gangguan pemglihatan (visus) : Apakah ketajaman penglihatan anda menurun pada satu atau kedua mata? Apakah anda melihat dobel (diplopia)? 5. Pendengaran : Adakah perubahan pada pendengaran anda? Adakah tinitus (bunyi berdenging/berdesis pada telinga)? 6. Saraf otak lainnya : Adakah gangguan pada penciuman, pengecapan, salivasi (pengeluaran air ludah), lakrimasi (pengeluaran air mata), dan perasaan di wajah? Adakah kelemahan pada otot wajah? Apakah bicara jadi cadel dan pelo? Apakah suara anda berubah, jadi serak, atau bindeng (disfonia), atau jadi mengecil/hilang (afonia)? Apakah bicara jadi cadel dan pelo (disartria)? Apakah sulit menelan (disfagia)? 7. Fungsi luhur : Bagaimana dengan memori? Apakah anda jadi pelupa? Apakah anda menjadi sukar mengemukakan isi pikiran anda (disfasia, afasia motorik) atau memahami pembicaraan orang lain (disfasia, afasia sensorik)? Bagaimana dengan kemampuan membaca (aleksia)? Apakah menjadi sulit membaca, dan memahami apa yang anda baca? Bagaimana dengan kemampuan menulis, apakah kemampuan menulis berubah, bentuk tulisan berubah? 8. Kesadaran : Pernahkah anda mendadak kehilangan kesadaran, tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda? Pernahkah anda mendada merasa lemah dan seperti mau pingsan (sinkop)? 9. Motorik : Adakah bagian tubuh anda yang menjadi lemah, atau lumpuh (tangan, lengan, kaki, tungkai)? Bagaimana sifatnya, hilang-timbul, menetap atau berkurang? Apakah gerakan anda menjadi tidak cekatan? Adakah gerakan pada bagian tubuh atau ekstremitas badan yang abnormal dan tidak dapat anda kendalikan (khorea, tremor, tik)?

10. Sensibilitas : Adakah perubahan atau gangguan perasaan pada bagian tubuh atau ekstremitas? Adakah rasa baal, semutan, seperti ditusuk, seperti dibakar? Dimana tempatnya? Adakah rasa tersebut menjalar? 11. Saraf otonom : Bagaimana buang air kecil (miksi), buang air besar (defekasi), dan nafsu seks (libido) anda? Adakah retensio atau inkontinesia urin atau alvi? Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Umum o Sensorium (kesadaran)

Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa yaitu: o Normal : kompos mentis

Somnolen : : Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

Sopor (stupor) : Kantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri pasien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

Koma ringan (semi-koma) : Pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks ( kornea, pupil dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Pasien tidak dapat dibangunkan.

Koma (dalam atau komplit) : Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

Skala Koma Glasgow

Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan/respon penderita yang perlu diperhatikan adalah: Membuka mata o Spontan Terhadap bicara Dengan rangsang nyeri Tidak ada reaksi 2 1 3 4

Respon verbal (bicara) o Baik dan tidak ada disorientasi Kacau (confused) Tidak tepat Mengerang Tidak ada jawaban 1 5 4 3 2

Respon motorik (gerakan) o Menurut perintah Mengetahui lokasi nyeri Reaksi menghindar Refleks fleksi (dekortikasi) Refleks ekstensi (deserebrasi) Tidak ada reaksi 2 1 3 5 4 6

o o o o Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas Suhu

Pemeriksaan Neurologis o Kepala dan Leher : simetris atau asimetris : tertutup atau tidak

Bentuk Fontanella Transiluminasi

o -

Rangsang meningeal : Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan sbb: Tangan

Kaku kuduk

pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat Kernig sign : Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan

pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135, maka dikatakan Kernig sign positif. Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan

sehingga dagu menyentuh dada. Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik. Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif. Lasegue sign : Untuk pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang berbaring lalu

kedua tungkai diluruskan (diekstensikan), kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Pada keadaan normal dapat dicapai sudut 70 sebelum timbul rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 maka disebut tanda Lasegue positif. Namun pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60. o Saraf-saraf otak Nervus I (olfaktorius)

Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan. Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam. Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka. Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai

misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng. Kakosmia adalah mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada. Halusinasi penciuman adalah bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya

perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini o Nervus II (optikus)

Tajam penglihatan : membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan

jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran. Lapangan pandang : Yang paling mudah adalah dengan munggunakan metode

Konfrontasi dari Donder. Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari jari pemeriksa, ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan (visual field) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa. o luar. Diplopia (melihat kembar) Strabismus (juling) Nistagmus (gerakan bola mata diluar kemauan pasien) Eksoftalmus (mata menonjol keluar) Pupil : lihat ukuran, bentuk dan kesamaan antara kiri dan kanan Refleks pupil (refleks cahaya) Nervus III (okulomotorius) Melihat warna Refleks ancaman Refleks pupil

Pergerakan bola mata ke arah : atas, atas dalam, atas luar, medial, bawah, bawah

Direk/langsung : cahaya ditujukan seluruhnya kearah pupil. Normal, akibat adanya cahaya maka pupil akan mengecil (miosis). Perhatikan juga apakah pupil segera miosis, dan apakah ada pelebaran kembali yang tidak terjadi dengan segera. Indirek/tidak langsung: refleks cahaya konsensuil. Cahaya ditujukan pada satu pupil, dan perhatikan pupil sisi yang lain. o o Nervus V (trigeminus) Nervus IV (trochlearis) Rima palpebra Deviasi konjugae

Pergerakan bola mata ke bawah dalam

Pemeriksaan motorik : membuka dan menutup mulut; palpasi otot maseter dan

temporalis; kekuatan gigitan. 1. 1. 1. 1. pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba M. masseter dan M. temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama. 2. Pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese disebelah kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan Cara :

kesamping kiri. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah. Pemeriksaan sensorik : dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan

suhu, kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah. Refleks kornea : Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup

matanya atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan. Refleks masseter : Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian

tengah dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan hammer reflex normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak ada. Bila ada gerakan hebat yaitu kontraksi M. masseter, M. temporalis, M. pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut refleks meninggi. o o Nervus VII (fasialis) Nervus VI (abdusens) Refleks bersin : menggunakan kapas.

Pergerakan bola mata ke lateral

Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya

tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa), moncongkan bibir atau menyengir, memperlihatkan gigi, bersiul (suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh) o Pemeriksaan fungsi sensorik :

2/3 bagian depan lidah : Pasien disuruh untuk menjulurkan lidah, kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau sesuatu yang pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang terasa diatas secarik kertas. Bahannya adalah: glukosa 5 %, NaCl 2,5 %, asam sitrat 1 %, kinine 0,075 %. Sekresi air mata : Dengan menggunakan Schirmer test (lakmus merah). Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm. Warna berubah jadi biru; normal: 1015 mm (lama 5 menit).

o o Pemeriksaan Weber : Maksudnya membandingkan transportasi melalui tulang ditelinga kanan dan kiri pasien. Garputala ditempatkan didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih keras). Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal: otitis media kiri, pada test Weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat nerve deafness disebelah kiri, pada test Weber dikanan terdengar lebih keras. Pemeriksaan Rinne : Maksudnya membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara dari pasien. Pada telinga yang sehat, pendengaran melalui udara didengar lebih lama daripada melalui tulang. Garputala ditempatkan pada planum mastoid Nervus VIII (vestibulo-koklearis)

Pemeriksaan fungsi n. koklearis untuk pendengaran

sampai pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan kedepan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test positip. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada conduction deafness test Rinne negatif. Pemeriksaan Schwabah : Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu tala ditempatkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Dirusuh ia mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala diletakkan di tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya maka dikatakan Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek. o Pemeriksaan dengan tes kalori Pemeriksaan fungsi n. vestibularis untuk keseimbangan

Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nystagmus kekanan. Bila telinga kiri dipanaskan (diberi air panas) timbul nistagmus kekiri. Nystagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu : fase cepat dan fase pelan, misalnya nystagmus kekiri berarti fase cepat kekiri. Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin dan panas memberikan reaksi. o

Pemeriksaan past pointing test

Pasien diminta menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian dengan mata tertutup pasien diminta untuk mengulangi. Normalnya pasien harus dapat melakukannya. o Tes Romberg

Pada pemeriksaan ini pasien berdiri dengan kaki yang satu didepan kaki yang lainnya. Tumit kaki yang satu berada didepan jari kaki yang lainnya, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih. o Stepping test

Pasien disuruh berjalan ditempat, dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti jalan biasa. Selama test ini pasien diminta untuk berusaha agar tetap ditempat dan tidak beranjak dari tempatnya selama test berlangsung. Dikatakan abnormal bila kedudukan akhir pasien beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.

o Nervus IX

Pemeriksaan motorik : disfagia, palatum molle, uvula, disfonia, refleks muntah.

Cara 1 : Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf a. Jika ada gangguan maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan menyempit dan akibatnya rongga hidung dan rongga mulut masih berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat

mengucapkan huruf a dinding pharynx terangkat sedang yang lumpuh tertinggal, dan tampak uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik kesisi yang sehat Cara 2 : Pemeriksa menggoreskan atau meraba pada dinding pharynx kanan dan kiri dan bila ada gangguan sensibilitas maka tidak terjadi refleks muntah. o Nervus X Pemeriksaan sensorik : pengecapan 1/3 belakang lidah

Pemeriksaan bersamaan dengan nervus IX. o Nervus XI

Memeriksa tonus m. sternocleidomastoideus : Dengan menekan pundak pasien dan

pasien diminta untuk mengangkat pundaknya. Memeriksa tonus m. trapezius : Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri

dan ditahan oleh pemeriksa , kemudian dilihat dan diraba tonus dari m. sternocleidomastoideus. o Nervus XII

Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik, hal demikian disebut: dysarthria. Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah. Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi. Pemeriksaan sistem motorik

Pemeriksaan sistim motorik sebaiknya dilakukan dengan urutan urutan tertentu untuk menjamin kelengkapan dan ketelitian pemeriksaan. o o Gerakan volunter Pengamatan

Gaya berjalan dan tingkah laku. Simetri tubuh dan ektremitas. Kelumpuhan badan dan anggota gerak, dll.

Yang diperiksa adalah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa, misalnya: o Palpasi otot Mengangkat kedua tangan pada sendi bahu. Fleksi dan ekstensi artikulus kubiti. Mengepal dan membuka jari-jari tangan. Mengangkat kedua tungkai pada sendi panggul. Fleksi dan ekstensi artikulus genu. Plantar fleksi dan dorso fleksi kaki. Gerakan jari- jari kaki.

Pengukuran besar otot. Nyeri tekan. Kontraktur. Konsistensi (kekenyalan).

Konsistensi otot yang meningkat terdapat pada:

o o Kelumpuhan jenis LMN akibat denervasi otot. Kelumpuhan jenis LMN akibat lesi di motor end plate Spasmus otot akibat iritasi radix saraf spinalis, misal: meningitis, HNP Kelumpuhan jenis UMN (spastisitas) Gangguan UMN ekstrapiramidal (rigiditas) Kontraktur otot

Konsistensi otot yang menurun terdapat pada

o Perkusi otot

Normal : otot yang diperkusi akan berkontraksi yang bersifat setempat dan

berlangsung hanya 1 atau 2 detik saja. Miodema : penimbunan sejenak tempat yang telah diperkusi (biasanya terdapat

pada pasien mixedema, pasien dengan gizi buruk). Miotonik : tempat yang diperkusi menjadi cekung untuk beberapa detik oleh karena

kontraksi otot yang bersangkutan lebih lama dari pada biasa. o Tonus otot

Pasien diminta melemaskan ekstremitas yang hendak diperiksa kemudian

ekstremitas tersebut kita gerak-gerakkan fleksi dan ekstensi pada sendi siku dan lutut. Pada orang normal terdapat tahanan yang wajar. Flaccid : tidak ada tahanan sama sekali (dijumpai pada kelumpuhan LMN).

Hipotoni : tahanan berkurang. Spastik : tahanan meningkat dan terdapat pada awal gerakan, ini dijumpai pada

kelumpuhan UMN. o cara: o Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini. Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan. o 0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total. 1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendiaan yang harus digerakkan oleh otot tersebut. 2 : Didapatkan gerakan,tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya berat (gravitasi). 3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat. 4 : Disamping dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang diberikan. 5 : Tidak ada kelumpuhan (normal) Cara menilai kekuatan otot: Kekuatan otot Rigid : tahanan kuat terus menerus selama gerakan misalnya pada Parkinson.

Pemeriksaan ini menilai kekuatan otot, untuk memeriksa kekuatan otot ada dua

Sistem sensibilitas o Eksteroseptif : terdiri atas rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.

Rasa nyeri bisa dibangkitkan dengan berbagai cara, misalnya dengan menusuk menggunakan jarum, memukul dengan benda tumpul, merangsang dengan api atau hawa yang sangat dingin dan juga dengan berbagai larutan kimia. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Penderita disuruh mengatakan dingin atau panas bila dirangsang dengan tabung reaksi yang berisi air dingin atau air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 1020 C, dan untuk yang panas bersuhu 40-50 C. Suhu yang kurang dari 5 C dan yang lebih tinggi dari 50 C dapat menimbulkan rasa-nyeri. Rasa raba dapat dirangsang dengan menggunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris. o Proprioseptif : rasa raba dalam (rasa gerak, rasa posisi/sikap, rasa getar dan rasa tekanan) Rasa gerak : pegang ujung jari jempol kaki pasien dengan jari telunjuk dan jempol jari tangan pemeriksa dan gerakkan keatas kebawah maupun kesamping kanan dan kiri, kemudian pasien diminta untuk menjawab posisi ibu jari jempol nya berada diatas atau dibawah atau disamping kanan/kiri. Rasa sikap : Tempatkan salah satu lengan/tungkai pasien pada suatu posisi tertentu, kemudian suruh pasien untuk menghalangi pada lengan dan tungkai. Perintahkan untuk menyentuh dengan ujung ujung telunjuk kanan, ujung jari kelingking kiri dsb. Rasa getar : Garpu tala digetarkan dulu/diketuk pada meja atau benda keras lalu letakkan diatas ujung ibu jari kaki pasien dan mintalah pasien menjawab untuk merasakan ada getaran atau tidak dari garputala tersebut. o Diskriminatif : daya untuk mengenal bentuk/ukuran; daya untuk mengenal /mengetahui berat sesuatu benda dsb.

Rasa gramestesia : untuk mengenal angka, aksara, bentuk yang digoreskan diatas kulit pasien, misalnya ditelapak tangan pasien. Rasa barognosia : untuk mengenal berat suatu benda. Rasa topognosia : untuk mengenal tempat pada tubuhnya yang disentuh pasien. Refleks o Biseps : ketokan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m. biseps Refleks fisiologis

Stimulus

brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku. Respons Afferent Efferenst Triseps : ketukan pada tendon otot triseps brachii, posisi lengan fleksi pada sendi : fleksi lengan pada sendi siku. : n. musculucutaneus (C5-6) : idem

Stimulus

siku dan sedikit pronasi. Respons Afferent Efferenst KPR : ketukan pada tendon patella : ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m. quadriceps emoris. : n. femoralis (L 2-3-4) : idem : extensi lengan bawah disendi siku : n. radialis (C 6-7-8) : idem

Stimulus Respons Efferent Afferent

APR : ketukan pada tendon achilles : plantar fleksi kaki karena kontraksi m. gastrocnemius : n. tibialis ( L. 5-S, 1-2 ) : idem

Stimulus Respons Efferent Afferent -

Periosto-radialis : ketukan pada periosteum ujung distal os radii, posisi lengan setengah fleksi

Stimulus

dan sedikit pronasi Respons : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi karena kontraksi m.

brachioradialis Afferent Efferenst : n. radialis (C 5-6) : idem

Periosto-ulnaris : ketukan pada periosteum proc. styloigeus ulnea, posisi lengan setengah

Stimulus

fleksi & antara pronasi supinasi. Respons Afferent Efferent o Refleks patologis : pronasi tangan akibat kontraksi m. pronator quadratus : n. ulnaris (C8-T1) : idem

Babinski

Stimulus : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior. Respons : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan (fanning) jari jari kaki.

Chaddock

Stimulus : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral, sekitar malleolus lateralis dari posterior ke anterior. Respons : seperti babinski Oppenheim

Stimulus : pengurutan crista anterior tibiae dari proksimal ke distal Respons : seperti babinski Gordon

Stimulus : penekanan betis secara keras Respons : seperti babinski Schaeffer

Stimulus : memencet tendon achilles secara keras Respons : seperti babinski Gonda

Stimulus : penekukan ( planta fleksi) maksimal jari kaki keempat Respons : seperti babinski Hoffman

Stimulus : goresan pada kuku jari tengah pasien Respons : ibu jari, telunjuk dan jari jari lainnya berefleksi Tromner

Stimulus : colekan pada ujung jari tengah pasien Respons : seperti Hoffman

Koordinasi

Termasuk dalam pemeriksaan koordinasi : Lenggang Bicara : berbicara spontan, pemahaman, mengulang, menamai. Menulis : mikrografia pada Parkinsons disease Percobaan apraksia : ketidakmampuan dalam melakukan tindakan yang terampil :

mengancing baju, menyisir rambut, dan mengikat tali sepatu Mimik Tes telunjuk : pasien merentangkan kedua lengannya ke samping sambil menutup

mata. Lalu mempertemukan jari-jarinya di tengah badan. Tes telunjuk-hidung : pasien menunjuk telunjuk pemeriksa, lalu menunjuk

hidungnya. Disdiadokokinesis : kemampuan melakukan gerakan yang bergantian secara cepat

dan teratur. Tes tumit-lutut : pasien berbaring dan kedua tungkai diluruskan, lalu pasien

menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Vegetatif

Pemeriksaan vegetatif : pasien Miksi Defekasi Vasomotorik : pembuluh darah digores merah Sudomotorik : berkeringat Pilo-erektor : merinding tangan pemeriksa setelah memegang es, lalu memegang

Potensi libido Vertebra

Bentuk, scoliosis, hiperlordosis, kifosis 1. 1. Laseque : kaki difleksikan pada sendi panggul dengan sendi lutut tetap Tanda-tanda perangsangan radikuler

ekstensi tahanan dengan sudut > 60 2. Cross Laseque : lakukan tes Laseque, nyeri pada kaki yang berlawanan 3. Patrick 4. Contra-Patrick 1. 1. Ataksia : gangguan gerakan jalan yang tidak teratur oleh karena impuls proprioseptif tidak dapat diintegrasikan (gangguan koordinasi gerakan). 2. Disartria : gangguan kata-kata. 3. Tremor : intention tremor : iregular, bertambah kasar bila tangan menuju suatu arah atau sasaran. 4. Nistagmus : tes kalori 5. Fenomena Rebound : tidak mampu menghentikan gerakan tepat pada waktunya. Penderita memfleksikan tangan dan disuruh menahan tahanan oleh pemeriksa, lalu pemeriksa melepaskan tangannya dengan tiba-tiba ditahan oleh otot-otot triseps normal. 6. Vertigo : gangguan orientasi ruangan dimana perasaan dirinya bergerak berputar terhadap ruangan di sekitarnya atau ruangan sekitarnya bergerak terhadap dirinya. Gejala-gejala Cerebellar

Gejala-gejala ekstrapiramidal

1. 1. Tremor : resting tremor/Parkinson tremor 2. Rigiditas : hipertonus otot-otot 3. Bradikinesia : gerakan melambat

1.

Fungsi Luhur

1. Kesadaran kualitatif 2. Ingatan baru 3. Ingatan lama 4. Orientasi : diri, tempat, waktu, situasi 5. Inteligensia : normal, terganggu 6. Daya pertimbangan : baik, kurang 7. Reaksi emosi : normal, terganggu 8. Afasia : gangguan berbahasa (gangguan dalam memproduksi atau memahami bahasa) - Ekspresif : motorik, area Brocca - Reseptif : area Wernicke 9. Agnosia : ketidakmampuan mengenali benda-benda yang telah dikenali sebelumnya. Agnosia visual : tidak mampu mengenali objek secara visual Agnosia jari : ketidakmampuan mengidentifikasi jarinya atau jari orang lain pasien

menutup mata, pemeriksa memegang salah satu jari pasien, dan pasien membuka mata dan menunjukkan jari yang diraba tadi. 10. Akalkulia : ketidakmampuan berhitung 11. Disorientasi kanan-kiri

You might also like